kamu dan aku: perkara sepintas lalu

“Hai, Jo. You look amazing,” Renjun peluk hangat badan Jo siang itu, pertama kali mereka bertemu lagi pasca kabar dating Jo dan pacarnya menyeruak ke media dan bikin semua orang di penjuru Korea seolah menanti kapan pasangan ideal ini naik ke pelaminan.

Jeno berdiri awkward di samping Renjun yang lagi menuntun Jo berjalan ke kursi panjang restoran milik saudara jauh Jeno ini. Beberapa pegawai menatap kepo dari ujung matanya.

Renjun dan Jeno duduk bersisian pada sofa panjang berlapis kulit coklat tua, sementara Jo duduk di seberang mereka sendirian.

“Rok kamu bagus, Jo. Punya Loro Piana ya? Aku pernah liat di Milan waktu nganterin Jeno fashion week 8 bulan lalu.”

Jo sama sekali nggak mengantisipasi pertanyaan ini dari Renjun, jujur dia udah lebih siap untuk dimaki-maki atau disebut perebut pacar orang ketimbang mendapati Renjun yang malah nanya soal ... roknya.

“I-iya, kamu ... punya ingatan yang bagus juga ya, Renjun.” Jo bingung banget mau jawab apa.

Renjun cuma senyum bangga lalu lanjut bicara, “aku selalu ingat semua yang aku incar sih, Jo. Cuma sayangnya waktu itu kan nggak mungkin ya aku beli rok? Memangnya siapa yang mau make? Ya aku mau aja sih, cuma Jeno pasti bilang 'jangan berlebihan' hahaha” sambil menirukan nada bicara Jeno.

Jeno semakin awkward di samping Renjun, dia cuma tenggelam di upayanya membolak-balikkan buku menu sambil berusaha supaya mood Renjun tetep gini-gini aja sehingga mereka akan aman dari jepretan handphone pengunjung bistro sampai selesai nanti.

“Eh pesen Jo, pesen. Ada banyak yang enak di sini, kamu udah pernah ke sini selama ngedate sama Jeno?”

Perut Jeno jujur kayak lagi ditonjok sama seseorang yang pake sarung tinju dengan ayunan tenaga yang kuat banget. Pertanyaan Renjun satu ini benar-benar bikin hatinya nggak enak. Dia mulai berpikir kayaknya salah deh nemuin Jo sama Renjun di satu tempat begini.

Sulit membaca raut muka Jo, dia cuma senyum sungkan sambil geleng-geleng kepala, menyiratkan kalau ini kali pertama dia ke sini.

Nggak butuh waktu lama bagi mereka untuk memesan ke salah satu pelayan bistro milik Jaehyun ini, pelayan pergi, mereka kembali bertiga duduk dalam awkward silence yang kembali dipecah oleh Renjun.

So ... gimana? Progress kalian? Udah sejauh apa? Apa kemajuannya? Jeno tuh nggak pernah cerita tau, Jo. Padahal aku juga berharap denger informasi soal kalian.”

Perut Jeno mules, kayak diremes-remes, dia merasa pertanyaan Renjun ini halus dan nggak disampaikan dengan nada menggebu. Tapi nusuk dia di tempat yang tepat.

Nggak beda dengan Jo, dia bener-bener merasa semua perangai Renjun ini jebakan. Jadi perlu waktu sekian detik untuk dia hendak buka suara menjawab, tapi lagi-lagi diinterupsi sama Renjun yang hari ini sangat hiperaktif.

“Ah iya, mungkin Jo udah ada kemajuan? Mulai ... suka gitu sama Jeno?” pertanyaan yang menurut Renjun harmless ini ditutup dengan tawanya yang melengking. Tanpa berpikir kalo Jeno udah ngerasa, Renjun di sini cuma pengen nyindir dia habis-habisan.

Sementara Jo keliatan reluctant buat jawab, Renjun beralih ke mangsa satunya alias Jeno, dia nanya hal yang sama. Yang otomatis cuma bisa dijawab gelagapan sama Jeno.

“Loh ya suka dong! She's ... nice! Kayak kata kamu tadi.”

Terus Renjun beralih natap Jeno tepat di matanya selepas minum air putih dari gelas, “you surely know what I meant, Mr. Lee.”

Senyum Renjun kerasa kayak bukan Renjun di mata Jeno.

