Keluh Peluk Peluh
Renjun masih setengah mati mengatur nafasnya.
Nafasnya setengah-setengah, pendek-pendek, tersengal—badannya sudah polos—layaknya puluhan tahun lalu saat ia baru keluar dari rahim Mamanya—sejak beberapa jam lalu, bersandar lemah di dada telanjang Jeno, rambut lepek berantakan menutupi sebagian matanya yang sudah sayu.
Tanpa perlu dijelaskan secara eksplisit pun, semua tentu sudah bisa menyimpulkan kalau mereka baru saja dimabuk cinta di atas ranjang. Atau mungkin, justru diselimuti nafsu?
Kesampingkan itu, Jeno berdehem dan mulai membuka suara, “Julian bisa bikin kamu kayak gini?”
Bukan sesuatu yang appropriate untuk dia tanyakan, tapi Renjun dengan gelengan ribut akhirnya merespon.
“Kita nggak pernah berhubungan seks sama sekali.” lanjut Renjun tanpa ragu—terlalu tanpa tedeng aling-aling membuka dinamika hubungannya yang baru seumur jagung dengan Julian. Seolah tidak ingin Jeno berasumsi yang macam-macam terhadapnya dan berakhir menurunkan nilai dirinya di depan Jeno.
“Kita nggak pernah sejauh itu. Aku nggak ingin, aku nggak butuh. It's only you,” Renjun berucap lagi, kali ini sambil membungkam bibir bengkak Jeno dengan ciuman yang sangat berantakan.
Malam ini adalah satu dari sekian malam di mana mereka saling mencari hangat dari temperatur tubuh masing-masing yang meninggi saat tempo permainan ranjang mereka juga ikut-ikutan meninggi.
Sebelumnya mungkin sudah dua kali? tiga kali? atau bahkan empat kali jika quickie mereka di Senin pagi di mobil Jeno juga dihitung? Yang jelas, mereka berdua sudah ada di level ketagihan. Nggak bisa ditolong atau diubah perangainya. Udah masuk jebakan.
Semua berawal dari perjalanan di Rabu malam dari kantor ke apartemen Jeno.
Jalanan macet—of course—tapi nggak terasa lama karena Jeno masih menikmati kembalinya rutinitas baru dalam hidupnya, menyetir dan membiarkan tangannya menggenggam erat tangan mungil Renjun selama perjalanan, sesekali mengecup pelan punggung tangan wangi itu sambil tersenyum manis.
Bucin tolol kalau istilah anak muda jaman sekarang.
Efeknya, kerlingan nakal Renjun saat Jeno melingkari pinggang rampingnya yang berbalut belt puluhan juta di dalam lift sepulang kantor tadi membawa mereka pada pintu kenikmatan yang suka mereka agung-agungkan itu.
Mulai dari ciuman tanpa ritme dari Renjun the moment pintu apartemen tertutup, sentuhan-sentuhan magis tangan lentik Jeno pada bagian-bagian tubuh Renjun yang sudah mulai ia hafal lekuknya, sampai tumbukan demi tumbukan kulit paha mereka yang punya efek gema besar di apartemen mewah itu mengubah pengalaman malam Renjun menjadi jauh lebih gila—pengalaman yang familiar tapi absen hadirnya beberapa bulan ke belakang.
Akibat satu kesalahpahaman—menurut Renjun sih begitu—yang hendak ia selesaikan dengan Jeno malam ini, jika sesuai rencana dan tidak terbuai ajakan melanjutkan ke ronde tiga.
“Donghyuk dan aku udah mau selesai, kok.” ucap Jeno, tangannya betah membelai punggung telanjang Renjun sampai ke tengkuknya.
Nafas Renjun sudah mulai normal, berangsur-angsur tidak lagi tersengal. Tapi, dia masih betah buat dengerin penjelasan Jeno secara atentif, nggak ingin menyela.
“We were ... complicated. Susah jelasinnya ke kamu gimana, karena mungkin untuk bayangin keadaannya aja susah. Tapi yang perlu kamu tahu, kita udah sepakat untuk selesai. Cuma emang prosesnya aja yang lama dan susah.”
Renjun menggeser posisi kepalanya untuk kembali ke atas, bergeser ke tengah dada Jeno setelah puas merasakan hangat perpotongan dada dan perut berototnya.
“And what makes it difficult to solve? Dia nggak mau cerai ya?” Pikiran Renjun begitu klise, 'siapa juga yang mau kehilangan Jeno?'.
Jeno tertawa pelan sebagai respon pertama, kembali mengelus punggung sampai ke bagian atas bokong telanjang Renjun yang sedikit terekspos dari selimut.
“Bukan, sayang. Ada banyak pertimbangan di sana, lebih-lebih soal Billie.”
Jeno nggak sepenuhnya bohong, tapi nggak sepenuhnya benar juga. Cuma rasanya, kurang benar aja kalau dia bawa-bawa cerita asli untuk dibuka di depan Renjun. Belum waktunya.
“Have you heard of Billie? My four years old?” Jeno bertanya sembari berpindah mengelus rambut setengah basah punya Renjun yang mulai memanjang.
“Mm-hm, let me see her someday ya?” Renjun tulus bilang begini. Dia ingin coba akrab sama Billie, meskipun dia belum tahu juga mau dibawa ke mana hubungan dia dan Jeno.
“Of course, kalian berdua harus bertemu.”
Renjun tersenyum mendengar penuturan Jeno.
Setidaknya, setengah kekhawatirannya sudah hampir sirna. Dia sudah mendengar cerita Jeno, nggak peduli apakah ini cuma sepotong? Tapi dia lega gitu aja setelah dengar sendiri dari Jeno kalau dia memang punya suami, untungnya tidak lagi 'kan setelah ini.
“Do you trust me, babe?” tanya Jeno setelah menggeser posisi tidur Renjun untuk sejajar dengannya di atas bantal, supaya dia bisa menatap mata coklat sayu Renjun yang mulai memerah karena lelah.
“I do. I love you, more than you know.” Ciuman kecil kembali Renjun bubuhkan di atas bibir Jeno.
Malam itu, mereka berakhir tidur dalam pelukan masing-masing. Kembali ke masa-masa kemarin seolah tidak ada lagi hal bobrok yang ditutupi di balik manis dan lembutnya ciuman pagi-siang-malam mereka yang dicuri-curi dari pandang semua orang.