I Had the Time of My Life With You

Pair: Renjun/Jeno Tags: Hurt-comfort, strangers-to-lovers, 1st person POV, slice of life

Ayo coba, sebutin mimpi buruk versi kalian. Nanti kita mulai adu nasib.

'Suka dibeda-bedain sama saudara kandung?'

Ya ... hampir tiap hari, lah.

'Nggak betah di rumah karena nggak kondusif?'

Dari kecil udah begitu.

'Ditinggalin orang yang kita sayang?'

Gue sih ditinggal Mami pas masih SMA dulu.

'Dapet ranking paling belakang?'

Sekolah, kuliah, bahkan kerjaan pun gue selalu di belakang kok.

'Diputusin sama cinta pertama?'

Oh ... kalo ini ... jangan sampe.

Cerita bermula ketika seorang perempuan umur tiga puluh mendekati empat puluh melahirkan anak ketiga dari tiga bersaudara yang sebenernya nggak sebegitunya diharapkan. Apalagi dua anak yang sebelumnya udah cowok, ketambahan satu cowok lagi (meskipun later on gue bersyukur udah ada di titik ini).

Di usia TK, gue udah biasa mendengar pertengkaran Mami dan suaminya (which is Papa tiri gue) karena mereka dengan sangat sengaja marah-marah di depan ketiga anaknya berharap bahwa anak-anak ini suatu saat akan cukup mindful buat nyari duit sendiri dan nggak nyusahin keluarga seperti yang selalu mereka omongin dan permasalahin.

Selepas dua tahun di TK dan selalu nangis tiap sore karena diejekin anak haram dan bencong, gue pindah rumah ke kota yang jauh dari kota kelahiran yang ngasih Jenita kecil memori jelek dan paling menyakitkan.

Tapi ternyata, harapan Jenita kecil seolah menguap gitu aja. Her primary days weren't any better. Dia masih terus dipanggil 'bencong' dan 'ngondek'. Juga masih harus menghadapi temperamentalnya Mami yang seringkali ngelampiasin marahnya ke Jenita. Karena dua abangya masing-masing udah ada di jenjang yang lebih tinggi makanya jarang ada di rumah.

Kalaupun mereka pulang, justru itu jadi mimpi buruk buat gue di masa itu. Mereka mana pernah bantuin Mami ngerjain pekerjaan rumah. Bisanya cuma makan, tidur, sama berak.

Eh, ada satu lagi deh, ngabisin duit.

Mami kerja serabutan waktu itu. Bikin gue sekarang ngerasa sedih dan miris padahal kalau gue denger cerita dari tante atau temen-temen Mami yang masih cukup care untuk stay in touch sama gue sampai sekarang, Mami itu di masa mudanya luar biasa loh. Sayang aja kawin sama orang yang salah.

Oke jadi, Mami kerja serabutan. Sangat nggak mudah, sangat menyedihkan, dan sangat susah buat ngasilin cukup uang untuk ketiga anaknya yang semuanya masih sekolah.

Untungnya, masih bisa sekolah karena dapet duit beasiswa. Untungnya...

Meskipun sepulang sekolah, kadang gue harus nahan laper sampe malem karena kalau Mami nggak balik, gue pun juga nggak bisa makan. Apalagi kami tinggal di ruko pinggir jalan yang terkenal banyak premannya, kalo gue keluar, emang gue berani nanggung risiko kalo diapa-apain?

Umur lima belas, gue nggak hanya berjibaku sama urusan menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah yang makin tinggi makin berantakan. Tapi juga kenyataan bahwa gue nggak nyaman sama semua orang yang manggil gue 'banci', 'cowok jadi-jadian', 'si ngondek' atau insults lain yang nggak pantas didengar. Telinga gue udah kebal sih sebenernya dari dulu, cuma ada satu titik di mana gue udah muak dan rasanya pengen aja cepet-cepet pergi dari keadaan ini dan dapetin identitas baru gue sebagai individu yang gue suka dan gue terima sepenuh hati.

Individu baru yang gue panggil Jenita. Jenita yang dalam bayangan gue punya kebebasan buat makan apapun, buat beli apapun, buat menikmati hidup selayaknya anak usia 15 yang nggak seharusnya punya hidup seberat itu. Jenita yang suka warna baby blue, Jenita yang punya rambut panjang, dan Jenita yang suka dandan juga dipanggil cantik.

Jenita ... Jenita ... A life that I never really lived...

