Split
“Loh? Kok tidur?” Renjun bertanya demikian begitu melihat Billie sedang tertidur pulas di pangkuan Papanya—di teras rumah Renjun.
“Iya, semalem nggak mau tidur sama Ayahnya. Jadi pas aku jemput tadi pagi langsung nemplok gini.” Jeno menutupnya dengan senyum manis menatap Billie di gendongannya. Renjun iri.
Suasana hati Renjun lagi nggak baik, apalagi menyangkut Jeno yang sudah berhari-hari ia hindari. Pun Jeno juga seolah nggak ingin resolve apapun di antara mereka. Duh, Renjun tuh labil ya? Sengaja lari biar dikejar?
“Boleh aku masuk? Mau numpang nidurin Billie di sofa kamu, kasian dari tadi tidurnya sambil duduk.”
Renjun bergeser dan membuka pintu rumahnya lebar-lebar, membiarkan Jeno menggendong Billie ke dalam rumah.
“Biar tidur di kamar aku aja, jangan di sofa. Keras.” Renjun leads the way, dia bawa Ayah dan anak itu naik ke lantai dua, ke kamar paling ujung yang menghadap ke halaman belakang. Kamarnya sejak kecil.
Buat Jeno, ini kali pertama ia masuk ke kamar Renjun. Sebelumnya dia cuma mampir di depan rumah saat dulu masih sering mengantar-jemput Renjun tiap mereka mau nge-date diam-diam. Jeno terkesima, pasalnya kamar Renjun jauh lebih rapi dan lebih besar dari kamarnya di apartemen. He feels so bad letting Renjun stayed at his, knowing that kamar dia kerasa jauh lebih nyaman dibanding punya Jeno.
Billie sedikit berjengit saat Papanya menaruh badan mungilnya ke atas bed yang mungkin terasa asing buat dia. Jeno dengan telaten mengelus dahi mulus anaknya itu sampai mata Billie pelan-pelan kembali tertutup dan tenang. Semuanya nggak luput dari penglihatan Renjun.
Kalau begini, Renjun jadi berfikir, kayaknya ... enak ya punya Ayah yang sayang sama dia? Enak ya kalau ke mana-mana bisa sama Ayah? Kalau reinkarnasi itu ada, Renjun pengen hidup sebagai Billie.
Jeno bangkit dari duduknya di pinggiran tempat tidur setelah dirasa Billie tenang dalam tidurnya. Kemudian menaikkan selimut sampai sebatas dada, dan Renjun membantu menurunkan suhu pendingin udara supaya Billie nyaman. Pun ia tutup gorden otomatis di kamarnya agar cahaya nggak lagi masuk dan mengusik Billie.
Jeno hendak mendahului keluar kamar sebelum Renjun bertanya, “ini nggak papa Billie ditinggal? Dia nggak akan nangis?”
Jeno terkekeh, wajar sih Renjun berpikir begitu. Nature-nya anak-anak kan memang begitu, untung aja Billie udah sedikit lebih besar dan mengerti.
“Enggak kok, pintunya dibuka aja. Nanti dia juga cari aku kalo bangun.”
Renjun melirik wajah Billie yang tertidur pulas. Tidur menyamping di tepian tempat tidur, pipi gembulnya menggembung, dan belah bibirnya terbuka. Lucu.
“Ada apa ke sini?” Renjun langsung bertanya to-the-point ke Jeno begitu mereka keluar dari kamarnya dan duduk santai di ruang keluarga lantai dua.
Jeno menyesap kopi hitam yang beberapa menit lalu disajikan oleh Mbak Sachi, sedikit terharu karena Renjun ternyata masih sebegitu perhatian ke dia.
“I don't know. Kangen kamu aja, habis jemput Billie sekalian mampir.”
Jeno nggak bohong, dia beneran habis jemput Billie dan niatnya mau mengajak Billie seharian main di rumahnya. Tapi di tengah jalan, dia kepikiran untuk mampir sebentar ke rumah Renjun.
Well, ada misi kedua sih, sebenernya dia mau memastikan kalau Renjun baik-baik aja. Setelah berhari-hari melihat Renjun murung dan terkesan lagi mendung.
“Are you okay?” bisik Jeno setelah mencondongkan diri ke tubuh Renjun, terlalu takut memegang tangan Renjun padahal dia ingin. Dia nggak mau ketahuan, di sini banyak CCTV.
“Kata yang lain kamu abis berantem sama Julian? And you said you've broke up with him ... itu bener?” Jeno mengkonfirmasi pesan Renjun beberaa hari lalu ke dia, untuk memastikan secara langsung kan nggak ada salahnya.
