Heaven Struck #3
Setiap hari Sabtu pagi, gue bakalan jadi kukang pemalas yang kerjaannya cuma golar-goler di kasur sampai jam 12 siang, keluar cari makan bentar, lalu balik bergelung lagi di kasur sampai jam 4 sore, makan cemilan sambil nonton series, keluar cari makan jam 7 malam, lalu ditutup dengan mandi dan kembali tidur. Tapi, hari Sabtu ini sepertinya sungguh bakalan beda.
Waktu gue buka mata, ada seonggok manusia tidur di samping gue. Oh, jantung gue beneran dag-dig-dug-der kalau inget gimana bisa dia ada di sini dari semalem. Tapi gara-gara ada dia, pagi ini gue jadi semangat buat turun dari kasur lebih pagi dan jalan ke dapur buat bikin teh dan masak sarapan.
Pilihan teh pagi ini jatuh pada dua kantong teh yingde—favorit mendiang ah ma yang gue padukan sama sepiring toast plus tomat ceri serta daging sapi asap. Gila banget, nggak pernah gue se-totalitas ini masak sarapan.
Tepat jam delapan, gue bangunin Jeno dari tidurnya yang kayaknya nyenyak banget. Ternyata dia bukan light-sleeper kayak gue, jadi selama gue ribut di dapur, ya dia nggak sadar. Thankfully, dia mengapresiasi kerja keras gue pagi ini dengan tersenyum takjub waktu tahu meja udah penuh sama makanan. Ya meskipun belum tau sih rasanya akan sehancur apa.
“Kamu memang selalu serajin ini apa gimana?” Tanya Jeno selepas menyeka mulutnya dengan handuk—dia habis cuci muka dan sikat gigi.
Gue mengulum senyum, menyeka tangan pakai kain lap yang tergantung di dekat kulkas, lalu jalan mendekat ke meja makan.
“Enggak sih, gara-gara kamu ke sini aja jadi begini.”
“Oh ... kalau gitu aku ke sini terus aja tiap weekend, biar kamu masak terus.” Katanya sambil mendengus geli.
“Boleh aja, kalau nggak sungkan nitip Hannah ke mama kamu aja sih tapi.” Realistis dong, kan emang gue seneng dia di sini. Tapi risikonya ya Hannah harus dititip ke orang tuanya terus. Moreover, gue emang suka aja masak, tapi nggak suka lama-lama di dapur.
Dia ketawa renyah dan tidak menjawab. Terus lanjut ambil duduk berhadapan sama gue untuk memulai menyantap sarapan.
Kami sempat saling memandang wajah masing-masing sebentar. Nggak nyangka bisa ada di sini dan bisa begini. Terlalu unreal, sih. Kayak nggak mungkin terjadi, tapi nyatanya bisa terjadi.
Jeno maju mendekat ke wajah gue, kemudian mengecup singkat ujung hidung serta bibir gue.
“Thank you ... for the breakfast.” Gumamnya kemudian.
Hidup gue nggak pernah terasa sesempurna ini, sih.
Jujur waktu Jumat malam Jeno ngajakin gue ketemu dan mau ngomong serius, bayangan gue nggak begini sih. Gue kira bakalan ada opera sabun dadakan yang mampir ke hidup kami. Udah jelek lah isi kepala gue.
Soalnya Jeno impulsif banget, tiba-tiba jam setengah delapan udah nongol aja di taman apartemen. Terus ngajakin makan tapi jalan kaki. Praktis sebagai duta mager nasional, gue persuade dia abis-abisan buat naik mobil aja. Toh biaya charge mobilnya juga udah satu paket sama biaya rental apartemen gue. Untungnya sih dia mengiyakan, ya.
Kita makan enak di salah satu resto Perancis favorit gue. Pemiliknya lahir dan besar di Lyon, lalu merantau ke sini. Sehingga, rasa makanan di sini bisa dibilang cukup otentik sih. Meskipun harganya juga agak sedikit mahal kalau dibandingkan sama resto-resto lainnya yang selevel.
Selama makan, Jeno belum buka suara mengenai apapun. Dia cuma cerita-cerita tentang perjalanan hidupnya, pekerjaannya di Amerika dulu, sampai sesekali nyinggung soal anaknya si Hannah—kebiasaan dia, makanan favorit dia, dia yang akhir-akhir ini suka nagging kalau mau ditinggal papanya kerja, gitu-gitu lah.
Sampai di saat hidangan penutup dikeluarkan, gue memberanikan diri buat bertanya, “emang gimana ceritanya kamu bisa ketemu sama Sab?”