Ketegangan dan pertanyaan-pertanyaan mematikan dari Renjun bikin pertemuan siang ini yang seharusnya cuma berdurasi dua jam kerasa kayak dua minggu bagi Jo ataupun Jeno. Mereka seringkali dibikin nggak berkutik ketika Renjun udah nanya dengan tatapan tajam dan judging-nya soal hubungan fabricated mereka.

Tapi pada akhirnya, ada satu momentum di mana Jeno sadar bahwa ... mungkin, hanya mungkin ... Renjun sebenernya udah tahu duluan soal semua ini. Jauh lebih dulu ketimbang huru-hara di Hawaii beberapa waktu lalu.

Kata-kata seperti 'ya udah bisa diprediksi' atau 'aku udah ngira' bahkan 'i knew it from the start' seringkali dilontarkan Renjun tiap menanggapi cerita Jo atau dirinya soal public stunt ini. Cuma untuk memastikan kalau Renjun akan terus baik-baik aja sampai nanti, Jeno nggak nanya lebih jauh. Dia main aman, sih. Nggak pengen pacarnya tiba-tiba tantrum dan malah bikin dia kesulitan.

Yang penting, Renjun seolah kasih approval ke Jeno dan Jo untuk menjalani satu dari dua agenda penting terakhir mereka sebelum kabar kandasnya hubungan mereka dirilis di akhir tahun. Jeno senyum-senyum sendiri bayangin kalau di tahun baru, dia akan pergi ke Iceland bareng Renjun untuk lihat aurora di musim dingin.

It's all gonna be worth it.

***

Sementara semua orang pulang ke rumah selepas turun dari pesawat dan harus mempertahankan diri dari kerumuman fans juga wartawan di airport, Jeno justru pergi ke rumah sakit untuk menemui keluarganya. Satu lagi hasil kebodohan dan keteledoran Jeno.

Mami punya riwayat vertigo akut, sering tiba-tiba kambuh kalau habis melakukan pekerjaan berat atau syok. Makanya Mami berhenti kerja selepas umur 50 karena memang seharusnya di rumah aja dan membiarkan dua anaknya bekerja. Toh, investasi dia di properti yang disewakan di Ilsan juga udah lebih dari cukup untuk nambah uang belanja. Apalagi Papa juga masih akan terus kerja sebelum pensiun di umur 70 nanti.

Wajah bermasker Jeno sebenarnya sangat mudah dikenali oleh banyak orang di rumah sakit, apalgi seharian penuh dia yakin semua stasiun televisi menayangkan berita tentangnya gara-gara kasus semalam. Cuma ya mau gimana? Risiko kan.

Waktu dia sampai di kamar VVIP paling ujung, ada dua orang yang menjaga Mami. Papa dan kakak iparnya. Papa masih buka-buka buku teks dan di depannya ada laptop yang masih menyala, kayaknya masih nyiapin materi untuk mengajar besok. Sementara kakak iparnya lagi duduk santai nonton siaran sepakbola di sofa.

Maminya tidur tenang banget di atas tempat tidur. Tapi Jeno dari jauh udah bisa lihat bagaimana wajah Mami begitu pucat dan kelihatan nggak sehat.

“Dari tadi nungguin kamu. Cuma kayaknya udah capek, makanya ketiduran.” kakak iparnya buka suara sambil mengecilkan volume televisi.

“Gimana perkembangan kasusnya?” gantian papanya yang tanya ke Jeno, sambil mempersilakan anak bungsunya duduk di antara dia dan menantunya—di sofa rumah sakit yang lumayan kecil.

Jeno membuka masker dan topinya bergantian, menghela nafas, menyenderkan kepalanya di dinding rumah sakit yang dingin. Perlahan mengurut pangkal hidungnya dengan tekanan, berharap rasa pening di kepalanya hilang selaras dengan pijatan kecil itu.

“Kasus yang mana? Ada 3 yang lagi jalan.”

“Ngapain kamu mikirin urusan pejabat satu itu?” papanya bertanya dengan kelakar di akhir. Iya juga ya, Jeno nggak seharusnya ikut mikirin dia. Tapi karena dia udah ikut terjun di masalah itu, jadi ya ... mau nggak mau kan dia ikut mikirin?

“Kalo masalahku sih belum tau, terakhir kemarin yang bisa dilakuin ya diem dulu. Belum berani escalate karena sebenernya ini nggak akan jadi problem kalo nggak seolah ditayangkan dengan sengaja pas ada Jo sama aku. Rencananya abis ini sih agensi mau bikin press conference.”

“Emangnya itu barang hadiah dari siapa sih? Fans kamu ya?” gantian kakak iparnya tanya lagi, sekarang sambil mengunyah buah-buahan yang dia potong untuk Jeno.

