MHW40 – akujenoo
“Mark, psst, psst …” Jaehyun terdengar berbisik memanggil Mark Lee yang lagi sibuk menyumpal kupingnya dengan earphone selepas mendengar argumen non-sense dari seseorang yang sedang ikut conference call dengan mereka di ujung lain bumi siang ini.
Mark buru-buru melepas satu sisi earphone miliknya dan melebarkan kedua matanya menatap Jaehyun.
“Ini tuh nggak masuk akal, turnover rate kita tahun ini udah kegedean, nggak achieve KPI. Jangan ngide lah pake acara gini-gini.” Jaehyun berucap berapi-api, oh, technically bukan berucap, karena suara dia nggak keluar, dia cuma gerak-gerakin bibirnya aja. Untungnya sih, Mark bisa ngerti apa yang coba Jaehyun omongin.
Mark menarik nafas dalam, iya, anjir, iyaaaa, dia tuh paham. Tapi Jaehyun lagi-lagi ikut andil bikin dia naik pitam gara-gara seolah didikte akan sesuatu yang dia nggak paham.
Mark meletakkan telunjuknya di depan bibir, mengisyaratkan supaya Jaehyun berhenti bicara. Dia tahu kok apa yang harus dia lakukan.
“Ehm, Pak Jo, kalau saya boleh kasih advice, dari tadi kan kita muter-muter mulu nih ngomongin soal employee engagement program yang sama terus dari tahun-tahun lalu. Sementara kalau dari survei tahun ini, kita tahu kalau turnover rate bukan datang dari incapability kita menghadirkan suasana yang nyaman dan program-program bagus buat employee.” seseorang yang dipanggil ‘Pak Jo’ oleh Mark di ujung sana terlihat mengangguk mengerti di layar begitu Mark memberi jeda omongannya untuk kemudian melanjutkan bicara.
“Yang jadi masalah justru karena employee merasa comp-ben yang kita beri untuk mereka kurang kompetitif kalau dibanding sama keadaan job market di luar sana. So, the most possible way sekarang, ya kita harus setidaknya merombak aturan soal employee benefit, itu dulu—sebelum kita jump in ke keputusan buat meninjau lagi salary yang diberi perusahaan buat employee.” Mark menutup penjelasannya sembari tersenyum—padahal jiwanya udah terguncang karena pagi-pagi harus berhadapan sama isu krusial: enam manajer dan dua c-level di headquarters mengajukan resignation letter secara tiba-tiba kemarin sore.
“Mark, di sana … ada papa?” Pak Jo merendahkan suaranya sebelum bertanya, seolah orang lain bisa ikut mendengar suaranya—padahal jelas-jelas earphone bisa terlihat terpasang di telinga Mark Lee.
“Um … beliau sedang ada janji breakfast dengan teman lama, Pak. Hari ini saya baru akan berkunjung ke rumah setelah pulang kerja untuk report semuanya.”
“Good.” Johnny Seo menghembuskan nafasnya lega.
“Kamu tahu kan keadaan cashflow kayak gimana? I guess sebelum ini juga kamu udah ketemu sama CFO dan jajarannya buat denger kondisi kita sekarang gimana. We’re lagging behind, Mark, tiap masa QPR juga kita sama-sama denger gimana keadaannya.”
Gurat sedih di wajah Johnny jelas Mark paham betul dari mana. Boleh dibilang, hal itu juga jadi salah satu alasan pipinya makin tirus akhir-akhir ini, ikut mikir mau dibawa ke mana bisnis keluarga ini?
“Sorry, saya sama Mark mau ada meeting lagi Pak jam 9 pagi. Boleh drop dulu nggak ya diskusi ini? Nanti disambung lagi deh jam 1 siang. Gimana?” katakan Jaehyun lancang, tapi sumpah deh, dia ini temen terbaik yang tahu gimana cara buat menyelamatkan Mark di waktu-waktu kritis kayak gini. Jaehyun paham banget, Mark nggak seharusnya dapet beban seberat ini alias ikut mikirin gimana cara balikin cashflow perusahaan biar lancar lagi. Harusnya sih semua orang di board of directors ikut andil, termasuk Johnny Seo yang dinilai Jaehyun keseringan mangkir nggak ikut mikir selama ini.