Yang membawa kami ke acara nongkrong fase kedua di bar kecil deket resto ini—yang sebenarnya nggak enak-enak banget minumannya.
Dari cerita Jeno malam itu, akhirnya gue tahu kalau mereka ini memang campus couple dari dulu banget. Sab itu blasteran, papanya keturunan Denmark yang udah lama merantau ke Newcastle, makanya dia sekarang pulang ke sana for good setelah berpisah sama Jeno. Selama kuliah, Jeno itu sebenarnya nggak pengin punya hubungan yang terlalu bebas untuk ukuran orang timur. Tapi di sisi lain, dia juga sadar kalau banyak orang pengin ada di posisi dia—macarin Sab. Makanya dia insist untuk ngajakin Sab tinggal bareng di apartemen yang diberi sama orang tua Jeno sebagai hadiah.
Ketika hidup bareng sama Sab selama 2 tahun terakhir kuliah, Jeno sadar kok kalau hubungan mereka semakin intim. Seks bagi mereka juga bukan sesuatu yang tabu. Toh mereka sudah sama-sama dewasa dan sadar sama konsekuensinya. Makanya karena merasa belum prepared, mereka selalu pakai alat kontrasepsi. Menurut gue itu bijak banget sih untuk ukuran anak baru gede kala itu.
Selama mereka tinggal bareng di sini, orang tua Jeno surprisingly sama sekali nggak tahu. Hebat kan??!! Iya, soalnya kata Jeno, mama-papanya jarang sekali nengokin dia di apartemen. Seringkali Jeno yang pulang ke rumah atau mereka ketemu di tengah. Toh orang tuanya lebih sering menghabiskan waktu ngurusin aset keluarga di Busan ketimbang di sini.
Ketika Jeno pindah ke Amerika buat kerja, Sab ngikut. Dia cukup capable sih untuk cari kerja di sana, dan ujungnya bisa tetep make money juga dengan baik, tanpa numpang hidup ke Jeno. Udah bisa dibilang mereka sama-sama functioning. Dan seperti sebelum-sebelumnya, mereka tinggal bareng. Dari Virginia, ke Seattle, jadi New Yorkers setahun doang, dan cukup lama tinggal di San Fransisco. Di mana Sab akhirnya hamil dan melahirkan Hannah.
Berita mereka tinggal bersama waktu di Amerika jadi hal yang bikin hubungan Jeno dan orang tuanya renggang. Selama sebelas tahun pindah ke states, orang tua Jeno cuma nemuin dia empat atau lima kali aja. Padahal dalam setahun, mereka bisa travel ke US sebanyak dua sampai tiga kali. Not even reaching 25%. Seburuk itu hubungannya.
Sampai ketika Sab melahirkan Hannah, orang tua Jeno juga masih enggan buat nengokin cucunya. Karena bagi mereka ya anak yang lahir tanpa restu orang tua otomatis bukan cucu mereka juga. Jujur di sini hati gue mencelos, nggak kebayang gimana sedihnya mereka berdua waktu anak mereka segitunya nggak diakuin sama kakek-neneknya.
Hubungan Jeno dan Sab mulai retak ketika mereka punya pandangan berbeda tentang masa depan. Sab nggak pernah memandang sebuah hubungan sebagai hitam dan putih. Menurut dia, pernikahan itu bukan sesuatu yang bakalan jamin kalau mereka bisa bahagia. Dan dia nggak suka sama ide itu. Lebih-lebih keluarga Jeno masih terhitung sangat konservatif. Sab khawatir kalau dia nggak bisa bahagia hidup di tengah keluarga seperti itu.
Sementara Jeno, on the other hand, ingin hubungan mereka jadi lebih baik. Pun dia juga mau banget memperbaiki hubungan sama orang tuanya, lewat pernikahan.
Sab awalnya setuju untuk ikut Jeno kembali ke Seoul dan menata hidup di sana. Tapi mereka terlanjur masuk ke fase di mana hubungan mereka sama sekali nggak menggairahkan. Nggak ada yang bisa dieksplorasi lagi karena keduanya sama-sama udah merasa cukup atas banyaknya perbedaan pandangan hidup. Apalagi hari-hari mereka udah disibukkan juga sama pekerjaan dan mengasuh Hannah. Akhirnya Jeno menuruti kemauan Sab buat punya open relationship—yang sebenarnya Jeno benci.
Selama dua-tiga tahun terakhir, Sab selalu pergi kencan sama orang lain. Tapi Jeno nggak bisa dan nggak berhak marah karena itu semua atas kesepakatan mereka berdua. Pun dia juga udah nggak punya rasa cemburu ke Sab, rasanya udah nggak di situ lagi dan fokus dia cuma besarin Hannah.
