Penolakan Terakhir
Dua laki-laki berbaju setelan formal dengan masing-masing kemeja warna abu-abu tua dan putih gading—keduanya dengan slacks licin warna hitam—mengekori seorang waitress berpakaian serba putih untuk masuk ke ruangan privat yang sengaja disewa oleh Wendy Son siang ini.
Perempuan yang sepertinya berusia awal dua puluhan itu mempersilakan Renjun dan Julian masuk sesaat setelah mendorong pintu geser yang memisahkan ruangan privat dan ruangan umum yang ramai di luar.
Terlihat Wendy menyunggingkan senyum ke arah Renjun dan pacar barunya—menurut asumsi Wendy. Ini kali pertama ia dan Julian bertemu tatap secara langsung, setelah sebelumnya hanya sekilas melihat atau sekilas menyapa saat laki-laki pertengahan dua puluh itu mengantar Renjun pulang ke rumah.
“Hai, Jul. How you doin'?” sapa Wendy dengan senyuman cerahnya.
“Siang, Tante. Great, Tante. Tante sendiri gimana? Senang loh diundang makan siang sama Tante.”
Julian memang pandai membawa diri. Umurnya sudah banyak, jadi hal seperti ini sudah jadi makanan sehari-harinya selama bertemu dengan banyak macam orang. Apalagi Wendy terlihat seperti ibu yang sangat bersahaja, jadi harusnya Julian tidak akan kesulitan untuk berkomunikasi dengan wanita itu.
“Tante baik, kok. Meskipun masih agak jet-lag ya abis pulang dari Hongkong kemaren pagi. Please take a seat, Jul.”
Dibandingkan duduk duluan, Julian menggeser kursi dulu agar Renjun bisa segera duduk di sampingnya. Renjun berbisik 'makasih' untuk Julian, membawa senyum manis di bibir Wendy yang sadar bahwa ... ya, mungkin Julian memang a good fit untuk anaknya.
“Kakak mau pesen apa? Julian juga, segera pesen aja ya kalo udah kepikiran mau makan apa. Julian nggak lagi diet kan?”
Julian cuma terkekeh kecil lalu membantah anggapan Wendy kalau dia lagi diet. Jujur emang Julian makan apa aja kok, dan nggak punya plan untuk diet whatsoever, karena badannya memang sudah susah gemuk dari kecil.
“I'll take ... yang ini,” Renjun menunjuk satu menu dan menjelaskan preferensinya ke waitress, lalu beralih menatap Julian, “Ijul mau yang mana?”
Lagi-lagi membawa gelenyar hangat dalam diri Wendy ketika tahu anaknya sudah punya tendensi untuk bisa 'merawat' orang lain. Wendy makin yakin kalau begini, untuk membiarkan saja Renjun jalan dengan Julian. Toh mereka kelihatan sangat nyaman dengan satu sama lain.
Wendy memesan makanannya setelah itu, kemudian melepas bucket hat warna abu-abu tua dengan aksen silver yang sedari tadi masih ia pakai. Menyimpannya di kursi kosong sebelahnya, lalu beralih menatap Renjun dan Julian, “kalian kok serasi banget sih kayaknya?”
Julian tersipu, Renjun jengah.
Ini bukan yang dia mau. Bukan Julian yang seharusnya ada di sini sekarang.
“Thank you, Tante. Aku harap bisa begini terus sampe nanti.”
Ucapan Julian seolah diaminkan oleh Wendy, tanpa melihat air muka anak kandungnya yang justru terlihat ogah dengan kehangatan yang tercipta antara Ibunya dan Julian.
Mereka ngobrol banyak siang itu. Wendy lagi gencar-gencarnya menggali sebanyak mungkin informasi soal Julian, lebih-lebih ini pertemuan pertama mereka, pasti banyak yang Wendy ingin tahu dari Julian.
Renjun? Dia cuma diam, ya sesekali menanggapi, tapi lebih cocok disebut pasif. Karena pikirannya ada di orang lain, bukan di sini.
Apalagi kejadian tadi pagi di mana Mamanya tiba-tiba mergokin dia beli caps and lubricant dari toko online. Mamanya itu sensitif, jadi hal-hal kayak begitu aja bisa dibesar-besarkan. Seolah Renjun udah lepas dari awasan dia. Seolah dia ibu yang buruk karena nggak berhasil bikin Renjun terbuka ke dia. Alasan 'takut nggak cocok' juga Renjun tahu cuma alibi.