Renjun menghela nafas besar, menutup wajah dengan kedua telapak tangannya, lalu mengusap kasar wajah mulus itu.
“We did. I can't do this anymore, honestly. Both you and Julian ... kayaknya mending udahan sama akunya.” jelas Renjun jujur. Dia udah punya bad premonition kalau semuanya akan bawa mereka ke jalan buntu. Nggak ada titik terang.
Jeno menatap Renjun penuh rasa nggak percaya, senyuman hangatnya tadi pagi berubah jadi ekspresi penuh rasa kecewa. Gimana enggak? Dia udah ... terlanjur sayang sejauh ini sama Renjun, udah risk everything buat Renjun, tapi—
“You can't do this to me, you know? Renjun, please, kamu tahu kan aku akan jalanin sidang putusan cerai terakhir di bulan ini? I thought kamu akan sabar nunggu?” mata Jeno bergetar, dia benar-benar kecewa dan nggak tahu apakah ini bakal jadi akhir dari semua upaya dia untuk bisa bareng sama Renjun.
“Kamu ngerti nggak sih gimana rasanya jadi aku? Harus berusaha nutupin banyak hal dari Julian, dari banyak orang? Kamu pernah mik—”
“Kamu yang dari awal minta. Kamu yang dari awal bilang kalau mau tetep jalani ini berdua tanpa pisah dari Julian, sekarang kamu seolah nyalahin aku.” Suara Jeno masih dibuat serendah mungkin, takut-takut Mbak Sachi akan dengar. Sejujurnya dia udah emosi, tapi nggak bisa juga meledak-ledak di hadapan Renjun.
“Kalau aja kamu nggak cium aku setelah dinner malam itu, kita nggak akan begini.”
Jeno meraup wajahnya penuh rasa nggak percaya. Nggak habis pikir sama jalan pikiran Renjun.
Mungkin benar, dia yang terlalu bodoh untuk tidak bisa mengontrol dirinya sendiri malam itu. Padahal ia sudah jauh lebih matang dari Renjun, bisa-bisanya nyalahin suasana atas perbuatannya yang nggak masuk akal itu.
“Susah buat aku bisa nerima ini. You're unbelievable.” Jeno meneguk kopinya buru-buru, kemudian bersandar pada sofa dan memijit keningnya yang mulai berkedut.
Niatnya menyelesaikan masalah jadi berujung begini, he blames himself for that.
Mereka larut dalam keheningan yang sangat nggak nyaman selama bermenit-menit, sampai akhirnya Jeno dengar suara sayup-sayup rengekan Billie dari kamar Renjun.
Dia sadar bahwa ini bukan seperti seharusnya. Billie jarang nangis, jadi pasti ada sesuatu.
Benar saja, setelah Jeno bangkit dari duduknya dan lari tergopoh-gopoh ke kamar Renjun—diikuti Renjun di belakang yang juga sama paniknya—akhirnya ia melihat bagaimana Billie dengan wajah syok masih terus-terusan mengeluarkan isi perutnya ke atas duvet berlapis sheet warna khaki milik Renjun. Sedikit muntahan Billie juga turun ke lantai di sisian tempat tidur.
“Sayang, are you okay?” Billie malah menangis makin keras saat Papanya memegang punggung kecilnya, tapi mulutnya masih terus-terusan mengeluarkan muntahan yang nggak kira-kira banyaknya.
“Angkat aja ke kamar mandi,” Renjun yang panik suggesting Jeno buat ngangkat Billie supaya bisa melanjutkan muntahnya di kamar mandi.
Jeno akhirnya mengangkat Billie ke kamar mandi, meskipun sedikit muntahan anaknya mengenai baju mahalnya, dia seolah nggak peduli dan malah memeluk Billie erat-erat, sembari mengelus naik turun punggungnya untuk meredakan tangis anak empat tahun itu.
Setelah tangisan Billie pelan-pelan mereda, Renjun hati-hati bertanya ke Jeno, “m-mau ... aku siapin air mandinya Billie? Kasian badannya kotor.”
“Mm-hm, yes please?” Jeno menjawab dengan suara selembut mungkin, mengesampingkan rasa jengkel ke Renjun yang bersarang akibat omongan beberapa saat lalu.
Renjun tahu-tahu sudah datang membawa Mbak Sachi yang menyapa Jeno penuh hormat, kemudian bergerak cekatan mengisi bathtub di kamar mandi pribadi Renjun dengan air hangat suam kuku. Mengambilkan sabun dan handuk baru untuk Billie, kemudian segera permisi untuk membereskan muntahan Billie di kasur Renjun.
