Think I Know It's With Me
Baskara sama Naz itu ... soulmate.
Baskara inget banget, suatu hari di waktu dia masih kelas 5 SD, dia tiba-tiba harus pindah ke Jakarta.
Dia beneran takut, khawatir, dan nggak percaya diri. Soalnya dia udah liat gimana sepupunya—Hugo—terlihat jauh lebih keren dari dia, karena udah bisa main skate, udah bisa breakdance, bahkan udah dibeliin walkman sama Papanya di umur 10.
Sementara Baskara? Aduh, yang dia bisa cuma main sepak bola sama main sepeda bareng temen-temen SD-nya di Kulon Progo.
Makanya waktu Yangti tiba-tiba bilang, “nanti Mas Bas ikut Budhe ya ke Jakarta,” di suatu malem, Baskara langsung kepikiran sampe akhirnya hari yang nggak terlalu dia harapkan itupun tiba.
Baskara berdiri canggung di depan kelas sebuah sekolah internasional di daerah selatan, sekolah yang sama kayak Hugo. Cuma bedanya, Hugo ada di kelas 5B, sementara Baskara masuk ke 5A yang kata Hugo isinya anak-anak pintar.
“Halo semua, s-saya Bas ... kara,” suaranya ilang waktu selesai bicara. Dia udah malu dan deg-degan banget. Untung dia nggak disuruh kenalan pake Bahasa Inggris, bisa-bisa diketawain sama seisi kelas.
Hari itu, Baskara duduk di bangku depan paling pojok, dekat pintu, sendirian. Bikin dia semakin pengen kabur karena dia takut sama temen-temennya yang pinter dan aktif banget.
2 jam pelajaran kerasa lama dan kayak di neraka untuk Baskara. Tapi ternyata, teman-teman dia nggak buruk juga. Dan nggak semenyeramkan kelihatannya.
Waktu istirahat, ada dua anak cowok yang nyamperin dia.
Yang satu namanya Abian, si ketua kelas.
Satu lagi, namanya Naz.
First impression dari Baskara untuk Naz cuma ada satu kata: cakep.
Naz bagi-bagi bekal dia buat Baskara hari itu, karena dia tahu dan cukup peka kalau hari pertama ini, Baskara nggak sempet bawa bekal.
Sepotong roti isi selai kacang dan meses, sebiji jeruk mandarin dibagi dua, dan dua batang coklat jadi teman makan siang mereka hari itu.
Dan jadi awal persetujuan mereka jadi sepasang teman ... juga soulmate di masa depan. Haha.
Baskara selalu ada di sana saat Naz tumbuh dari seorang anak cowok beken di ibukota, yang sering wara-wiri di majalah anak-anak atau iklan chiki, jadi seorang Naz dewasa yang bikin Baskara nggak bisa dan nggak sempet ngalihin pandangan dia ke siapapun.
Baskara ada di sana waktu Naz nangis kejer di kelas 6 SD gara-gara dia ditembak sama cewek bule cantik di sekolah mereka. Naz bilang, dia nggak suka. Saat itu Baskara juga nggak ngerti maksudnya apa, tapi dia cuma berusaha jadi temen baik dengan ngajakin Naz lari ke deket lapangan bola di belakang sekolah, dan bagi Yakult dia untuk Naz karena Naz pasti capek abis nangis.
Baskara ada di sana waktu kelas 1 SMP, Naz akhirnya nerima cinta Kak Audrey—wakil ketua OSIS cantik di sekolah mereka—yang akhirnya juga jadi sumber kesedihan Naz waktu tahu kalau dia nggak secinta itu sama Kak Audrey, dia ngerasa jahat katanya. Lagi-lagi Baskara belum ngerti, masih terlalu naif, jadinya dia cuma berusaha tetap ada di sana bareng sama Naz, dengerin Naz, dan bikin dia nyaman cerita ke Baskara.