“Bukan. Aku nggak tau, tapi masa fans setega itu sama aku?” iya, Jeno lagi bohong. Nggak mungkin kan dia bilang itu dari Renjun?

“Terus kalo soal Renjun? Udah keluar hasil tes urinnya?”

Kakak ipar Jeno menyodorkan sepiring apel potong pada Jeno, diterima dengan senang hati dan mulai memasukkan irisan demi irisan ke mulutnya.

“Nggak tau juga, belum nanya lagi. Tapi kata orang yang dari tadi bareng sama Renjun, dia nggak minum atau konsumsi apapun sebelum nyetir pulang itu—eh, dia bukan yang nyetir juga sih,” jelasnya.

“Terus? KMJ itu siapa sih? Kim ... Kang ... Kwon ... siapa? Temen kalian juga?” papanya nanya lagi.

“Bukan. Mereka baru ketemu di club beberapa kali, terus kebetulan kemarin ketemu lagi.”

Kakak ipar Jeno menghela nafas, ikutan sedih denger banyak hal yang bertubi-tubi harus dirasakan sama adik iparnya satu ini. Padahal kemarin hidup keluarga mereka baik-baik aja.

“Mami tuh panik, sedih, takut kemarin. Paniknya jangan-jangan Renjun ada niatan buruk malam itu dan kepikiran kalo dia bener-bener lagi mabuk.”

“Sedihnya tuh kamu sama Renjun kok ada aja ya ujiannya akhir-akhir ini? Belum lagi abis ini harus beresin semuanya.”

“Takut juga kalo ternyata yang pergi sama Renjun itu selingkuhannya atau gimana. Mami takut Renjun ninggalin kamu.”

Awalnya Jeno sama sekali nggak pernah kepikiran probabilitas itu. But now that kakaknya bilang hal ini, dia jadi kepikiran. Apa iya ya Renjun mau pergi dari dia? Apa Renjun udah capek harus begini sama dia?

“Papa dan Mami nggak bisa ngasih banyak pertimbangan buat kamu, terlalu banyak variabel yang masih abu-abu di sini. Yang penting selesaiin masalah kamu dulu, baru bantu orang lain. Renjun juga udah dewasa buat bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.” Papanya melepas kacamata sebelum berkata demikian.

Tangan keriputnya dia arahkan untuk mengelus pundak Jeno yang—seolah tegar, tapi sebenernya juga butuh banyak sekali tepukan lembut yang bilang kalau dunia bakal baik-baik aja setelah ini.

“Kalau memang udah nggak bisa dicari jalan keluarnya di antara kalian berdua, nggak papa. Pisah aja dulu.”

At that very moment, Jeno tahu. Dia yang bikin semuanya jadi serunyam ini.

***

Badan Jeno masih lelah, belum juga istirahat setelah siang sampai sore ada di rumah sakit, just to see his mom sleeping soundly sampai jam 4 sore waktu dia harus segera jalan ke kantor dan dateng ke pertemuan yang dijadwalkan jam 5 sore dengan para directors.

Sesuai dugaan, supir agensi nggak nurunin Jeno di tempat biasa karena di sana udah banyak banget wartawan yang nungguin. Ada beberapa fans juga yang keliatan bawa puffer dan tas-tas besar, mungkin bakal bermalam di sana. Juga ada truk pakai LED berjalan yang tulisannya kurang lebih belain Jeno sama Renjun dan nuntut perusahaan buat segera ngasih penjelasan ke fans soal mereka.

Rasa pening balik lagi hampiri Jeno, capek banget asli. Dia butuh hari tenang yang nggak ada satu orangpun bakal intervensi aktivitas dia. Udah terlalu banyak hal yang mengganggu pikirannya.

Jeno diturunin di parkiran lantai 4 dan langsung disambut sama muka marah Manager Yoo. Untuk sekadar nyapa aja, perempuan itu nggak sudi. Dia cuma jalan lewatin Jeno buat pergi ke mobilnya. Manager Yoo berarti nggak akan dateng di meeting sore ini, harusnya Jeno aman.

Setelah sampai di lantai 19, Jeno ketemu sama Jaemin dan Chenle yang lagi sama-sama duduk diem di lounge yang sepi. Lounge yang sering mereka pakai buat santai-santai liat matahari terbenam.

