Intelligent Center, Seoul — 6 a.m.
Kalau biasanya, rutinitas pagi seorang Huang Renjun tidak bisa berubah urutan dan tatanannya—sangat terstruktur, olahraga pagi-baca berita-mandi-sarapan-pergi kerja, maka hari ini adalah sebuah pengecualian.
Matahari bahkan belum sepenuhnya naik dan memancarkan sinar yang selalu identik dengan warna kuning hangat kesukaan Renjun, tapi dia bahkan sudah selesai bersiap dengan kemeja resminya untuk menunggu Sungchan sampai di rumah dinasnya. Untungnya, tidak butuh waktu lama menunggu laki-laki dua puluh tujuh tahun itu datang. Hanya sekitar 3 menit selepas Renjun memasang sepatu kets-nya.
Memberi sapaan selamat tinggal buat dua kucingnya, Renjun bergerak pergi dengan sedan dinasnya ke Intelligent Center bahkan saat jarum pendek belum tepat menyentuh angka 6.
“Report apapun yang lo dapet,” perintah Renjun sesaat setelah ia masuk ke kursi belakang pada Sungchan yang terlihat sibuk dengan laptop di pangkuannya di kursi penumpang depan.
“Belum ada perubahan dari update terakhir gue ke elo tadi. NE-131 lepas landas dari Incheon jam 11 malam lebih empat menit, masuk wilayah China aman banget. Kontak terakhir sama Yinchuan jam 2 lewat 10. Ketika udah masuk wilayah Mongolia, udah nggak ada kontak sama sekali. Dotted line.”
Renjun tidak mengerti sama sekali soal penerbangan. Dia bahkan bukan sosok orang yang tepat sebenarnya jika diminta untuk ikut-ikutan memberi pendapat mengenai hal ini. Tapi mungkin jelas ada benang merahnya kalau orang-orang dari KOCA sudah memberi perintah supaya Renjun datang.
“Dotted line itu maksudnya apa? Mereka ada jelasin?” tanya Renjun lagi. Entah kenapa hatinya sedikit gelisah tiba-tiba. Mongolia itu kan luas, kalau dalam hampir empat jam belum ada informasi, kemungkinannya cuma dua, ‘kan? Pesawatnya jatuh, atau … no, no other way, pasti jatuh.
“Gue nggak tahu pasti, sih. Cuma tadi gue sempet searching katanya sinyalnya lemah atau bahkan hilang. Cuma ada dua cara buat identifikasi lagi lokasi pesawatnya, pakai sinyal radio yang bisa dikenali sama military base di sekitar, atau pakai record dari satelit.”
It’s all getting serious, Renjun pikir begitu. Dia makin nggak tenang.
“Nanti kita pastiin aja ke orang-orang di IC.” Sungchan paham kondisi bosnya, bingung, tidak punya gambaran mau apa, dan sama sekali tidak merasa seharusnya ikut andil urusan ini. Tapi di satu sisi, Sungchan masih berpikir kalau keterlibatan Renjun di sini erat kaitannya sama Jaemin. Walau bagaimanapun dia tahu isi hati bosnya, orang di luar sana punya pandangan berbeda. Yang mereka tahu, Jaemin dan Renjun selama ini bersama.
Tujuh belas menit perjalanan ke Intelligent Centre dari rumah dinas Renjun terasa sangat lama. Mungkin karena efek gugup yang kini menghampiri lelaki pertengahan tiga puluh itu.
Sungchan tetap berada di dekatnya selama menuju lantai sebelas, lokasi yang dijanjikan oleh KOCA bertemu. Dia bisa mengenali kalau Renjun sedang benar-benar tidak bisa berpikir jernih sekarang. Yah … kalau boleh jujur, dia juga sedang dalam kondisi yang sama. Dia saja baru tidur dua jam, sudah harus bangun gara-gara dengar informasi seperti ini. Apalagi ini hari Minggu, harusnya kan mereka punya waktu lebih banyak ya untuk keluarga.
Ketika sampai di lantai sebelas, Sungchan masih sempat membalas senyum dan bersalaman dengan beberapa wajah yang tidak familiar di sana. Semua orang punya air muka yang serius, bahkan kantung mata mereka juga tidak bisa disembunyikan.
Lain halnya dengan Renjun, alih-alih merasa khawatir, dia justru merasa kalau dia tidak seharusnya ada di sini sekarang. Terlalu banyak hal kompleks yang dia tidak tahu soal penerbangan. Apalagi kasus ini. Orang-orang ini tidak lagi berusaha menurunkan elektabilitas dia di pemerintahan kan dengan mengajak dia andil memutuskan sesuatu yang jelas-jelas dia tidak punya kompetensi di sana?
“I’m glad you are here.” wajah familiar seorang seniornya di pemerintahan tiba-tiba menghampiri.
Belum sempat Renjun menjawab sapaannya, laki-laki itu sudah menggiringnya masuk ke ruangan pemantauan yang sudah penuh dengan banyak staf khusus yang ia kenal dari tag milik IC maupun KOCA.
