for you i'd bleed myself dry
Deru mesin air conditioner sudah berhenti, digantikan sama suara berisik air purifier milik Jeno yang dihadiahkan oleh Mark waktu pertama dia pindah ke apartemen ini dua tahun lalu.
Renjun yang matiin AC, badan dia sih nggak masalah, tapi dia takut badan telanjang Jeno yang nggak selimutan di sampingnya yang kenapa-napa. Mereka masih harus jaga kondisi badan buat menyambut banyak aktvitas. Dia udah lebih dari hafal kalau Jeno nggak sekuat dia kalo soal suhu dingin.
Masih jam tiga pagi, seharusnya dia capek. Seharusnya dia tidur karena semalaman nggak tidur setelah sesi intim dia sama Jeno.
Otaknya yang nggak bisa diajak tidur. Otaknya yang nggak bisa diajak istirahat. Padahal kalau boleh jujur, latihan dari siang udah beneran bikin remuk badan dia. Belum lagi harus taking control di sesi seks dia sama Jeno, udah jelas capek berlipat-lipat.
Biasanya sih kalau udah capek dan dalam kondisi bahagia karena teori ahli soal suntikan serotonin pasca seks memang benar adanya, dia akan bisa langsung tidur nyenyak. Meskipun badan dia lengket kena sperma di sana-sini, bisa aja dia tidur nyenyak.
Tapi dinihari ini, susah banget buat tidur. Bahkan bikin pikiran dia rileks, lalu merem, dan jalan menjemput rasa ngantuk aja susah banget. Terlalu banyak yang jalan-jalan di kepala dia.
Renjun mengubah posisinya, dari yang awalnya tidur menyamping menghadap wajah Jeno yang tenang banget, jadi duduk bersandar.
Kalau diibaratkan sama visual top-tier film-film hollywood, siluet tulang selangka Renjun akan jadi highlight. Cahaya lampu kekuningan dari balkon kamar Jeno masuk lewat sela-sela kaca bening, tepat menyorot rambut lepek berantakan dan badan kurus Renjun yang mempertegas bentuk tulang selangkanya.
Kegelisahan di wajah tirusnya juga boleh jadi visual pendukung malam ini. Gerakan tangannya yang abstrak menyugar rambut lembut Jeno—yang sudah mulai berjalan jauh dalam mimpinya—juga silakan jadi pusat perhatian.
Gambaran ini mendukung suasana hati Renjun. Kekhawatirannya, prasangka-prasangkanya, semua nggak lain ya tentang laki-laki yang sedang tidur nyenyak di sebelahnya ini.
Sikap-sikap dinginnya, perubahan raut wajahnya yang seringkali membawa sekelebat memori buruk kemarahan Jeno di masa lalu, sampai gestur enggan yang dia lontarkan semalaman ini saat Renjun menyentuhnya—iya … semua kegelisahan Renjun ada dalam diri Jeno yang terlihat kacau berminggu-minggu terakhir.
Gerakan tangan Renjun padahal udah dia buat sepelan mungkin, dia nggak berniat bangunin Jeno, malahan berniat ngelus kepala pacar kesayangannya supaya tidurnya lebih nyenyak, lebih dalam. Berharap kalau dia bangun nanti, pikirannya udah lebih dari fresh untuk bicara dari hati ke hati sama Renjun—membahas kejadian berminggu terakhir. Eh, tapi ternyata Jeno kebangun juga setelah bermenit-menit Renjun diam sambil elus rambutnya.
Sifat mereka boleh dibilang lumayan bertentangan. Renjun itu selalu suka menyelesaikan masalah saat itu juga. Menurut dia, omongan pahit, bahkan teriakan nada tinggi pun rela dia denger dari lawan bicaranya asalkan masalah yang lagi mereka hadapi bisa settled down saat itu juga.
Di sisi lain, Jeno punya kebiasaan untuk diam dan pendam masalah dia sampai dia lupa apa duduk perkaranya. Dia nggak terlalu suka konflik, plus dia juga nggak terlalu suka marah berapi-api. Kalau dia diem dan mulai bergerak nggak peduli, artinya dia udah ada di titik tertinggi kemarahannya.