“Oh, okay, okay … if that’s the case, kita lanjut jam 1 siang after lunch kalian ya.”
“T-tapi Pak, kalau Bapak nanti masih ada kegiatan atau terlalu malam, kayaknya kita bisa push ke malam waktu Jakarta aja, Pak.”
Johnny terlihat menimbang di ujung sana, sementara Jaehyun sudah meringis menahan kesal sama Mark yang nggak sadar kalau dia lagi berusaha diselamatin sama Jaehyun.
“We’ll see first deh, Mark. Nanti sekretarisku yang akan arrange. Kita udah dulu aja deh, have a good day, guys!”
And with that, zoom call selesai. Jaehyun dateng ke meja Mark buat gebrak meja temennya—yang sebenernya posisinya lebih tinggi dari dia—sampai-sampai bikin beberapa pasang mata di kubikel sekitar mereka ikut menatap takut.
“Dasar nggak tahu diri. Udah dibantuin malah nawarin meeting malem.” Jaehyun beneran meluapkan kekesalan ke Mark. Sumpah, dia nggak salah. Nggak seharusnya kan kerja sebegini jor-jorannya.
“Dude, ini kita lagi ada di kondisi kritis. Nggak bisa lagi kita tuh mikirin is it the right time buat meeting atau enggak. Kalau ada waktu, yaudah kita selip-selipin aja.”
Jaehyun begitu frustrasi melihat Mark pasrah banget dikerjain kerjaan sebegininya.
“Also … gue berhutang banyak ke Kakek, means gue nggak bisa egois di keadaan kayak gini.” ujar Mark lirih sembari memilin kabel earphone miliknya yang masih tersambung ke laptop.
Bahu Jaehyun turun, iya ya, bener juga. Kalau buat dia, mungkin pekerjaan ini cuma buat dapet duit, cuma biar dia dan keluarganya hidup dalam kondisi berkecukupan di ibukota. Tapi buat Mark, it’s far beyond that.
Duh … dia jadi rada nyesel udah kayak gini ke Mark.
“Sorry, bro. Harusnya gue bisa nempatin diri gue buat paham posisi lo.”
“Nggak apa-apa, nggak usah dipikirin. Lanjut aja deh kita meeting sama orang branch, kasian kalo ntar kita telat mereka nggak kerja-kerja.” Mark beranjak memasang earphone miliknya, dan Jaehyun juga bergegas kembali duduk ke kursinya.
Belum sempat Mark menyapa semua orang yang sudah ada di room, ponsel miliknya berbunyi, menampilkan satu pesan singkat dari ‘Kakek’.
‘Nanti sore kakek mau bicara.’
———
Berdasarkan sensus penduduk di tahun 2000, total kelahiran anak-anak laki-laki dan perempuan di Indonesia saat itu adalah pada angka lima juta jiwa.
Sementara itu, di tahun 2023, Kementerian Luar Negeri mencatat ada enam puluh enam ribu warga negara Indonesia yang tinggal dan menetap di Amerika. Sepertiga di antaranya, tinggal di New York.
Dan … ended up here, living with my bestfriend, my only friend, sejak TK, adalah salah satu misteri terbesar dalam hidup gue yang sampai sekarang sulit dipecahkan.
“Oh Goddamn, Chan! Your dad called me up again this morning.” rambut brunette dia berantakan, tanda kalo dia bener-bener stress nggak tertolong sore ini.
“Papa? Atau daddy?”
“Your papa! Definitely your Papa! Your beloved Papa!!” dia berapi-api banget. Gue udah biasa sih tapi, nggak kaget. Makanya waktu dia ngomel-ngomel keliling apartemen, gue santai aja duduk di sofa sambil nonton YouTube.
“‘Least tell him you will go home this Sunday! Lo tega sama gue? Tiap pagi, Chan, gue harus ngangkat telfon bokap lo buat ngabarin if you’re doing okay di sini. Come on?!” bibirnya maju-maju, grasak-grusuk dia ngelepas tweed blazer tiga ribu dolarnya. Kasihan, gerah pasti.
