Heaven Struck #5

Renjun turun dari mobilnya dengan keadaan bersungut-sungut, mendidih luar biasa. Jeno nggak tergerak sedikitpun buat balas perkataannya soal ajakan berpisah tadi.

Mungkin dari sini, semua orang bakal bilang kalo Renjun ini childish banget. Tapi apa yang dia lakukan sebenernya bisa dimengerti. Dia cuma sebel kalau Jeno nggak bisa tegas memisahkan mana hubungan dia dan Renjun dan mana hubungan dia beserta keluarganya dengan Renjun. Membingungkan, Renjun tahu itu.

Dia sampai di kubikel tempat duduknya ketika semua orang sudah sibuk bekerja. Dia nggak ragu buat membanting tumbler mahalnya di atas meja, begitu pula dengan barang bawaan lain yang memenuhi kedua tangannya. Beberapa mata terlihat melirik dia dengan tatapan penuh selidik. Tidak berbeda dengan Sungchan yang duduk di seberangnya dan menatap dia penuh rasa takut kala itu.

“Kenapa sih?” Gumam Sungchan saat mendekati Renjun.

Renjun menghembuskan nafas berat, membenarkan ujung blazer hitamnya, lalu menatap Sungchan.

Please, jangan ganggu gue hari ini. Gue lagi nggak mood.”

Sungchan memberi gestur menarik resleting menutup mulutnya. Kemudian pelan-pelan mundur teratur untuk duduk di kursinya. Dia ngerti, Renjun sedang dalam mode galak.

Renjun sudah hendak beranjak membuka lokernya dan mengambil laptop ketika si pujaan hati masuk melalui pintu yang tepat ada di samping lokernya. Tanpa ba-bi-bu, si CIO melemparkan pandangan pada Renjun dan menginstruksikannya supaya mengikuti Jeno ke ruangannya. Renjun mau tidak mau menurut, meski dadanya benar-benar bergemuruh karena kesal.

Saat pintu di belakangnya tertutup, Renjun memilih menatap tajam Jeno sembari bersedekap di tengah ruangan. Tatapannya sepertinya cukup untuk melubangi kaca pelindung yang memisahkan ruangan Jeno dengan udara panas di luar sana.

Setelah melepas jas abu-abu tuanya, Jeno menatap Renjun dari tempatnya berdiri. Tatapan memohon supaya Renjun melunakkan hatinya. Jeno masih ingin mencoba banyak hal dengan Renjun, bukan tiba-tiba berhenti di tengah jalan seperti ini.

“Aku nggak bisa kalau kamu minta aku ngerti ngerti terus.” Renjun buka suara untuk memecah keheningan.

Bunyi pendingin ruangan mengambil alih sekian menit kemudian, mereka berdua sama-sama terdiam.

“Terus maunya gimana? Kita pisah?” Jeno seolah memperjelas pesan terakhir dari Renjun.

Renjun tidak menjawab. Dia juga bimbang, dia mau terus ada di samping Jeno, tapi di saat yang sama juga tidak cukup sanggup untuk punya hubungan dengan banyak hal yang harus ditoleransi di depan seperti ini.

“Menurutku, kamu perlu banyak belajar dulu, Renjun. Dan aku bisa nunggu kok kalau kamu mau belajar. Aku bisa nunggu...”

Renjun tidak bergeming. Otaknya masih memutar berbagai kemungkinan acak yang bisa saja terjadi kalau dia menjawab dengan langkah yang salah.

“Kamu tuh egois tau nggak?”

Jeno menghela nafas dan menunduk setelahnya.

“Kamu minta aku buat belajar ini belajar itu, toleransi ini toleransi itu, memahami Hannah, memahami kamu dan masa lalu kamu yang aneh itu, sampe harus terima-terima aja kalau kamu mau tetep sama mantan kamu padahal ada aku di sini. Itu tuh gila tau nggak? Mana ada orang yang sabar kalau digituin? Nggak ada, Jen.”

Air muka Jeno berubah. Dia sepertinya juga udah muak kalau harus menoleransi tingkah dan pemikiran Renjun yang begitu.

“Nggak ada juga yang minta kamu ngertiin aku sejauh itu. Aku cuma pengin kamu paham kalau aku punya Hannah dan ada banyak hal yang harus aku dahulukan ketika itu soal Hannah.”

“Termasuk pakai nama dia buat alasan kamu pengin ngunjungin ibunya Hannah?”

Jeno menatap Renjun tidak percaya, “gimana bisa kamu mikir kayak gitu ketika kamu udah denger semua hal tentang Sab dari aku?”

Dia berjalan mendekat ke arah Renjun yang mukanya sudah mulai memerah.

“Tuduhan kamu tuh nggak masuk akal, Renjun. Aku sama Sab udah beneran nggak bisa diselamatkan, aku nggak serendah itu buat jadiin Hannah tameng, kok.”

“Tapi kamu nggak tahu kan gimana pemikiran dia kalau kamu masih bela-belain ketemu dia?! Sekalipun karena Hannah? Kalau dia mau ambil kamu lagi buat hidup bareng sama dia, terus kamu mau?”

“Ya lebih baik aku balik sama dia daripada aku hidup sama kamu yang nggak pernah bisa menghargai anak aku.”

Semua terjadi begitu cepat. Tidak ada yang tahu bagaimana Renjun bisa dengan cepat melempar gelas kaca ke arah Jeno. Gelasnya pecah mengenai dinding, sekian sentimeter pecahannya menggores pelipis Jeno hingga berdarah-darah.

Air mata sudah hendak jatuh dari pelupuk mata Jeno. Perih dan sakit di pelipisnya adalah salah satu penyebabnya, tapi keterkejutannya akan emosi tidak terkontrol Renjun jadi salah satu penyumbang terbesar mengapa air mata itu berkumpul di sana.

Mungkin suara pecahannya terlalu besar hingga terdengar ke luar, sampai akhirnya Jaemin masuk, menyuarakan keterjekutannya dengan nada marah—pada Renjun sepertinya, lalu pandangan Jeno mengabur seiring dengan makin derasnya darah kental turun dari pelipisnya.

Haruskah Jeno berpikir ulang jika ingin melanjutkan semuanya?