Untitled, 220523
Jeno tidak pernah tahu bagaimana ia mengartikan dorongan dari dasar hatinya untuk mengunjungi rumah lamanya menjelang kembalinya ia ke California setelah liburan musim dingin selesai.
Hari keempat di tahun baru, salju tipis masih terlihat menumpuk di pekarangan rumah yang dulu penuh bunga-bunga carnation itu.
Kemarin padahal ia sudah mengirim pesan singkat untuk Chenle dan juga Papanya. Bunyinya, “Papi besok flight jam 4 sore. Mungkin nggak bisa mampir ke rumah karena ada makan siang bareng sama temen-temen kuliah.”
And there he is, berdiri ragu-ragu di seberang rumah mantan suaminya setelah meminta supir pribadi keluarganya menunggu sebentar di seberang jalan.
Ia belum sempat mengetuk pintu, tapi tiba-tiba Renjun keluar dengan setelan rumahannya dan kantung sampah besar di tangan kanannya yang terbalut sarung tangan.
Renjun terkejut, sebelum pipinya berubah memerah ketika Jeno dengan kikuk mengucap, “hai” tepat di depannya.
Ia buru-buru mempersilakan Jeno masuk ke rumah sementara ia secepat yang ia bisa lari ke depan untuk membuang sampah.
Chenle tidak ada di rumah.
Begitu informasi yang ia terima dari Renjun ketika laki-laki yang tidak lebih tinggi darinya itu kembali ke dalam rumah lalu mencuci tangannya di kamar mandi dekat dapur.
Senyum Jeno terkembang lagi ketika Renjun mengambil duduk di sebelahnya.
“Kirain nggak mampir, soalnya kan kamu bilang kemarin akan langsung aja ke airport.”
Ia menggaruk tengkuknya dengan kikuk.
“Iya. Eh … tadi acara lunch batal, jadinya aku bisa mampir dulu.”
Ini bukan Jeno mengada-ada, kok. Acaranya memang batal, makanya dia bisa mampir ke rumah lamanya untuk berpamitan ke anak dan mantan suaminya.
“Take care, ya? Jangan lupa pake sunscreen, kulit kamu belang, nih.”
Keringat dingin jatuh dari punggung Jeno ke bawah. Alasannya sesepele karena Renjun tiba-tiba mengusap tipis rahangnya yang punya warna berbeda dengan lehernya.
Logikanya selalu menolak dan sebisa mungkin menahan Jeno untuk tidak—lagi-lagi—melakukan kesalahan fatal dengan menjadi terlalu dekat dan malah menginisiasi hal-hal intim terjadi di antara ia dan Renjun.
Tapi mungkin benar kata Chenle, rumah ini banyak setannya.
Karena tiba-tiba Jeno terdorong untuk menahan tangan Renjun di sana dan mencium telapak tangan yang dulu selalu mengusap pucuk kepalanya sampai ia terlelap itu.
Sebelum akhirnya—seperti yang sudah diprediksi—dengan berani membawa Renjun dalam ciuman hangat di siang hari yang tidak begitu hangat.
Yang terakhir, sebelum Jeno pergi lagi dan entah kapan bisa kembali.
***
Mimpi di dalam pesawat itu sayup-sayup mampir ke ingatan Jeno. Membuatnya tersenyum bodoh seolah seperti sedang ketahuan memikirkan hal-hal jorok mengenai pujaan hatinya di masa sekolah dulu.
Lebih-lebih saat 'pujaan hati semasa sekolah' itu tengah berada di sampingnya.
Ya Renjun, siapa lagi memang?
Undangan Renjun kembali ia sampaikan ke Jeno secara lisan saat ia mengendarai EV Car-nya di lajur lambat jalan tol sepulang dari bandara.
Jeno duduk di kursi penumpang di sampingnya. Sementara Chenle ada di belakang, sibuk dengan tayangan langsung NBA minggu ke-10.
Seingatnya, hari itu Jeno dengan antusias bilang kalau ia pasti akan datang. Dan sebisa mungkin akan berusaha ‘kabur’ dari acara makan malam keluarga besar.
Renjun yang merasa tidak enak jika harus menginterupsi acara bonding keluarga Lee juga sebenarnya sudah meminta Jeno mempertimbangkan kembali ajakannya dan Chenle.
Maksudnya … mungkin mereka bisa pergi makan malam di lain hari. Meskipun Renjun sebenarnya juga merasa tidak enak hati ke Chenle, sudah hampir lima kali natal mereka hanya makan berdua.
