Jeno: Sundays and cut fruit

Sebutan ‘rumah’ selama ini hanya gue sematkan buat satu lantai gedung perkantoran di sekitaran Cilandak yang akrab sama sleepless nights gue, Jaemin, dan Jisung untuk bangun startup yang menurut statistik dari badan penyelenggara survei terkemuka di Indonesia adalah salah satu startup paling revolusioner di tahun 2022.

Selain itu? None. Nggak sudi gue nyebut tempat-tempat itu sebagai rumah.

Lebih-lebih yang isinya cuma orang-orang egois yang nggak pernah mau put themselves on my shoes dan ngerasain gimana hidup menjadi gue.

Well, gue tahu mungkin hidup mereka jauh lebih berat. Tekanan, here and there, tapi bukan berarti itu jadi tameng mereka buat nggak menghargai gue.

Gue pergi ke London bukan semata-mata untuk sekolah lagi kayak yang selama ini gue dan tim gue gembor-gemborkan di media sosial. Bukan juga semata-mata buat memperluas network gue sama banyak pemeran penting sustainability movement di Europe. Tapi hal yang paling mendasar adalah supaya gue bisa sedikit istirahat dari kewajiban buat dengerin omelan nyokap gue tiap hari.

Bayangin, dalam 24 jam per hari, seperenamnya akan dipakai nyokap gue untuk ngomel. Ngomel soal hal-hal yang nggak seharusnya dia katakan ke anaknya yang tahun ini usianya udah menginjak angka dua puluh sembilan.

Banyak orang—temen-temen deket gue to be honest, yang akan bilang bahwa omelan nyokap gue itu adalah bentuk rasa sayang dia ke gue. Padahal, nggak selamanya begitu.

Bayangin, udah dua tahun terakhir gue nggak pernah tahan duduk tenang di meja makan tiap makan malam karena gue harus dengerin nyokap gue nyinggung soal pasangan hidup. Gue beneran udah fed-up sama semua omongan nonsense dia dan rencananya buat jodohin gue sama orang yang menurut dia sesuai sama standarnya.

Papi gue? Dia adalah laki-laki yang nggak pernah bisa bantah nyokap gue—in short, dia itu powerless di depan nyokap gue. Dan gue nggak mau jadi kayak dia.

Gue pikir, dengan melarikan diri ke London dan menyibukkan diri gue dengan belajar di salah satu sekolah ekonomi dan bisnis terbaik di Eropa akan membuat nyokap gue segan dan nggak lagi-lagi mau intervene segala urusan pribadi gue.

Tapi dugaan gue salah besar. Nyokap gue yang tahun ini menginjak usia lima puluh tujuh, rela datang jauh-jauh all the way from the other side of the world buat ngomongin hal paling substansial tapi at the same time menjadi hal paling nggak penting di muka bumi ini bareng gue: yakni ngomongin soal jodoh.

For God’s sake, di umur gue yang sekarang, gue udah empat kali ngenalin mantan-mantan pacar gue ke dia, dan nggak ada satupun yang cocok sama dia.

Mantan pertama, namanya Holy. Anaknya cakep banget. Mantan anak olimpiade di sekolah gue. Skor math dan chem dia waktu ujian IB udah nyentuh angka 38+ yang bikin dia saat itu ketrima di Yale. Fair enough, Asian, cantik, dan pinter. Mami nggak setuju, as expected. Tapi dia nggak pernah ngasih tau apa alasannya.

Mantan kedua, ketemu di summer camp di Virginia waktu gue masih kuliah di US. Empat bulan pacaran, ketahuan sama Mami. Gue kenalin ke Mami, nggak setuju lagi padahal dia juga Asian yang kebetulan kuliah di US, sama kayak gue. Kali ini kata Mami, she is not so keen on the idea of me dating a youtube singer. Gue ngalah.

