Renjun: Pertemuan Pertama

Hari ini udah Sabtu.

Cepet banget kalau dihitung-hitung dari beberapa hari lalu saat aku dan Ibu milih-milih kemeja polos yang cocok untuk dipakai ke rumah Tante Lee.

Harganya nggak sampai dua ratus ribu, tapi setelah berkali-kali ngaca hari ini, kok ternyata jadi kelihatan mahal ya pas aku pakai? Mungkin efek sugesti baik yang dari tadi pagi coba aku tanamkan ke diri sendiri.

Ibu dan Ayah udah sedari tadi siap. Ibu lagi bungkus beberapa kue buatan dia sendiri untuk dijadikan buah tangan. Sementara Ayah baru aja pulang untuk nutup toko, lumayan buka setengah hari, daripada enggak sama sekali.

Aku buru-buru nyembunyiin blush on dan chapstick murah hasil belanja di TikTok waktu Ayah udah gedor-gedor kamarku dan ngajak aku berangkat. Karena emang waktu udah hampir nunjukin jam dua siang, satu jam menuju perjanjian antara Ibu dengan Tante Lee melalui WhatsApp beberapa hari lalu.

Bisa aku lihat wajah Ibu begitu berseri-seri, matanya berbinar penuh pengharapan agar apa yang kami jalani hari ini berjalan lancar. Aku pun mencoba berdoa demikian sejak kemarin malam, mau bagaimanapun nanti, yang penting Ibu dan Ayah senang dulu. Aku urusan belakangan.

Rumah Tante dan Om Lee—yang semoga di masa depan juga akan menjadi rumahku—kata Ibu ada di bilangan Jakarta Selatan.

Denger nama daerahnya aja aku udah bisa bayangin betapa besarnya rumah mereka. Betapa berbeda jauhnya keluargaku dan keluarga mereka. Mimpi apa coba aku mau dijodohkan sama anak mereka?

Karena jaraknya cukup jauh, nggak mungkin kita naik taksi. Bisa-bisa kita nggak makan dua hari. Makanya untuk berhemat, kita perlu naik taksi ke stasiun kereta, lalu naik kereta sampai ke Kebayoran Lama. Katanya sih supir pribadi Tante Lee yang akan jemput nanti.

Sore di hari Sabtu, seperti dugaanku, kereta masih akan penuh sesak dengan orang-orang yang ingin liburan ke Jakarta. Risiko kelompok orang-orang seperti kami memang, suka tergiur gemerlap lampu-lampu Jakarta di malam Minggu. Padahal lampunya sama aja, tapi katanya suasananya akan beda.

Hampir pukul tiga, kami sudah sampai di stasiun terdekat dari rumah Tante Lee. Wah, bener-bener semuanya beda. Semua orang kelihatan keren dengan baju-baju nyentrik dan modis mereka, aku agak ketawa pas lihat bajuku sendiri yang kesannya norak banget. Nggak jadi kelihatan mahal karena sekarang udah ada pembandingnya yang bener-bener mahal.

Kami keluar dari stasiun dan langsung seketika bisa mengenali seorang supir berperawakan sedang yang memakai baju batik warna merah marun lagi nungguin kami di pintu keluar. Baju seragamnya aja kelihatan mahal. Lebih-lebih mobilnya, mirip mobil-mobil artis yang sering wara-wiri di FYP, deh.

Mimpi apa coba aku bisa naik mobil kayak gini? Disetirin pula sama sopir pribadi!

Kami dibawa menyusuri jalan protokol yang selayaknya biasa kami lihat di dekat rumah, tapi semakin ke dalam kompleks, jalanannya semakin mulus dan tertata rapi dengan pohon palem dan bunga-bunga cantik yang aku nggak kenal namanya. Apalagi rumah-rumah di sekelilingnya yang mungkin cuma bisa jadi angan-angan sampai turunan ke delapan buat kita.

Sampai akhirnya, mobil warna putih yang kami tumpangi berhenti di depan sebuah rumah yang pagarnya tiba-tiba terbuka sendiri.

Belum habis jatah noraknya, bisa-bisanya kami kompak mengucap ‘woah’ waktu pagar terbuka dan rumah mewah yang cuma bisa kita lihat di televisi waktu ada berita penangkapan koruptor disiarkan. Rumahnya bener-bener luas, besar, dan mewah.

Ibu kenal Tante Lee ini dari kakek katanya. Tapi kok rasanya derajatnya beda jauh banget ya?

