Intelligent Center, Seoul — 11 a.m.
Kim Doyoung datang dalam keadaan cukup berantakan. Bahkan sepertinya belum sempat mengganti bajunya dengan baju yang lebih formal untuk dipakai ke pertemuan formal seperti ini.
Sebelum ia masuk ke ruangan rapat utama, matanya yang mendapati Renjun baru saja keluar dari sebuah ruangan privat langsung mengisyaratkan Renjun untuk kembali masuk ke ruangan itu. Tatapan tajamnya pada Sungchan saat melewati lelaki tinggi itu di ambang pintu cukup jadi isyarat kalau Sungchan lebih baik bergabung dengan asisten pribadinya menunggu di luar sementara ia dan Renjun bicara empat mata di dalam ruangan tertutup itu.
“Sebelum lo ngomong aneh-aneh, let me tell you something, lo seharusnya kabarin gue sejak pagi tadi dan membiarkan gue ada di sini.”
Kening Renjun mengerut, matanya memandang tidak percaya pada Doyoung. Dia ini bercanda, ya? Renjun saja kemari dalam keadaan tidak tahu apa-apa, terlalu dini untuk Doyoung bisa memaknai bahwa Renjun sengaja tidak mengundangnya kemari.
“Gue nggak ambil andil apapun dalam penentuan siapa yang boleh dan siapa yang tidka boleh datang ke sini. Seharusnya lo tanya ke Senior Han.” nada bicaranya meninggi, jelas tidak terima kalau disangka menjadi dalang dari huru-hara yang Doyoung tidak tahu ini.
“Apa yang harus gue tahu soal ini?”
“Lo sama sekali belum terima briefnya? Unbelieveable.” Renjun sudah siap-siap membuka pintu dan mengajak Doyoung bergabung ke ruang rapat utama—tidak ingin membuang waktu—ketika Doyoung menjegal lengannya.
“It has something to do with your Housing Act. Jaehyun dapet black mail soal anak kalian pagi ini.”
Renjun menelan dengan susah payah saliva yang terkumpul di pangkal tenggorokannya. Renjun mulai berpikir bahwa orang yang mengirimkan foto Chenle padanya tadi pagi memang serius dengan ucapannya.
“Gue juga.” ucapnya sambil menunjukkan pesan dari nomor tidak dikenal itu pada Doyoung. Gurat ketakutan terlihat di wajah Doyoung sekarang.
“Terus lo nunggu apa? Kenapa nggak segera lo batalin aja? Kenapa buru-buru banget mengesahkan draft aturan yang bahkan lo tahu benar akan disambut dengan tidak baik sama beberapa golongan.”
Renjun mendudukkan dirinya pada sofa rendah yang ada di sisi lain ruangan, berusaha menurunkan emosinya agar tidak meledak di depan Doyoung. Bagaimanapun juga, Doyoung bicara fakta.
“Nggak semudah itu, lo tahu. Udah terlalu banyak kerugian yang ditimbulkan selama ini karena regulasi yang terlalu longgar untuk pembangunan perumahan di kawasan yang tidak seharusnya ini. Pembebasan lahan juga melanggar banyak aturan dan seolah dilegalkan karena mereka mampu membayar kompensasi.”
Doyoung masih memberikan kesempatan Renjun untuk melanjutkan, “belum lagi ketika bangunan sudah berdiri. Banyak hak yang dilanggar, air bersih kacau, sanitasi kacau, pembuangan limbah apalagi, polusi suara, banyak masalah. Terlebih soal konsep keberlanjutan yang dicanangkan sama Blue House, dilanggar semua sama mereka. Belum soal pajak bangunan dan juga kebijakan sewa. Terlalu problematik untuk dibiarkan begitu aja.”
“Terus lo rela anak lo dan 237 orang yang punya keluarga jadi korbannya?”
Renjun lagi-lagi menghembuskan nafas besar lewat mulut. Bukan cuma Doyoung, dia sendiri sedari pagi berusaha merenung untuk mendapatkan jawaban soal ini. Tapi lagi-lagi, selalu menemui jalan buntu.
“Denger ya, mumpung ini masih draft, masih belum disahkan oleh parlemem, ada baiknya lo segera withdraw. Dengan withdraw, lo bisa bikin 237 orang ini landing dengan selamat di London, anak lo selamat dan bisa kuliah seperti impiannya, juga hubungan bilateral kita sama banyak negara di sana tetap baik karena nggak ada yang terluka atau dirugikan di sini. In parallel, setelah lo withdraw, lo bisa konsultasi ulang untuk buat draft aturan yang baru untuk menyenangkan orang-orang ini, Renjun.”
