hunusan anak panah itu namanya cinta

Kilas balik malam dengan hujan deras.

Air laut meninggi, tangannya sudah mendingin di ujung-ujung jari. Buku-buku jarinya memutih, logam tajam terasa ada di genggaman tangan kanannya.

'Tolong,'

'... tolong,'

Dingin.

'... tenggelam,'

Semua mengabur.

'Kita coba selamatkan dia'

'Terlalu malam,'

Dingin. Sepi.

'Darahnya tidak berhenti'

'Dingin...'

Bangun!

'Mati! Sudah habis.'

Mungkin benar, malam terakhir selalu terasa sepi.

***

Senyumnya sumringah, setara matahari New York di siang hari dua puluh tiga Juli yang selalu sakral. Kata sahabatnya, dia terlalu bersemangat. Terlalu naif untuk sebegitu bangganya merayakan tanggal dua puluh tiga kelima dalam hidup yang sebenarnya tidak selalu layak dirayakan dengan sebegini bahagianya. Mengingat, situasi sulit sekarang sudah cukup jadi alasan konkret kenapa ribuan kilo avtur harus dia korbankan demi menjemput sang tercinta lima belas jam jauhnya akan benar jadi sia-sia.

Hatinya selalu berbisik—dalam bayang prasangka—kalau semua ini tidak akan sia-sia. Bersama si kekasih hati, hidupnya pasti terasa lengkap. Seburuk apapun itu.

Lagian, ini New York!

Hal terburuk yang mungkin terjadi mungkin cuma menginjak ekor tikus di subway atau kecopetan saat keluar dari stasiun.

Bayangannya sudah terlalu kuning, cerah, merekah dengan rentetan gedung tinggi mahsyur sebagai backdrop jembatan Brooklyn. Tangan pun sudah ia pegang berkali-kali, tidak sabar merasakan indahnya bergandengan tangan lagi dengan si pujaan hati sambil bercerita banyak soal angan masa depan.

Kuning ... kuning .... kuning ... cerah ... mendung ... menghitam.

Denting dua belas kali memekakkan telinga. Bersamaan dengan itu, air mata jatuh seperti tentara diteriaki pemimpin komandonya, diberi aba-aba.

Breaking: Ditulis langsung dari New York, konfirmasi dating terpanas tahun ini! Nation's princess, Jo Marh dan pendamping sempurnanya, Jeno Lee.

Lima tahun bersama, tanpa sorotan kamera, tanpa ekspos media. Begitu kuatnya tali cinta Jo dan Jeno, yang digadang-gadang menjadi pasangan paling sempurna di industri musik pada tahun ini.

Mengawali pandang cinta di ruang latihan, kini dengan bangga memeluk-cium mesra di depan awak media. Oh, New York jadikan mimpi mereka nyata!

Simak editorial lengkap berikut!

***

Terpaan angin dingin di tengah musim panas yang menyengat jadi teman Renjun melangkahkan kakinya yang begitu berat untuk pergi. Tapi apa boleh buat? Rencananya rusak total. Tidak bisa ditolong lagi.

Dia sudah nggak menangis. Sudah terlalu lelah buat beradu argumen sama isi kepalanya yang bahkan sama sekali nggak memperbaiki keadaan.

Handphone miliknya mati, mati total. Dibanting ke meja 8 kali dan ke lantai—ah cuma Tuhan yang tahu berapa kali.

Koper besarnya diseret dengan langkah gontai masuk ke gerbang keberangkatan domestik. Kaca mata hitam selalu ia pakai tuk menutup mata bengkak dan luka di bawah matanya pasca dengan sengaja ia benturkan wajah tampannya ke ujung meja.

Seperti psikopat.

Kalau bisa, dia bahkan ingin menguliti hidup-hidup dirinya sendiri. Mengiris lembar demi lembar kulit tubuhnya saat ia masih sadar betul presensinya di dunia. Untuk membandingkan, apakah sakit hatinya setara dengan menguliti dirinya hidup-hidup?

Sayangnya, pisau buah di kamar hotel tidak cukup tajam sih untuk bantu dia melakukan itu. The least he can do, merusak meja hotel dengan pisau itu.

Bangsat!

Perjalanan ke Honolulu sangat buruk. Nggak semua orang Amerika ternyata punya pikiran maju. Banyak yang masih kolot dan bodoh.

Selama sebelas jam perjalanan, Renjun harus rela menahan amarah akibat desakan badan om-om bau tanah di sebelah kanan dan kirinya. Terbang pakai ekonomi di saat mendesak memang tidak seharusnya jadi pilihan Renjun.

