I Regret You All the Time
Warning⚠️ This work may contain—mention of disease, blood, orphanage, parenthood struggles, divorcement
Hidup sebagai orang tua dari seorang toddler dengan penyakit yang cukup serius nggak pernah mudah.
Coba tanya, deh, ke seluruh orang tua di dunia, how does it feel like to live a life as parents of a child with type-1 diabetes?
Sleepless nights, neverending cries, makanan yang harus bener-bener dijaga. Capek. Semuanya akan selalu bikin capek.
Same goes to Renjun, Chia—anak perempuan adopsinya dan Jeno—adalah salah satu dari sekian persen anak-anak di bawah lima tahun, di dunia ini, yang sedihnya harus jadi penderita diabetes tipe satu.
Chia datang ke rumah mereka sekitar dua setengah tahun lalu, saat umurnya masih satu tahun lima bulan. Sekarang umurnya empat, dan baru setahun lebih dua bulan kemarin anak perempuan bermata coklat itu didiagnosis menderita type-1 diabetes.
Dulu, Renjun itu kurus banget. Tapi sekarang? Lebih mengerikan. Badannya bener-bener kering kerontang gara-gara harus struggling dengan pola hidup yang sama sekali nggak mudah.
Insulin-pump punya Chia harus selalu dilepas-pasang dengan cermat. Renjun jelas harus bisa ikut ngontrol apa-apa aja yang boleh dan tidak boleh masuk ke badan Chia. Termasuk belajar banyak soal gimana mengatur asupan gula.
Mungkin keterbatasan ekonomi udah bukan jadi alasan, karena sekarang bisa dibilang Renjun udah jauh lebih baik keadaannya dibandingkan saat di awal waktu dia memutuskan buat hidup bareng Jeno—pasca his ultimate downfall.
Tapi Tuhan katanya selalu punya rencana lain.
Jam dua belas malam masih kurang dua puluh menit lagi, tapi sejak jam sembilan malam tadi, nggak ada waktu satu jam pun terlewat dari tangisan Chia yang bener-bener udah bikin Renjun lelah.
Muka Chia memerah di sana-sini, kulit lengan dan paha Chia juga udah penuh sama darah-darah kering akibat tangan dia yang garuk-garuk gatal dan risih dari tadi siang. Renjun baru aja ganti merek pump dia, by the way. Jadinya selama beberapa hari terakhir, Chia lebih rewel karena harus mencoba adjusting dengan keadaan baru.
Belum lagi, beberapa jam sekali, dalam dua atau tiga hari terakhir, Chia suka tiba-tiba nangis nggak terduga, badannya suka tiba-tiba trembling, dan parahnya juga suhu badan dia naik-turun, belum lagi mual muntah yang bikin semua makanan yang disuap Renjun ke mulut Chia dikeluarin lagi.
Chia nangis sedari sore, sampe Renjun ikut-ikutan nangis karena dia juga capek.
Bahkan, dia juga bawa Chia ke emergency dalam keadaan nangis parah. It's pouring outside, 15-minutes away to midnight, dan dia gendong Chia sendirian.
Ke mana Jeno?
Well, this is gonna be interesting.
Jeno pergi dari rumah sejak enam bulan lalu.
Pamitnya sih ke Singapore. Kerja karena dipanggil sama temennya buat bantuin consulting firm dia di sana.
Tapi kenyataannya? Susah banget buat dia hubungin Renjun barang sekali sehari, at least buat nanyain gimana kabar Chia.
Renjun juga seringkali denger suara Jeno masih seger banget ketika dia nelfon suaminya itu di tengah malem—tentu dengan background tangisan Chia di belakang.
Nggak ada yang tahu pasti, sih, Jeno lagi ada di mana sekarang. Renjun juga nggak bisa nyari karena dia udah nggak punya akses ke sana. Satu-satunya orang yang dia kenal dan tahu gimana keadaan Jeno pasca menikah juga sekarang udah ganti nomor.
Jadi apa yang Renjun lakuin sendirian selama enam bulan terakhir?
Haha, cuma sabar. Sambil berharap kalo Jeno berbaik hati mau pulang dan bantu dia ngurus Chia. Karena jujur, alasan Jeno pergi sampe sekarang pun juga ... Renjun nggak pernah tahu.
It could be either Jeno udah nggak secinta itu sama dia, atau Jeno bener-bener mau cari penghidupan yang lebih baik buat mereka mengingat Chia masih perlu waktu pengobatan yang panjang.
Tapi kayaknya alasan kedua lebih masuk akal karena Jeno masih rutin kirim uang dengan jumlah besar ke rekening Renjun.
“Jeno, please angkat.” Renjun ngomong sendiri. Udah berkali-kali sejak past midnight. Sambil dengan cemas megangin dan ngelus tangan ringkih Chia yang udah diinfus barusan.
Ini udah percobaan ke delapan, dan untungnya di percobaan berikutnya yang kesembilan, Jeno ngangkat telfon dia.
“Ada apa?” suara Jeno kedenger males-malesan, tapi di belakang sana Renjun bisa denger ada banyak orang ngobrol pake bahasa yang asing buat dia.
“Chia masuk rumah sakit.” Renjun ngomong sambil nyeka air matanya.
“Perlu uang berapa?”
Aduh, jangan dibayangin gimana sakitnya hati Renjun waktu Jeno ngomong gitu. Karena udah jelas, Renjun nelfon bukan untuk minta uang. Tapi karena dia butuh presence dari suaminya di sana.
Narik nafasnya sebentar, nyoba nenangin diri, dan naruh tangan mungil Chia ke sebelah badannya, Renjun bangkit buat keluar dari tirai emergency dan jalan ke area yang lebih sepi.
