Interaksi: Epilog
Insiden malam itu jadi tamparan keras untuk Jeno.
Secara harfiah, sudah pasti dia kesakitan akibat bantingan Julian yang berefek laten ke kepala dan tubuhnya. Tapi jauh di dalam hatinya, ada satu rasa kecewa yang luar biasa—yang ia tujukan ke dirinya sendiri—akibat begitu ceroboh melupakan misi utamanya menjaga Renjun tetap ada di jangkauan matanya menjelang hari-hari terakhirnya berada di kantor.
Lebih-lebih, Renjun baru saja bilang kalau dia sudah tidak ingin melanjutkan apa-apa lagi dengan Jeno. Agaknya itu sudah jadi warning sign agar Jeno hati-hati. Setidaknya dengan misi paling bare minimum untuk tetap menjadi teman Renjun.
Jeno tahu kesalahannya sudah sangat fatal, ternyata, ada di samping Renjun selama berbulan-bulan terakhir justru membuat Renjun tersiksa. Setidaknya, itu yang Jeno baca dari pesan penuh amarah Wendy Son malam itu.
Berbulan-bulan Jeno nyaris gila. Tidak ada kotak bekal kuning mentereng yang mampir di hadapannya tiap pagi ketika lewati aisle dekat tempat duduk Renjun, tidak ada pesan-pesan manis dari Renjun yang selalu berhasil menyunggingkan senyum di bibirnya—despite segala runyam dunia yang harus dia tanggung sendirian.
Sejelek apapun Jeno, kadang ia masih merasa ia ingin diperlakukan seperti manusia. Untungnya, rentetan ceritanya dengan Renjun selama berbulan-bulan ini membuat ia sadar kalau ia masih manusia. Masih manusia yang bisa merasakan bahagia dan juga sakit tidak terkira ketika tahu ada manusia lain tersiksa akibat tingkah lakunya.
Rasanya, menebus kesalahan ke Renjun akan jadi jalan terjal yang hampir tidak mungkin dilalui Jeno dengan baik.
Penyesalan-penyesalan Jeno nggak ada artinya, karena kayaknya sekarang Renjun udah jauh lebih bahagia.
Karir Ayahnya sudah selesai di kampung halaman mereka. Sebut saja mungkin, Jeno anak kriminal, tapi mau bagaimana? Semua udah begitu dari dulu, Jeno udah terlanjur jadi anak nurut yang nggak banyak berkomentar kalau Ayahnya sudah menuntut ini itu.
Dia aja cuma numpang hidup sama Papanya sepeninggal Bunda. Mau nggak mau dia harus nurut. Uang sekolah dan biaya hidup dia terlalu besar buat dibalikin.
Yang penting, sih, di masa depan dia nggak akan kayak begitu ke Billie. That's what really matters now.
Menatap Renjun dari jauh begini sudah jadi rutinitas Jeno selama hampir tiga minggu terakhir kepindahannya ke Pineville—38 mil jauhnya dari Philly—juga semata untuk tetap merasa dekat dengan Renjun.
Jangan tanya bagaimana Jeno tahu di mana Renjun tinggal, akan sangat terdengar obsesif karena dia begitu lihai puzzling semua clue yang diberikan Renjun lewat foto-foto yang diunggahnya lewat Instagram.
Jeno selalu pergi dari rumah sementaranya bersama ibu tirinya jam tujuh pagi, berkendara sekitar empat puluh menit, hingga bisa menyaksikan bagaimana Renjun yang belum berubah dari tingkah lucu dan menggemaskannya dulu menyiram kaktus-kaktus kecil yang disimpannya di taman kecil balkon rumahnya.
Jeno tahu kalau beberapa menit kemudian, Renjun akan memulai aktivitas paginya di luar rumah. Lari kecil membeli matcha latte di kafe kecil dekat rumahnya, lalu segera melanjutkan aktivitas berikutnya dan yang paling utama—pergi ke sekolah.
Kalau matahari sudah agak naik, Jeno kembali ke rumahnya. Setidaknya sudah cukup puas memastikan Renjun memulai harinya dengan baik hari ini. Meski kadang—kalau dunia lagi baik dan murah hati ke dia—Jeno akan dapat bonus Renjun bersenda gurau dengan teman-teman barunya. Hal kecil yang menularkan kebahagiaan ke Jeno.
Kadang, di tengah semilir angin taman-taman kecil kampus lamanya—juga suara riuh anak-anak seusia Renjun—Jeno berpikir, hidupnya mungkin bisa lebih lengkap dan lebih indah kalau di kursi taman ini ada Renjun. Duduk di sampingnya dengan buku-buku teks tebalnya, menggerutu lucu—seperti biasa.
Tapi memangnya, Renjun pernah ya berpikir begini? Berharap kalau Jeno ada di sampingnya setiap hari?
Jeno tersenyum mengejek dirinya sendiri di belakang roda kemudi.
Iya ya, harusnya dari awal dia berdoa. Kalau memang nggak ditakdirkan bersama pada akhirnya, lebih baik dia nggak bertemu sama Renjun sama sekali.