New York, prolonged thrill

Kedatangan Saka ke New York nggak lantas bikin Bara bisa seenaknya log-off lebih awal dari rutinitas kantornya. Dia malah harus overtime sampe sekitar jam sembilan malem sebelum bisa keluar nembus dinginnya Manhattan di pertengahan autumn demi ngejar kereta ke JFK.

Saka akan landing sekitar jam sebelas malam. Itu artinya, Bara cuma punya waktu sekitar satu setengah jam untuk commute dari Manhattan ke JFK. Baju masih berantakan, perut kosong akibat belum makan, dan masih ada tanggungan buat kerja satu hari di Jumat besok.

Tapi bener memang kata orang, what you won't do for love, anyway?

Pertemuan sama Saka malam itu kerasa bener-bener berat buat hati Bara. Udah sekitar dua setengah tahun sejak mereka terakhir bertemu, tapi kayaknya rasa cinta yang dia pendam jauh-jauh buat Saka nggak ada matinya.

Pelukan mereka malam itu di JFK jadi pengobat rindu Bara, sih. Dia sampe nangis waktu bisa rasain lagi bau tubuh Saka yang selama ini dia nikmati diam-diam tiap kali mereka lagi tidur berdua di kasur dorm mereka yang sempit itu.

Saka tumbuh jadi laki-laki hampir matang yang bener-bener sanggup bikin Bara jatuh hati buat ke sekian kalinya. Rahang dan bentuk wajah Saka berusaha Bara rekam sebaik mungkin. Takut kalau-kalau ini jadi pertemuan mereka yang terakhir. Masa depan sangat kejam buat Bara.

Duduk sebelahan sama Saka sepanjang menyusuri metro dari Queens, Astoria, hingga Upper West di mana Bara mengadu nasibnya setahun ke belakang, benar-benar bawa Bara lupa dan lalai kalau Saka ini punya orang.

Haha, sedih ya? Saka datang ke Inggris bahkan tanpa diminta, rela ngabisin tabungannya demi Dewi. Kasian Bara, bahkan dia yang harus repot-repot ngurangin saldo tabungannya demi bawa Saka kemari buat dia.

Nggak apa-apa, senyum manis Saka waktu mereka makan di resto Jepang dekat apartemen Bara jadi penyemangat Bara kalau apa yang dia lakuin ini nggak sia-sia. At least, Saka akhirnya ada di sini.

Perjalanan pulang mereka ke apartemen masih dipenuhi sama tawa manis mereka yang saling bersahutan. Nggak heran, mereka udah lama nggak ketemu. Banyak yang harus mereka ceritain ke satu sama lain. Untungnya sih, Saka nggak banyak bawa obrolan soal dia dan Dewi. Sumpah, Bara nggak lagi pengen denger cerita soal Dewi. Biarin dia egois dulu buat semalaman ini, di samping Saka dan lupain eksistensi Dewi.

Setengah tiga pagi, mereka baru sampai di apartemen besar yang disewa sama Bara sejak enam bulan terakhir waktu dia akhirnya diangkat jadi karyawan tetap sama kantor tempat dia kerja sekarang. Lumayan, sih. Salary dia cukup buat bayar tempat ini selama setahun, penuh, di depan.

Saka cukup tercengang waktu tahu harga sewa apartemen yang kayaknya nggak sanggup dia bayar seumur hidup itu.

Well, Saka sih udah biasa hidup di sekitar orang kaya. Cuma di tempat ini, Saka baru sadar kalo Bara itu kadar kekayaannya udah di atas level semua orang yang pernah dia temui. Cuma dia kelewat humble juga makanya nggak keliatan.

Setengah tiga pagi, perlu waktu sejam buat mereka akhirnya mandi dan bisa mengkondisikan badan buat unwind dan beranjak tidur. Damn ... Bara kepikiran, gimana dia kerja nanti, ya? Bakal beler banget nggak sih?

Tapi pemandangan Saka serius ngetik di HP-nya dengan temaram cahaya lampu kuning kamar Bara nggak bisa disia-siakan. Meskipun Bara juga tahu, Saka pasti lagi chattingan sama Dewi yang mungkin udah bangun tidur di Britania Raya.

“Udah?” Saka merasa diperhatikan sedari tadi sama Bara, makanya dia tiba-tiba nyeletuk waktu ekor matanya nangkep Bara serius banget liatin dia.

“Apanya yang udah, Bret?”

“Liatin guenya?” kekehan manis dia selipin di akhir sebelum simpen HP-nya di meja dekat tempat tidur. Bersebelahan sama HP Bara yang lagi di-charge.

“Lo sadar gue liatin?”

Lagi-lagi Saka cuma mendengus dan ketawa karena tingkah laku Bara ini. Mereka belum berubah, dari waktu kuliah juga sama sukanya ngeledek gini.

Begitu Saka udah rebahan di samping Bara, atmosfernya langsung berubah buat Bara. Dadanya nggak karuan, berdetak lebih kenceng dari biasanya buat Saka. Dia nggak bisa sih begini. Saka yang terlalu deket sama dia beneran bikin bahaya.

Saka mulai nutup matanya ketika merasakan pendingin ruangan yang kerja ringan buat bikin kamar Bara sedikit lebih dingin. Meskipun lagi musim gugur, Bara emang udah kebiasa tidur pakai AC. Jangan heran, dia kayaknya terlahir dengan kulit setebal buku ensiklopedia. Makanya tahan banget sama dingin.

Sementara Saka udah hendak beranjak ke alam bawah sadar, Bara masih betah buat merhatiin pahatan sempurna Tuhan dalam bentuk Saka yang lagi tidur tenang di sampingnya.

Dulu, mereka sering begini. Tidur berdua di kasur sempit dorm, entah di kamar Saka atau di kamar Bara. Jauh sebelum Bara sadar kalau hatinya suka berdetak lebih kenceng buat Saka. Jauh sebelum Bara jatuh cinta.

Sekarang ketika semua udah jauh lebih jelas, Bara bisa rasain detak jantung itu lagi. Sayangnya, udah dihiasi juga sama rasa sakit dan pahit kalau inget siapa Saka sekarang.

Dia merasa kayak sampah, sih. Yang nggak mungkin lagi punya kesempatan buat deket-deket dan lancang biarin hatinya selalu berdetak lebih kencang tiap Saka ada.

Bara ngerasa nggak berguna. Ngerasa dirinya menjijikkan. Apalagi ketika berjuang sebegininya buat Saka, padahal dia yakin kalau Saka nggak akan segan pergi dari dia kalau udah bener-bener ketemu nyaman sama yang lain. Dewi contohnya.

Tapi sisi hatinya yang lain menolak, dia lebih ingin jadi realistis aja sekarang.

Ketika dia udah habisin sebanyak itu energi buat bawa Saka ke sini, ya dia harus maksimalin semuanya, dong.

Nggak ada lagi galau-galau. Dia cuma perlu mastiin kalau dia bahagia selama Saka di sini, begitupun Saka yang harus bahagia bareng dia di sini.

Supaya nggak ada penyesalan di akhir.