Baskara juga di sana waktu di kelas 3, beberapa minggu menjelang ujian nasional, Naz dihukum sama Papanya karena ada gosip Naz ciuman sama cowok sekelas mereka di belakang sekolah. Nggak tahu kenapa, tapi saat itu, Baskara bener-bener marah dan udah niat banget mau nyari siapa orang yang tega ngomong jelek soal Naz. Baskara masih naif, masih belum ngerti gimana dia ngasih tanda untuk rasa khawatir berlebihan dia ke Naz saat itu. Yang dia tahu, dia cuma ingin bantu bikin Naz cepet-cepet dimaafin sama Papanya.
Baskara masih ada di sana, waktu Naz dipukul habis-habisan sama Papanya, di suatu malam minggu, saat mereka mau naik ke kelas 2 SMA. Alasannya karena Naz pulang ke rumah dianterin sama kakak kelas mereka yang sekarang udah kuliah, namanya Alix. Bukan cuma itu, Naz juga ngaku kalau dia nggak suka perempuan, dan well Papanya langsung marah besar. Udah bisa diprediksi.
Baskara di sana, selalu di sana, saat waktu-waktu berat itu dateng buat Naz. Saat Om Damara—Papanya Naz—begitu menjaga jarak sama anak semata wayangnya. Karena dia nggak bisa nerima fakta bahwa Naz memang berbeda dari anak-anak lain.
Naz yang saat itu perlu banget support supaya karirnya meroket, harus cukup puas sama keberadaan Mama Shilla dan Baskara. Tanpa Papa.
Naz yang selalu berharap Papanya akan nganterin dia ke manapun dan lindungi dia dari orang-orang yang berusaha jatuhin dia, malah nggak pernah mau terang-terangan ngasih dukungan ke dia. Naz harus berpuas hati jalan sendirian.
Baskara juga jadi saksi gimana Om Dam tiba-tiba dateng dan berlutut minta maaf ke Naz, di hari keberangkatan dia menuju New York. Menjelang fashion week pertama dia di umur 18.
Lihat Naz bahagia, udah cukup bikin Baskara ikut bahagia. Meskipun kayaknya hati dia selalu ngerasa ada yang kurang.
Saat itu, Baskara baru sadar, kalau mungkin ... upaya-upaya dia untuk bikin Naz bahagia bukan lagi bisa dibilang sebagai upaya seorang teman serve well ke temennya, sahabatnya. It's just ... far beyond that.
Sedihnya, Naz nggak ada di sana waktu Baskara bener-bener butuh dia.
Baskara harus berpuas hati liatin Naz dari jauh, mastiin kebahagiaan dia dari jauh, dan berusaha semampu dia tetep jaga senyuman Naz ada di sana—dari jauh.
Baskara pergi dating, kok, main dating app, bahkan usaha untuk deketin banyak orang. Tapi pada akhirnya, bahkan di alam bawah sadar dia pun, Baskara tahu, Naz tetep ada di urutan pertama prioritasnya.
Berkali-kali dia merasa bersalah sama temen ngedatenya waktu tiba-tiba harus excuse himself pulang duluan, atau pergi duluan, cuma gara-gara sebaris pesan dari Naz yang presensinya ada di ribuan mil jauhnya dari dia yang berbunyi, “need to talk to you, Bas.“
Jelek. Baskara tahu dan ngerti banget kok kalau itu kebiasaan jelek.
Tapi dia helpless, karena ini bukan soal siapa-siapa, ini soal Naz. Poros hidupnya selama empat belas tahun lamanya.
Penantian empat belas tahun plus empat belas bulan akhirnya berbuah manis, kok. Nggak perlu khawatir.
Sekarang Baskara udah bisa lihat wajah tidur Naz tiap dia bangun pagi. Plus keberadaan si Bintang kecil di tengah-tengah mereka.
Eh, Bintang nangis. Hold on, nanti Baskara lanjut cerita lagi.
Baskara pelan-pelan geser posisi tidur Bintang yang mungkin agak bikin kepalanya sakit itu. Pelan-pelan dia geser untuk lebih dekat sama badan dia, Bintang seneng banget digendong Ayah. Jadi Baskara mengasumsikan kalau dia juga bakal seneng tidur di deket Ayah.
Ternyata bener, dia lanjut tidur lagi.