Makanan datang pun tidak menyurutkan semangat mamanya untuk menggali sebanyak mungkin informasi dari Julian. Mereka masih terus cerita sembari sesekali mengajak Renjun ikut bergabung. Tapi, most of the time, Julian yang lebih sering bicara, lebih sering cerita. Respon mamanya sangat positif untuk cerita Julian.
Well, Renjun mulai berpikir, mungkin semua ini salahnya sendiri. Harusnya dia percaya kata Jeno, harusnya dia turuti mau Jeno untuk mencegah mamanya ketemu sama Julian. Ternyata kekhawatiran Jeno bisa saja benar, mamanya lebih cepat suka sama Julian dari yang ia kira.
“Saya tuh bersyukur Mas, Renjun bisa kenal sama kamu. Soalnya, aduh ... dia ini fragile banget. I guess Mas Julian udah ada di kantor ya pas Renjun keracunan waktu itu? Aduh, itu saya nggak habis pikir. Gimana saya mau tega lepasin dia ke mana-mana kalau perkara makan cireng aja dia sakit perut?” Wendy udah akrab sekali manggil Julian pakai sebutan 'Mas', katanya biar kerasa lebih akrab.
Julian menanggapi dengan nada setuju bahwa Renjun harus dilindungi, dia juga walk the talk, kok. Nggak cuma omdo.
“Orang tuh suka berkomentar, kok anaknya disayang-sayang sih? Anaknya kan cowok, dibiarin lah ke mana-mana sendiri. Gara-gara itu Mas, saya langsung suruh dia sekolah ke US. Untungnya sih aman-aman aja.”
Julian menanggapi dengan kekehan, Renjun udah hafal, mamanya pasti akan cerita soal ini. Dulu ke Jeno juga begini.
“Di sini pun gitu, awalnya agak khawatir dia kerja kantoran. Khawatir nanti dia bisa ikut bergaul nggak ya sama orang-orang kantor? Eh, untungnya ada Pak Jeno.”
Bahkan cuma dari mendengar nama pujaan hatinya disebut, pipi Renjun terasa panas, bibirnya juga bahkan udah seakan tertarik mau senyum. Tapi dia nggak boleh begini, masih ada Julian. Makanya dia semakin menunduk dan pura-pura motong-motong makanan di piringnya.
“Pak Jeno itu kayak life-saver buat saya sama Renjun. Haduh, kalo nggak ada Pak Jeno, ini anak udah nggak tahu lah bakal gimana. Dia emang biasa sweet gitu ya Mas ke orang-orang di kantor?”
Julian mengejek dalam hati. Mengejek kemampuan Jeno untuk memasang dua persona berbeda buat narik mangsanya. Wendy sepertinya udah nyaris masuk perangkap, kayaknya tugas dia lebih berat setelah ini.
“Beliau memang leader yang baik sih, Tan. Cuma kalo secara personality saya nggak bisa berkomentar, karena ketemu dan ngobrolnya cuma di kantor.” Julian memilih cara aman, nggak sudi dia baik-baikin Jeno ketika tahu belangnya seperti apa. Tapi nggak mungkin juga dia langsung ngomong sesuatu yang akan mengejutkan buat Wendy, apalagi tanpa pembuktian yang jelas.
Toh memang bener kok, sebagai leader, Jeno itu oke. Tapi di luar itu, personality-nya mengkhawatirkan.
“Saya tuh ngerasa aman aja gitu kalau Renjun lagi sama Pak Jeno. Tapi kadang sungkan kalau mau nitipin dia ke bosnya, kan bosnya lagi sibuk juga urusan perceraian, apalagi udah punya anak juga.” Wendy menjeda omongannya dengan meneguk lemonade miliknya sedikit.
“Cuma sekarang, I'm so relieved, ada Mas Julian yang akan jagain Renjun.”
Lagi-lagi Julian tersipu, Wendy juga tersenyum tulus. Benar-benar pengalaman baru untuk mereka berdua. Baru kali ini Julian merasakan indahnya diterima di keluarga seseorang yang dia cinta, approval Tante Wendy seolah membawa angin segar buat dia, bahwa apapun yang terjadi di luar sana, dia harus tetap berusaha gandengan tangan sama Renjun. Untuk Wendy, ini pengalaman baru karena setelah bertahun-tahun menjaga dan berusaha melindungi Renjun sendiri, kali ini dia bisa minta bantuan ke orang lain.
On the other hand, Renjun nggak merasa senang dengan semua ini.
