to keep you warm
Seminggu terakhir nggak semelelahkan seminggu sebelumnya buat Jeno. Di minggu ini dia bisa pergi kerja dengan nyaman, makan juga teratur 3 kali sehari, tidur juga nyenyak di kasur lama dormnya—sama pacarnya.
Semua kerasa normal banget. Dia masih latihan ke kantor, masih makan siang sama temen-temennya—dia udah civil sama Haechan by the way, terus kalo sore masih hangout sama Jo di sekitaran kantor. Malemnya ya bisa pulang di jam normal lalu cuddle sama pacarnya, setelah sekitar 3 bulan ke belakang kehidupan percintaannya kacau balau.
Dia sadar kok kalau semua ini muaranya dari kebodohan dia sendiri. Kebodohan yang terus-terusan dia pelihara atas nama empati ke keluarga Jo dan keinginan buat dapetin posisi lebih baik di agensi demi lindungi Renjun lebih kuat lagi.
Bukan rahasia umum, siapa yang lebih deket sama tim directors, suatu saat akan dapet promosi yang mereka harapkan. Jeno selalu belajar dari Papanya untuk jadi pegawai loyal, makanya dia udah kepikiran kalau setelah sepuluh tahun karirnya, dia akan tetap ada di sini dan coba eksplorasi hal-hal yang sebelumnya nggak pernah dia rasakan. Termasuk mungkin coba belajar soal manajemen dan leadership. Nggak ada kata terlambat buat belajar sih menurut Jeno.
Tawaran menggiurkan (yang akhirnya lebih banyak sisi negatifnya itu) datang ke Jeno di saat yang memaksanya untuk berpikir cepat dan taktis. Kondisi keuangan agensi lagi nggak baik-baik aja, entah kenapa sepeninggal tangan dingin sang maestro rasanya kualitas musik dan entertainment di tempatnya bernaung selalu jadi yang nomor tiga atau nomor empat. Kalah saing sama perusahaan-perusahaan lain yang seolah bisa menjangkau banyak pasar dan nggak cukup idealis untuk mempertahankan ciri khas yang boleh jadi sudah nggak cocok sama tren zaman sekarang.
Belum lagi, grupnya nggak terlalu dapat respon positif di comeback terakhir. Ditambah mereka nggak terlalu gencar promosi di TV—imbas kondisi keuangan company juga. Sales nggak bagus, lagunya cuma berputar di dalam fandom aja, dan parahnya mereka sendiri juga mulai sadar kalo mereka udah terlalu sibuk sama jadwal personal dan lupa sama komitmen untuk saling nurunin ego ketika udah masa promosi. Hal yang biasa sebenernya di kalangan coworkers, tapi kan fans nggak akan menolerir itu, dan malah berasumsi macem-macem sampe bikin kekompakan fandom terjun ke jurang.
Tawarannya simpel saat itu: dating news muncul, cukup tiga bulan perkenalan, berita naik selama maksimal lima bulan, kasus Menkes selesai, mereka akan dikabarkan putus. Jeno dapat bagian 18% dari investasi Pak Yeon Joo, Jo dan keluarganya dapet 20% sekaligus pengangkatan Ibunya jadi kepala rumah sakit, Dear Dream mendapat bagian 20%, Butterfly juga kecipratan 5%, sementara sisanya masuk sebagai suntikan dana untuk perusahaan mereka. Cukup fair buat Jeno. Uangnya bisa dia puter lagi untuk biaya pensiun dia dan Renjun beberapa tahun lagi. Menarik.
Tapi dia melupakan satu aspek penting yang selalu diajarkan Papanya. Ada harga yang harus dibayar untuk integritas.
Dia lupa kalau dia sudah bermain dengan yang namanya kebohongan, bisa aja kerugian intangible-nya lebih besar daripada kemungkinan munculnya kerugian tangible dari nominal 18% yang akan didapatkan Jeno kelak.
Dia jadi salah satu yang tidak tersentuh—artinya, basis penggemarnya udah cukup dewasa dan bisa berpikir matang untuk nggak ikut campur urusan pribadinya. Jadi kabar dating kemarin bukan suatu hal yang dipusingkan sama orang-orang yang selalu mendukung Jeno sejak debut itu.
Justru, banyak komentar mengarah ke Renjun yang seolah mendapat label parasit akibat seringnya kabar mereka diam-diam berkencan jadi buah bibir di sosial media. Cuma selama ini, dia sama Renjun sama sekali nggak pernah memusingkan itu. Mereka udah cukup dewasa untuk tahu kalau rasa cinta mereka terlalu kuat buat digoyahkan 'cuma' karena omongan pahit warganet.
Jeno pikir kesialannya berhenti di situ. Tapi ternyata ada berbagai ujian yang kembali muncul di hari-hari berikutnya. Kabar datingnya yang seolah dengan sengaja diterbitkan untuk menyanggah kabar pacarannya dengan Renjun—sialan siapapun yang mengusulkan tanggal 23 Juli jadi hari anniversary palsu dan penerbitan kabar datingnya harus sengsara seumur hidup.
