Konfrontasi Sore
First impression yang Renjun rasakan ke Julian cuma satu: dia galak, nggak friendly, cuek.
Sebetulnya, sampe sekarang pun begitu. Kecuali fakta bahwa sore ini dia dengan patuh duduk di depan Julian yang sedang asyik menghembuskan asap rokok—salah satu hal yang dibenci Renjun.
“Lo udah berapa kali tidur sama Jeno?”
Setahu Renjun, Julian sama Pak Jeno ini selisih lima tahun. Julian lebih muda, baru lulus kuliah kira-kira dua tahun lalu kata Ci Jennifer. Tapi ternyata di belakang Pak Jeno, Julian bisa address dengan tanpa embel-embel apapun gini.
Pertanyaannya nggak bikin Renjun kaget. Karena dia merasa kapan aja harus siap sama pertanyaan ini.
“Dua? Tiga?” Julian masih mencecar, mencari jawaban dari orang di hadapannya.
“Apa urusannya sama kamu, sih?”
“Lo kan mentee gue, kalo ada apa-apa? Gue kena getahnya juga.”
Renjun mendecih, sama sekali nggak percaya sama omongan Julian. Dia kan ignorant, mana mungkin dia peduli? Lagian Renjun juga nggak mau menjelekkan dirinya dan juga Jeno di depan karyawan sekantor gini.
“What makes you think of me, seberani itu, tidur sama Bos sendiri?”
Gantian Julian yang berdecih sebelum menjawab, “bukannya udah jelas? Lo selalu dapet perlakuan spesial dari Si Bos.”
Renjun nggak habis pikir, ini Julian iri ya sama dia?
“Kamu iri sama aku? Balik aja jadi anak intern biar diperlakuin spesial sama bos.”
Julian diam sebentar, narik dalam hisapannya pada sebatang rokok di tangan kirinya yang tinggal setengah sebelum lanjut bicara, “Andy nggak pernah dapet perlakuan kayak lo, asal lo tahu.”
Raut muka Renjun seketika berubah. Padahal dia udah mengantisipasi jawaban ini, tapi kok rasanya tetep aja nggak terprediksi ya? Tetep aja kayaknya si Julian menang dan dia kalah?
“Oke, gue nggak mau berlama-lama basa-basi. Gue cuma mau kasih tau satu hal, Jeno itu udah bersuami.”
Rentetan kalimat itu benar-benar menusuk tepat ke jantung Renjun.
Dia menolak percaya, apalagi mau menelan mentah-mentah semuanya seolah apa yang dikatakan Julian barusan itu adalah fakta umum yang semua orang udah tahu.
“Lo doang kayaknya yang nggak tau, ya kan?”
Renjun udah kehabisan kosakata rasanya. Saking terlalu terpukul atas suatu fakta yang benar-benar tidak pernah terprediksi sebelumnya ini.
“Oh, bahkan dia udah punya anak. Wait, kalo lo ngerasa gue cuma boong, nih liat.”
Julian menyodorkan HP warna abu-abu miliknya ke hadapan Renjun.
Membuka kontak WhatsApp Jeno yang terpampang foto seorang anak perempuan berambut setengah pirang bermain di tengah-tengah rerumputan.
Tangan Renjun bergetar ketika menyentuh layar handphone milik Julian—ini ... dia nggak pernah melihat foto ini? Selama ini kontak Jeno nggak pernah bergambar, selalu tampilan default kontak WhatsApp dan Renjun tidak pernah curiga.
Julian tertawa mengejek sebelum menarik HP miliknya dari hadapan Renjun. Mengembalikannya ke kantong baju.
“Lo nggak tau kan? Kasian banget.”
Ejekan Julian nggak seberapa.
Bagi Renjun, kebohongan demi kebohongan Jeno justru lebih menyakitkan ketimbang omongan jelek Julian sekarang.
“Lo tuh dibegoin sama dia. Dia emang sengaja manipulasi emosi lo seolah dia care, seolah dia adalah orang yang paling bisa lo percayai, but then ketika dia udah dapetin apa yang dia inginkan dari lo, lo akan ditinggalin.”
Bulir air mata keluar dari mata kanan Renjun sejurus setelah Julian menyelesaikan ucapannya.
“Sekarang gue tanya lagi, lo udah tidur sama dia kan?” Julian merendahkan suaranya dan serasa menatap Renjun dalam iba.
Renjun tidak menjawab, cuma duduk termangu, masih menahan agar air mata tidak kembali turun.
“Gue asumsikan, lo udah sejauh itu sama dia. Dia emang bajingan kok, lo bukan satu-satunya by the way, don't worry.”
“Di mana suaminya?”
Julian bersorak dalam hati, akhirnya Renjun terpancing juga.
“Udah dalam proses cerai. Katanya sih, tapi gue juga nggak tau benernya gimana. Banyak yang bilang juga sebenernya Jeno masih sering ketemu dia.”
It's getting make sense now, karena sedari tadi Renjun selalu bertanya 'mana suaminya?' kalau selama ini dia bahkan nggak pernah melihat siapapun di apartemen.
“Ya gue ngomong gini bukan berarti mau ngurusin urusan lo ya, Jun. Cuman ya tahu diri aja lah, lo tuh cuma anak kecil. Once lo udah dirusak sama dia, ya lo bakal ditinggal.”
Julian mendekatkan tubuhnya ke Renjun, menghembuskan asap rokok mengenai rambut coklat Renjun sebelum berkata lagi, “Cowok umur segitu kan nyari yang mau diajak happy-happy kayak lo gini, meskipun mungkin di rumah udah punya anak.”
Renjun makin merasa bersalah. Jauh dalam lubuk hatinya, ia membayangkan ada di posisi anak perempuan Jeno.
Ayahnya punya pasangan lain di luar rumah, padahal mungkin setiap kali Jeno datang menemui Renjun—mencumbu Renjun di pangkuannya, ada anak perempuan kecil yang berharap ayahnya segera pulang dan membacakan kisah putri salju untuk dia sebelum tidur.
“Good luck deh jadi second option. Cuma saran gue nih, jauhin aja dia sebelum lo terlalu attached.”
Renjun masih tergugu, tapi Julian sudah menandaskan setengah gelas kopi susunya, sudah hendak pergi dari kafe.
“Nih tisu, jangan keliatan nangis di depan bos kesayangan. Ntar lo cepet dibuangnya kalo lemah gitu.” Julian menyodorkan satu kemasan tisu kantong pada Renjun.
“Gue balik dulu ya, lo cepetan balik deh sebelum Jeno balik. Abis ini meeting bareng kita.”
Julian sudah hendak berlalu dari hadapan Renjun, tapi dia kembali dan membisikkan sesuatu di telinga Renjun, “kalo lo takut, tenang aja, ada gue. Gue bisa bantu lo, jauh lebih powerful dibanding yang lo kira.”
Kemudian Julian menepuk pundak kecil Renjun dan pergi.