Seoul — Tujuh Belas Tahun Lalu
Ketika bunga-bunga es akhirnya berubah menjadi bunga-bunga cherry blossom bermekaran, ketika itulah peringatan ulang tahun Renjun telah tiba.
Tujuh belas tahun bukan waktu yang singkat untuk Keluarga Huang membesarkan Renjun yang mereka bawa pergi jauh dari China daratan sekitar sebelas tahun lalu. Renjun kecil untungnya cepat sekali beradaptasi. Maklum, neneknya memang masih punya darah Korea. Jadi bicara Bahasa Korea bukan lagi hal asing buat Renjun di masa kecil yang seringkali ada di dekat nenek dan kakek.
Namun, tujuh belas tahun terasa cepat buat Renjun remaja yang harus lekas-lekas bergerak cepat menuju transisi ke usia dewasa yang identik dengan kerja keras dan pencapaian-pencapaian tidak masuk akal yang katanya akan bisa bahagiakan orang tuanya.
Beruntung Renjun tidak sendiri. Perkenalannya dengan Jeno—keponakan supir pribadi orang tuanya jadi titik balik hidup Renjun yang jadi penuh warna. Renjun kecil punya sedikit masalah serius soal berbaur dengan teman-temannya yang boleh dibilang lumayan kaya raya. Mereka seringkali tidak terlalu peduli dengan esensi pertemanan di masa sekolah, karena hidupnya hanya diisi dengan belajar-kursus-lomba-makan malam keluarga besar. That's it. Sementara menurut Renjun, anak kecil seharusnya bermain.
Renjun yang mulai jengah dengan kebiasaan aneh keluarga kaya di Korea Selatan, akhirnya bertemu dengan Jeno di usia sepuluh. Saat Jeno ikut pamannya untuk pertama kali menjemput Renjun dari sekolah. Kala itu Jeno juga baru pulang sekolah, tapi Renjun langsung tertarik karena bekas air mata di pipi Jeno serta plester dinosaurus hijau muda di lututnya. Kata samchon, Jeno baru saja jatuh saat lari-lari di lapangan sekolah. Suatu hal yang baru buat Renjun, yang otomatis langsung berpikir kalau sekolah dan teman-teman Jeno lebih asik daripada sekolah dan teman-temannya.
Berhari-hari kemudian, Renjun dapatkan plester dino kuning di lututnya. Dari Jeno. Penyebabnya sama, Renjun terjatuh saat lari-lari. Bedanya, dia lari-lari di pekarangan besar belakang rumahnya. Bersama Jeno.
Plester dino kuning berubah jadi gulali dari ahjumma baik dekat sekolah Jeno. Berubah lagi jadi layang-layang warna merah dan biru yang dibuat Jeno bersama kakak laki-lakinya. Di kesempatan lain berubah lagi jadi mainan dari pasar yang Jeno beli bersama Mama.
Dan untuk semuanya, Renjun suka!
Dia tidak perlu lagi perangkat game konsol yang dibeli mahal-mahal oleh Papanya dari Amerika. Atau seperangkat mainan penambah motorik yang pasti didapat Mama dari teman-teman dokternya. Renjun lebih suka mainan dan makanan ringan yang dibawa Jeno tiap hari libur saat ia pergi bermain ke rumah Renjun.
Boleh dibilang mereka tumbuh bersama, tertawa bersama, bahkan hadapi kerasnya perubahan usia bersama juga. Bagaimana Renjun jadi saksi bully kelas berat di SMP-nya pada anak-anak beasiswa karena tidak sanggup ikuti gaya anak-anak orang kaya, bagaimana Jeno dengan berat hati harus menertibkan teman-teman sebayanya yang ketahuan menyimpan video porno, hingga keluh kesah kecil akibat nilai mereka yang naik-turun dengan mengkhawatirkan—meskipun itu sesuatu yang biasa untuk anak-anak sekolah menengah.