Harapan Jeno hari itu, dia akan selesai final fitting dan runway di malam hari, pergi tidur, dan besoknya di tanggal 23 akan mengajak Renjun jalan-jalan virtual keliling New York. Selagi masih belum memungkinkan untuk mereka pergi ke sana in flesh.
Tapi bajingan. Semua orang bajingan—di hari Sabtu, justru Jo datang ke lokasi fittingnya dengan didampingi sama manajernya, seolah tanpa dosa—Jo cium pipi Jeno dan kemudian baru ngabarin kalau mereka harus bikin public stunt di New York.
Titik balik semua kekacauan yang bikin berat badan Jeno turun drastis 5 kilogram dalam waktu 3 minggu.
Public stunt sialan itu bikin Jeno harus merapal doa dalam hati minta pengampunan, minta kelapangan hati Renjun kalau suatu saat dia sudah harus jujur ke Renjun—waktu dia harus pura-pura peluk mesra pinggang Jo, waktu dia harus pura-pura menggandeng jari jemari Jo keliling New York, waktu dia harus dengan awkward meletakkan dagunya di pundak telanjang Jo yang sedang duduk di pangkuannya.
Dia merasa buruk karena seolah udah menjual kepercayaan Renjun demi uang dan ambisinya sendiri. At that very moment, dia sadar kalau Renjun nggak seharusnya memaafkan dia.
Makanya setelah kejadian yang bikin jantungnya hampir berhenti berdetak, dia udah tahu kalau apapun itu, dia cuma pengen ada di samping Renjun meskipun ada kemungkinan terburuk Renjun nggak sudi disentuh sama dia.
Selepas orang tuanya ngasih izin agar dia bawa Renjun ke Seoul, Jeno seolah diberikan tanggung jawab satu lagi—yang dengan senang hati dia lakukan—yakni ngerawat Renjun yang sebenernya masih terlihat bugar dan aktif kayak biasanya.
Jadi secara teknis bukan merawat ya, tapi menjaga dia biar selalu punya pikiran cerah dan positif. Supaya kabut mendung yang pernah bikin Jeno khawatir setengah mati di awal-awal berlayarnya grup mereka tidak kembali lagi dan bikin Renjun terpuruk.
Setiap pagi, dia akan mastiin kalau Renjun makan makanan sehat, tentu dengan mengandalkan kehandalan tangan imo di dorm mereka untuk memasak. Memastikan Renjun minum obat dan suplemennya, sampai memastikan Renjun punya kegiatan menarik hari itu selama dia nggak ada. Thanks to teman-teman dan kakak perempuannya, dia merasa sangat terbantu sama hadirnya mereka.
Setelah dia pulang, dia akan nemenin Renjun makan malem berdua, lanjutin meditasi 10 menit setelah makan malem, terus diselesaikan dengan nonton film atau baca buku—dia yang baca, Renjun yang denger, soalnya Renjun punya fokus yang mudah kepecah—dan mereka akan tidur kalau udah ngantuk.
Very normal.
Tapi malam itu, waktu Jisung ngabarin dia lewat sebaris pesan teks yang bilang kalau Renjun tidur seharian dan melempar botol minum ke muka Jisung, dia udah tahu kalau minggu ini akan lebih berat dari minggu berikutnya.
Dia harus mempercepat proses photoshoot dia untuk produk peralatan golf yang baru menggaetnya bulan lalu itu. Dia udah kayak orang kesetanan buat cepet-cepet sampe di dorm, untuk akhirnya ngerasa kena serangan jantung waktu liat Renjun udah berantakin kamarnya sendiri pakai cat lukis punya dia.
Wajahnya yang masih puffy—hasil dari tidur berjam-jam menurut pengakuan Jisung—kena coretan cat air di sana-sini. Sorot matanya juga nggak hidup, kosong banget, dingin banget.
Dia nggak ngalihin pandangan sama sekali dari robekan foto mereka di genggaman tangannya.
Jeno berusaha sehati-hati mungkin memegang tangan Renjun dan tidak secara tiba-tiba mengalihkan perhatian dan ngasih efek kejut ke emosi Renjun yang mungkin bisa naik tiba-tiba.
Tapi Jeno juga bukan ahli di sini, makanya ketika dia baru pegang tangan Renjun, secepat kilat Renjun malah jambak rambut Jeno dan benturin kepalanya ke sisian rak kayu yang di atasnya penuh sama makanan ringan punya Renjun.
Jangan tanya rasanya, Jeno kaget, ngerasain sakit luar biasa juga di kepalanya. Dan makin parah dari waktu ke waktu karena benturan itu nggak cuma terjadi sekali, mungkin sampai lima kali?
Jeno bisa aja bales mengungkung Renjun karena tenaga dia jelas lebih besar, tapi itu pasti akan bikin Renjun makin brutal nyerang Jeno dan bisa aja bikin dirinya sendiri terluka. Makanya Jeno cuma liatin dari jauh waktu Renjun beringsut ke atas kasur dan meluk bantal sambil nangis.
Jeno mengusap pelipisnya, cuma keringat, bukan darah. Untungnya.