Terus sekarang, gimana?
Jeno udah keliatan kalau dia memang lagi marah. Tapi karena Renjun bukan dukun yang bisa membaca pikiran pacar gantengnya itu, dia nggak bisa menyelesaikan masalah pakai caranya sendiri.
Well, okelah, bertahun-tahun dia pacaran sama Jeno, dia sedikit banyak udah belajar gimana handle perubahan mood Jeno kalau dia lagi upset. Cuma selama ini, pertengkaran mereka nggak pernah sebesar itu. Salah paham, Renjun langsung ngerti karena hint yang dia dapet jelas, maksimal sih seminggu juga udah baikan.
Kalau ini … sumpah, Renjun suka dibikin bingung karena Jeno diem, tapi dia masih peduli, dan dia masih mau nerima sentuhan-sentuhan Renjun yang bikin pusing itu.
Renjun berhenti ngelus rambut Jeno ketika laki-laki itu duduk dengan posisi yang mirip sama Renjun, tangannya terjulur ke meja di sebelah kasur dan mengambil air minum dari sana. Sekitar tiga tegukan berlalu, dia taruh lagi gelasnya.
“Nggak tidur?” suaranya sedikit serak, mungkin akibat berhari-hari dia sering teriak-teriak ngikutin koreo dan proses recording juga ikutan berpengaruh.
Renjun cuma senyum, berusaha nyari ketulusan dari tanya hambar Jeno. Yang ironis nggak dia temukan di mata sayu Jeno malam ini.
“Nggak bisa tidur.” Tangan Renjun bergerak untuk ngelus punggung tangan Jeno yang ada di dekat pahanya. Untungnya, Jeno nggak menghindar, dan berusaha buat menikmati itu.
Kelopak mata Jeno pelan-pelan menutup, kepalanya dia sandarin di tembok keras kamarnya yang berbatasan langsung sama headboard. Mencari sunyi yang dihias sama suara mesin mobil di kejauhan dan hembusan penyaring udara.
“Kalau ngantuk tidur lagi aja, don’t mind me. Aku lagi … kangen aja sama kamu.”
Jeda ucapan Renjun jadi alert untuk Jeno. Renjun nggak biasa begini. Sentuhan dia bisa lebih intens dari ini, tapi dia memilih untuk jaga intensitas itu. Jeno nyakitin Renjun, lebih awal daripada yang dia kira.
Jeno tarik tangannya dari elusan jari jemari panjang milik Renjun. Dia berdiri, memunguti celana dan baju-bajunya di lantai, kemudian masuk ke kamar mandi.
Dingin air dia harapkan bisa bantu Jeno bangun, bisa bantu Jeno lebih rileks dan sekilas akan lupa banyak hal yang selama ini jadi puncak kekhawatirannya. Padahal sama sekali belum kejadian.
Sayangnya nihil. Sama sekali nggak ada efeknya. Kepalanya malah makin berdenyut karena ingat lamat-lamat wajah desperate Renjun mendapatkan pelepasannya malam tadi, yang harus ia paksakan demi buat Jeno bahagia—padahal Jeno paham banget kalau Renjun pasti kesakitan. Fisik juga hatinya.
Jeno kembali ke kamarnya waktu kepalanya sudah mendingin, untuk mendapati Renjun sudah memakai kimono miliknya yang sudah dua tahun tinggal di lemari Jeno. Wajahnya kelihatan penat, bukan cuma penat karena kelelahan kerja, tapi juga penat karena harus berkompromi sama perubahan dalam diri Jeno.
Jeno duduk di sebelah Renjun, di ujung ranjang, menghadap kaca tembus pandang terbuka yang membingkai kerlip lampu gedung tinggi di sisi lain Sungai Han.
“Kamu bisa cerita kapan aja kamu merasa siap.” Renjun nggak lagi initiate skinship sama Jeno, cuma bicara sambil ngasih tatapan teduhnya buat Jeno.
