Heaven Struck #4

Minggu ini jadi Minggu yang cukup melelahkan buat gue. Bukan cuma karena kerjaan di kantor yang ugal-ugalan, tapi juga karena hubungan gue sama Jeno yang lagi terombang-ambing. Gue merasa Jeno nggak bener-bener genuine untuk menjalani hubungan ini. Dia cuma peduli sama anaknya, bukan sama gue.

At some point, itu nyebelin. Tapi kerasa lebih menyedihkan buat gue karena lagi-lagi gue nggak merasa dicintai atas siapa gue. Lagi-lagi ini cuma soal apakah gue memberikan benefit untuk orang lain atau enggak. Mungkin emang takdirnya gue harus hidup sendirian terus kali ya?

Pagi ini gue sengaja bikin capek diri gue sendiri dengan bersih-bersih kamar mandi, nyuci baju, ngepel rumah, serta beresin dapur. Cuma kurang jalan keluar buat buang sampah dan ke supermarket aja sih. Tapi cuaca yang agak mendung bikin gue males jalan keluar. Pengen gelung di selimut aja.

Sekiranya jam 1 siang, gue udah tepar dan berniat tidur siang. Kalau kebablasan, mungkin bakal bangun nanti sore. Kalau enggak, mungkin jam 2 udah bangun dan gue udah membulatkan tekad untuk pergi ke supermarket setelahnya. Gue udah bikin list barang yang mau gue beli juga sih.

Belum sempat gue duduk di atas tempat tidur, tiba-tiba ada suara ketukan pintu. Gue udah mikir kayaknya itu Donghyeok atau Kun-ge yang mampir abis shift malam. Kalau Donghyeok, gue udah berniat nendang dia pergi karena males banget direcokin sama dia hari ini. Not today. Kalau Kun-ge, mungkin dia cuma mau mampir nganterin makanan yang dia beli atau minjem sesuatu. Dia pasti bakal mampir sebentar doang terus pulang, aman lah.

Gue buka pintu dalam keadaan pakai piyama belel yang dibeliin Mama sekitar enam atau tujuh tahun lalu. Bodo amat sih, toh tamunya palingan cuma mereka.

To my surprise, ternyata ada Jeno di depan pintu. Sendirian. No Hannah in sight. Dia ganteng banget pakai kemeja item yang dipadukan sama jeans biru muda—jarang dia pakai kayaknya, rambutnya ditata rapi kayak kalau dia lagi ngantor, parfum yang dia pakai hari ini agak beda, seger banget wanginya. Dia bawa tas jinjing di tangan kanan, dan sebuket bunga lily kuning di sisi kiri. Di bahunya tersampir tas kulit mahal yang katanya hadiah dari mantan rekan kerjanya di Bay Area dulu.

Dia senyum waktu gue natap dia horor. Dia rentangkan tangannya lebar-lebar tanpa melepaskan barang bawaannya—mengisyaratkan gue buat menghambur peluk dia.

Males banget.

Gue cuma berdecak malas, buka pintu lebih lebar dan menyuruh dia masuk.

Waktu dia masuk dan gue mulai nyalain lampu ruang tamu yang sebelumnya mati, dia agak kaget.

“Kamu kalo ngambek suka gelap-gelapan gini, sayang?”

Merinding badan gue. Belum biasa dipanggil sayang secara langsung sama dia. Mimpi apa coba semalem?

“Nggak. Hemat listrik.” Jawab gue asal-asalan.

Dia berjalan mengekori gue yang sebenernya kikuk mau ngapain ketika dia ada di sini sekarang. Rasa sebel gue ke dia belum kelar. Tapi dia udah ada di sini bawa makan dan hadiah. Bingung banget harus gimana.

“Ini makanannya ditaruh mana, yang? Tadi mama nitip masakan dari rumah kami, sama blueberry muffin bikinan dia.”

Kayaknya gue akan sangat bahagia kalau punya mama mertua kayak mamanya Jeno.

“Masukin lemari es dulu aja lah.” Kata gue sembari mengambil alih paper bag di tangan kanannya untuk dibongkar lalu dimasukin ke lemari es. Jujur gue belum ada niatan makan. Masih kenyang sama yogurt bowl tadi pagi.