Keterbukaan Julian dan Mamanya satu sama lain, kepercayaan yang mulai diberikan Mamanya ke Julian. Semuanya kerasa salah. Semua nggak seharusnya seperti ini.
Ini bukan yang dia mau.
Kalau ini akan berlarut-larut, dia dan Jeno gimana? Nggak ada harapan lagi?
Dia helpless, dia jelas nggak bisa membela Jeno di depan Julian. Mereka pasti akan musuhan setelah ini, dan itu hal terakhir yang Renjun mau.
Renjun memilih buat menghindari makin lama mendengar obrolan Mamanya dan Julian. Ia permisi ke kamar mandi.
Renungan dia di kamar mandi cuma satu, semoga dia punya waktu dan kesempatan yang baik untuk bilang ke Julian. Bilang kalau dia udah nggak mau melanjutkan semuanya.
Rencana dia begitu. Pergi dari Julian, minta Jeno menunggu lebih lama, kembali ke States, menata hidupnya sebentar, lalu pulang dan dia akan kembali ke Jeno—dengan atau tanpa izin Mamanya. Supaya setidaknya, Julian nggak merasa dikhianati, dan nggak hilang harga dirinya, kalau-kalau Andy mengingkari janji dengan mengungkap apa yang dia lihat ke Julian. Padahal Renjun sudah mati-matian memohon ke Andy.
Masih ada satu masalah di depan mata, perihal kondom dan lube. Untuk ini, Renjun pasrah. Mamanya pasti menganggap dia dan Julian udah sejauh itu, tapi nggak masalah, soalnya Mamanya udah terlihat sangat percaya ke Julian. Buat kali ini, dia terpaksa harus berlindung menjadikan Julian tameng.
Ia segera mencuci tangan setelah bermenit-menit diam di bilik toilet, kemudian kembali ke tempat Mamanya dan Julian yang ternyata sudah menandaskan semua menu mereka.
Renjun cuma meneguk sisa colanya, dan langsung pamit undur diri dari mamanya bersama Julian. Renjun nggak banyak bicara dan manja-manja ke mamanya. Alam bawah sadarnya masih sangat tidak terima dengan fakta bahwa Mamanya ternyata lebih suportif ke Julian dibandingkan Jeno. Padahal dulu Mamanya begitu mengelu-elukan Jeno seakan dia yang terbaik. Well, bagi Renjun sih masih.
“Nanti pulangnya sama aku, tadi Mama kamu udah nitipin kamu ke aku.” Kata Julian saat berjalan di sisi trotoar sembari merangkul pundak kecil Renjun yang terlihat lebih lemas dari biasanya.
“Mm-hm, I was too stunned, you get along pretty well with my mom.” Kata Renjun main-main. Julian cuma terkekeh.
“I'm happy to tell you that I found peace in you and your mom. I feel safe. Mungkin emang kita cocok.”
Kata-kata Julian cuma ditanggapi dengan senyuman terpaksa. Dalam hatinya, Renjun udah muak sama kepura-puraan ini. Dia nggak berharap sama sekali kalau dia dan Julian cocok. Tapi mau apa? He will just hang in there for a moment dan segera cari cara buat lepas dari Julian dan kembali ke Jeno. Memutuskan buat jalan sama Julian memang bukan opsi yang bagus ya dari awal.
Renjun nggak fokus kerja, sesekali dia melirik ruangan Jeno di ujung sana yang tertutup rapat, tapi lampunya menyala. Bahkan sampai semua orang di lantai ini udah pulang satu per satu menyisakan Julian, Renjun, dan beberapa anak buah Mbak Cynthia—plus Mbak Cynthia herself yang lagi ngetik cepet ditemani sayup-sayup lagu-lagu dengan gebukan drum powerful dari Travis Barker yang berputar bergantian.
“Sayang, pssst, mau pulang sekarang?” Julian berbisik, karena dia menggunakan kata 'sayang' di kantor, takut meja kursi di depannya mendengar dan bersaksi di depan para bos.
Renjun cuma mengangguk dan mulai membereskan pekerjaan dan barang-barangnya. Sebelum terpaksa angkat kaki dan menatap nanar pintu ruang kerja Jeno yang tertutup dengan lampu menyala di dalam.
Bad traits Jeno, dia akan menenggelamkan diri di pekerjaan kalau suasana hatinya lagi nggak baik. And Renjun guessed it right, pesan dia tadi siang bikin suasana hati Jeno memburuk. Dan dia benci dirinya sendiri untuk itu.