Mantan ketiga, cowok paling cakep di kampus gue saat itu. Kenal waktu nggak sengaja paired in a group di kelas ekonomi. Selain cakep, dia juga anak orang kaya dari Colorado. Ayahnya punya kebun jagung yang kayaknya bisa buat menghidupi keluarga sampe tujuh turunan. Mami nggak setuju, of course karena dia bukan Asian. Kami akhirnya putus di bulan ke-delapan belas pacaran.

The latest one, belum jadi mantan sih technically, tapi juga nggak bisa dibilang kami dating karena gue minta waktu break ke dia buat jelasin ke Mami. Namanya Reneé, lima tahun lebih tua di atas gue. PhD candidate di bidang geografi, suka barang-barang cantik dan mewah kayak Mami, plus proven to be a good mother karena dia udah punya anak dari hubungan dia yang sebelumnya. Satu lagi poin plusnya, dia half-Asian.

Seharusnya, banyak kelebihan Reneé itu jadi hal yang bikin Mami mau menerima dia kan? Tapi Mami bener-bener nggak bisa sama sekali menoleransi keberadaan Reneé.

“Dia itu bukan perempuan yang punya orientasi ke pernikahan di masa depannya.” which is true dan gue nggak masalah dengan itu.

“Dia udah punya anak. Apa kata temen-temen Mami kalau kamu jadi bapak sambung dari anak orang lain yang nggak jelas asal-usulnya?” I can prove her wrong karena gue kenal baik siapa ayah dari anaknya Reneé. They did a pretty good coparentship.

“Mami lebih suka orang yang punya tiga hal ini: nurturing, caring, and sensitive. Dan tiga-tiganya, bisakah kamu dapat di diri dia?” itu kan standar Mami, bukan standar gue. Gue sih nggak masalah kalau nanti dia lebih milih buat hidup keliling Antartika buat research, daripada dia harus diem nggak berkembang di rumah? Ngurusin gue yang sebenernya nggak perlu-perlu amat diurusin sebegitunya.

She’s not Asian.” kalau soal ini, Mami punya pandangan yang agak aneh. Menurut dia, seseorang dikategorikan sebagai pureblood-Asian kalau dia lahir dari kedua orang tua Asia, hidup dan besar di Asia, serta dididik dengan cara yang sangat Asia. Dan untuk hal ini, I have to admit kalau Reneé sama sekali nggak masuk kriteria ini.

Kembali soal Mami yang saat ini udah selesai masak udang asam manis kesukaan gue dan Papi as if dia nggak baru aja terbang empat belas jam dari Jakarta ke London.

Gue bisa lihat segala jenis makanan empat sehat lima sempurna termasuk buah-buahan segar udah tersaji di meja makan rumah peninggalan Kakek dengan baik. Pemandangan yang jarang banget gue lihat karena biasanya gue akan memilih buat takeaway ayam goreng atau pizza dari kafetaria sekitar kampus buat makan malam di rumah.

Gue dan Papi makan dalam diam, sementara Mami masih masak chow mein yang biasanya di-request sama Papi.

“Kok pada diem aja?” Mami nanya waktu nasi dan lauk di piring gue hampir tandas. Gue nggak minat nanggepin karena emang sama sekali nggak ada topik yang cocok buat dibahas sama Papi atau Mami di saat seperti ini.

“Kamu tuh semakin besar semakin hemat ngomong ya, Jen. Mami heran deh. Padahal dulu waktu kecil kamu hobi banget ngomong sampai-sampai Jaemin pusing nanggepin kamu yang cas-cis-cus terus. Ya mungkin karena dulu Mami sering ngajakin kamu ngomong terus sih waktu masih di dalem perut, makanya kebawa sampai besar.”

Mami menjeda omongannya waktu dia ngangkat chow mein yang masih mengepul dan mindahin makanan itu ke piring saji.