Tapi Renjun lebih tidak enak lagi jika harus ikut ajakan Jeno untuk ‘pergi Christmas dinner bersama semua anggota keluarga Lee’. Karena demi apapun, mereka sudah berpisah hampir tujuh tahun!
Mana mungkin Renjun masih punya muka untuk datang ke sana sebagai plus one-nya Jeno? Mungkin mantan Ibu dan Ayah mertuanya tidak masalah dengan ide itu, pun dengan Kak Jihyo yang selalu suportif ke Renjun meskipun dia dan Jeno sudah berpisah bertahun-tahun lalu.
Tapi bagaimana dengan anggota keluarga lain? Para tante yang seakan bersorak gembira waktu Jeno dan Renjun cerai? Saudara-saudara jauh yang sedari dulu ingin dekat dengan Jeno?
Bukan ide bagus untuk kewarasan Renjun. So, he will go with a solid ‘no’.
Tapi mungkin pilihan itu juga menjadi sumber kekhawatiran Renjun. Karena sekarang, di tanggal 24 Desember, di malam natal yang seharusnya menjadi waktu di mana Renjun, Jeno, dan Chenle makan bersama, sepertinya harus dilupakan pelan-pelan.
Masakan sudah siap sedia sejak mereka pulang dari gereja jam enam sore tadi.
Renjun bahkan belum sempat mengucapkan ‘Selamat Natal’ yang cukup proper untuk Haechan dan Jaemin yang sedang sibuk dengan restoran mereka saat mengambil pesanannya tadi.
Karena yang ada di bayangannya, jalanan akan sangat macet dan Jeno akan datang tepat waktu jam tujuh lewat tiga puluh menit.
Tapi nyatanya, hingga waktu menunjukkan pukul sembilan kurang lima belas, Jeno belum datang ke rumah mereka.
“Kamu kalau laper makan dulu aja, mau? Papa panasin lagi pestonya.” Renjun memecah keheningan di ruang tamu—yang isinya cuma Chenle yang sedang tidur tengkurap di sofa, sambil menatap sendu pintu depan yang belum diketuk sejak sore tadi.
“Nunggu Papi.” singkat jawaban Chenle benar-benar mengiris hati Renjun.
To be fair, ini juga sebenarnya yang dulu menjadi salah satu pertimbangan ia dan Jeno berpisah padahal mereka sudah bersama hampir lima belas tahun lamanya. Jeno yang kurang bisa menghargai Renjun sebagaimana ia benar-benar menghargai keluarga besarnya.
Cukup kompleks sebenarnya masalah mereka, hanya saja Renjun selalu menjadi outsider di sana. Ada banyak hal yang ia rasa seperti menjadi jurang pemisah antara pribadinya dengan keluarga besar Jeno.
Hampir Renjun menyerah dan beres-beres meja makan, ia dikejutkan dengan ketukan konstan di pintu rumah. Yang membuat Chenle langsung sumringah dan membuka pintu.
Dan ternyata benar, teriakan nyaring Chenle berikutnya teredam mantel Jeno.
Jeno datang, satu setengah jam lebih lambat dari janji mereka.
“Maaf Papi telat, maaf banget. Papi nggak bisa kabur dari acara di rumah. Chenle marah nggak sih sama Papi?”
Renjun mendengus geli, gaya bicara Jeno seolah-olah Chenle ini masih sekecil itu—sekecil Chenle usia SMP yang terakhir kali manja-manja begini.
Jawaban Chenle malu-malu terdengar di telinga Renjun. Geli juga ya lihat Chenle selengket itu sama Papinya.
“Hai, Jun.” sapaan lembut Jeno yang padahal bulan ini sudah tiga kali didengar oleh Renjun secara langsung, masih sama terus-terusan membuat darahnya berdesir.
Ada satu rasa yang tidak bisa Renjun utarakan. Pokoknya, ada hal familiar yang dulu sempat hilang, sekarang kembali lagi—nah, begitu rasanya.
“Hai. Gimana tadi acaranya?” basa-basi Renjun berlanjut dengan sedikit membahas acara makan malam yang ternyata sesuai dugaannya.
Lagi-lagi Jeno dikenalkan ke banyak orang baru oleh saudara-saudaranya. Sebenarnya ada perasaan tidak rela, sih, di hati Renjun. Tapi ya dia mau apa? Mereka juga sudah lama berpisah. Kurang etis rasanya kalau Renjun mau ikut campur.
Jadi, dia hanya menanggapi sekenanya. Toh, kalaupun akhirnya Jeno memilih salah satu dari banyak orang lain yang dikenalkan oleh keluarganya, berarti artinya Jeno sudah benar-benar ingin menutup buku masa lalu bersama Renjun, dan itu juga seharusnya berlaku ke Renjun.