Tatapan teduh itu dibalas sama tatapan sedih Jeno yang lebih mirip tatapan polos Daegal—anjingnya Chenle—tiap kali keberadaannya diabaikan sama orang-orang di sekitar—minta diperhatikan. Jeno mengalihkan pandangan ke ujung kakinya waktu dia rasa dadanya sesak tiba-tiba.
“Kita udah jalan … lama. Jadi, kamu minta waktu sepanjang apapun untuk berpikir, asalkan kita bisa selesaiin masalahnya dengan cara yang lebih baik, aku akan kasih. Aku akan nunggu. Aku bakal sabar.”
Di saat-saat begini, Jeno baru sadar kalau Renjun mungkin seumuran sama dia. Tapi jiwanya seolah datang dari era orang-orang seusia mamanya lahir ke dunia. Dia punya tendensi untuk jadi lebih dewasa dibandingkan Jeno.
Jeno tarik nafasnya dalam, berusaha memastikan supaya suaranya nggak bergetar ketika bicara.
“Aku …”
Jeno diam lagi. Terlalu marah sampai rasanya dia nggak sanggup bicara lagi.
“Ak-aku, kita, kita … kayaknya.”
“Aku nggak bisa beri kamu kepastian apa aku akan selesaiin masalah ini sama kamu atau justru biarin masalah ini berlarut sampai kamu benci ke aku.” getar iris mata Jeno jadi hal pertama yang Renjun tangkap menyiratkan kebohongan.
Renjun cuma sanggup senyum getir. Ini … dia terlalu bodoh untuk ngerti ke mana arahnya semua ini. Terlalu abu-abu buat dia.
“Kenapa?”
Renjun tanya tapi nggak berniat untuk natap wajah Jeno sebagaimana biasanya dia ngobrol serius sama laki-laki pujaan hatinya. Dia terlalu sulit untuk bisa baca situasi. Semua ini di luar prediksi akal sehatnya.
“Kenapa kamu gini?”
Jeno diam nggak menjawab. Otaknya sendiri juga terlalu sulit buat diajak berpikir soal ‘dia kenapa?’.
“Bosen?”
“Capek?”
“Udah nggak cinta sama aku?”
Alasan berikutnya, jujur lebih menakutkan buat Renjun. Dia bener-bener nggak bisa membayangkan ada orang lain yang bisa semudah itu gantiin dia di hati Jeno.
“Ada orang lain yang kamu suka?”
Suaranya bergetar, dadanya juga bergemuruh ketika harus ngomong sesuatu yang paling dia benci. Nggak adil untuk Renjun nuduh Jeno begini. Tapi semua tandanya terlalu sulit dipecahkan sama otak Renjun.
“Serendah-rendahnya aku, aku nggak akan tega begini ke kamu. Perjalanan kita nggak sesepele itu buat aku tinggalin demi ngejar orang lain yang—yang mungkin bahkan nggak selayak kamu untuk dikejar.”
Harusnya Renjun pongah, harusnya dia seneng, harusnya dia bangga denger ini keluar dari mulut Jeno. Karena artinya dia nggak setara sama apapun di luar sana, apapun yang berpotensi bikin Jeno ninggalin dia. Tapi malam ini, sebaris kalimat itu seolah setara sama bualan kosong yang ironisnya keluar dari mulut laki-laki yang paling dia sayang sekarang.
“Terus kenapa?” Renjun kira suaranya masih bisa dia kontrol, tapi trait buruknya kali ini mengambil alih. Suaranya meninggi, seolah menghardik Jeno karena Renjun nggak bisa percaya penjelasan Jeno yang terlanjur terdengar bohong di telinganya.
“Nggak semua hal bisa kamu tau. Seenggaknya bukan sekarang.”
Kalimat itu jadi kalimat terakhir Jeno sebelum dia pergi ke kamar mandi dan ganti bajunya.
Renjun ditinggalkan lagi, ditolak lagi. Untuk ketiga kalinya malam ini.