“Tapi kenapa ya makin gede kamu makin hemat ngom—”

“Ya emang sih, dulu Mami selalu ngajak aku ngomong waktu di dalem perut, tapi giliran udah gede kan aku diomelin mulu. Gimana nggak hemat ngomong kalo gitu?” berikutnya gue nyomot semangka di piring dan gue bawa kabur ke ruang tengah. Bisa pecah kepala gue kalau denger Mami ngomong lebih banyak lagi.

Mami belum nyerah, gue bisa denger gantian dia ngomel panjang lebar ke Papi. Sekilas gue denger dia marah karena Papi nggak bisa cairin suasana padahal dia mau ngobrol serius sama gue. Asli, gue nggak ngerti sama jalan pikiran Mami. Semua hal harus sesuai sama mau dia. Kesel nggak sih?

Mami nyamperin gue di sofa ruang tengah. Bawa buah yang jadi favorit gue—buah pir. Tentu yang udah dipotong-potong bite-sized supaya gampang dijadiin cemilan. Dulu, gue sering banget makan ini sambil belajar waktu SMA. Dan Mami selalu mastiin dia sendiri yang siapin buahnya.

“Mami sama Papi minggu lalu udah ketemu sama keluarga Huang.” jujur gue nggak tahu dan nggak mau peduli mereka siapa, tapi kayaknya sih salah satu dari calon pasangan hidup gue menurut versi Mami.

Gue diem aja, mungkin Mami udah ngerti juga kalau gue nggak tertarik sama obrolan ini. Makanya dia lanjut omongannya tanpa nunggu gue jawab, “Mami akan arrange kedatangan Renjun ke sini dalam dua-tiga bulan. Pas kan waktu kamu mulai term baru nanti?”

Gue kaget, karena ini kayaknya jadi salah satu upaya Mami yang nggak cuma berhenti di omongan doang. Karena dia beneran bikin action plan kali ini buat datengin orang yang mau dia jodoh-jodohin sama gue ke sini. It’s getting serious, I think…

“Dia akan ada di sini sampai setahun. Sampai last term kamu di sini akhir Desember. Jadi kalian bisa pulang bareng-bareng waktu liburan Christmas. Dan Mami harap, di tahun berikutnya kalian udah bisa menentukan jalan terbaik buat kalian.” Mami ngomong dengan nada suara yang lebih halus dari biasanya, sambil kasih elusan ringan di pundak gue, seolah dia mau bujuk Jeno kecil buat minum obat waktu dia sakit.

“Mami yakin dia anak yang baik. Dia bisa bantu kamu juga untuk jadi lebih baik. Dan Mami juga optimis kalau kamu bisa membimbing dia buat jadi the best version of himself. Mami lihat dia punya banyak potensi, cuma emang ada banyak batasan aja yang bikin dia nggak bisa unveil itu semua.” omongan Mami kedengeran makin serius dan make sense buat gue.

“Ini bukan cuma soal kamu dan dia, Jen. Tapi juga soal balas budi. Kalau bukan karena keluarga mereka, kamu nggak akan bisa menikmati apa yang kamu punya sekarang. Jadi Mami minta tolong, please, please, please, do us a favour, kali ini aja, ya?” suara Mami masih lembut, dan gue bisa rasain ada sedikit getaran di suara dia.

Gue nggak yakin Mami akan nangis, tapi yang pasti suara dia agak lain dari biasanya. Bukan lagi suara Mami gue biasanya yang akan terdengar tegar, otoriter, nggak mau dibantah, dan nggak bisa dibelokin.

Jadi gue pikir, mungkin, ini emang seserius itu.

Gue memang nggak suka cara Mami ngatur-ngatur hidup gue, tapi gimanapun, Mami tetep punya ruang berbeda di hati gue.

Mungkin nggak ada jawaban atau sanggahan yang keluar dari mulut gue ketika gue beranjak dari sofa dan masuk ke kamar ninggalin Mami sendiri.

Tapi, jauh di dalam lubuk hati terdalam gue, gue janji akan coba—untuk satu kali ini aja.