Sinar matahari sore ngenain wajah Jaemin, siluet wajahnya yang punya kadar tampan di atas rata-rata makin bersinar. Sementara Chenle yang nggak suka matahari, memilih buat tiduran santai di pangkuan Jaemin. Tangannya mainin HP yang layarnya mati di atas dadanya.

Jeno berdehem bermaksud ngalihin pandangan Jaemin dari barisan gedung di depan sana. Alih-alih berpindah lihat Jeno, Jaemin cuma diem. Malah Chenle yang bangun dari posisi tidurnya dan langsung mendengus lega waktu Jeno dateng.

“Lo pasti nggak baca grup.”

“Gimana bisa? Pikiran gue nggak di sini.” Jeno jawab sekenanya sambil lepas maskernya.

Meeting dipercepat 30 menit, barusan kelar. Semua orang udah pergi.”

Jeno mengumpat dalam hati. Kenapa juga ya ini harus kejadian ke dia? Padahal dia masih punya kesempatan buat lakuin yang terbaik untuk dirinya sendiri dan Renjun, tapi masa iya gagal lagi hari ini?

“T-terus? Hasilnya?”

“Banyak hal, Dear Dream bakal hiatus dulu satu tahun. Udah terlalu banyak problem, harus balikin image dulu sambil fokus jalan sendiri-sendiri. Terus ... masa depan gege. Sulit, tapi konsekuensinya jelas. Dan mau nggak mau dia harus ambil konsekuensi itu.”

Konsekuensi gimana maksudnya? Seinget Jeno, ada banyak pasal yang ditulis di surat kontrak mereka. Banyak banget. Saking banyaknya, mungkin kalo dulu Jeno nggak didampingi sama Papanya yang luar biasa teliti itu juga dia nggak akan ngerti ini arahnya ke mana.

“Konsekuensi?”

Chenle bermaksud nelen ludah sebelum jawab pertanyaan Jeno dengan satu kata pahit yang sudah ada di ujung lidah, tapi Jaemin udah keburu menyambar, jawab dengan tatapan mata kosong, “dipecat.”

***

Mark dan Haechan udah pengen banget meluk badan kecil Renjun sekarang. Tapi rasanya ada belenggu berat banget yang bikin mereka nggak bisa melakukan itu.

Wajah Renjun udah sangat sangat sangat lelah. Kantung matanya menghitam, rambutnya udah berantakan, sinar wajahnya juga nggak ada. Beda jauh sama Renjun yang selama ini mereka kenal.

Manager Yoo narik nafas dalam. Natap Renjun dengan penuh amarah, penuh rasa benci. Nggak ada yang bisa nandingin kebencian dia ke Renjun sekarang.

Di matanya, Renjun nggak lebih dari sekadar penghancur portfolio karir orang-orang sekitarnya. Renjun dan tingkah laku dia yang nggak akan pernah bisa diterima sama otak Yoo Ji Hyun.

“Puas kamu sekarang?” Renjun bener-bener udah kehilangan charm di wajahnya, biasanya dia akan sanggup natap lawan bicaranya tepat di mata. Tapi hari ini cuma sisa penyesalan yang keliatan dari wajah lelahnya.

“Jawab! Puas kamu sekarang?”

Renjun masih menunduk, bentakan Manager Yoo sebenar-benarnya bikin hati Mark dan Haechan ikutan teriris. Apalagi melihat Renjun di depan mereka harus menunduk dalam menyesali semuanya waktu dimaki-maki sama manajer mereka.

“Kamu hancurin karir Jeno, kamu hancurin hidup dia—aku masih bisa terima. Kamu sakit hati aku tahu. Itu hak kamu, kamu memang punya hubungan sama dia. Tapi kamu hancurin grup kamu sendiri, orang-orang yang udah bikin kamu ada di sini sekarang. Kamu hancurin mereka. Kamu orang jahat, Renjun.”

Renjun sadar akhirnya. Ini semua salahnya. Ini semua terlalu runyam untuk dibilang sebagai kesalahan sepihak atau secara penuh menyalahkan Jeno. Padahal dia juga tahu kalau dia nggak bertindak gegabah, ini semua nggak jadi.

“Kamu denger ya, kalau kamu nggak pura-pura gila dan sakit jiwa, nggak akan kejadian Jeno mati-matian belain kamu dan mengorbankan dirinya sendiri sampe sejauh ini. Hidup ini nggak cuma berputar di kamu, Renjun. Ada banyak orang yang menggantungkan hidupnya ke perusahaan, ada banyak orang yang ikutan rugi kalau kamu bertingkah.”

