Renjun: Node

Hampir satu minggu aku sama Jeno ada di utara. Semuanya sudah kami coba.

Naik gunung, main ke pantai meskipun berkali-kali kami coba dateng ke Esplanade selalu dibarengi sama hujan salju. Nggak papa, kata Jeno, hujan salju di tepi pantai itu magical. Kami juga sudah coba jalan-jalan ke banyak Festive Market di semua kota.

Malam ini, aku sama Jeno tidur di rumah Om Donghae.

Jeno pernah tinggal di sini katanya, belasan tahun lalu. Makanya sekarang kita ada di kamar lama Jeno yang ada di lantai satu. Kasurnya sempit, ya iyalah, kan Jeno udah tumbuh jauh lebih besar dari yang dulu.

Karena kasur yang luasnya terbatas, aku sama dia jadi harus dempet-dempetan tidurnya. Tapi nggak papa, aku seneng. Aku harap dia juga.

Kami lagi tidur menyamping berhadap-hadapan sekarang. Gelap. Cuma ada cahaya lampu jalan yang masuk lewat jendela di belakang Jeno. Bikin wajah dia jadi berkali-kali lipat lebih cakep.

Perjalanan ini banyak bikin aku seneng, dan aku harap Jeno juga gitu. Besok, kami akan pulang ke London. Huh. Kadang aku takut, takut kalo ini cuma mimpi indah buat aku yang lagi tidur panjang di kamar sempitku di rumah. Makanya, supaya aku nggak nyesel, aku akan coba pake kesempatan untuk sedeket ini sama Jeno dengan sebaik mungkin.

Cup.

Aku pake kesempatan—yang mungkin cuma ada sekali dalam seumur hidup ini untuk cium bibir Jeno, untuk pertama kalinya. Dan ... bisa jadi yang terakhir?

Kita nggak akan pernah tau.