“Ini kalo nggak penting ditutup aja, ya? Mau ada meeting.”
Rasa sakit bener-bener bikin jantung Renjun kayak berhenti berdetak selama sekian detik. Ke mana coba nada bicara lembut Jeno yang selama hampir delapan tahun terakhir dia denger?
Ini semua kayak bikin Renjun balik ke masa-masa umur dua puluh. Waktu dia dan Jeno bener-bener masih dipisah sama jurang yang dalem banget.
“Aku mau ngeluh boleh nggak?”
Cuma kedenger hembusan kasar nafas Jeno di ujung. Nggak ada respon dari dia.
“Aku capek.”
Renjun narik nafas dan nyeka air matanya sebelum lanjut, “capek loh ngurus Chia sendirian.”
Dia bisa denger kekehan Jeno setelahnya.
“See? Lo sih, susah percaya omongan gue.”
Damn. Nggak ada yang lebih sakit ketimbang denger Jeno address diri dia sendiri dengan cara ini lagi.
“Semuanya nggak akan gampang. Gue udah bilang itu, consistently, sejak kita nikah enam tahun lalu. Nggak gampang ngurus anak.”
Renjun tiba-tiba keinget keinginan persisten dia sejak awal mereka nikah. Punya anak. Punya anak. Punya anak.
Meskipun jelas semuanya nggak bisa mereka wujudkan sendirian, karena ini bukan dunia fantasi yang mana salah satu di antara dia atau Jeno bisa mengandung—dan melahirkan. Tapi rasanya nggak ada perasaan bahagia yang lebih dari ketika sepulang dia kerja, akan ada bayi-bayi lucu yang bakal dia cium pipinya dan dia hirup wangi khasnya. Renjun bener-bener selalu bermimpi punya hidup yang sesederhana itu.
Makanya nggak ada alasan buat dia nggak minta Jeno buat cepet-cepet approve keinginannya untuk bawa seorang anak ke rumah. Meskipun dia juga seringkali egois minta banyak pihak buat bantu dia bujuk-bujuk Jeno. Kasarnya, buat secara halus dorong Jeno ikutin kemauan Renjun.
Padahal Renjun juga tahu, Jeno seringkali bilang kalau dia belum siap sama ide itu.
Awalnya Jeno lebih suka nolak secara halus, dengan mencoba distract semua omongan Renjun yang mengarah ke sana. Lebih-lebih kalau di depan keluarga besar Renjun.
Lama-lama kayaknya Jeno capek juga, sampai suka tiba-tiba badmood kalo mereka udah ngomongin soal anak. Atau bahkan sesederhana kalo mereka secara sengaja dan nggak sengaja ketemu anak, pasti Jeno cuma bakal senyum terus sibuk sama dunianya sendiri.
Mikirin semua itu, air mata Renjun turun makin deres.
“Apalagi bawa pulang anak yang dari awal juga dibilang dokter udah keliatan kurang sehat.”
Memang. Chia pernah mereka bawa ke dokter sebelum pengajuan permohonan adopsi mereka layangkan ke panti asuhan sekitar tiga tahun lalu. Dan kata dokter, emang ada kecenderungan kalo Chia ini nggak kayak bayi-bayi lain seusianya. Bener aja, setahun kemudian ternyata dia didiagnosis dengan type-1 diabetes.
Omongan Jeno udah kebukti dua kali bener.
“Lo itu naif. Lo terlalu menganggap semua yang berjalan di dunia ini itu, sesimpel apa yang selalu ada di otak lo. Padahal jauh, Renjun. Dunia nggak sesempit tempat tidur yang isinya cuma ada gue sama lo.”
Renjun cuma bisa diem. Omongan Jeno barusan bener-bener nampar dia.
Emang ya, mereka udah terlalu beda. Bener lagi omongan Jeno, Renjun itu terlalu naif.
Bahkan naif untuk milih dan percaya lagi sama Jeno—ngasih dia kesempatan kedua. Karena mungkin emang bener, mereka nggak bakal bisa ada di persimpangan yang sama.
Again, mereka terlalu jauh bedanya.
“Just give up. Just give up.”
Sakit. Sakit banget. Waktu orang yang selalu lo harapin bakal ada untuk seumur hidup di samping lo, tiba-tiba akan bilang gini. Nyuruh lo untuk nyerah sama keadaan yang selama ini jadi yang paling lo idamkan.
“Kalo lo nggak mau give up on her, let's just ... give up on us.“
Renjun udah nggak kuat lagi. Dia sekarang udah luruh ke tanah.
Bisa dia rasain badannya merosot sampe-sampe kena basah air hujan yang masuk ke pelataran IGD.
“Gue nggak bisa hidup kayak gini. Sulit untuk bisa kompromi banyak hal sama lo yang bahkan susah buat sekadar ngerti apa prinsip dan value hidup gue, termasuk masa lalu gue yang rusak.”
Nggak ada yang lebih drama ketimbang keadaan Renjun sekarang, beberapa orang udah mulai natap dia simpatik, tapi dia bergeming. Nggak tahu harus apa. Otaknya udah beku denger semua omongan Jeno.
“Gue rasa kita nggak cocok.”
Ada sedikit jeda di sana, Jeno ambil nafas sedetik, sebelum dia lanjut bicara lagi, “gue akan pulang. Bukan buat siapapun, tapi buat nyelametin diri gue sendiri. Sorry I can't save us, karena mau gimanapun gue usaha, lo nggak akan mau, 'kan?”
Telepon ditutup sepihak sama Jeno setelahnya.