Kesialan hidup di umur 15 nggak berhenti di situ. Mami meninggal dengan diagnosis kelelahan setelah lima belas jam non-stop kerja di salah satu hotel ternama di kota tempat tinggal kami. Beliau meninggal tepat dua hari sebelum hari ulang tahunnya.

Gimana rasanya jadi gue? Berantakan. Nggak punya harapan hidup juga. Pengen ikutan Mami mati aja.

Nggak mudah. Nggak pernah mudah.

Kedua kakak kandung gue berusaha untuk bangkit cepet-cepet dari keterpurukan. Mungkin mereka bisa dan berusaha untuk bisa karena usia mereka udah cukup matang kala itu. Jadi, seolah nggak ada hal yang mereka khawatirkan lagi karena mereka udah bisa cari uang sendiri dan udah punya prinsip serta pengalaman hidup.

Sementara gue? Rasanya kayak jatuh ke lubang yang nggak ada ujungya. Gelap. Dalam. Dingin.

Ironisnya, gue sendirian selama menghadapi setahun paling berat di hidup gue itu.

Gue seolah nggak kenal sama yang namanya matahari. Gue cuma kenal hujan-hujan-hujan, petir, awan hitam. Nggak karuan.

Kehilangan Mami, dibully semua orang, dikatain banci, nggak merasa punya ownership atas tubuh gue sendiri, falling behind ... semuanya nyiksa gue.

Jangan tanya udah berapa kali gue coba buat mati. Gue bahkan nggak inget, karena setelah capek nangis selama berpuluh-puluh bulan, merasa nggak sanggup jalanin hidup yang semakin berat.

Hidup gue berjalan, berjalan setidaknya sesuai sama standar hidup 'normal' yang ditentukan sama orang-orang di lingkungan sosial gue.

Lulus SMA (walaupun terseok-seok).

Dapet kampus yang lumayan buat tempat belajar (seenggaknya gue nggak harus di-bully selama kuliah, meskipun harus DO di tahun kedua).

Dan dapat pekerjaan yang masuk kategori 'pantas' meski cuma berbekal ijazah SMA.

Dan akhirnya, di titik ketika gue bisa membelanjakan uang hasil jerih payah gue untuk menghidupkan fantasi keberadaan seorang 'Jenita', gue beneran sadar bahwa ... mungkin uang nggak bisa membeli kebahagiaan, tapi dengan uang gue bisa punya akses ke kebebasan.

Mungkin itu yang dulu dirasain sama abang-abang gue sepeninggal Mami. Suatu hal yang paling gue benci di masa itu karena anggapan gue, mereka bisa semudah itu lupain perjuangan Mami. Padahal, mereka cuma pengen hidup dengan lebih baik dan kenang Mami jauh di dalam lubuk hati mereka.

Saat akhirnya gue berhasil berdamai dengan diri sendiri dan menemukan sosok Jenita dalam perayaan kecil-kecilan yang tiap hari selalu gue adakan dengan mandiri, gue ... akhirnya menemukan definisi cinta.

Cinta yang satu ini ibarat matahari yang udah lama nggak bersinar di hari-hari gelap gue. Juga ibarat hujan gerimis menenangkan yang selalu gue suka sejak kecil.

Kami ketemu dengan cara yang terlalu mirip sama plot cerita-cerita sinetron yang dulu suka ditonton sama Mami. Caranya bener-bener receh. Gue beli sarapan di minimarket gedung kantor gue, lupa nggak bawa uang, dan ujung-ujungnya dia yang bayar.

Apalah gue kalo dibandingin sama dia. Gue cuma pegawai administrasi biasa yang kerjaannya ngangkut surat dari tiap lantai di office building, ya apa yang mau diharepin dari lulusan SMA minim skill kayak gue?

Seenggaknya kalau bisa dipake buat beli bedak, lipstik, sama eye-shadow buat dandan cantik (untuk diri gue sendiri), ya kenapa enggak?

Jauh kalau dibandingkan sama dia. Cowok dengan senyum paling manis dan suara paling lembut yang pernah gue kenal.

Namanya Rendra. Baik banget, hatinya juga seluas samudera.

Pertemuan pertama sama Pak Rendra (kali itu gue manggil dia seperti itu, tanpa tahu kalau kita cuma beda setahun) bermuara ke pertemuan kedua, ketiga, keempat, bahkan scene yang paling nggak gue duga selama gue menjadi manusia: tiap malem bisa tidur lelap di pelukan Rendra.

Ketemu sama Rendra jadi salah satu highlight paling membahagiakan seumur hidup gue. Setelah mengalami penolakan, kesedihan, kekecewaan, dan kepahitan yang kayak nggak ada habisnya.