“Lo kan nggak perlu angkat. Emang gue nyuruh lo ngangkat?”
“Heh!”
Sesuai tebakan, dia ngerampas iPad di tangan gue. Dia berkacak pinggang dan ngasih tatapan nyalang mematikannya ke gue.
“Lo kira gue nggak berusaha ignore? Udah. Udah berkali-kali. Tapi dia nelfon nyokap gue dan start asking her about me and you. Whether we’re doing great here, whether we’re okay yadda yadda.”
“Sekarang. Telfon bokap lo, gue sita iPad lo sampe lo mau nelfon bokap lo. Bye, gue mau pacaran!”
“Njun!”
Brak. Pintu dibanting sama si Huang mini dari luar.
Kenalin, namanya Huang Renjun. Sumbu pendek, tukang marah-marah, tapi anehnya gue betah temenan sama dia dari umur 4 tahun sampe nyaris 24 tahun sekarang.
Sepeninggal Renjun dari apartemen, gue akhirnya memberanikan diri buat buka handphone yang udah sekitar sembilan hari gue matiin. Sengaja. Biar nggak diganggu.
Waktu gue nyalain, ada banyak sekali notifikasi yang masuk.
Dari grup WhatsApp temen-temen gue di sini.
Berbagai grup belanja yang sebenernya nggak sering gue buka tapi dipaksa Renjun buat join.
Dari sepupu-sepupu gue yang tinggal di US dan sering chit-chat sama gue.
Sampai dari Papa
… dan Daddy.
As well as Kakek.
Tiga orang yang paling gue hindari keberadaannya sejak mama meninggal dua bulan lalu.
Tentu mereka berlomba-lomba ngirim pesan singkat yang nanyain kabar gue. Ya kurang lebih sama lah dengan apa yang diomelin Renjun dengan kecepatan 80 kmph tadi.
Oh ya, sedikit background ya soal gue, karena mungkin kalian merasa aneh waktu denger gue sebut Daddy, Mama, dan Papa di satu konteks cerita keluarga gue.
Dari gue kecil, keluarga gue emang punya banyak permasalahn kompleks yang bahkan gue udah muak buat keep up sama masing-masing dari permasalahan itu.
Mulai dari kakek yang punya banyak istri sampe akhirnya ditinggalin satu per satu.
Daddy dan Mama yang cerai ketika umur gue baru delapan tahun.
Daddy yang akhirnya nikah lagi di empat tahun setelahnya, dan menetap di Canada sama suami barunya—Papa.
Sampai Mama yang ninggalin gue—for good—dua bulan lalu.
Seumur hidup sih, gue kesannya kayak hidup sendiri ya jatohnya.
Mama nggak pernah secara harfiah present dalam hidup gue. Dia model dan aktris papan atas, kerjaannya banyak. Harus mobile ke sana ke mari selama dia masih sehat dan bugar.
Daddy wasn’t any good. Habis cerai, dia cuma empat tahun ngurusin gue. Setelahnya ya pergi gitu aja ke Canada sama Papa buat memulai hidup yang nggak pernah direstui sama Kakek. Cuma sesekali aja pulang untuk jenguk gue yang akhirnya dirawat sama salah satu asisten Mama.
Ketika gue lulus kuliah, I don’t know, mungkin Daddy akhirnya terbuka pintu hatinya. Hahaha
Dia mulai cari-cari cara buat deket sama gue, as well as ngajakin Papa pelan-pelan masuk ke hidup gue.
He’s a nice guy, I can tell, tapi nggak mengubah fakta bahwa tetep aja, gue merasa dibiarin hidup sendiri bertahun-tahun.
Well, anyway, sesuai perintah Renjun. Plis jangan anggep gue takut ya sama si mini itu, gue cuma nggak mau denger dia wasweswos nggak jelas di saat-saat gue nggak lagi dalam mood yang baik kayak gini.
Makanya gue akhirnya hubungin Papa, beruntung baru diangkat di dering ke delapan (atau sembilan?). Jadi gue ada waktu buat ngatur nafas dan nyusun alasan kalau dia nanya macem-macem.