Renjun punya rahasia sebetulnya jika menyangkut Jeno. Ada rahasia terdalam di mana hatinya sudah mulai berdegup kencang ketika mereka berada dalam jarak terlalu dekat dari satu sama lain. Misalnya, ketika mereka sedang duduk berdampingan di ujung kolam ikan rumah Renjun. Melepas penat setelah seharian belajar, biasanya di ujung minggu. Kaki mereka tercelup dalam air kolam, minuman segar warna-warni biasanya ada di antara mereka, sementara obrolannya sudah jauh lebih santai—biasanya seputar rencana di masa depan atau lelucon bodoh yang mereka dapatkan dari teman di sekolah. Melihat Jeno tersenyum bahkan tertawa karena candaannya, seringkali buat pipi Renjun menghangat. Ah, dia suka kalau Jeno bahagia.
Saat jarum jam hampir mendekat ke angka dua belas, tepat di pergantian tahun—akhir Desember dingin menuju Januari yang tidak kalah dingin, mereka sedang berpelukan hangat dengan segelas coklat panas dan marshmallow. Awalnya cuma pelukan hangat yang ditemani suara rendah tawa mereka—seakan takut keintiman ini didengar orang lain di luar. Tapi lama kelamaan pelukan itu berubah jadi kecupan kecil bibir merah Renjun pada ujung bibir Jeno.
Yang dikecup tentu terkejut. Pasalnya, Renjun ini suka nekat. Kalau Jeno tidak segera menarik diri, akan ada aksi berikutnya yang mungkin akan berakibat fatal pada diri mereka. Tapi kalau Jeno seakan menolak Renjun, pasti dia akan lebih bersalah karena sudah buat Renjun sakit hati.
Biarlah, besok-besok Jeno akan bicara ke Renjun soal batasan-batasan yang sebaiknya mereka hormati.
Namun, ketimbang memberanikan diri untuk bicara, hari-hari mereka berikutnya jadi semakin menegangkan. Renjun makin berani menghapus dan mengikis tembok yang dibuat Jeno mengingat perbedaan status mereka yang begitu ketara ini. Renjun makin sering menunggu Jeno selesai dengan pekerjaan part-time-nya di minimarket. Meski Renjun harus naik bus dua kali dari lokasi bimbel elitnya ke dekat pasar ikan di mana Jeno bekerja. Jika sudah begitu, Jeno mana mungkin tega menyuruh Renjun menjauh darinya? Yang ada Jeno cuma bisa pasrah menerima perlakuan Renjun yang makin berani—menggenggam tangan Jeno di bawah meja diam-diam, mengecup pipinya, mengelus pipinya di pinggir jalan, bahkan mengecup bibirnya ketika mereka berpisah di gerbang kayu besar rumah Renjun. Dada Jeno memberat, belum siap kalau Renjun harus menerima konsekuensi buruk dari semua ini. Jeno masih percaya kalau hubungan beda kasta tidak akan berjalan baik. Setidaknya itu yang dia dengar dari cerita neneknya.
Puncak penyesalan terbesar Jeno datang ketika pada hari valentine Renjun membawanya pergi ke villa keluarganya di Guri. Awalnya mereka pergi bersama supir keluarga Renjun—paman Jeno. Tapi panggilan tiba-tiba dari Seoul yang membuat ia harus kembali ke ibukota akhirnya buat Jeno dan Renjun hanya berdua di villa yang sangat hangat itu.
Siang hingga sore mereka berjalan cukup sempurna. Mereka menikmati udara segar, makan makanan enak yang dimasak oleh Renjun, hingga menonton acara televisi yang sanggup buat mereka menangis juga tertawa. Tapi kejadian malamnya begitu mengejutkan, tidak pernah terpikirkan oleh kepala Jeno yang biasanya pandai mengkalkulasi peluang.
Saat Renjun tiba-tiba tidak hanya mengecup bibir Jeno—tapi juga melumat bahkan menggigit di sana-sini, saat itulah Jeno tahu jika ini tidak akan berakhir baik. Tapi ironisnya Jeno tidak bisa ke mana-mana, jika ia pergi, maka Renjun akan merasa ditolak. Padahal buat hati Renjun kecewa adalah hal terakhir yang ingin Jeno lakukan di dunia.