“Jadi? Ada sesuatu yang saya harus bantu? Sampai saya harus diundang kemari.” Renjun enggan berbasa-basi begitu semua orang sudah duduk di posisinya masing-masing, begitupun Sungchan yang ambil posisi tepat di sisi kanannya.
“Kita punya banyak sekali hole di sini. Itulah kenapa kami butuh bantuan kamu, Renjun. Karena kami yakin, ini juga urusan dalam negeri karena menyangkut warga negara kita.”
“Tapi, sebelum ke sana, kita akan berikan brief singkat mengenai apa yang terjadi. Yang mungkin sudah kamu dengar dari Sungchan, tetapi perlu kami elaborasi di beberapa titik mengingat ada beberapa temuan baru.”
Nafas berat Renjun jadi penanda bahwa mungkin hari ini akan jadi salah satu yang cukup berat.
Slide di depannya berubah menampilkan peta perjalanan sebuah pesawat dengan nomor penerbangan NE-131. Ada juga informasi soal jenis pesawat, nama pilot, dan bahkan seri-seri yang Renjun tidak mengerti. Dia abaikan bagian itu, dan mulai mendengarkan penjelasan Senior Han soal permasalahan pagi ini.
“Pesawat ini lepas landas dari Incheon tepat di jam 11 malam, suhu udara luar normal, kecepatan angin normal, jarak pandang normal. Captain Kwon adalah pemimpin penerbangan NE-131 menuju London kali ini, dengan first officer perempuan—Kalsey Choi, warga negara Inggris yang jam terbangnya juga nggak kalah lama dari Captain Kwon. Everything was good, sampai ketika pesawat mulai memasuki barat laut Beijing di jam satu malam lewat tiga puluh sembilan menit, coba look back ke belakang—“ perintah Senior Han pada seorang asistennya untuk menarik kembali tracking pesawat menuju beberapa jam setelah lepas landas.
“Nah, lihat garis ini. Seharusnya, heading pesawat ketika melintasi perbatasan China dengan Mongolia adalah sekitar 290 derajat dengan drift angle atau perbedaan sudut tidak lebih dari plus minus 5 derajat. Itu kondisi idealnya. Tetapi, kalau kita lihat di sini, bahkan pesawat sudah hampir masuk ke heading angle 300 derajat, yang artinya pesawat terlalu berbelok ke arah utara sebanyak 10 derajat jauhnya. Kalau diasumsikan dengan cruising speed normal, ini jelas jadi anomali. Tapi ketika Peking berusaha untuk lakukan komunikasi terakhir sebelum NE-131 masuk wilayah Mongolia, untuk konfirmasi kenapa mereka keluar jalur, tidak ada jawaban dari 131 dan sinyal hilang begitu saja.”
Renjun merasa ini tidak masuk akal. Kalau sejak awal Peking mengindikasikan ada hal aneh tentang pesawat ini, seharusnya kan mereka segera menghubungi otoritas terkait soal ini?
“Kenapa Peking nggak langsung menghubungi otoritas terkait soal ini? Kenapa baru dihubungi ketika udah hilang sinyalnya?”
“Satu, there’s a queue there, Peking bandara tersibuk di Asia—salah satunya. Dua, thresholdnya sangat tipis, ketika mereka seharusnya masuk wilayah Mongolia, secara aturan Peking sudah tidak punya responsibility untuk tetap mengontak mereka. Peking sudah kirim laporan, by the way. Temuan pertama sekitar jam dua kurang lima belas menit.”
“Nah, tapi, berita bagusnya. Jam empat lewat empat puluh tadi, pesawat akhirnya masuk dengan selamat ke wilayah udara Kazakhstan. Everything was so normal, ground speed normal, altitude normal, heading kembali ke angka 270—normalnya memang di angka itu. Komunikasi lancar, kapten ada di tempat, tapi tidak cukup baik memberikan komunikasi karena sering putus-nyambung sinyalnya. Di situ, akhirnya KOCA sekitar jam 5 lewat 10 tadi memberikan instruksi bahwa ini hanya perkara kesalahan teknis dan sinyal, tetapi kita akan batasi critical time hingga pukul sembilan pagi ini.”
Tanpa bicara pun, Renjun sudah tahu kalau ini bukan cuma kejadian biasa. Karena layar bahkan menunjukkan kalau sinyal pesawat masih hilang timbul. Dotted line seperti yang dijelaskan Sungchan secara sekilas pagi tadi. Jadi, terang saja kalau ia berasumsi bahwa ini belum selesai, kan?
“Dotted line, apa artinya?” Renjun yang tidak sabaran, berdiri dan menunjuk layar di mana jejak radar pesawat masih berupa garis putus-putus ketika melewati gurun di barat laut Kazakhstan, masuk ke laut Kaspia, hingga masuk ke wilayah Georgia—sepertinya.
“Di awal analisis, kami sepakat mengira ini karena posisi pesawat yang terlalu jauh dengan land-base receiver. Karena di sisi utara China itu dataran besar yang cukup jauh dari stasiun pengamatan atau bandara, otomatis sangat mungkin kalau tracking tidak berjalan dengan baik. Begitu juga dengan analisis yang didapat dari kondisi geografis di Kazakhstan Barat. Fair enough untuk bilang ini kesalahan teknis.”