Aduh, si lucu Bintang, ngerti aja kalau lagi diomongin.
Oke ... sampe mana tadi?
Bintang.
Oke, Bintang ada di tengah-tengah mereka setelah mereka nikah. Dia harus berterima kasih sama kenalan-kenalan Naz di Amerika yang bantu mereka untuk bisa dapetin Bintang. Bintangnya Ayah dan Papa.
Baskara selalu tiba-tiba senyum nggak jelas waktu denger kata-kata 'menikah' yang terselip di cerita hidup dia sama Naz.
Perjalanan ke sana nggak mudah.
Naz banyak berkorban di sini.
Setelah reuni dan summer break di Jakarta—termasuk insiden tidak senonoh mereka di rumah Naz—bikin kepulangan Naz ke Los Angeles dan kehidupan 'Naz-less' Baskara di Jakarta semakin berat.
Ada banyak hal yang nggak bisa mereka ngerti. Termasuk soal perasaan mereka ke satu sama lain yang rasa-rasanya semakin susah aja dicari benang merahnya.
Baskara udah mikir kalau Naz bakalan segera menikah sama Dave. Mengingat kayaknya Naz udah cinta mati sama pacar empat tahunnya itu. Dan mereka udah nggak butuh nyari banyak validasi lagi, cuma butuh satu malem yang tepat untuk mereka bisa saling mengikat janji ke satu sama lain.
Nyatanya, Baskara masih jadi manusia favorit Dewa-Dewi di alam semesta.
Tiga bulan setelah Naz pulang ke LA, di suatu siang yang cukup sibuk buat Baskara, dia dapet telepon dari nomor asing.
Pikiran Baskara udah ke mana-mana, dia jelas kepikiran dan khawatir kalau Naz kenapa-napa.
Turns out, it was partially true.
Naz diusir dari penthouse milik keluarga Dave di Bradbury.
Diusir sama seseorang yang ngaku kalo dia adalah calon istri Dave.
Untung aja Naz punya banyak temen, jadi dia bisa ditampung sementara di donwtown.
Empat puluh jam lamanya Naz nunggu Baskara dateng jemput dia dengan sisa-sisa tabungan Baskara yang akhirnya harus rela dibuka paksa demi jemput manusia yang paling dia cinta.
Emang sih, nggak masuk akal.
Tapi langkah kecil itu jadi awal baru buat Baskara dan Naz yang akhirnya sadar, mau kemanapun kaki mereka melangkah jauh, mata mereka memandang jauh, akhirnya juga mereka bakal saling jalan berdampingan lagi.
Momen Baskara minta Naz untuk jadi pasangan hidupnya boleh dibilang jauh dari kata fancy, jauh dari kata shiny, jauh dari impian Naz soal indahnya marriage proposal yang akan dia terima atau dia lakukan di masa depan.
Nggak ada cincin berlian Harry Winston, yang ada cuma Naz dilamar di dalem Rubicon. Itu pun Rubicon tahun 2003 punya Bapaknya Baskara.
Nggak ada juga lamaran mewah di atas yacht yang lagi sandar di Amalfi, yang ada cuma lamaran sederhana super corny waktu mereka baru selesai makan nasi ayam penyet di deket Haji Nawi.
Palingan yang masih deket-deket sama imajinasi Naz ya keberadaan buket bunga Dahlia kuning yang emang udah jadi wishlist Naz dari jaman mereka masih SMA, sih. Yang bikin Baskara harus nahan diri bawa bekal seminggu penuh karena uangnya mau dia pakai buat beli buket bunga.
But for him, it was all worthy.
Sejak saat itu, nggak ada hari tanpa cinta untuk mereka berdua.
Bahkan mungkin sekadar kata 'bahagia' aja nggak cukup untuk gambarin betapa senang, lega, dan percaya dirinya mereka saat ini.
Sekarang, ke manapun mereka pergi, ketika orang-orang lihat gimana tatapan penuh cinta dan small gestures yang mereka beri ke satu sama lain, udah pasti orang-orang itu akan setuju dengan ungkapan bahwa,
“Naz sama Baskara itu ... bener-bener soulmate, ya?!”