Dia tahu kalau dia begitu mencintai Renjun, tidak ingin sakiti Renjun, dan akan berbuat apapun asal Renjun bahagia. Tapi waktu ia harus buat Renjun bahagia dengan cara ini, logikanya hampir menolak dan meminta Jeno untuk pergi.
Tapi memang apapun akan selalu jadi berkabut kalau sudah dikuasai perasaan. Lebih-lebih perasaan itu namanya cinta.
Jadi ketika Renjun melepas seluruh kemeja tidur dan celana panjangnya di hadapan Jeno, Jeno akhirnya hilang kendali. Dan seolah buta juga tuli dari pengaruh logikanya yang coba ingin ambil alih.
Malam itu jadi malam yang begitu panjang untuk mereka. Tanpa memprediksi bahwa malam ulang tahun Jeno, dua bulan kemudian, ternyata jauh lebih panjang.
Malam yang seharusnya jadi hari paling membahagiakan untuk Jeno—karena Renjun siapkan acara ulang tahun yang begitu intim dan damai, berubah jadi penuh air mata dan tetesan darah.
Renjun hamil. Tentu di luar prediksi siapapun, kecuali ia sendiri dan Jeno yang sadar betul jika malam valentine itu pasti akan hadirkan risiko sendiri di kemudian hari.
Semua berawal dari jatuh sakitnya Renjun beberapa hari selepas ulang tahunnya. Keluhan serupa mual, lemas, pusing berkunang-kunang, hingga naik-turunnya nafsu makan seolah jadi lampu kuning untuk Jeno. Dia boleh jadi adalah seorang anak pintar di sekolah, tapi ketika menghadapi hal serupa ini, rasanya berlembar-lembar nilai 9 yang selama ini ia usahakan tentu tidak bernilai.
Renjun pun tidak jauh berbeda. Kepanikan tentu tiba-tiba jadi teman akrabnya waktu sadar bahwa perubahan pada tubuhnya terasa begitu jelas akhir-akhir ini.
Menjelang hari ulang tahun Jeno, mereka berdua akhirnya tahu kalau sebentar lagi mereka akan jadi orang tua. Tapi masalahnya, mereka tidak pernah siap untuk skenario itu. Mereka terlampau muda, masih sibuk menyiapkan ujian masuk universitas yang begitu menguras energi, hingga pekerjaan tetap yang sama sekali mereka tidak punya.
They were so young and confused.
Dukungan semesta juga nampaknya tidak hadir di sana. Seolah tidak ingin ikut menjaga kebaikan ada di sisi mereka—setidaknya sampai mereka temukan jalan keluar dari semuanya—orang tua Renjun ternyata tahu perihal kehamilan ini dan tanpa rasa kasihan memaki-maki Jeno serta keluarganya.
Makian seperti “anak kurang ajar”, “orang miskin tidak tahu diuntung”, hingga sebutan “pemerkosa” didengar Jeno dengan penuh rasa sakit hati. Mau menyalahkan Renjun juga ia mana tega? Tangisan penuh penyesalan Renjun di pelukan mamanya buat Jeno hanya bisa pasrah. Renjun juga pasti sama sedihnya dengan dia.
Jeno tidak buka suara sedikitpun. Tidak ingin membela diri meskipun Mamanya berteriak di telinganya untuk angkat bicara menolak tuduhan keluarga Huang.
Mamanya menangis ketika makian kasar makin sering keluar dari mulut Ayah Renjun pada Paman juga Mamanya karena dinilai tidak becus besarkan Jeno.
Jeno sudah lupa bagaimana detail kisah malam itu hingga akhirnya ia dibanting ke lantai, berakhir harus bersimbah darah di depan rumah sewa kecil milik keluarganya, dan harus melihat tangisan Renjun yang dibawa pergi secara paksa oleh orang tuanya.
Malam itu, Jeno melihat Renjun untuk yang terakhir.
Setelahnya, Renjun hilang. Benar-benar hilang dari muka bumi, dan baru kembali bertahun-tahun setelahnya dengan suami kaya raya memeluk pinggangnya, juga seorang balita lucu tersenyum riang di gendongan hangatnya.
Itu Chenle. Anak mereka.