Ingatkan Renjun buat melampiaskan amarah ini pada orang yang benar. Nanti, kalau sudah ditakdirkan membalas rasa sakitnya.

Honolulu pada musim panas—dalam imajinasi Renjun—terdiri dari birunya laut seperti apa yang selalu dia lihat di film Moana, kombinasi cocktail memabukkan dan menyegarkan yang disajikan oleh bartender berkulit seksi yang mungkin bisa ia mintai tolong menciumnya di satu malam jika beruntung, juga potongan buah-buahan segar yang ia harap dapat mengembalikan rasa nafsu makannya setelah seharian penuh muntah tiap kali memasukkan makanan ke mulutnya selama di New York.

Tapi apa yang Renjun dapat?

Masih gumpalan awan hitam yang seolah menggantung tepat di atas kepalanya. Siap untuk jatuhkan ribuan titik air hujan padanya.

Kamar hotel yang dia pesan bukan kamar hotel biasa-biasa saja. Keberadaan jacuzzi jadi indikator seberapa mahalnya kamar hotel itu.

Mata Renjun tidak bisa terpukau pada apa yang terhampar di depan balkon kamarnya. Baik itu birunya air laut seperti di film Moana, klub pantai besar yang mungkin bisa ia kunjungi malam ini, maupun bayangan menenggak sebotol rum bersama anggur-anggur segar petang ini di tepi pantai, menanti sunset.

Justru, sebilah logam tajam yang disimpan di dekat replika apel merah merekah yang jadi landasan arah pandangnya.

Nafasnya tenang, tenang banget. Kalau boleh dibilang, setara air biru turkis tenang yang sedikit lebih jauh dari bibir pantai di depan kamarnya.

Renjun duduk di perbatasan serambi kamarnya dengan pasir pantai putih bersih. Panas. Renjun malas jika harus jauh-jauh duduk di tepi pantai untuk mengambil tenangnya.

Dia langkahkan kembali kakinya ke sisian kamar besar ini. Jacuzzi duduk teronggok di tengah replika bebatuan, Renjun masuk dan mengistirahatkan kepalanya di ujung jacuzzi yang keras.

Iseng dia coba ketuk-ketukkan belakang kepalanya di sana.

Sakit.

Lebih keras.

Ah iya, sakit.

Sedikit lebih keras.

Oh, sakit...

Senyumnya terkembang. Iya, sakit, ya. Tapi levelnya belum sama seperti sakitnya dia di New York kemarin.

Rasa sakit mungkin butuh dihilangkan, pikir pendek Renjun begitu. Makanya dia segera meraih gagang telepon di sisi kasur kamarnya.

Menelepon resepsionis dengan nada kelewat cerah, kelewat bersemangat. Bagaimana enggak? Setelah ini, rasa sakitnya hilang!

Benar dugaannya, berbotol-botol minuman keras disajikan dengan sumringah oleh seorang pelayan perempuan berkulit hitam. Tidak ada interaksi lebih, Renjun cuma mencium pipinya, mengucap terima kasih karena sudah datang membawa kebahagiaan padanya sore ini.

Sayang, si pelayan malah memberi tatapan iba dan khawatir. Padahal, Renjun cuma ingin berbagi kesenangan kok!

Kembali ke jacuzzi, Renjun sebenernya tertarik untuk menuang semua minuman yang dipesen sama dia ke dalam jacuzzi. Lalu berendam, mungkin minum juga campurannya? Tapi ... kelihatan agak sia-sia nanti uangnya. Lebih baik dia minum sampai kembung, sampai kenyang!

Momen ini nggak ingin dia sia-siakan. Kapan lagi bisa bebas?

'Cowok kok lemah banget?'

Dia jadi ingat, harusnya dia ke gym. Perlu latihan otot ya sepertinya?

'Kasian banget keluarganya, harus minjem uang demi anak manjanya bisa debut jadi artis.'

Oh iya, utang dia ke agensi udah lunas. Habis ini dia bisa beliin mamanya satu set tas terbaru punya Celine. Ah ... mamanya akan bangga deh. Nggak sabar.

'Udah debut tapi kok dandanannya selalu gitu-gitu aja ya? Masih kayak anak ingusan. Padahal bayarannya milyaran.'

Harusnya dia beli sepatu sama tas baru ya kemarin di New York? Terus ... tweed blazer juga boleh! Chanel baru rilis koleksi baru! Pasti dia cakep pakai itu.