“Hai. Gimana kabarnya?”
Suaranya cerah banget, kayak baru ketimpa lotere.
“Hai, Pa. Doing great, Papa sendiri?”
“Baik, kok. Masa nggak kedengeran nyampe situ bahagianya Papa pas kamu akhirnya telfon?”
Damn…gue cuma bisa bales pake kekehan.
“Kata Renjun HP kamu rusak ya abis jatoh pas banjir kemarin?”
Duh, jago banget itu manusia ngarang…
“I-iya, Pa. Baru selesai fixing semalem, baru aku nyalain siang ini.”
“I see, good for you akhirnya bisa dibenerin. Padahal kemaren Daddy kamu udah saranin mending beli baru aja, tapi Renjun bilang kamu nggak mau kehilangan data. Di-backup makanya, Chan, datanya ke cloud.”
Sedetail itu dia boongin bokap gue? Pengen nangis … kelakuan temen gue astaga…
“Iya Pa, will do.”
“Nice, nice.”
“So … kapan rencana kamu ke sini?”
Kan, tebakan gue selalu bener. Papa pasti nyuruh gue datengin dia sama Daddy.
“Ke Vancou?” sengaja gue ngeles biar ada waktu buat mikir alasan paling masuk akal.
“Mm-hm, kan Papa udah janji mau ngajakin kamu hiking.”
“Iya, udah nyicil cardio juga buat persiapan.”
“Naaahh bagus tuh. Yaudah cepetin aja ke sininya, mumpung masih summer jadi nggak akan terlalu dingin. Ya?”
“We’ll see first deh, Pa. Soalnya aku juga masih ada beberapa pentas yang belom selesai. Nanti aku kabarin.”
I can hear him giggling.
“Iya, iya, Papa udah liat semalem jadwalnya opera kamu. Papa tuh pengen nonton, tapi visa Amerikanya udah expired. Kapan-kapan deh ya?”
Sebenernya, ada satu poin positif dari Papa yang selama ini bisa gue rasain. Tingkat perhatiannya yang di luar perkiraan. Kayak gini nih…
“Iya, Pa…”
Selepas itu, ada jeda waktu yang cukup lama sebelum Papa angkat bicara lagi.
“Chan, it might be hard for you. Tapi, kalau ada apa-apa, boleh selalu minta pertimbangan Papa kok. Sekarang kalau belum biasa, nggak masalah. But as you grow older, kalau kamu udah ngerasa pengen ngeluh tapi nggak bisa ngeluh ke orang lain, atau merasa segan sama Daddy, ada Papa yang mau denger kamu.”
And with that, I cried the whole night sampe melupakan agenda ngambil iPad ke apartemen si Huang mini yang cuma satu blok jauhnya dari tempat gue.
Dan seperti yang sudah gue duga, paginya dia nyamperin gue, brutally bangunin gue dari tidur yang nyenyak.
Demi melontarkan satu gosip dari Mamanya yang akhirnya bikin gue nggak bisa fokus seharian di studio.
“Kata nyokap gue, lo mau dijodohin sama sekretaris di kantor kakek lo!”
——
Mark meneguk sedikit demi sedikit cognac Hennessy pemberian salah satu VP kolega kakek minggu lalu. Ya memang mau dikasih ke siapa lagi? Kakek sekarang cuma punya Mark, and vice versa.
Bising bunyi klakson di bawah sana belum berhenti juga. Mark melongok dari pembatas balkon apartemennya, same shit all over again, Jakarta … Jakarta …
Buku bacaannya sudah habis halamannya. Memang cuma sisa tujuh halaman sih, belum sempat dia selesaikan pagi ini sebelum bertandang ke kantor. Untungnya selepas makan malam dari tempat kakek, ada sedikit waktu untuk membaca sembari menunggu matanya memberat.
Tapi ya, alih-alih memberat, malah semakin lebar waktu ingat omongan kakek sore tadi saat makan malam berdua sama Mark.
