romance is not dead

Katanya malam-malam musim dingin di Paris akan selalu romantis. Lebih-lebih jika kerlip lampu kuning dan basah jalanan akibat hujan tipis seolah jadi pemanis.

Tapi Jeno tidak setuju. Untuk kali, ini dia ingin menolak ide itu.

Semua berawal ketika Jaemin begitu antusias mengajaknya bertemu mantan pacar—oh, bisakah Jeno bilang begitu? mereka kan belum secara resmi putus?

Renjun. Iya, Renjun aja. Semua orang juga sudah tahu soal ini kan?

Jaemin begitu antusias mengajaknya bertemu Renjun. Bunga hatinya yang sudah lama layu, tapi tidak pernah diganti oleh bunga baru.

Malam itu, mereka berjanji untuk bertemu di sekitaran Palais. Jaemin akan berpura-pura pergi mencari kopi, meninggalkan Renjun yang biasanya akan senang ditinggal sendiri karena bisa menikmati kesendirian sembari memandang Seine yang permukaannya berpendar akibat kerlip lampu jalanan.

Semua terasa begitu sempurna untuk Jeno, figur Renjun dari belakang—begitu lembut, masih begitu segar dalam ingat dan peluk imajinya, masih begitu mengagumkan—termangu menatap lalu lalang manusia di seberang sungai, juga menikmati angin sejuk di penghujung musim dingin.

Jeno hanya perlu berdiri di sampingnya, lalu mulai bicara seperti layaknya laki-laki di usia mereka. Tujuannya jelas, menuntaskan apa yang seharusnya belum tuntas. Cerita-cerita mereka yang mungkin bisa dipintal kembali? Ah, atau ... kalau terlalu dalam sih, mungkin mereka cuma butuh bicara dari hati ke hati. Supaya setidaknya tidak ada lagi mimpi buruk yang bangunkan Jeno di penghujung tiga pagi.

Alih-alih berusaha menjadi lelaki sejati seperti kicauan Jaemin tempo hari lewat telepon, Jeno malah pergi. Lari. Lari sejauh-jauhnya waktu tatapan matanya bersirobok dengan sepasang bola mata yang bahkan lebih terang dari pendaran lampu-lampu jalan Kota Paris.

Matanya boleh jadi terang, matanya boleh jadi bening, tapi deru amarah dan benci sepertinya sudah cukup bisa menjadi pengingat agar Jeno tahu posisinya. Pergi, lari.

Sudah, sudah, sudah. Perkara Renjun bukan waktunya dipikirkan sekarang. Jeno terlalu takut merusak apa yang sudah Renjun sembuhkan berbulan-bulan terakhir. Belum lagi, memikirkan skenario pesimis yang paling ia benci di kemudian hari, harus menerima kenyataan kalau Renjun enggan pilih dia selepas ini.

Jeno ingin menangis waktu otaknya jauh berkelana memutar memori masa lalu yang seolah berputar acak seperti episode-episode drama yang suka ditontonnya. Renjun dan pertemuan pertama mereka. Renjun dan gurat rona merah di pipinya. Renjun dan segala tutur kata penghiburnya. Renjun dan kesan baik yang selalu dibuatnya. Renjun, wajah, dan aroma tubuhnya. Renjun, rasa sayang, hangat gandeng tangan, juga pelukan selamat malamnya. Renjun dan semua yang begitu sempurna melekat pada dirinya.

Yang hancur, karena Jeno dan buah pikirnya yang jauh dari kata rasional.

Boleh dibilang Jeno marah dan terluka akibat tingkahnya sendiri. Boleh dibilang dia sudah muak memikirkan betapa rendahannya tingkah polah yang dia buat sedemikian rupa demi mengejar ambisinya. Dan mengorbankan jiwa Renjun yang seharusnya jadi komitmen yang dia jaga.

Dia sadar, tidak sepenuhnya itu tanggung jawabnya. Tapi janji diri tidak pernah semudah itu Jeno ingkari.

Pintu apartemen sewaannya berbunyi sejurus kemudian. Ketukannya pelan, tidak menggebu, begitu halus sampai-sampai ia hampir tidak mendengar.

Yang ada di balik pintu sontak membuat mata sayunya kembali melebar.

Renjun kembali sudi ketuk pintu tempat tinggalnya.

Senyumnya masih sama seperti terakhir Jeno mencumbu Renjun sebelum ia pergi ke Jepang dan menjemput masa kelamnya.

Renjun tidak banyak berkata, justru tanpa ragu peluk erat badan Jeno yang akhirnya limbung dengan beban baru. Ini terlalu nyata untuk jadi mimpi.

