Jeno Kecil dan Luka Masa Lalu

Untuk Jeno di usia dua belas, mungkin perjalanan jauh dari Jakarta ke Edinburgh akan jadi perjalanan panjang pertamanya. Little did he knows, akan ada sesuatu yang besar menunggu dia di sana. Dan tanpa sadar, ikut andil dalam tidur-tidur tidak nyenyaknya bertahun-tahun kemudian.

Jeno kecil tidak pernah benar-benar mendapat curahan perhatian sepenuhnya dari Marianne ataupun ayah kandungnya. Keluarga Lee bilang, kelahiran Jeno tidak diinginkan. Mereka cuma ingin satu cucu laki-laki dari ayah Jeno. Sayangnya enam tahun berlalu setelah kelahiran anak pertama, keinginan keluarga besar itu harus pupus dengan hadirnya seorang anak laki-laki lain di pertengahan musim semi.

Umur dua belas, Jeno dikirim ke Edinburgh. Bukan semata untuk mendapatkan pendidikan terbaik di utara Skotlandia, tapi agar misi-misi keluarga Lee menjadian kakaknya yang utama dan satu-satunya berhasil. Can there be a two kings? Tidak. Keluarga Lee tidak pernah setuju atas konsep itu. Jadi ... jelas kan apa tujuan mengirim Jeno ke sana?

Jeno dipertemukan dengan saudara tiri ayahnya. Namanya Lee Donghae. Masih cukup muda saat itu. Dua puluh delapan. Dipanggilnya 'Om Donghae', hingga sekarang.

Hari-hari mereka sangat luar biasa. Jeno mendapatkan apa yang tidak pernah ia dapatkan semasa berada di pelukan orang tuanya.

Dia boleh menangis. Dia boleh tertawa berlebihan. Dia boleh marah dan kecewa. Semua emosi boleh dia rasakan selama ada bersama Om Donghae. Jeno sebut masa-masa itu sebagai masa-masa emasnya. Masa-masa paling hangat dalam hidupnya.

Tapi pernahkah dengar istilah, “there's no such thing as a free lunch”?

Nampaknya, Jeno belum sedewasa itu untuk mengerti di saat usianya menginjak lima belas.

Saat teman-temannya mulai bercerita ke sana ke mari soal mereka yang pelan tapi pasti punya pacar, ia justru kesulitan punya pacar karena Om Donghae selalu bilang, 'jangan percaya sama orang asing yang bilang mereka sayang kamu.'

Dan saat itu, semua orang, termasuk kedua orang tuanya menganggap tingkah protektif om kesayangannya itu adalah bentuk kekhawatiran orang tua atas anak baru puber seperti Jeno.

Sayangnya, Jeno baru sadar beberapa tahun lalu, kalau saat itu, ia benar-benar sudah berada dalam jerat muslihat laki-laki yang terpaut enam belas tahun lebih tua darinya itu.

Awalnya mungkin hanya kegelisahan karena laki-laki itu acap kali mencium dan memeluknya. Kadang disertai sentuhan-sentuhan yang buat Jeno mengernyit bingung setelahnya.

Tapi, lama kelamaan, Jeno makin sulit menolak ketika Om Donghae bilang, dia mau Jeno membantunya. Dan tidak ada pilihan lain pastinya untuk Jeno, karena dia menghormati benar laki-laki itu.

Hingga puncaknya, pagi buta setelah ulang tahunnya yang ke tujuh belas, ia jalan dengan terpincang-pincang ke kamar mandi—menahan sakit di sekujur badan dan analnya—lalu menangis hingga matahari muncul. Tapi kembali bersikap seolah semuanya masih normal.

Karena lagi-lagi, ia tidak mau Om Donghae marah dan kecewa padanya. Karena otaknya bilang, “rumah ini adalah tempat ternyaman dan terhangat buat Jeno. Rumah Om Donghae.”