Sebelum Mbak Sachi sempat menarik sprei dan sarung bantal, Jeno muncul dari ambang pintu kamar mandi. Dengan nada sungkan berkata, “Mbak, nggak usah dibersihin, biar saya aja. Udah beneran, taruh aja mbak. Saya nanti yang beresin.”
Perintah Jeno membuat Mbak Sachi menatap Renjun yang muncul di balik badan Jeno, yang kemudian mengangguk seolah mengiyakan perintah Jeno agar Mbak Sachi mau pergi.
“Sa-saya pel bawahnya aja ya, Pak.” Jeno hendak menolak, tapi Renjun yang nggak tega kalau Jeno harus repot-repot mengepel kamarnya menyambar menyetujui tawaran Mbak Sachi.
Renjun lagi-lagi harus menghela nafas penuh rasa iri ketika melihat Jeno begitu telaten memandikan Billie, menggosok rambut bergelombangnya dengan sampo bayi yang untungnya Renjun punya, dan memastikan seluruh badan Billie bersih dari sisa makanan yang ia keluarkan dari perutnya. Mata Renjun makin memanas saat Jeno mengusap jejak-jejak air mata di pipi Billie kecil. Dia benar-benar nggak pernah disentuh Papa dengan sesayang itu rasanya.
Setelah Jeno selesai memastikan badan Billie terbilas, Renjun menghampiri dengan tangan terbuka, dialasi handuk tentu saja. Billie yang memang gampang akrab dengan siapapun itu mau-mau saja pindah ke gendongan Renjun yang akhirnya belajar bagaimana mengeringkan badan balita. Seumur-umur juga baru kali ini. Tentu didampingi Jeno yang sesekali menanggapi celotehan Billie.
“Koko, sarapannya Adek Billie udah mateng, mau ... makan sekarang?” Mbak Sachi tiba-tiba muncul di ambang pintu, masih dengan apron dapurnya. Wajar aja, mungki buru-buru karena tadi Renjun juga impulsif meminta Mbak Sachi menyiapkan sarapan sederhana buat Billie, anak itu pasti laper banget karena udah hampir mengeluarkan semua isi perutnya.
“Buat Pak Jeno juga udah?” tanya Renjun sembari masih menggosok rambut Billie dengan handuk, mengambil alih tugas Jeno yang sedang mengambil baju dan perlengkapan Billie di mobil.
“Udah juga, Ko, tapi bener-bener seadanya. Ibu kan belum belanja.”
Renjun mengiyakan dan memutar otak untuk menjelaskan ke Jeno mengenai keadaan rumahnya. Dia sungkan sih, tapi mau gimana lagi? Kalo mau belanja dadakan juga pasti nggak keburu.
“Billie mam bisa sendiri apa mau disuapi kakak?”
“Mam sama akak...,” Renjun kegemasan, suara Billie lucu banget, tingkahnya juga luar biasa menggemaskan, jadinya dia nggak bisa nahan diri buat curi kecupan di pipi Billie. Ini ... creepy sih, semoga Jeno nggak marah kalau anak perempuannya dicium sama Renjun sembarangan. Abisnya dia gemes...
Beberapa saat setelah Renjun hampir selesai mengeringkan badan Billie, Jeno masuk ke kamar dengan membawa nursery bag punya Billie, lalu cekatan mengeluarkan mini dress yang akan dipakai Billie beserta underwear dan skincare untuk Billie.
“Mau makan nggak abis ini? Aku siapin di living room ya? Udah selesai dimasak sama Mbak Sachi.” Jeno sejenak menghentikan kegiatannya mengoleskan lotion ke badan Billie.
“Kok repot banget sih? Abis ini mau pulang kok,” kalau boleh jujur, Renjun sedikit tercubit atas ucapan Jeno barusan. Penolakannya bikin dia sedih, lebih-lebih ketika sadar padahal dia sendiri yang bikin Jeno marah.
“Kalau kamu nggak mau makan, biar Billie aja. Dia abis muntah, kasian.”
Jeno terkekeh, sudah punya feeling kalau Renjun akan gantian ngambek. Dia ini memang sensitif, padahal tadi Jeno udah berusaha ngomong dengan nada sesantai mungkin.
“Iya, iya, aku makan. Tapi mau beresin kasur kamu dulu tuh, Billie dulu aja makan.” ucap Jeno sambil memakaikan underwear Billie dengan telaten.