Kadang-kadang, Sab minta Jeno buat nyari pasangan lain. Entah itu untuk short-term ataupun untuk long-term. Mungkin karena dia nggak mau merasa berkhianat sendirian kali ya? Cuma Jeno being Jeno, akhirnya ya menguap gitu aja karena dia sama sekali nggak tertarik, not even kepikiran cari pasangan lain.
Ya meskipun orang tuanya kadang kirim-kirim portfolio orang buat dijodohin ke Jeno juga.
Nah, itulah gimana ceritanya dia ngelihat gue si Huang Renjun cungpret yang sekarang lagi dia suapin daging sapi asap ini.
Kata dia sih, waktu itu dia belum tertarik. Makanya dia simpen-simpen aja tuh portfolio kenalan orang tuanya buat dibuka lagi nanti kalau dia sudah membuka hati atau sudah butuh buat dikenalin. Meskipun risikonya mungkin si calon udah punya calon lain ya...
Ketika hubungan dia dan Sab memburuk, Jeno berusaha mencari-cari dan terus mencari. Secara harfiah dan figuratif.
Dia cari teman ngobrol yang berpotensi nyambung, menghiraukan gender dan preferensi seksual mereka. Dia juga kadang nyari hook-up lewat dating apps, tapi most likely nggak akan berlanjut ke mana-mana.
Usut punya usut, dalam dua tahun terakhir Jeno menemukan fakta kalau dia cuma tertarik ke orang lewat romansa. Bukan sesuatu yang mengarah pada seksualisme. Dia suka dan enjoy punya hubungan dekat dengan orang, terlepas dia laki-laki atau perempuan—it doesn't matter, tapi dia sama sekali nggak bisa enjoy jika itu sudah masuk dalam ranah intercourse—hubungan badan. Dia begitu gamblang bilang bahwa dia nggak bisa merasakan nikmatnya di mana. Bahkan sejak dulu masih sama Sab.
Dia cuma berusaha menuruti Sab, berusaha menyenangkan mantan pacarnya itu. Kala itu mungkin dia belum benar-benar kenal sama dirinya sendiri, dan menurut gue itu wajar. Sampai akhirnya ada jeda waktu dua tahun untuk dia berpikir dan refleksi diri, lebih-lebih dengan kejadian Sab memutuskan untuk cari orang lain, dia malah bisa merasakan kalau dia fine sama keadaan dan dinamika hubungan seperti itu.
Gue nggak banyak berkomentar saat Jeno cerita, lebih tertarik buat mendengarkan cerita dia dengan seksama. Sesekali merefleksi ke diri gue sendiri—barangkali gue juga sama seperti dia? Atau ada sesuatu yang perlu gue kenali lebih dalam supaya bisa match sama dia? Gue masih mencari.
Kami pulang waktu jam udah menunjukkan pukul satu malam, untungnya kami sama-sama nggak mabuk dan nggak konsumsi alkohol. Makanya bisa langsung pulang naik mobil dan saling menggenggam tangan selama perjalanan.
Entah kenapa semua mengalir begitu normal dan tenang. Jeno bilang dia bersyukur dapat teman cerita kayak gue, katanya dia lega karena udah membuka kisah hidupnya ke gue yang notabene akan jalani banyak fase hidup di masa depan sama dia. Kalau cocok, ya.
Gue pun juga seneng sih karena bisa menguliti satu per satu kisah hidup Jeno yang luar biasa. Gue menjanjikan akan buka cerita hidup gue ke dia setelah ini.
“Pelan-pelan, aku nggak ke mana-mana”, kata dia.
Dia bilang, dia mau tidur di rumah gue. Kami ketawa geli waktu sadar dia berusaha meyakinkan gue mati-matian kalau nggak akan ada seks malam ini. Padahal kalau ada pun, gue nggak akan keberatan.
Setelah mandi, dia pakai baju papa yang ditinggalin di lemari gue. Lucu banget dia jadi kayak bapak-bapak chinese tapi versi ganteng dan berotot. Malam itu penuh sama tawa sih sejujurnya.
Termasuk ketika gue harus lari ke supermarket yang jaraknya 6 menit jalan kaki—sendirian—karena pasta gigi di rumah habis dan supermarket bawah lagi tutup karena perbaikan instalasi listrik.
Kami gosok gigi sambil ketawa-ketawa atas perjuangan gue beli pasta gigi saat dini hari. Ditutup dengan ciuman gue di kedua pipi dan bibir Jeno malam itu. Sebelum kami tidur lelap sampai pagi.