Tapi, oh God, kalau Renjun terus-terusan memikirkan kemungkinan-kemungkinan Jeno akan pergi kencan dengan orang lain … sepertinya seminggu ke depan Renjun akan benar-benar sulit tidur.
Ditambah lagi, sekarang, ia melihat pemandangan paling familiar yang sekaligus membuat perut dan dadanya penuh sekali. Penuh sesak.
Jeno duduk di ujung meja makan, di tengah, di kursi yang dulu—selama bertahun-tahun menjadi tempat Jeno duduk setiap kali mereka makan pagi atau makan malam.
Semuanya terasa begitu familiar, dengan Chenle yang masih banyak sekali bercerita dari A sampai Z, dan Renjun yang begitu atentif mendengarkan di sisi meja makan lainnya.
“Oke, kita doa dulu yuk?” Jeno memecah lamunan Renjun yang sedang berkelana ke hari-hari baik di masa lalu mereka.
Chenle dan Jeno sudah berpegangan tangan dengan erat, hanya saja ia ragu-ragu ketika hendak meletakkan tangannya di atas telapak tangan Jeno.
Jeno yang begitu pandai membaca situasi sudah hendak menelungkupkan tangan di dekat piring makan Renjun—untuk menggantikan gestur berpegangan tangan saat berdoa, sebelum Renjun buru-buru meletakkan tangannya di atas tangan Jeno.
Renjun bisa lihat bibir Jeno sedikit terangkat, sebelum memulai melantunkan doa-doa yang diamini dengan cukup kencang oleh Chenle.
Sementara Renjun? Jangan tanya. Hatinya sepertinya sudah pindah dari tempat yang seharusnya. Saking banyak sekali perasaan-perasaan berkecamuk di dadanya.
Ini semua … benar-benar mungkin membuat hatinya rusak setelah ini.
Saat Jeno akhirnya menutup doa dengan frasa latin yang bahkan Renjun tidak tahu artinya, mereka akhirnya memulai acara makan malam.
Tidak banyak pembicaraan berat di meja makan, hanya menanggapi pertanyaan dan pernyataan yang keluar dari mulut Chenle. Sesekali juga Jeno bercerita tentang pekerjaannya dan hal-hal kecil soal kehidupan di Amerika untuk Chenle.
Rasa syukur hinggap di hati Renjun. Barang sebentar, akhirnya Chenle bisa kembali merasakan bagaimana serunya makan malam natal dengan keluarga kecilnya yang masih utuh. Setidaknya tahun ini mereka bisa begini, tidak tahu lagi jika tahun depan Chenle harus sudah rela Papinya tidak hanya mengunjungi Chenle saat pulang ke Korea—melainkan harus berbagi juga dengan adiknya? Tidak ada yang tahu ‘kan?
Acara makan mereka selesai waktu sudah sangat larut. Jeno hanya makan sedikit, bukan karena tidak suka, tapi karena ia sudah sempat makan saat bersama keluarga besarnya tadi.
Renjun menawarkan Jeno untuk membawa pulang makanan-makanan yang ia suka, Jeno mengiyakan karena jujur sudah sangat sangat sangat rindu beberapa masakan spesifik yang selalu dihidangkan Renjun di hari-hari besar. Meskipun itu bukan masakannya sendiri, sih.
Acara berikutnya adalah tukar kado.
Jeno menyerahkan kotak warna merah-hijau yang cukup besar untuk Chenle—tapi Renjun sudah bisa tahu apa isinya.
Dan benar, Chenle berteriak kencang saat mendapati ada sepasang sepatu incarannya dan merch dari klub basket favoritnya di dalam kotak.
Big strike!
Chenle dan Jeno berkelakar heboh kemudian. Renjun tersenyum karena Chenle lagi-lagi bisa mendapatkan kebahagiaannya saat bersama Jeno.
Sekarang gantian, Chenle yang memberikan hadiah untuk Papinya.
Kotaknya kecil, hanya seukuran handphone yang membuat kening Jeno berkerut.
Kerutannya hilang waktu mendapati sebuah polaroid dengan fotonya dan Chenle di sana. Jeno, belasan tahun lalu, menggendong bayi kecil Chenle.
Renjun yang mengambil fotonya, dan saat tahu Chenle menghadiahkan ini untuk Jeno, semalaman Renjun menangis. Merasa bersalah karena tidak benar-benar bisa menjaga keluarga kecil mereka untuk Chenle.