***
Renjun pikir, untaian kalimat
‘Maaf tadi aku teriakin kamu, mungkin aku memang salah soalnya berasumsi terlalu jauh. Kalau udah baikan, aku tunggu buat ngomongin ini ya? Aku sayang kamu. Jangan lupa sarapan masakan aku.’
akan jadi titik balik di mana Jeno mengejarnya ke dorm saat dia pulang dari acara kaburnya beberapa hari lalu. Pasca Renjun mengkonfrontasi dia di ranjang kamarnya malam itu.
Ternyata dia salah, soalnya semakin hari tingkah Jeno makin kusut. Bahkan jauh lebih buruk ketimbang berhari-hari sebelum kejadian malam itu.
Kadang di hari-harinya yang rasanya makin sepi, Renjun mikir, “apa lebih baik mereka putus aja ya?” tapi waktu ingat sebegitunya mereka berjuang hampir lima tahun barengan, nggak adil rasanya.
Kusutnya hidup dia karena tingkah Jeno juga seolah didukung sama semesta buat jadiin Renjun makin jongkok moodnya. Tiap hari ada banyak tantangan baru yang harus dia lalui di kantor. Ada makin banyak acara yang harus dia isi, ada makin banyak pekerjaan menjelang comeback.
Sampai suatu malem dia janji sama Jisung—waktu abis minum—buat jalan berdua bareng adik kesayangannya itu ke pantai tropis setelah comeback selesai nanti. Ya kalo udah baikan sama Jeno sih mungkin bertiga ya.
Belum lagi panggilan dari Manager Yoo buat ngobrol empat mata di sela filming konten hari ini bikin Renjun nyaris gila. Sumpah, ini kalo dia minta ketemu, pasti nggak jauh-jauh dari pembahasan masalah ‘kode etik’ yang suka dia gembor-gemborin itu.
Sejak awal dia datang ke agensi ini, Renjun udah ngerasa kalo Manager Yoo nggak terlalu suka sama dia. Di beberapa kesempatan waktu dia sama beberapa foreign member di grup lain ketemu, mereka juga ngomongin satu topik yang sama—Manager Yoo yang selalu beda-bedain treatment ke orang lain.
Lalu semua makin panas waktu dia dan Jeno ketahuan pacaran. Dia selalu memanfaatkan keadaan jelek Renjun sebagai bahan bakar kemarahan dia atau directors lain, pokoknya seolah tujuan hidup dia adalah membenci Renjun.
Apalagi kemarin waktu kejadian Paris. Dia jadi sosok yang seakan-akan paling dirugikan atas kejadian ini. Padahal damage controlnya kalo dijalanin juga segampang itu, bahkan finance dan PR director mereka yang hari itu ada di meeting juga nggak banyak komentar. Soalnya emang masih mudah buat ditanganin.
Apapun itu, Renjun cuma berharap hari ini acara ceramah dia nggak terlalu lama. Udah muak. Pengen istirahat.
Ketukan stiletto bisa didenger Renjun menggema di sepanjang koridor waiting room, bersamaan dengan suara menggelegar Manager Yoo yang sedang ngobrol sama orang lain. Renjun udah siap-siapin mentalnya kalau-kalau dia dipermaluin hari ini. Dia nggak bakal ngelawan, percuma ngabisin energi.
“Tumben nggak harus dicari-cari dulu langsung ke sini sesuai jadwal?”
Sarkas. Biasa. Padahal emang dia yang suka nggak becus bikin jadwal, bisa-bisanya nyalahin Renjun yang udah usaha selalu tepat waktu.
“Kalian lagi syuting apa?” tanyanya sambil buka-buka dokumen yang Renjun nggak pengen tahu juga apa isinya.
“Syuting konten reaction video, Bu.”
“Terus? Udah selesai?”
“Baru setengah take, buat saya dan tim udah. Tapi tim satunya belum.”
Dia ngangguk-ngangguk sebelum bubuhin tanda tangan dan nutup map plastik di hadapannya.
“Kamu satu tim sama siapa?”
Ini kenapa jadi banyak basa-basinya sih, Renjun udah nggak tahan sejujurnya. Auranya jelek.