“Kamu bikin Jeno dapet image penyuka sesama jenis? Directors masih maklum, kalian masih muda saat itu. Kamu bikin dongeng khayalan seolah kamu sakit dan jiwa kamu nggak sehat? Semua orang maklum karena tingkat toleransi sakit orang berbeda-beda.”

“Tapi sekarang, kamu pikir pakai otak kamu yang udah rusak itu, apa kita masih bisa maklum kalau kamu bikin perusahaan harus ngeluarin lebih banyak uang di kondisi yang kayak begini, cuma buat nanganin ketantruman otak gila kamu itu hanya karena marah Jeno dan Jo dikabarkan dating? Toh kamu udah tahu dari awal kalau mereka pura-pura. Pikir, kamu itu manusia dewasa, otak kamu harusnya udah berkembang. Tapi kelakuan kamu nggak jauh beda sama ketantruman anak umur empat tahun. Kamu bodoh! Lebih cocok disebut idiot bahkan.”

Denger semua yang keluar dari mulut Manager Yoo, Haechan sebenernya udah nggak kuat. Rasanya dia pengen saat itu juga nampar mulutnya supaya nggak terlalu jauh marahin Renjun, apalagi bisa aja Renjun tiba-tiba akan naik emosinya dan malah ngelakuin hal-hal nekat. Tapi saking sakitnya, dia cuma bisa nangis nahan emosi.

Renjun nggak menarik pandangannya barang seincipun untuk lihat wajah Yoo Ji Hyun, dia masih menunduk dalam seolah seperti budak dipersekusi tuannya.

“Selama ini perusahaan terlalu baik hati masih terus-terusan nerima kamu dengan segala masalah yang kamu buat. Kamu nggak menjual, Renjun. Kamu nggak membantu kami untuk jadi lebih baik. Sama sekali. Kamu cuma bisa buang-buang uang yang seharusnya keluar cuma untuk hal-hal bermanfaat.”

“Kamu sadar kan kalau kamu itu nggak berguna? Bahkan kalau kamu pikir ya, dengan atau tanpa kamu, Dear Dream juga akan terus relevan. Kamu yang nggak relevan untuk siapapun.”

Kalimat itu jadi ucapan terakhir Yoo Ji Hyun sebelum pergi ninggalin mereka bertiga di ruangan besuk. Tangis Haechan pecah setelahnya, beringsut dia peluk Renjun yang sama sekali nggak bersuara, nggak berekspresi apapun, nggak menangis. Dan di situ, Mark tahu kalau semua ini nggak akan berakhir baik.

***

Ruangannya mungkin boleh baru, furniturnya juga. Tapi memori di otak Jeno selalu berkelana memintal memori lama. Diam-diam memotret semua gerakan, semua ucapan, dan semua kejadian yang melibatkan dia dan Renjun. Sejak awal, di ruang latihan.

Hari itu akhir musim gugur, wajah bersungut-sungut Jeno ketika harus berangkat lebih pagi ke kantor agensi seolah menambah kesan kelabu di musim gugur yang terasa lebih dingin dari biasanya ini. Sepatu kets hadiah dari Papa sudah jelek, Jeno berharap bisa beli yang lebih bagus dari ini nanti kalau dia sudah debut.

Setiap keluar dari stasiun yang ramai dengan ribuan orang dewasa yang hendak beraktivitas, Jeno harus menunggu sekian menit untuk Jaemin. Rumahnya berlawanan arah dengan rumah Jeno, dan subway yang melewati sekitar rumah Jaemin selalu jadi yang paling ramai di Seoul.

“Kamu kok nggak pakai baju bagus sih? Hari ini kan ada yang mau dikenalin ke kita.”

Jeno selalu ketawa kalau ingat omongan Jaemin yang satu itu. Jaemin hari itu memang pakai baju paling bagus yang dia punya, biar kelihatan keren di depan 'anak baru' yang katanya dari luar negeri itu. Sementara Jeno kayak nggak peduli, menurut dia kalau mau berteman nggak perlu banyak gaya!

Namanya Huang Renjun, nggak banyak yang menyita perhatian Jeno yang memang jarang sekali bisa punya first impression yang remarkable ke orang baru. Ya Renjun berbakat, bisa dance dengan bagus, suaranya juga oke. Tapi yaudah, impresi Jeno cuma sampai di situ.

Renjun selalu kelihatan takut tiap kali harus berdekatan sama Jeno. Tiap ada pair dance, dia selalu berusaha milih Jaemin yang punya persona lebih hangat daripada Jeno. Sampai Jeno merasa dikhianati karena Jaemin juga suka dekat-dekat sama Renjun.