“Tadi dia bilang mau makan disuapin, boleh nggak?” setahu Renjun, ada orang tua yang begitu persisten mengajarkan anaknya makan sendiri. Nah khawatirnya, Jeno ini tipe yang kayak gitu.
“Oke, boleh. Kamu siapin aja dulu while I'm doing her hair.” untungnya Jeno ngasih izin.
Maka berikutnya, Renjun turun ke lantai satu dan mengambilkan satu plate sarapan untuk Billie, plus susu almond hangat karena tahu Billie ini nggak biasa minum susu sapi. Damn, it's so sad to know kalau Renjun bahkan udah tahu banyak tentang Billie, tapi malah hubungan dia sama Papanya udah ada di ambang perpisahan gitu aja.
Renjun masuk ke kamarnya ketika Jeno lagi telaten menguncir rambut Billie menjadi dua. Sisi kanan sudah selesai, sudah manis dengan pita bentuk cherry warna merah. Renjun diam-diam tersenyum saat Jeno berkata, “dooneee!” sampai membuat Billie terkekeh atas ulah Papanya mencium gemas perpotongan leher dan pipi gembilnya brutal.
Billie berpindah ke pangkuan Renjun karena sadar sebentar lagi dia akan makan pagi sama kakak teman baru yang ia temui pertama kali hari ini. Sementara Renjun hampir copot matanya ketika melihat Jeno—casually—melepas kaos polo birunya dan bertelanjang dada di depan Renjun.
Well, ini pemandangan biasa sih. Cuma dengan keadaan sekarang, di rumahnya, ada kemungkinan Mbak Sachi lihat, dan ada anak Jeno di sini(!!) ... kayaknya wajar kalo pipi dia tiba-tiba bersemu merah.
Tapi Jeno malah cuek-cuek aja, lanjut nurunin sprei dan buka sarung bantal, juga melucuti duvet sheet punya Renjun yang banyak kena muntahan Billie.
“Ini aku ke bawah kayak gini okay kan, ya? Sekalian nyuci bajuku.”
Renjun menggigit pipinya dari dalem sebelum menjawab, “semoga Mbak Sachi lagi di luar, biar nggak lihat kamu yang sengaja tebar pesona itu.”
Jeno dibuat terkekeh geli. Niatnya sih, dia mau curi cium dari Renjun, tapi nggak mungkin sih, mereka aja udah mau putus.
Jadinya dia cuma segera keluar kamar dan memulai kegiatan mencuci sprei dan selimut while Renjun ngasih makan Billie sambil ngajakin anaknya main.
Bermenit-menit Jeno belum kembali, sampai kayaknya Renjun udah ngantuk karena bosen nungguin Billie nonton beragam video hewan di YouTube dari iPadnya.
Eh tiba-tiba, Jeno balik dengan keadaan udah pakai lagi kaos polonya. Berarti mungkin udah lama karena ngeringin baju juga butuh waktu sangat lama.
Billie udah nyender lemes di perutnya, masih setia nonton di iPad. Sementara dia sendiri juga udah bersandar di punggung sofa bed sembari scroll HP baca Webtoon.
“Yuk, pulang?” Jeno berlutut mensejajarkan tubuhnya dengan posisi Billie tiduran di perut Renjun, membuat anak kecil itu menyingkirkan iPadnya dengan sangat brutal.
“Yuk!” Billie ceria banget, Renjun merasa bersalah karena nggak jago ngajakin anak itu main sampai-sampai dia bosen dan berakhir nunggu diajakin pulang Papanya.
“Salam dulu ke kakak, say thanks and sorry karena Billie udah mengotori kasur kakak.”
Billie menuruti pesan Papanya dan langsung berceloteh di depan Renjun dengan begiiitu lucunya. Renjun jadi pusing sendiri saking lucunya.
Renjun membantu Jeno beberes, sesekali merasakan campur aduk dalam hatinya karena rentetan peristiwa yang terjadi hari ini.
Ditemani Mbak Sachi, Renjun waves them goodbye. Billie duduk anteng di car seat yang dipasang Jeno di mobil besarnya, sementara Papanya menyetir di depan, menatap Renjun dari rear-view mirror, memberi senyum seolah ini kunjungan dia yang pertama dan terakhir.
Renjun nggak sanggup, berniat mau mengulang semuanya. Andaikan tadi dia nggak ngomong seperti itu.
Cuma ... dia nggak pengen terlihat plin-plan di depan Jeno. Makanya dia merasa nggak seharusnya dia balik baper lagi karena pagi ini seolah diberi hint atas hidupnya di masa depan bersama Jeno.
A life out there that they would never really lived.