Renjun belum menjawab juga, kini memandang Doyoung yang juga sedang memandangnya penuh harap. Negosiasi internal begini saja sudah sangat alot, apalagi mereka mau negosiasi dengan orang lain yang bahkan tidak punya satu visi misi dengan mereka?
“Renjun, please, jangan naif.”
“Nope. Nope.” Renjun berdiri dan menggelengkan kepalanya berkali-kali, jiwanya masih enggan untuk goyah. Tidak ada ruang buat mafia, dalam kamus hidupnya.
“Not gonna make the call. Kita masih bisa negosiasi sama attacker itu, gue yakin bisa.”
“Lo nggak ngerti siapa yang kita hadapi, Renjun. UK aja nggak berani ambil risiko untuk negosiasi dengan mereka karena mereka pasti bersenjata, pasti bisa berbuat nekat, dan tentu time constraint untuk memberi keputusan terlalu sempit. Lo bisa mikir risiko itu, kan?” kini nada bicara Doyoung makin meninggi, seolah sudah muak dengan betapa keras kepalanya Renjun yang sulit sekali menjatuhkan pilihan pada ‘obey-the-rules’ dari mereka yang sudah seberani itu mengirim black mail ke Renjun juga mantan suaminya.
“Mereka salah target, mereka push gue karena Jaemin, nggak mempan. Mereka push Jaehyun dan gue karena Chenle, nggak mempan. Lo tahu orang tua gue siapa, dan lo tahu Chenle akan seaman apa di sana. Kalau UK mau nembak jatuh pesawat itu, mereka nggak akan berani karena kita dan negara yang punya warga negara di dalam sana kompak belum setuju. Kalau attacker ingin gue cabut aturan itu, setidaknya mereka harus menemukan satu alasan lagi yang lebih kuat soal kenapa gue harus menuruti mereka.”
Dan nyatanya, omongan Renjun benar.
Selepas Doyoung memohon dengan sangat lewat sambungan telepon ke sekelompok petinggi yang sama-sama berharap-harap cemas di London, Doyoung hanya memberi kabar bahwa perintah penembakan jatuh sudah dicabut. Benar kata Renjun, tidak ada risiko seberat mengorbankan dua ratus lebih jiwa demi apapun.
Tapi nampaknya memang mereka belum bisa bernafas lega. Hanya tiga puluh menit berselang, telepon Renjun kembali berdering. Kali ini panggilan masuk dari Jeong Jaehyun. Matanya melirik Doyoung dan sedikit bersyukur ketika rekan kerjanya itu sama sekali tidak menyadari apapun. Dia tidak ingin menggiring lebih banyak drama menghampirinya.
Buru-buru Renjun kembali ke ruangan privatnya untuk mengangkat panggilan dari Jaehyun.
“Udah, nggak usah banyak mikir, deh, Renjun. Cepat kamu batalkan aja itu. Baru draft kan bisa disusun ulang.”
Harusnya Renjun tidak terkejut, mungkin Jaehyun ikut mendapatkan update terbaru soal ini dari pacarnya—Doyoung.
“Wait, kenapa jadi ngotot banget supaya dicabut? Ini nggak akan menguntungkan kamu juga, Jaehyun. Kamu udah tamat di real estate.”
Jeda panjang sedikit membuat Renjun merasa khawatir kalau omongannya menyakiti Jaehyun, tapi untungnya Jaehyun segera menjawab tidak lama kemudian, “kamu nggak mikirin nasib Chenle?”
“Lupa siapa kakeknya? Sebenci apapun orang tuaku sama masa lalu, mereka tetap cinta sama cucunya. Negosiasi akan berjalan kalau attacker itu mau menampakkan mukanya untuk bicara empat mata sama Home Secretary, bukan lewat pesan anonim kayak pengecut.”
Jaehyun terdengar mengembuskan nafasnya dalam di ujung telepon, dia harusnya sadar sedari awal kalau mempersuasi Renjun akan sulit mengingat sosok mantan suaminya itu benar-benar sekeras batu.
“Listen, kalau Chenle nggak mengubah pendirian kamu, mungkin hal ini akan.”
Renjun merasa tertantang.
“Beberapa menit lalu, orang-orang mulai posting di SNS soal rumor pembajakan pesawat ini. Kamu nggak percaya? Christian sudah kirim semua buktinya ke asistenmu. Kedua, kamu masih ingat kan kalau keluarga kita masih punya saham cukup banyak di airlines? Yang artinya, kalau sahamnya turun jauh, otomatis semuanya selesai. Dan terakhir, public trust. Dalam banyak aspek. Kamu sendiri yang jadi taruhannya, Renjun. Think about, it.”
“The clock is ticking, make your choice, now, Mr. Secretary.”
Jaehyun menutup teleponnya setelah itu.