Gue inget di pertemuan kedua, Rendra datang bawa sekotak permen yang kata dia 'nggak sengaja beli tadi di supermarket', padahal gue yakin dia merhatiin gue ketika beberapa kali papasan di dekat pantry dan gue lagi sibuk ngunyah permen kesukaan gue itu.

Dari situ aja, gue udah positif jatuh cinta.

Pertemuan-pertemuan dengan hadiah dan kejutan kecil dari Rendra yang bagi gue nilainya luar biasa itu berubah jadi pertemuan rutin kami selama seminggu sekali. Rendra akan kirim pesan teks ke gue di jam empat sore—dua jam sebelum pekerjaan dia selesai—dan gue akan senyum bahagia layaknya orang idiot selama nunggu dia selesai kerja.

Bareng Rendra, gue ngerasain definisi hidup yang sesungguhnya. Bikin gue kadang sedih kalau bayangin Jenita kecil nggak pernah seberuntung orang-orang di luar sana.

Rendra punya segudang cara untuk bikin gue merasa istimewa. Dia selalu tahu apa yang bisa bikin gue bahagia, pakai cara-cara yang mungkin menurut dia sederhana, tapi menurut gue justru jadi sesuatu yang mewahnya nggak terkira.

Fun-fact, Rendra adalah orang pertama yang sangat bangga manggil gue 'Jenita' tiap harinya. Plus ada bonus senyuman manis Rendra yang sanggup bikin siapapun langsung terdiagnosis diabetes.

Malam itu sebenernya sama kayak hari Jumat malam pada umumnya. Rendra ngajakin gue jalan untuk beli makanan Thailand favorit dia yang katanya untuk dateng ke sana aja, perlu booking beberapa bulan sebelumnya.

Naik mobil bagus Rendra, kita berangkat dari parkir basement kantor menyusuri jalanan besar yang dulu cuma sering mampir di angan gue—tanpa ngerti bahwa beberapa tahun berikutnya—si Jenita kecil yang udah hopeless itu, bisa jadi bagian dari penyumbang kemacetan di sana.

Aduh ... rasanya mau puk-puk Jenita kecil sambil bilang, 'sedikit lagi, ya. Kamu udah keren bisa terus-terusan kuat gini.'

Kita balik ke Rendra. Setelah memastikan gue makan dengan kenyang malam itu, memastikan juga bahwa gue udah dianterin dengan selamat balik ke kosan kecil gue, Rendra tiba-tiba kasih kecupan lama di pucuk kepala gue.

Gue nggak tahu apa yang terjadi sama gue saat itu ya, cuma yang gue tahu, gue tiba-tiba nangis. Tiba-tiba merasa emosional karena baru kali itu, gue ngerti betapa indahnya dicintai sama seseorang.

“Selama ini jalan bawa beban sendirian pasti berat banget buat kamu. Mulai sekarang bagi-bagi sama aku ya?” mata Rendra juga memerah malam itu.

Tanpa gue jawab pun, sebenernya Rendra juga pasti udah tahu kalau gue akan sangat mau untuk membagi semuanya bareng dia. Semuanya. Tanpa terkecuali.

Begitulah hingga akhirnya kami hidup tentram di apartemen Rendra sekarang, tiga setengah tahun dari malam itu. Dengan cinta yang masih sama gedenya kayak dulu, dengan semua cinta kasih Rendra yang seolah nggak ada habisnya untuk gue.

Gue nggak pernah tahu kapan semua ini selesai.

Bisa jadi, gue akan dibangunkan dari mimpi indah yang terlampau indah ini. Buat kembali ke hari-hari kelam Jenita kecil yang penuh racun pahit.

Bisa jadi, memang jatah bahagia gue cuma sebentar. Mungkin beberapa saat lagi, Rendra harus udah diambil dari gue untuk pergi sama orang lain yang lebih pantas bergandengan tangan dan berbagi resah sama dia.

Atau mungkin, Rendra nggak pernah ada. Dan Jenita cuma jadi angan-angan semu yang nggak pernah bener-bener gue nikmati hadirnya. Cuma imajinasi teman melamun siang hari seorang Jeno yang udah berpuluh tahun jadi penghuni rumah sakit jiwa nunggu hari kematiannya.

Untuk Rendra, gue cuma berharap kalau memang dia beneran ada, kalau gue bener-bener pernah jadi bagian berarti dari hidup dia, semoga suatu saat ada hal baik yang bisa dia ceritakan ke anak-anaknya tentang gue yang pernah jadi alasan dia senyum bahagia di masa mudanya.