Panjang umur. Tante Lee dan suaminya yang ternyata jauh lebih menawan dari perkiraanku datang menjemput kami begitu kami turun dari mobil. Auranya memang nggak main-main. Aura orang kaya, aura orang sukses, yang nggak pernah kebayang akan bisa aku cium tangannya sekarang.

“Ya ampun, Renjun. Kamu cakep banget, sih?” aku nggak tahu pujian Tante Lee ini beneran atau enggak, cuma aku bener-bener tersipu malu soalnya jarang-jarang akan ada yang bilang aku cakep.

“Yuk yuk masuk.” Tante Lee dan suaminya mendahului kami untuk masuk ke rumah dari pintu depan. Sesuai dugaan, interior rumahnya bener-bener berkelas. Nggak ada satu sudut pun yang nggak bikin aku menganga. Semuanya bener-bener sempurna.

Ibu dan Tante Lee lagi cerita-cerita ringan, begitu pula Ayah sama Om Lee yang ternyata punya obrolan seru soal memancing. Sementara aku masih tetep belum bisa move on dari interior rumah yang nggak ada habisnya buat dikagumi.

Lukisan-lukisan, patung, topeng, foto-foto keluarga—hm, ada yang menarik.

Di satu sudut ruang tengah yang cukup terbuka ini, ada sebuah foto keluarga besar yang dipajang. Isinya lima orang—satu perempuan yakni Tante Lee, ada Om Lee juga, dan tiga orang lain yang aku nggak kenal.

Satu orangnya kelihatan sangat dewasa. Rahangnya bener-bener tajam, bisa dipakai buat ngiris jariku sampai kebagi jadi lima. Wajahnya juga kelihatan garang dan nggak bersahabat. Kalau di SMA ku dulu, laki-laki ini kayak ketua geng yang nggak pernah masuk sekolah, kerjaannya nongkrong di warung, dan suka malakin adik kelas polos yang uang jajannya banyak. Aku bergidik ngeri sendiri bayanginnya. Mungkin ini anak Tante Lee yang paling tua, soalnya Ibu pernah cerita kalau nggak salah Tante Lee ini punya dua anak, dan anak yang paling tua udah menikah.

Laki-laki yang kedua, wajahnya lebih teduh. Kayaknya di matanya dia pakai riasan tipis warna coklat muda. Bener-bener semakin bikin wajah dia kelihatan lembut dan bersahaja. Dari dandanan dan cara dia senyum, kayaknya dia juga sama-sama orang berada. Mungkin, ini pasangan si anak tertua tadi. Tapi kok cowok ini mau ya sama suaminya yang kayak gitu?

Laki-laki yang ketiga, wajahnya kelihatan penyayang banget. Senyumnya juga bikin tenang. Rambutnya punya warna coklat terang, kayaknya sih habis diwarna. Mungkin ini si anak bungsu yang mau dijodohin sama aku. Nggak buruk sih menurutku, malah mungkin aku bisa akrab sama dia dengan cepet soalnya muka dia nggak kelihatan kayak muka-muka orang rese dan problematik.

“Hai semua, selamat sore. Sorry ya kami telat.”

Semuanya serba kebetulan sumpah. Masa tiba-tiba dua dari tiga orang berwajah asing di foto itu ada di depanku. Si rambut terang sama orang yang aku pikir adalah pasangan si anak pertama tadi.

“Wah Mark, Jaemin, nggak apa-apa. Ini keluarganya Tante Huang baru dateng juga, kok.”

Sejurus setelah Tante Lee ngomong gitu, orang-orang yang dia panggil Mark dan Jaemin ini langsung bergantian nyalamin Ayah sama Ibu. Dan terakhir nyalamin aku yang duduk di sofa single.

“Hai Renjun,” masing-masing dari mereka nyapa aku seolah udah tahu banget aku siapa.

Wah aku kaget sih, ternyata bener kalau tingkah laku anak orang kaya yang beneran kaya itu beda. Mereka auranya positif banget.

“Ini anakku yang pertama, Ce. Namanya Mark Lee, dan ini pasangannya namanya Jaemin.” Tante Lee akhirnya ngenalin mereka ke Ibu.

Yang otomatis bikin dugaanku salah, ternyata si laki-laki berambut terang itu anak yang pertama dan tentu si Jaemin Jaemin yang punya senyum teduh kayak orang kaya itu pasangannya Mark.

Lah berarti—wah! Mampus aku…