Heaven Struck #2
Sebenarnya Pak Jeno udah nggak gitu mabuk malem ini. Waktu gue dan Jaemin mapah dia ke mobilnya, dia udah setengah sadar, kok. Dia juga masih bisa bantuin gue masukin alamat rumahnya di maps. Cuma ya nggak mungkin aja biarin dia pergi sendiri untuk pulang ke rumah. Satu bahaya, dua nggak sopan aja kalau nggak ngikutin perintah Jaemin tadi sore.
Sepanjang perjalanan dari Grandé menuju ke kompleks apartemen punya Pak Jeno, nggak ada obrolan berarti di antara kami. Pak Jeno cuma senderan lemes di kursi penumpang, gue fokus jalanin mobil supaya selamat sampai tujuan despite mata gue udah ngantuk banget.
Selama ada di bar, kami nggak ikut-ikutan party seolah masih seumur anak baru gede yang lagi heboh di dance floor. Selayaknya manusia-manusia berumur mid 30s, kami duduk-duduk aja sambil ngobrol santai di VIP seats yang agak jauh dari keramaian. Mesen minum, mesen makan, nyalahin cigs beberapa kali kalo pengen, udah gitu doang. Ya meski sesekali harus nolak halus kalau ada yang nyamperin. Tau lah ya maksudnya...
Obrolannya juga ringan banget. Nggak jauh dari pekerjaan juga dinamika kantor yang masih baru banget untuk Pak Jeno. Dari obrolan malam tadi gue jadi tahu kalau Pak Jeno ini ternyata lebih hebat dari yang gue kira. Portfolionya udah kejauhan lah buat gue gapai kalau gue baru mau mulai merintis semuanya di usia sekarang. Apalagi didukung sama latar belakang keluarganya yang bukan keluarga sembarangan. Kakeknya aja mantan menteri, semua aspek hidup dia terlalu prime lah kalau dibandingin sama orang biasa kayak gue.
Duh ... makin insecure ;)
Rasa-rasanya, setelah berjam-jam nungguin dia dan Jaemin minum bergelas-gelas—which they usually avoid, gue baru sadar kalau mungkin alove language_nya Pak Jeno itu beneran acts of service mentok. Beneran mentok di ujung.
Even at his tipsy times, dia masih bisa beresin tas gue dan Jaemin waktu kami lagi ribet mau close bill dan nyari mobil dia. Sebelum itu, bahkan dia adalah orang yang paling aktif nuangin minum buat Jaemin dan bolak-balik manggil waiter untuk restock air mineral kita. Yang paling bikin gue blushing, dia selalu sisihin bawang putih goreng dan daun seledri di semua makanan yang datang ke meja kami. Dia tahu dan masih ingat kalau gue nggak suka bawang sama seledri. Padahal kita baru makan semeja satu kali waktu lunch hari itu.
I might just ... kms :)
“The second building on the right...” gumaman Pak Jeno di sebelah membuyarkan lamunan gue. Bisa-bisanya gue nyetir sambil ngelamun? Untung sepi dan selamat.
Gue baru sadar kalau apartment block yang dia tunjuk beneran keliatan mewah dari luar. Udah bisa dipastiin kalau harga sewanya nggak kurang dari sepuluh juta.
Ketika memasuki basement parking, gue makin deg-degan karena takut ketemu sama istrinya Pak Jeno secara face-to-face. Pasti akan banyak pertanyaan yang dilontarkan sama istrinya. Mungkin dia nggak akan langsung mengkonfrontasi aneh-aneh seperti yang gue bayangkan. Tapi tetep aja, gue akan semakin bersalah karena udah punya perasaan suka ke Pak Jeno, padahal tahu dia udah jadi ayah dan suami orang.
Sesaat setelah gue menarik tuas rem tangan—tanda bahwa parkir sudah pas—gue menghembuskan nafas kasar. Jantung gue beneran berdetak kenceng banget. Saking takutnya.
Dari sebelah, gue bisa denger suara dengusan tawa Pak Jeno. Mungkin dia lagi ngigau, entahlah.
Saat gue mau melepaskan seatbelt di badan gue sebelum membantu Pak Jeno, tiba-tiba dia sentuh pergelangan tangan gue.
“Kamu khawatir ya nganter saya pulang dalam keadaan kayak gini?”
Dia ini jago banget baca pikiran orang. Gue jujur nggak pengin keliatan konyol aja sih, makanya gue coba berdehem dan menjawab, “tapi lebih khawatir kalau Bapak pulang sendiri dan kenapa-napa di jalan.” Gue sunggingkan senyum tipis di akhir, meski dia nggak bisa lihat.
“No, no, bukan itu. Kamu takut kalau pacar saya ngira macem-macem, kan?”
Bentar ... ada dua hal yang ganjal di sini. Pertama, gimana bisa dia tahu kalau itu adalah kekhawatiran gue sejak tadi? Dan dua, what the fuck was that? Pacar?
“P-pardon...?”