'Kasian banget, padahal neneknya selalu ke kuil, loh. Tapi kok dia berani sih pacaran sama cowok? Salah pergaulan sih...'

'Aduh Jeno, Jeno, udah ada pilihan sama cewek-cewek cantik, eh milih dia yang nyanyi aja remed. Jualan apa sih dia? Suara nggak bagus, badan kurus, wajah so-so. Jauh-jauh deh dari Jeno.'

'Jeno memang nggak seharusnya pacaran sama kamu sih dari awal. Karir dia masih bagus, beda sama kamu...'

'Jeno sama Jo memang serasi!'

'Jeno lucu banget meluk Jo kayak gitu! Udah bisa pelukan di tempat umum sekarang. Selamat!'

'Jo duduk di pangkuan Jeno sambil suapin cookies tuh manis banget! Pasti kalau off-cam lebih seru lagi hahaha!!'

'Akhirnya Jeno punya masa depan. Bisa menikah, punya anak, dan pensiun dengan tenang sama istri secantik Jo.'

Harusnya dia perempuan. Harusnya dia cantik. Harusnya dia punya rambut panjang. Harusnya dia tidak di sini. Harusnya dia bukan Huang Renjun.

Horizon sebentar lagi akan menyimpan panasnya matahari yang sudah bertugas seharian. Sudah waktunya istirahat.

Panasnya sudah berganti jadi sejuk, tapi Renjun masih ingin merasakan panas itu.

Panas sampai sakit, sampai sanggup menguliti tubuhnya, sampai membuat dia menangis-merintih kesakitan mohon ampun.

Kepalanya sudah berkunang-kunang, berbotol brandy-rum-gin-vodka-dan tequila pelaku utamanya.

Air menyentuh kakinya. Angin sore membelai rambut pirangnya. Tangannya menggenggam logam dingin di tangan kanan dan sisa pecahan botol brandy di tangan kiri.

Pedih, sakit, Jeno hilang. Nggak masalah, dia nggak menyesal. Cuma sementara, nanti ketemu lagi.

***

Renjun tidak ingat betul apa yang terjadi seminggu terakhir.

Buram banget.

Dia ada di New York di sebuah siang yang cerah.

Pergi ke Honolulu sendirian, memesan banyak alkohol, terus tiba-tiba dia di rumah sakit. Orang asing di sekitarnya.

Dua hari kemudian, kembali ke Korea didampingi seseorang yang sama sekali tidak ia ajak bicara sepanjang perjalanan ke Incheon.

Sampai di Korea, kembali masuk rumah sakit. Tidak ingat apa yang terjadi sama dia, dokter keluar lagi ninggalin ruang rawat dia.

Hari ini, cuma makan, nonton Moana, tidur. Nggak ada satu orangpun yang jenguk. Sepi.

Manager Park datang di hari kedua, membawa bunga dan makanan rumahan yang katanya bikinan mamanya—Bibi Park yang kerja jadi guru TK. Senyum Renjun jelas langsung terkembang lega. Seenggaknya ada satu orang yang ingat sama dia. Pun Manager Park langsung memberikan HP baru buat dia, katanya HP Renjun yang lama udah hancur. Ah pasti jatuh, deh.

Sorenya, teman-teman dan seniornya datang.

Kak Taeyong datang bersama Kak Doyoung, juga Kak Mark yang seperti terluka di ujung bibirnya. Ada Donghyuk yang sama sekali nggak ngajakin ngobrol pacarnya, malah langsung meluk Renjun dan ngajakin Renjun berantem sengit kayak biasa.

Anehnya, waktu Renjun tanya dia kenapa sampai masuk rumah sakit? Semua orang masang wajah bingung. Tapi Haechan langsung jawab dengan ngeselin, “lo abis disengat ubur-ubur. Tuh! Liat tangan lo kena sengat tentakel. Makanya jangan keseringan nonton Spongebob.”

Hmm, kayaknya semua orang kasihan deh sama Renjun, disengat ubur-ubur doang aja sampe masuk rumah sakit.

Malemnya, Chenle yang masih bau lapangan basket datang. Dia cuma sebentar, nggak berani meluk Renjun karena badannya kena keringat. Cuma nitipin pesan dari Mamanya, terus pulang setelah ngasih harapan supaya Renjun cepet sembuh.

Setelah lihat teman-temannya, Renjun senang. Tidurnya lebih nyenyak daripada berhari-hari tidur di Honolulu yang berasa dikejar hantu.

Besok pagi, siapa lagi ya yang datang?