Sekarang juga masih ingin menangis, karena Jeno membuat mereka bertiga mendengarkan perpaduan instrumen dan lirik lagu yang begitu menyayat hati—lagu khusus yang ditulis dan dinyanyikan oleh Chenle untuk Jeno.
“Aku dibantuin sama Om Kun,” senyum lebar Chenle mungkin bisa menutupi kesedihan dan keharuannya sekarang, tapi Renjun tidak akan terkejut jika nanti malam ada suara tangis teredam dari kamar Chenle.
Selepas Jeno menyudahi pelukannya pada tubuh anak semata wayangnya, gantian Renjun yang memberikan kotak seukuran buku tulis untuk Jeno.
“California biasanya panas, ya? Tapi kamu bisa pakai itu kalau lagi traveling ke New York atau ke east coast waktu musim dingin.” senyum Renjun yang begitu teduh dan sederhana ia tampakkan saat menyerahkan scarf sewarna wine untuk Jeno.
Jeno tersenyum juga sambil menelusuri rajutan rapi scarf yang diberikan oleh Renjun. Lebih-lebih ketika tangannya berhenti pada rajutan huruf J berwarna silver yang diletakkan Renjun di salah satu ujung scarf.
“Ini … kamu rajut sendiri?” mata Jeno terlihat berkaca-kaca ketika mengalihkan pandangannya ke Renjun yang juga sedang menatapnya penuh harap.
“Iya.” jawaban singkat Renjun benar-benar ingin membuat Jeno membawanya ke pelukan hangat, tapi rasanya bisa jadi sangat salah kalau ia melakukannya sekarang.
Saat acara buka kado sudah selesai, denting jam di ruang tengah memperingkatkan mereka kalau sekarang ini sudah hampir larut. Sudah jam sebelas malam.
Renjun kembali membereskan bekas makan malam mereka, sementara Jeno dan Chenle masih mengobrol asyik di ruang tamu. Sebelum akhirnya Jeno mengintip ke dapur ketika Chenle sudah naik ke kamarnya. Khawatir susah bangun besok pagi.
“Jun?”
“Hey…” Renjun masih melanjutkan kegiatannya menggosok bekas grill ayam yang dipakainya sore tadi ketika Jeno melangkahkan kaki ke dapur, mengambil beberapa piring bekas yang masih ada di meja makan dan membawanya ke dekat wastafel.
“Mau dibantuin?” kaki Renjun lemas begitu sekarang berdiri sedekat ini dengan Jeno di sampignya.
“It’s okay, kurang dikit kok.”
Sebelum Jeno sempat menjawab, Renjun sudah angkat bicara lagi, “kamu mau pulang? Tapi aku belum sempet panasin lauknya. Tunggu bentar abis ini aku panasin lauk yang mau dibawa pulang.”
Jeno mengulum senyumnya, tidak mau menjawab karena jujur ia sangat menikmati ini semua. Kembali mendengar Renjun yang begitu banyak bicara, dan begitu gemar direpotkan oleh orang lain, lebih-lebih di hari besar seperti ini.
Renjun sudah selesai dengan cucian piringnya sekitar lima belas menit kemudian, dan selama itu mereka juga tidak bicara. Jeno hanya mengedarkan pandangannya ke dapur kecil yang dulu pernah jadi saksi betapa mereka begitu mencintai satu sama lain. Tidak tahu juga apa yang sedang berkecamuk di otak Renjun malam itu.
“Mau minum teh dulu?”
Renjun menurunkan gelas warna lilac miliknya dari cabinet dapur, dan ragu-ragu ketika hendak menurunkan gelas bening satu lagi untuk Jeno, meskipun akhirnya tersenyum lega waktu Jeno mengiyakan tawarannya.
Renjun cekatan sekali meracik teh untuk mereka berdua, lebih-lebih ketika sedari tadi ia sudah menyediakan rebusan air di water heater.
“Kamu beneran jadi pindah ke Texas, ya?” suasananya sudah sangat awkward malam itu, buat Renjun mau tidak mau buka suara sambil mengoperkan segelas teh ke Jeno.
“Iya, mulai bulan April nanti kayaknya.” Jeno menyesap tehnya kemudian, “hm, enak, masih jago aja kamu bikin teh.”
Renjun berdecih, Jeno tertawa kecil setelahnya.
“Chenle bilang katanya dia nggak keberatan kok kalo harus ikut kamu ke Amerika setelah ini buat kuliah.” kata Renjun lagi, sambil memasukkan sekotak makanan ke microwave dan mengatur waktu pemanasannya.
“Iya, tadi dia udah bilang juga ke aku. Cuma aku aja kepikiran buat balik ke sini,” alis Renjun terangkat sembari menyesap tehnya, “for good.”