Mungkin ada baiknya kita tarik ke belakang dulu. Ke pukul lima lebih dua puluh sore, waktu Mark tergesa-gesa membereskan barang-barangnya di meja karena supir pribadi kakek sudah datang menjemput.
Jaehyun tentu jadi yang pertama protes. Karena tumben-tumbenan, jadwal makan malam tidak disisipkan Mark di kalendernya. Padahal mereka ada janji untuk meeting sama Johnny selepas office hours.
Mark agak sedikit berantakan waktu sampai di restoran tempat ia dan kakek biasa makan. Telat sepuluh menit dari waktu yang disepakati Mark dengan kakek tadi siang. Seharusnya mereka bisa makan tepat lima belas menit sebelum jam 6.
“Kakek, maaf ya, tadi aku bener-bener masih lumayan banyak kerjaan. Jadi—“
“It’s okay, duduk.” Kakek selalu tenang, selalu teduh, selalu hangat.
Tangan-tangan keriputnya tidak pernah absen membelai rambut hitam berkilau punya Mark tiap kali mereka bertemu. Meski cuma waktu sedang di luar kantor.
Mark released his heavy sighs. Kemudian dia teguk setengah gelas rendah air putih yang selalu dipesankan kakek untuk Mark. Mark tidak terlalu suka minuman berperisa.
“Minggu ini belum apa-apa, Mark. Still a long way to go. Hahaha,” kekehan kakek disertai tepukan hangat di punggung Mark selalu berhasil buat Mark merasa tidak butuh yang lain. Mark punya kakek, semua masalah dan penat hidup dia selesai.
“Gimana kabarnya mantan pacar kamu?”
Mantan pacar itu … nggak sebenar-benarnya mantan pacar yang seperti ada di benak kalian. Itu cuma akal-akalan Mark biar nggak sering-sering dijodohin kakek sama anak atau cucu dari kolega bisnisnya. Jadinya terpaksa Mark ngaku-ngaku belum bisa move-on dari mantan pacarnya.
Di bayangan Mark sih, mantannya itu cowok keturunan Jepang, umurnya mungkin ya … sekitar 4-5 tahun di atas dia? Punya rambut agak panjang, tatoan nggak masalah, pekerja seni, dan pastinya punya soft spot buat dia.
Nggak nyata sih, tapi Mark selalu keinget sosok pemain film action Jepang tiap bayangin dia. Untungnya si kakek percaya kalau Mark emang pernah ngedate sama cowok ini meski ujungnya harus putus.
Well, anyway, kembali ke kenyataan.
Mark cuma terkekeh jawab pertanyaan kakek. Sudah buntu juga sebenarnya dia mau jawab apa. Jadi ya satu-satunya kalimat yang keluar ya, “same old, kek.”
Kakek ketawa lagi setelahnya, jujur bikin Mark happy karena di minggu lalu bahkan dia barely bisa bicara selancar sekarang. Minggu lalu bahkan kakek masih berbaring lemah di rumah sakit, tentu bikin Mark kelimpungan karena harus ngurus kakek sendirian—well, not really—dan ngurusin kantor yang task-nya udah mulai out of hands.
Jadi keadaan kakek yang sekarang cukup bikin Mark lega. Kakek udah bisa makan enak lagi dan udah bisa bercanda sebaik ini sama Mark.
Salmon rillette sudah dicolek, masuk ke mulut kakek. Sementara Mark menyuapkan salad buah bit. Ambiens menenangkan jadi teman Mark dan kakek memulai makan malam mereka berdua. Dengan obrolan-obrolan ringan seputar pekerjaan, anjing-anjing punya kakek yang kembali dibawa ke rumah setelah dua minggu dititipkan, sampai ke rencana kakek mengajak Mark mengunjungi sahabat lama di Vientiane akhir tahun nanti.
Hampir pukul tujuh, creme brulee sudah ditandaskan oleh Mark. Lambungnya sibuk mencerna semua makanan yang masuk selama sejam terakhir, sembari menunggu kakek selesai dengan souffle kelapa miliknya.
“Mark,” panggil kakek mengalihkan perhatian Mark dari upayanya memperhatikan kedip lampu jauh di luar gedung.