“Bunganya?” Dia tanya lagi ketika gue baru aja nutup pintu lemari es.

“Sini.” Gue ogah-ogahan ngambil bunga dari dia, beranjak ngambil vas kaca kosong yang gue taruh di atas cabinet, lalu jalan ke wastafel untuk ngisi air dan motong tangkai bunganya.

Gue bisa menyadari Jeno mendekat ke arah gue, tapi perlakuan dia berikutnya sangat nggak terprediksi.

Dia tiba-tiba peluk badan gue dari belakang, cium pipi kiri gue lamaaaa banget. Sambil bergumam, “maaf ya udah bikin sebel dari kemaren.”

Kami masih bertahan di posisi itu sampai gue selesai arrange bunga yang dibawa Jeno ke dalam vas. Bedanya, Jeno udah mindahin kepalanya untuk bertumpu di bahu kiri gue. Sesekali ciumin pipi, pelipis, bahkan leher gue.

Kalau boleh jujur, hati gue udah nggak berbentuk. I do forgive him, my heart beats faster for him, tapi otak gue masih mengambil alih ego dengan bilang, “don't fall too easy, stupid.” gitu. Jadinya gue cuma bertingkah sok cool padahal pengen aja balik badan, cup his face, shower his puppy-like figure pakai ciuman-ciuman gemas.

“Geser, bentar.” Gue berusaha mati-matian menetralkan suara gue yang agak bergetar sebelum pindah buat menaruh vas bunga di ruang tamu.

Setelah bunganya rapi, gue balik badan dan cukup bingung mau apa lagi setelah ini? Mau dari mana gue settle down masalah gue sama Jeno? Sebagai manusia yang baru pertama kali punya hubungan serius, bagian paling susah dari semua ini adalah menyelesaikan masalah yang muncul di tengah-tengah kita.

Gue akhirnya ngide masuk ke kamar dan coba bersihin muka gue pakai gel cleanser. Gue berniat mandi, membiarkan Jeno sendirian dulu tidak berinteraksi sama gue. Sebuah langkah yang menurut gue tepat karena gue butuh waktu buat berpikir.

Tanpa gue prediksi ternyata si Jeno ngikut masuk ke kamar gue.

“Mau ngapain?”

“Mandi.” Gue menjawab tanpa mengalihkan fokus pada cleanser yang lagi gue ratain di muka gue.

“Hmm ... ngapain mandi?”

Tangan gue berhenti sejenak, “ya karena aku belum mandi seharian.”

“Beneran mau mandi? Nanti ujungnya mandi lagi.”

Kepala gue nengok ke Jeno lebih cepat dari prediksi gue sendiri.

“Hah?”

“Um ... are you ... probably in the mood?” Alisnya naik-turun sambil nanya gitu. Mengisyaratkan sesuatu—kayaknya.

“Hah?”

Well I thought I was being obvious, sayang.” Dia bergerak mendekat ke arah kursi di samping tempat tidur. Caging me there.

“Serius?” Dia memastikan lagi.

Ada jeda bermenit-menit di sana. Gue berusaha mencerna 'ini orang maunya apa sih?'

Jujur ... make up sex was never on my bingo list. Gue kira dia akan memilih melakukan hal yang lebih rasional dan masuk akal.

Tapi gue juga nggak bisa terlalu dini menganggap ini adalah bentuk dari dia caper ke gue untuk minta maaf. Karena bisa aja dia cuma mau cairin suasana dulu, lalu akan mulai bicara tentang masalah kita berdua setelahnya.

But what the fuck? Orang macam apa yang mau cairin suasana lewat seks? Nggak masuk akal!

Kalau ujung-ujungnya gue mengiyakan ajakan Jeno dengan mengerling ke arah tempat tidur sambil bergumam, “bed.”

Artinya mungkin otak gue udah terkontaminasi sama posisi spesial Jeno dalam hidup gue saat ini.

Let God do the rest. Semoga aja besok gue bisa datang ke kantor tepat waktu dan tidak mencurigakan. Poin terakhir yang terpenting.

Oh! Dan masalah gue sama Jeno bisa selesai malam ini. Hopefully...