“Hmm?” Dia mencondongkan badannya ke dekat badan gue. Di otak gue, udah nggak ada skenario lain selain mikir jorok jangan-jangan-dia-mau-cium-gue. Soalnya apa aja bisa keluar dari refleks seorang manusia yang abis mabuk berat kayak beliau ini. Gue udah mikir kalau setelah ini gue akan sujud di kaki istri-pacar-partner-whatever pokoknya ibu dari anak beliau ketika kami ketemu di atas nanti. Tapi ternyata perkiraan gue salah, dia cuma ketawa kecil sebelum bicara lagi, “don't tell anyone, not even Jaemin. Nggak perlu sungkan sama Sab, dia sering bawa orang lain pulang. Mungkin dia akan mengira saya balas dendam kalau pulang sama kamu. Tapi—”
Dia berhenti sejenak, mengusap wajahnya tiba-tiba, sebelum kembali bersandar di kursi penumpang sambil mijit pangkal hidungnya.
Jujur gue tahu kok maksud racauan dia. Meski berikutnya dia nggak melanjutkan omongannya.
Tapi yang lebih bikin gue terkejut adalah waktu kami udah sampai di unit apartemen dia dan perempuan yang dia panggil 'Sab' itu muncul di hadapan kami. Tentu Sab yang bukain pintu, dia pakai baju tidur yang dilapisi sama kardigan warna abu-abu. Ruang tamu kelihatan remang-remang dengan berbagai mainan bayi masih berserakan di salah satu sudutnya.
“Ini ... Pak Jeno ... kami baru minum bersama dengan beberapa teman kantor, lalu saya insist untuk antar Pak Jeno pulang. Khawatir ada apa-apa kalau pulang sendiri.” Gue menjelaskan dengan rasa deg-degan setengah mati, sambil berusaha menahan beban tubuh Pak Jeno di samping gue.
Sab mempersilakan gue membawa Pak Jeno masuk ke dalam rumah. Tepatnya ke dalam kamar yang nggak bisa gue identifikasi milik siapa karena kelihatan plain dan kosong banget. Mungkin memang kamar Pak Jeno, atau bisa jadi kamar tamu.
Ketika Pak Jeno sudah duduk di kasur, dia masih sempat bilang, “you can stay here if you want, Sab akan tetap mikir aneh-aneh soal kita, baik kalau kamu tinggal ataupun pulang.” sambil memejamkan matanya.
Gue memang terkejut, tapi memilih untuk nggak gitu menggubris apapun yang keluar dari mulut Pak Jeno. Nggak ingin lebih jauh terlibat apapun di dalam urusan rumah tangga dia sama Sab. Gue nggak punya waktu buat itu.
Setelah menutup pintu kamar tempat Pak Jeno tidur, gue mendapati Sab lagi memunguti boneka-boneka kecil yang tercecer di dekat ruang TV, bisa gue dengar ada bunyi kettle mendesis di atas kompor. Sepertinya Sab lagi mau siapin sesuatu untuk Pak Jeno. Gimana bisa mereka hidup seperti ini? Seolah jadi keluarga yang functioning, padahal kalau dengar cerita Pak Jeno sekilas, mereka jauh dari kata baik-baik saja.
“Er ... saya izin pamit. Kunci mobil Pak Jeno saya letakkan di dekat tempat tidur, begitu pula dengan tas dan jas beliau. Maaf mengganggu di pagi buta begini.”
Sab sempat menilik gue dari atas ke bawah. Melebarkan matanya sebentar, lalu berkata, “saya kira kamu akan tinggal. Enggak ya?”
Mungkin ini yang Pak Jeno maksud tadi.
Gue cuma berusaha tersenyum sopan, padahal menurut gue pertanyaan Sab ini udah cukup menghina.
“Iya. Saya cuma kolega kantor yang kebetulan pergi sama-sama.”
Dia kelihatan menimbang, menyunggingkan senyum sebelum bicara lagi, “glad to know that you won't be his another mistakes.”
Hah? Apa maksudnya?
“Nggak mudah memang buat menghindar dari Jeno. Dia memang punya charm yang luar biasa. Tapi kalau mungkin kamu udah tahu ceritanya, kamu harusnya sadar buat nggak jalan lebih dekat ke arah dia. Jangan buang waktu kamu buat dia, ya? Soalnya kamu nggak akan tahu sampai kapan dia akan ... you know, fight for you, sebelum akhirnya dia nyerah sendiri. I've been there ... and I can tell it was ... worst.”
Sab meletakkan boneka-boneka anaknya di keranjang mainan selepas menyudahi perkataannya.
“Saya mau lanjut bikin chicken soup untuk Jeno, lalu pumping. Make yourself at home kalau memang mau stay, jangan berisik ya kalau mau berdua sama Jeno di kamar. Anak kami light-sleeper. In case beneran mau pulang, buka saja kunci pintunya. Good night.”
Tanpa perlu pamitan sama Sab ataupun Jeno, gue keluar dari rumah itu dan telfon Kun-ge minta dijemput. Gue nggak pernah merasa se-miserable ini selama gue hidup dan punya perasaan ke orang.
Baru kali ini.