Renjun mengembuskan nafasnya berat sekali, dia sama sekali tidak paham poin semua ini. Kalau baik-baik saja, kenapa wajah semua orang di ruangan ini tertekan banget?
“Tapi,” senior Han kembali mengisyaraktkan asistennya untuk memperbesar track pesawat.
“Drift angle hampir mendekati tujuh derajat.” Renjun memicingkan matanya untuk melihat lebih jelas perbedaan sudut pada garis yang seharusnya diambil oleh pesawat. Benar, sedikit berbelok sebanyak tujuh derajat ke arah selatan.
“Kalau kita tarik garis secara konsisten ke arah selatan, sangat mungkin kalau pesawat akan berjalan menuju Afrika Utara.”
Renjun menopang dagunya dengan telapak tangan kanannya. Negara konflik, Renjun belum tahu ke mana arahnya semua ini. Sepertinya ini bukan cuma kesalahan teknis atau bahkan human error, it’s far beyond that, pikirnya.
“Or worse, South America.” salah seorang staf perempuan dari IC tiba-tiba angkat bicara.
“Panama, Kolombia, Ekuador, Venezuela, sangat mungkin. Dan kita tidak punya perjanjian ekstradisi dengan mereka.”
“Esktradisi? Kenapa sampai perlu?” apakah akhirnya analisis Renjun benar? “Hijacking. Ada kemungkinan pilot berada dalam perintah seseorang. Cockpit pasti sudah tidak steril sejak masuk wilayah Mongolia. Anomalinya terlalu besar untuk disebut sebagai kesalahan teknis atau kelalaian pilot.”
Bahu Renjun turun. Ini jauh dari perkiraannya. Ini sama sekali tidak pernah ada dalam bayangannya, soal pembajakan pesawat, kriminal sebesar ini di atas udara.
“Tapi itu baru asumsi. Karena sepertinya bahkan bahan bakar pesawat akan habis duluan di atas Samudera Atlantik, jauh sebelum masuk ke wilayah Amerika Selatan.”
Renjun menatap Senior Han dengan tidak percaya. Terlalu mudah dan santai buat seniornya itu untuk mengatakan kalau pesawat bisa saja jatuh dan hancur di atas Samudera Atlantik dengan ratusan orang di dalamnya. Seolah ide bahwa pesawat jatuh akan lebih baik daripada pesawat yang dibajak.
“Ini nggak masuk akal. Rencana mitigasinya akan sangat sulit, di satu sisi kita harus menjaga banyak jiwa di atas pesawat, tapi di sisi lain juga harus memastikan kalau hubungan bilateral nggak hancur begitu saja. Ini di luar kendali home office.” Renjun berujar terus terang pada Senior Han. Dia jelas tidak bisa memutuskan sendiri, apalagi kalau setelah ini pesawat akan masuk ke wilayah Eropa atau kemungkinan terburuk—Afrika. Terlalu sulit nampaknya untuk berfikir logis dalam waktu sesingkat itu.
“Ada berapa penumpang di sana?” Renjun kembali ke kursinya dan berusaha untuk lebih tenang, berusaha jadi satu-satunya manusia yang sedikit waras untuk mengambil keputusan sebelum terjadi sesuatu pada warga negara tidak bersalah di sana.
“Dua ratus tiga puluh tujuh penumpang, manifest sudah dicek dengan database nasional maupun internasional. Sudah cross-checking dengan Kerajaan Inggris. Semua record tidak ada yang berisiko tinggi.”
“Findings kalian soal orang paling berisiko dan patut dicurigai belum disampaikan.” Senior Han dengan nada bicara menjengkelkannya mengingatkan seorang staf IC yang kini balik menatapnya sinis.
“Dari 237 penumpang, ada 109 penumpang warga negara Inggris, 91 warga negara Korea, 11 warga negara Irlandia, 9 dari China, 7 dari Amerika Serikat, 7 dari Thailand, 2 warga negara Belgia. Dan satu orang punya data biometrik ganda.”
“Pardon?”
“Johan Godfrey. Memiliki dua paspor, Korea dan Swedia. Di paspor koreanya bahkan punya kemiripan 97% biometric-print dengan nama lain. Tapi track recordnya selama enam tahun terakhir, lebih sering ke mana-mana menggunakan paspor Swedia. Kami kira itu hanya anomali.”
Ada banyak hal mengganggu pikiran Renjun pagi itu.
Fakta bahwa pesawat yang membawa sembilan puluh satu warga negaranya hampir berada di ujung tanduk sekarang.
Fakta bahwa ada Na Jaemin di sana—yang bahkan ia tidak tahu harus berkata apa kalau-kalau orang tua Jaemin mendengar kabar ini dan mengkonfirmasi semuanya ke Renjun.
Juga salinan foto paspor seseorang yang baru saja dikirimkan padanya lewat surel. Tiga titik pembentuk konstelasi terindah di bawah mata seseorang yang selalu jadi favoritnya memang terlalu mudah untuk dia kenali.
Harusnya dia tidak pernah datang kemari jika diminta membuat pilihan setelah ini.