Jeno dan Masalah Kecil

Coffee break di ujung sore selalu jadi alasan Jaemin juga Jeno kabur dari segala jeratan masalah yang makin dikerjain makin beranak pinak itu.

Menjelang pukul lima, biasanya mereka malah turun ke lantai dasar untuk keluar area kantor dan jalan sedikit ke gedung sebelah dan menikmati segelas kopi mid-tier ditemani suara klakson jalan raya di seberang mereka.

“Dia tuh cerita, katanya background dia emang bukan math atau statistic atau apalah, tapi dia pengen ngambil major itu pas nanti di Amrik. Ya gua nggak bisa bereaksi apa-apa dong, meskipun otak gua ngelag dikit nggak habis pikir sama dia.”

Jaemin menyeruput kopi dinginnya setelah menjawab pertanyaan Jeno soal impresi awal rekan timnya itu pada kandidat intern pertama mereka.

“Berat sih. Even kerjaan kita nggak ngitung, kalo ntar dia jadi sama Julian, kan tetep aja bakal ada chance dia ketemu sama client dari venture yang emang finance basicnya.” Jeno menimpali keluh kesah Jaemin.

Sejenak dia berpikir, apa untungnya ya hire anak ini kalau pada akhirnya akan nambah kerjaan orang-orang di tim buat ngajarin satu per satu?

Tapi langsung dia hempas begitu saja waktu ingat dulu dia juga berawal dari anak intern polos yang nggak tau apa-apa. Intinya, menurut dia, justru kesempatan belajar terbanyak ya ada pas intern gini.

“Cuma gua mikir sih, Jen. Kayaknya anak ini cocok kalo sama Julian. Julian kan backgroundnya emang accounting. Ya siapa tau dengan bergaul sama Julian 6 bulan, bisa tumbuh tuh bibit-bibit dan modal dia buat survive sekolah finance.”

Jeno dalam hati membenarkan ucapan Jaemin. Ada benarnya juga memasangkan anak baru ini sama Julian. Knowledge-wise, bisa dibilang Julian ini paling mateng di antara mereka, meskipun umurnya di bawah mereka.

“Kalo personality?”

“Ya kayak gitu tadi, masih jauh lah dari standar. Jawab pertanyaan gua aja suaranya lirih banget, kayak nggak percaya diri gitu. Attitude dan manner juga dia kayaknya belum ngerti-ngerti amat bocahnya. Itu elo yang harus moles.”

PR lagi kan buat Jeno, dia harus reshape anak ini buat jadi bagus di kemudian hari. Bukan cuma soal ilmu, tapi juga tingkah laku.

“Terus menurut lo gue harus report apa Jaem ke Bu Jess?”

Jaemin terlihat menggaruk pelipisnya dengan telunjuk. Anak rambutnya ikutan bergoyang-goyang terkena tiupan angin sore.

“Apa ya? Gua jujur nggak sreg sih, cuma kata lo tadi, apapun itu kita nggak bisa nolak permintaan Bu Jess kan? Kalo udah special request gitu berarti mau nggak mau, bagus nggak bagus, ya kita tetep harus nerima kan?”

Jeno hanya berkali-kali menganggukkan kepalanya. Kemudian meneguk kopi panasnya yang sudah mendingin, diikuti Jaemin kemudian.

“Ada CV dia nggak di HP lo?” Keheningan di antara dua lelaki dewasa itu pecah setelah bermenit-menit mereka cuma tenggelam, menyelami pikiran masing-masing yang isinya nggak jauh-jauh dari tumpukan berkas fisik atau non-fisik yang sejenak mereka lupakan di lantai atas sana.

“Ada nih, lo mau liat?”

Jeno mengiyakan pertanyaan Jaemin dengan mendekati laki-laki yang lebih muda 4 bulan di bawahnya itu. Ikut mengamati bagaimana Jaemin membuka kotak masuk emailnya dan mencari sebuah file resume seseorang.

“There you go.”

Tidak ada yang spesial, seperti kata Jaemin.

Nama yang cukup unik, baru pertama Jeno dengar. Namanya Renjun.

Lucu. Saking polosnya dia menulis alamat lengkap dan tanggal lahir di bawah nama.

Sekolah? Dari sekolah mahal, of course hipotesis bahwa dia datang dari keluarga kelewat kaya ternyata benar.

Current education? Oke. Ada di community college di east coast. Jelas anak orang kaya, tapi Jeno tidak bisa memastikan reputasi sekolahnya karena baru pertama dengar namanya.

Skill? So-so. Layaknya anak SMA baru lulus, cuma bisa dasar, mungkin butuh banyak belajar.

Well, apa ya nilai plusnya? Nothing.

Udahlah, langit udah mulai gelap, tandanya mereka harus naik lagi dan mengejar pekerjaan yang bisa dituntaskan hari ini.

Toh besok juga masih ada waktu buat diskusi lagi.

Jeno dan Jaemin masuk kembali ke gedung kantor mereka, melewati beberapa orang berseragam formal seperti mereka sudah bersiap pulang. Jadi rutinitas untuk mereka ketawa-ketawa, meratapi nasib kenapa saat semua orang pulang, justru mereka baru akan kembali bekerja.

Saat hendak membuka gate otomatis untuk ke koridor lift, Jeno terkejut saat mendapati kartu akses sekaligus tangan kanannya penuh glitter warna keemasan.

Oh, iya, dia baru ingat kejadian sore tadi.

Huh ... lucu juga. Anak tadi sore benar-benar seharusnya tidak berkeliaran di kantor yang jadi playground orang dewasa begini. Masa tap kartu aja dia bingung? Untung kartu akses Jeno udah naik level jadi kartu serba bisa, jadi bantuin anak kecil tadi buka pintu seakan jadi obat buat kekesalan yang bercokol di diri Jeno sejak siang.

Glitternya ini ... pasti datang dari tangan kecil dan halus punya anak itu.

Entah kenapa Jeno jadi senyum-senyum sendiri ketika ingat tas besar di gendongan anak itu yang penuh pin dan gantungan, mirip punya Russell si anak pramuka teladan, belum lagi topi berbulu yang sangat nggak cocok dipakai di sore sepanas itu.

Lucu. Keanehan ini menurut Jeno lucu. Baru ketemu sekali masa udah bikin senyum-senyum selebar ini?