“S-satu tim sama Kak Mark dan Jisung.”
“Oh, tumben nggak sama Jeno? Kamu sadar diri ya akhirnya kalo kebersamaan kalian jadi bad publicity buat grup?”
Hah? Seriously? Dia mau ngomongin ini lagi?
“Uhm … sebenernya kami—“
“Ah, kita nggak seharusnya basa-basi sejauh ini, sih. Saya punya sesuatu yang lebih penting buat disampein ke kamu.”
Dia membenarkan posisi duduknya dan jepit rambut panjangya supaya lebih ringkas.
“So, kalian lagi banyak konten kan sekarang. Lagi promosi ke sana ke mari, banyak interaksi sama orang, banyak juga disaksikan sama orang.”
Renjun ngangguk-ngangguk menanggapi pembukaan cerita Manager Yoo. Belum bisa baca arahnya ke mana omongan ini.
“Terus posisinya, ada dua hubungan yang lagi jalan di grup kalian. Mark sama Donghyuk, dan kamu sama Jeno. Ah, saya sih aware, namanya orang pacaran pasti pengen deket-deket terus. Dulu saya juga gitu sama mantan suami pas masih pacaran. Tapi … ada tapinya nih,”
She clears her throat.
“… jangan suka berlebihan.”
Gimana gimana? Emang selam ini Renjun sama Jeno sering ngapain sih? Mereka kan nggak making out di depan kamera anyway.
“M-maksudnya, Bu?”
“Kamu jangan deket-deket sama Jeno. Dia lagi ada project gede yang bisa jadi bumerang kalo ada satu aja bad publicity soal dia. Lebih-lebih kalo bad publicity itu kaitannya sama kamu, emang kamu mau tanggung jawab? Denda kemaren aja belum lunas.”
Damn. Renjun seolah diguyur pake air es. Omongannya terlalu nyakitin.
Tapi dibandingkan mikir gimana Manager Yoo nginjak-nginjak harga diri dia soal utang ke agensi, dia jauh lebih penasaran sama project besar yang dimaksud buat Jeno? Apa ini ada hubungannya sama perubahan sikap Jeno akhir-akhir ini?
Emangnya Jeno mau ngapain? Jenis project macam apa sih yang sampe bikin sifat seseorang berubah sejauh itu?
Apa coba? Drama? Film? Solo album? Nggak masuk akal rasanya.
“Bu, tapi—kalo saya boleh tahu, projectnya itu—“
Renjun sekilas bisa lihat senyuman miring Manager Yoo terkembang di sudut bibirnya.
“Oh, jadi Jeno belom ngobrol sama kamu? Ckckck, katanya terbuka satu sama lain, masa yang krusial gini nggak dibicarain sih?”
Renjun sadar kok sebenernya, Manager Yoo lagi dalam mode nuangin bensin ke amarahnya, ke rasa terkhianatinya dari Jeno. Tapi dia nggak bisa memungkiri juga kalau omongan Manager Yoo ada benernya. Dia seharusnya paham kalo Jeno punya pilihan untuk jujur, punya pilihan untuk ngomong yang sebenarnya ke Renjun sebelum Renjun dengar dari orang lain. Tapi kalau ternyata Jeno memilih buat nutupin, berarti ini—
“Nih, kamu tau dia kan?” Manager Yoo nyodorin HP mahalnya ke hadapan Renjun. Nampilin wajah cantik seorang perempuan yang akrab banget sama pandangan mata Renjun tiap kali dia turun ke lantai 8 buat pakai ruang latihan di sana.
Wajah salah seorang rekan satu agensi mereka.
Oke, otak Renjun mulai bekerja buat nempelin kepingan puzzle yang sangat kecil—mikroskopis—itu.
Jeno, project besar, cewek ini, nation’s sweetheart, project, bareng, harus sempurna—what? Apa? Mereka jadi lawan main di drama? Terus apa masalahnya? Renjun nggak keberatan, Jeno udah bekali-kali punya lawan main cewek. Dia profesional kok. Semua orang tahu itu.