Pintu di belakang Renjun tertutup seolah menjadi aba-aba untuk Renjun juga menutup racauan rindu dari bibirnya dengan ciuman mesra.

Hatinya membuncah, kalau serupa balon, mungkin sekarang sudah pecah. Lumatan Renjun serupa viagra yang digadang-gadang jadi pembangkit gairah untuk lelaki seusianya.

Jeno selalu biarkan Renjun memimpin, selalu biarkan Renjun mencumbunya, melumat bibirnya seolah mereka akan terpisah jauh ribuan mil keesokan harinya.

Gerakan sensual jemari lentik Renjun sampai ke perutnya, naik pelan ke dada, meremas dan menggerayangi di sana. Turun kembali dan bermain di atas lapisan jins pada paha dalamnya. Tiupan dan gigitan kecil pada telinganya makin buat Jeno merasa ingin segera membawa Renjun ke atas ranjang. Tapi tentu Renjun tidak akan lantas senang dengan ini, Renjun itu kelewat senang bermain-main.

Puncaknya sudah hampir dekat, makin tidak karuan waktu Renjun gigit bibirnya sendiri, menatapnya dengan tatapan memohon—meminta—memelas kala berlutut di antara kedua kakinya.

Gesper ditarik, celana ditanggalkan. Semudah itu Jeno merasa membumbung naik ke langit ke tujuh, menengadahkan kepalanya membentur dinding, waktu merasakan sapuan lidah dan bibir sensual itu pada batang kemaluannya.

Pening. Pening. Pening!

Tapi Jeno suka rasa pening ini. Juga rasa lemas pada kedua kaki yang menopang tubuhnya ketika Renjun masukkan milik Jeno lebih dalam ke mulut hangatnya. Sebentar saja, Jeno sudah sampai ke puncak. Bukan tanpa alasan, lima tahun jadi waktu yang lebih dari cukup untuk Renjun mampu sebegininya buat Jeno kelimpungan hanya dengan satu tarikan.

Belum selesai di situ, Jeno kembali dibuat takjub kala lagi-lagi seolah meneteskan liur imajiner di hadapan Renjun. Waktu melihat betapa kulit putih mulus itu seolah mengundang untuk dicumbu dari tiap inci ke inci. Wajah sayu dan bibir memerah basah juga jadi simbol pesona sensual Renjun di mata Jeno malam ini.

Tubuh telanjang mereka semakin dekat bersentuhan, gesekan dan friksi kulit lembut masing-masing jadi penanda bahwa malam panas mereka segera memasuki puncaknya.

Bibir Jeno bergerak menciumi tiap inci kulit sosok bunga hatinya, berhenti lama di kedua sisi dada Renjun di bawahnya, melumat penuh gairah sampai-sampai merasakan rintihan kecil Renjun masuk ke telinganya, juga remasan tiba-tiba pada rambut juga gerakan refleks kedua paha Renjun tuk membuka.

Gerakan Jeno makin berjalan ke bawah, menyusuri perpotongan dada dan perut Renjun, mencium perut kembang kempis Renjun dengan hati-hati, sampai begitu lama tenggelam di antara kedua kaki Renjun yang setelah ini akan beri dia kenikmatan di atas rata-rata.

Saat penyatuan tubuh mereka terjadi, rintihan dan erangan seksi dari mulut Renjun jadi pemacu Jeno memberikan nikmat untuk mereka berdua. Mengejar nikmat berdua seolah jadi hal baru untuk mereka yang sudah beradu di atas ranjang bermenit-menit lamanya itu. Gerakan demi gerakan makin membuat tubuh mereka panas, sungguh kontras dengan semilir dingin angin malam yang menyapa lewat celah jendela.

Pelukan Jeno pada tubuh polos Renjun yang sudah lemas tidak berdaya jadi penanda mereka akhirnya menjemput puas mereka.

Jeno tidak bisa menukar ini dengan apapun. Konklusinya, dia sudah terlalu jauh sayang dan jatuh sama Renjun. Paten. Tidak ada jalan putar balik lagi setelah ini.

Penyatuan mereka dilepaskan, lelehan cairan tubuh keluar begitu intens dari sana, buat pipi Jeno memerah karena mengingat Renjun pernah menggodanya—Jeno ini punya potensi creampie fetish kalau selalu-makin-terlihat puas ketika keadaan seperti ini mampir di matanya saat mereka berhubungan seks.

Malam itu, Jeno tutup dengan kecup dan bisikan cinta di telinga Renjun—yang kini nampak sudah lelah pasrah dalam kungkungan badan Jeno.

Terlalu nyata untuk dibilang cuma mimpi.