“Ya?”
“Mau lebih cepet move on nggak?”
Mark dibuat kaget bukan main. Sepintar apapun dia, jelas dia tidak bisa menebak ke mana arah pembicaraan kakek kali ini. Soalnya selama ini sikap dia udah jelas, dia malas kalau dijodoh-jodohkan sama anak atau cucu dari kolega kakek. Mereka itu akan balik kanan begitu tahu Mark ini cuma cucu angkat kakek yang diambil dari panti asuhan berpuluh tahun lalu.
Mark cuma terkekeh dan geleng-geleng kepala, kakek tentu bisa mengerti. Pasti Mark menganggap kakek cuma omong kosong.
“Lho, ini bener, Mark. Kakek bukannya mau jodohin kamu sama anak-anak atau cucu dari teman kakek.”
“Terus?” tanya Mark masih dengan senyum terkembang dan tawa yang ditahan.
“Kalo ini, Kakek yakin kamu pasti mau. Tapi sayang, dia jauh. Harus kamu samperin.”
Oh no, it’s getting serious…
Senyum dan tawa Mark pelan-pelan hilang waktu kakek merogoh saku kemeja lengan pendek miliknya. Pelan-pelan ia keluarkan sebuah kertas foto, yang secara visual belum terlalu usang, dan menyodorkannya tepat di meja kayu di hadapan Mark.
“Donghyuk Seo, cucuku.”
Mark dibuat tercekat.
Matanya makin lebar kala mendapati sosok laki-laki yang ia taksir sedikit lebih muda darinya di dalam foto itu. Figur tubuhnya begitu proposional. Warna kulitnya apalagi, lebih dari cantik buat disebut cantik. Ada sorot yang begitu sensual saat Mark menatap manik mata yang seharusnya tidak sedang berusaha berpose menggoda dalam foto itu. Bajunya juga sederhana, tapi jelas tidak menutup fakta bahwa dia ini jumlah uangnya di atas rata-rata orang kaya.
Intinya cuma satu: Mark sudah suka. Semudah itu.
Mulut Mark tidak bisa terkatup, memandang bergantian foto cucu kandung kakek dengan kakek yang sedang tersenyum bersahaja di depannya. Kakek selalu bisa memprediksi, kalau ini, Mark pasti suka. Pun tidak akan menolak.
“Tap-tapi, dia ini—“
“Anaknya Johnny. Tapi tinggal terpisah sama ayahnya, makanya kamu nggak pernah dengar kan soal dia?”
Ah, pantas aja…
“Dia itu anak Johnny dari pernikahan pertama. Cantik kayak ibunya, tapi jiwanya setegas daddy-nya. Sejak umur 17 udah tinggal di New York, nggak mau pulang sampai sekarang. Hampir 7 tahun, dia kira kakeknya nggak kangen?” kakek selipi tawa di akhirnya. Tawa miris sebenarnya, tapi terdengar sebagai tugas berat bagi Mark.
“Tugasmu sekarang tambah satu, bawa Donghyuk pulang. Bilang kakeknya kangen dan ingin lihat dia menikah cepat-cepat.”
Oh, menikah ya?
Sebentar tapi, Mark bingung, menikah … Donghyuk … Mark diminta buat jemput Donghyuk untuk menikah tapi kok …
“Satu lagi, kalau dia bingung soal jodoh, nggak perlu khawatir. Udah disiapkan sama kakeknya.”
Mata Mark menatap kakek penuh harap. Semua omongan kakek sebenarnya masih terlalu cryptic buat dipahami oleh Mark. Meskipun kata teman-temannya semasa SMA, Mark ini pintar, tapi jujur kadang omongan kakek masih terlalu berat untuk dicerna dalam satu kali duduk.
“Ya kamu Mark, masa udah di depan mata begini kamu belum sadar?”
Kelakar kakek jadi penutup acara makan malam hari itu.
Meninggalkan Mark bersama secarik foto Donghyuk Seo di tangannya dan beban berat menjemput Donghyuk di pundaknya.
‘606 Hudson Square, Manhattan’