Mereka juga nggak sering banyak bicara tiap lagi latihan. Jeno itu orangnya fokus banget kalau udah melakukan sesuatu, and to have such conversations with Renjun, jelas bukan ada di A-list dia.

Sampai suatu ketika, oksigen di ruang latihan kerasa habis waktu Renjun dan dia bisa ada di situasi seperti itu.

Sabtu sore, biasanya anak-anak trainee ini akan jalan-jalan keluar gedung kantor untuk main. Jajan street food, main sepeda, atau sekadar jalan-jalan sore nunggu sunset.

Penghujung musim semi hari itu, Doyoung yang memang selalu in-charge untuk mengajak 6 anak kecil ini jalan-jalan harus dibuat kerepotan karena Jeno dan Jaemin jatuh dari tangga waktu lagi jalan sore di dekat sungai. Jaemin punya luka cukup serius, makanya Doyoung harus segera bawa anak itu ke rumah sakit dan menelepon ibunya.

Jeno yang nggak terlalu parah akhirnya kembali ke kantor sama teman-temannya. Padahal sebenernya sama aja sih, kayaknya kakinya terkilir, tapi Jeno is just so good at hiding it.

And there goes Renjun, yang meruntuhkan semua rasa gengsi dan takutnya ke Jeno buat bersihin luka di kaki Jeno yang lumayan parah itu. Mereka nggak terlibat obrolan apapun selama itu, cuma berdua di ruang latihan yang kosong, berteman deru mesin AC kuno di gedung lama kantor agensi mereka. Dekat dengan Renjun, buat Jeno lebih atentif. Ada tanda lahir yang mirip luka di punggung tangan Renjun, ada tahi lalat kecil-kecil di lengan bawahnya, dan ada gingsul yang ternyata cocok juga untuk menambah ceri merah pada senyum Renjun.

Sore itu, jadi kali pertama Jeno dan Renjun bicara panjang berdua. Jadi kali pertama juga Jeno pulang bersama Renjun meski harus berpisah di stasiun dengan rona merah di pipi masing-masing.

Tanpa dia sadari kalau bertahun-tahun berikutnya, Jeno akan selalu jadi yang pertama untuk Renjun dan Renjun akan selalu jadi yang pertama untuk Jeno.

Cinta pertama, hmm mungkin. Karena Jeno selalu bisa merasakan pipinya merah dan panas, hatinya juga menghangat tiap kali Renjun ada di dekat dia. Beri perhatian yang nggak lazim dia berikan ke orang lain.

Pacar pertama. Waktu Renjun cium pipinya secara impulsif di malam halloween party lima tahun silam, sambil berbisik kalau dia nggak sanggup mikir masa depan tanpa Jeno di sana.

Ciuman pertama, bahkan sebelum mereka pacaran. Di ulang tahun ke tujuh belas Jeno yang berlangsung sebulan setelah milik Renjun, harus terputus dengan paksa di tengah karena tiba-tiba pintu emergency dekat tangga kantor mereka terbuka. Efek detak jantung nggak karuan itu bahkan masih kerasa sampai berhari-hari berikutnya mereka ketemu.

Sampai mungkin sekarang ini ... patah hati pertama dan terbesar Jeno. Akumulasi dari semua perasaan khawatir dan bersalah tiap kali melihat Renjun diam merenung dengan mata yang kosong. Semua gara-gara tingkah ceroboh Jeno mengiyakan tawaran yang secara nilai pun nggak pernah sebanding dengan kesialan dan keburukan yang seolah datang bertubi-tubi untuk dia dan Renjun saat ini.

Terlebih lagi, soal sebuah foto buram dari CCTV lapangan parkir klub yang dikirim Yangyang. Renjun di sana, senyum lebar dan mata sayu terlihat di wajahnya. Mengalungkan tangannya ke pundak seseorang, bersandar lemas di mobil mewah dengan baju yang dihadiahkan Jeno untuk ulang tahunnya di tahun lalu. Bersama laki-laki lain yang terlihat begitu bernafsu mencium lehernya.

Jeno mungkin bisa menoleransi segala bentuk sakit hatinya, sakit fisiknya, dan kerugian materiil yang harus dia tanggung sendirian waktu semesta seperti berkompromi mulai menghakimi dan menghukumnya.

Tapi yang jelas, Jeno tidak pernah bisa menoleransi perselingkuhan.