Badan Renjun gemetaran di atas kasur, bantal masih dia pegang erat, gemelatuk giginya juga kedenger kenceng. Jeno masih diam dan nggak berusaha mendekat, emosi Renjun masih belum stabil. Penting buat jaga emosinya stabil dulu, baru berusaha masuk dan comfort dia.
Jeno bertahan cukup lama duduk di lantai, badannya capek, tapi harus dealing sama Renjun yang lagi dalam kondisi begini juga nggak kalah bikin capek. Tapi lagi-lagi dia mikir, mungkin ini memang cara buat dia nebus semua kesalahannya ke Renjun.
Hampir satu jam Renjun nangis teredam bantal di pangkuannya. Waktu dia udah kembali stabil, dia perlahan usap air matanya di pipi pakai tangan yang udah belepotan cat, dan berusaha grasp anything yang dia lihat di sekelilingnya. Di situ, baru Jeno berani masuk dan pegang ujung tangan Renjun.
Dia berusaha kasih senyuman paling hangatnya, ngelus tangan Renjun senyaman mungkin, dan berharap semoga emosi dia jauh berangsur membaik.
Untungnya sih nggak butuh waktu lama buat Renjun nggak berontak waktu Jeno meluk pundaknya dan bisikin kata-kata 'Renjun sama Jeno, Renjun baik, Renjun tenang' berulang kali. Meski sambil nahan nangis meratapi keadaan mereka yang harus sebegininya sekarang.
Setelah Renjun nafas dengan tenang, Jeno bawa Renjun ke kamar mandi untuk bersihin segala jenis kotoran baik dari cat, darah yang nggak sengaja keluar dari lengan dalamnya, sampai debu-debu yang bisa aja nempel di wajah cakep Renjun.
Dia dengan sabar basuh badan Renjun pakai air hangat, bantu Renjun sikat gigi, bahkan sisir rambut dan makein baju hangat ke Renjun.
Tapi Renjun seolah nggak bergeming, nggak sadar atas semua yang barusan dilakuin sama Jeno. Tatapannya kosong, nggak ada nyawanya. Air mata Jeno nggak bisa ditahan waktu dia kecup puncak rambut Renjun.
Sembari dia rapiin kamar mereka yang udah berantakan nggak karuan, dia minta Renjun buat nonton Moana. Satu-satunya yang mungkin bikin suasana hati Renjun membaik—tapi melihat kondisi dia sekarang yang sama sekali nggak senyum dan nggak berekspresi hidup lewat matanya, Jeno cuma berharap kalau tontonan itu bikin dia seenggaknya tenang sebentar. Jeno perlu waktu buat beresin kamar ini.
Yang pasti sih dia mastiin buat ganti alas kasur mereka dengan yang baru. Soalnya yang lama udah belepotan cat di sana-sini. Masang fabric perfume supaya tidur Renjun lebih tenang, terus beralih masang humidifier juga aromaterapi.
Sebelum nuntun Renjun tidur, Jeno cepet bersihin semua barang yang berserakan di bawah. Dia baru akan ngepel lantai nanti setelah Renjun tidur.
Jam dinding udah condong ke angka 1, 3 jam pasca Jeno pulang dan harus bergelut dengan kekacauan yang dibikin pacarnya tanpa istirahat barang sebentarpun. Renjun nggak menampakkan raut wajah kelelahan, susah juga baca raut mukanya karena ekspresi dia bahkan sama sekali nggak dikenal sama Jeno.
Yang dia bisa cuma baringin Renjun di sampingnya, mastiin suhu udara cukup buat Renjun, dan ngelus punggungnya naik turun supaya Renjun cepat tidur. Dan berhasil karena cuma perlu waktu lima belas menit untuk bikin Renjun tidur.
Selepas ngasih kecupan selamat malam dan ucapan maaf berkali-kali di telinga Renjun, Jeno harus kembali beres-beres dan mengabaikan punggungnya yang udah capek setengah mati minta istirahat.
Udah dia bilang sejak awal memutuskan buat bawa Renjun kembali ke Seoul, semuanya bakal dia lakuin asalkan semua peluh dan keluhnya bisa jadi bayaran yang setimpal untuk sakit hati yang dirasain Renjun gara-gara dia. Semoga sih setara, ya.
Meskipun setelah malam itu, lagi-lagi dia harus mendapati serangan fisik dari Renjun seperti ditampar dan dipukuli berkali-kali keesokan siangnya, wajahnya secara sengaja dimuntahin Renjun pakai seisi makanan yang baru dia kunyah, sampai kepalanya disiram sup kepiting karena Renjun marah waktu Jeno minta dia sarapan. Kedenger brutal dan bisa jadi alasan untuk Jeno lari dari Renjun, kan?
Tapi dia nggak bisa sih merelakan lima tahun mereka yang berharga, cuma karena satu fase yang sebentar lagi juga bakal lewat ini.
Buat sekarang, Jeno cuma mau nebus kesalahannya, meskipun harus dalam kondisi begini.
Dia cuma perlu sabar sebentar lagi.