Jalan ke rumah malam ini jauh lebih cepat dari biasanya. Mungkin faktornya karena udah malem, atau banyak orang bolos ngantor, atau kombinasi keduanya.
Jadinya Renjun ngerasa padahal dia baru ngelamun sebentar dan bersandar di punggung Julian sampai nyaris ketiduran, eh tau-tau dia dikagetkan sama guncangan akibat polisi tidur di dekat gate kompleksnya.
Sesampainya di depan rumah, Renjun masih enggan turun padahal motor Julian sudah berhenti hampir dua menit. Dia nggak siap menghadapi konfrontasi Mamanya malam ini, lebih nggak siap lagi harus menjelaskan ke Jeno soal apa yang terjadi di tempat makan tadi.
“Kenapa sih, sayang?” Julian membelai pipi halus Renjun sesaat setelah anak laki-laki itu mengembalikan helm milik Julian.
“I don't know, I feel like I hate myself for everything I've done.” Renjun setengah sadar mengeluarkan apa yang dia rasa ke Julian.
“Emangnya kamu abis ngapain?”
Renjun nggak menjawab. Iya, dia sadar kelakuannya udah nggak bisa dimaafkan. Manfaatin Julian, berdoa biar Julian nggak direstui sama Mamanya, kecewa sama Mamanya, juga ninggalin Jeno tanpa clue hari ini.
“Tadi pas kamu ke toilet, Mama kamu cerita. Katanya kamu abis beli sesuatu di online, bener?”
Ah, Renjun benci banget sama Mama, bisa-bisanya dia buka aib anaknya sendiri. Ini nggak masuk akal, dia nggak suka kalau sesuatu yang bisa diselesaikan antara dia sendiri dan Mamanya malah harus melibatkan orang lain kayak gini.
“Hmm,” Renjun menggumam, seakan bilang 'iya' dengan ogah-ogahan.
“Maaf tadi aku terpaksa bohong ke Mama kalau kita emang ada rencana mau sleepover, biar Mama nggak nanya-nanya sesuatu yang bikin kamu sebel.” Julian berpindah menggenggam tangan Renjun, mengayunkan tangan mereka berdua ke kanan kiri. Dia bisa membaca, suasana hati Renjun lagi nggak baik-baik aja.
“I don't mind doing this all the time, asalkan kamu bisa paham kalau aku ngelakuin ini for your sake. Bukan buat aku.”
Iya, Renjun tahu kok kalau Julian memang sebaik itu. Tapi mau gimana? Dia nggak sreg sama Julian. Nggak ada yang bisa berubah. Dia cuma mau sama Jeno.
“Dan satu lagi, aku harap kamu mau terbuka sama Mama dan sama aku. Mama udah titipin kamu ke aku.” Julian tersenyum manis, menatap Renjun dalam. Cuma orang bodoh yang nggak tahu kalau tatapan Julian ke anak manis di depannya ini penuh sama cinta.
Malam itu sih, Renjun memilih buat pura-pura bodoh.
Julian dan Renjun sedikit ngobrol malam itu, nggak terlalu dalam, tapi tetep intens. Sayangnya Renjun seringkali nggak terlalu engage sama obrolannya. Pikirannya nggak lagi ada di Julian, tapi di orang lain.
Julian menyilangkan tangannya di depan dada. Tato besar-besarnya terlihat sangar tanpa balutan kemeja panjang yang sekarang udah digulung sampai siku di dua sisi. Renjun menunduk menatap ujung pantofel mereka yang sudah tumpang tindih, kebiasaan Renjun memainkan sepatunya dan sepatu Julian kalau sedang ngobrol.
Julian menarik nafas panjang, seperti lagi ancang-ancang mau mengatakan sesuatu.
“Now that Mama kamu udah titip kamu ke aku, dan aku berusaha buat coba emban tanggung jawab itu, aku harap nggak ada lagi Jeno ya di pikiran kamu. Aku udah mati-matian ngilangin Marissa soalnya.”
Nafas Renjun tercekat.
“I knew it, I knew it.” Julian memberi senyum getir pada Renjun, kemudian bangkit dari posisinya yang setengah duduk di jok motor.
Berdiri, mengecup puncak rambut Renjun, dan kembali memakai helmnya.
“Good night, see you besok di kantor.”
Kemudian pergi mengendarai motornya dari hadapan Renjun yang lagi-lagi seolah jadi villain di cerita ini.