“Calon pacar Jeno.”
Kalian pernah nggak mengalami perasaan yang bener-bener bikin syok—in a way seluruh bulu kuduk kalian meremang, jantung kalian berpacu cepet banget, oksigen di sekitar kalian menipis, sampai paru-paru kalian panas, merembet ke mata yang ikutan panas dan mati rasa. Mungkin waktu kalian denger orang yang kalian sayangi pergi, nilai kalian yang udah diusahain sebegitunya ternyata turun jauh dari ekspektasi, atau waktu kalian harus nelen kekalahan pahit dari kompetisi yang paling kalian tunggu kemenangannya.
Renjun sekarang ada di kondisi itu.
Perlu sekian detik untuk Renjun kembali ke kondisi normalnya. Perlu sekian detik untuk Renjun kembali bisa ambil nafas sebanyak yang dia mau setelah oksigen di paru-parunya seolah disedot habis oleh satu kalimat serupa hunusan pisau dari mulut Manager Yoo.
“Media play doang, kok. Nggak lama, paling 6 bulan. Titipan dari orang yang lumayan influencing di pemerintahan. Maksimal awal tahun depan juga udah kelar, nggak bakal kerasa lah. Masa cuma nahan selama itu aja kamu nggak bisa?”
Renjun jujur nggak sanggup untuk bales apapun. Badan dia terlalu kaku dan malfunctioning selama sekian menit.
“Intinya, kamu tuh jangan terlalu lengket sama Jeno. Bersikap biasa aja lah, kayak dulu sebelum deket atau sebelum pacaran sama dia. Kayak kamu ke yang lain aja gitu. Soalnya Jeno masih punya embel-embel image gay gara-gara kamu ajakin keluar pas di Paris dulu. Di 2-3 bulan ke depan dia akan ngilangin image itu dulu. Baru nanti kalo udah, kita bakal build image dia yang sayang sama pacarnya ini.”
Renjun udah nggak berminat lagi buat denger ocehan Manager Yoo yang semakin bikin kepala dia berkabut pekat. Dia nggak peduli, hatinya udah terlanjur sakit.
“Apa untungnya buat saya?”
“Oh? Apa-apaan? Wow, tega juga ya kamu jual pacar kamu sendiri demi keuntungan? Seriously, Renjun?”
Renjun mengutuk mulutnya sendiri yang tiba-tiba ngeluarin pertanyaan itu tanpa mikir. Dia takut kalau ini akan jadi bumerang buat hubungan dia dan Jeno ke depan kalau Manager Yoo twist omongan dia untuk neken Jeno.
“Tapi saya paham sih, emang susah buat kamu hidup sok borju dengan background yang gini-gini aja. Well, keuntungannya buat grup, kok. Grup kalian kan lagi susah funding, jadi harapannya kalo ada suntikan dana hasil media play ini, kalian bisa lebih lancar lah ya promosinya. Semoga bisa boosting sales yang nggak bagus-bagus amat itu.”
Renjun cuma gigit bibir bawahnya dalem-dalem, berusaha nahan supaya nggak ngeluarin setetespun air mata di depan Manager Yoo. Dia nggak bisa kelihatan lemah di depan orang jahat ini.
“Udah ah, balik lagi aja sana. Ntar saya ngomong makin banyak, kalo ada apa-apa kamu bisa aja kan ngelaporin saya ke directors. Jangan kurang ajar loh ya. Ini saya udah baik mau ngabarin kamu duluan, daripada pas berita muncul kamu baru tahu. Hayo?”
Renjun masih syok. Masih nggak bisa mencerna semuanya meskipun sampai Manager Yoo mulai beres-beresin barangnya dan beranjak dari waiting room.
“Eh, iya, meskipun ini media play, ati-ati yah. Banyak kasus akhirnya jadi cinta beneran. Good luck ya sama Jeno.”
Senyum mengejek perempuan awal empat puluh pada bibir berpoles lipstik merah jadi figur yang mampir ke penglihatan Renjun sebelum dikaburkan air mata.