Hah? Apa tadi katanya? Jeno mau kembali? For good?
“Karena?” Renjun hati-hati bertanya ke Jeno soal ini. Karena dulu, Jeno benar-benar akan bereaksi sensitif jika sudah menyangkut pekerjaan dan pilihannya untuk bekerja sejauh itu dari rumah tanpa membawa serta Renjun dan Chenle.
“Ya … aku akhirnya menemukan satu alasan aja untuk tinggal di sini.”
‘And that wouldn’t be us.’ batin Renjun tiba-tiba mengambil alih untuk melanjutkan omongan Jeno. Mengingat salah satu dari sekian banyak alasan mereka berpisah kan juga ini.
“Kamu sendiri gimana akhir-akhir ini? Ada yang lagi kamu pikirin nggak?”
Ini kali pertama sejak perpisahan mereka, di mana Jeno menanyakan perasaan Renjun.
Rasa-rasanya seperti tembok tebal di sekeliling mereka berusaha dirobohkan pelan-pelan oleh Jeno. Setidaknya ini langkah awal.
Renjun pelan-pelan bercerita soal kekhawatirannya. Mostly, soal Chenle yang makin tumbuh besar dan sepertinya punya ketertarikan berlebih ke musik, yang mana mungkin agak sulit diwujudkan Renjun karena pekerjaannya sebagai admin customer service di salah satu bank besar di Korea agaknya kurang menjamin masa depan Chenle.
Jeno pun setuju. Cukup realistis karena untuk jadi penyanyi profesional, ada banyak hal di luar bakat yang perlu dipertimbangkan.
Ia juga sedikit merasa bersalah karena tidak bisa ada di samping Renjun untuk berbagi keresahan soal Chenle di saat-saat seperti ini.
“Kamu … nggak ada rencana buat nyari pasangan lagi?”
Alih-alih menganggap pertanyaan Jeno seperti halnya air dingin yang disiram ke atas kepalanya, Renjun justru lega karena Jeno bertanya soal ini.
Egonya sedikit diberi makan malam ini. Karena setelah perceraian mereka dan melihat Jeno bersikap sangat santai seolah tidak terjadi apa-apa, Renjun acap kali merasa, mungkin ia yang selama ini cinta sendirian.
Seluruh keberanian dalam dirinya ia kumpulkan, untuk mendekat ke arah Jeno yang sedari tadi dipisahkan oleh kompor induksi di antara mereka.
Ia letakkan tangannya di atas punggung tangan Jeno yang sedari tadi berada di atas meja dapur.
“You know what?”
Mata Renjun menatap intens mata Jeno yang sekarang benar-benar sulit diartikan apa isinya sebelum melanjutkan, “no matter where you are, mau sejauh apapun kamu pergi, kayaknya kalau ditanya siapa orang yang paling aku tunggu untuk pulang, jawabannya cuma kamu.”
Tiba-tiba saja air mata turun tanpa diminta dari bola mata kanan Renjun.
Jeno tercekat, begitu sulit mengartikan perasaan yang tidak masuk akal sekarang ini.
Tangannya ia alihkan untuk menggenggam tangan Renjun, mengelusnya pelan dengan ibu jarinya, sembari membiarkan Renjun yang tiba-tiba pundaknya naik turun akibat menangis di depannya.
Kedua tangannya kemudian ia bawa untuk mengangkat kepala Renjun agar matanya sejajar dengan mata Jeno.
Elusan ringan di pipi Renjun sembari menghapus air mata Renjun menjadi upaya terakhir Jeno mendekatkan wajah mereka, untuk selanjutnya ia bawa bibirnya mengecup bibir basah Renjun.
Rasanya masih sama seperti ciuman pertama mereka di toilet sekolah puluhan tahun lalu.
Renjun juga masih suka tersenyum dan terkekeh ketika Jeno menciumnya semakin terburu-buru seperti sekarang. Sepertinya Renjun suka jika Jeno seakan takut kehilangan momen bersama dengannya. Takut kalau besok, ia kembali dan tidak menemui Renjun lagi di sini.
Mereka kesulitan bernafas, tapi setelah mengambil nafas selama tiga detik, Jeno kembali menggigit bibir bawahnya yang sudah membengkak untuk membelitkan lidah mereka kembali satu sama lain.
Jeno hendak memperdalam ciumannya dan mengangkat Renjun ke pangkuannya yang kokoh itu ketika tiba-tiba kepalanya terantuk kabinet dapur, membuat tawa kecil keluar dari dua belah bibir mereka berdua.
“Bedroom.” satu kata dari mulut Renjun itu jadi perintah untuk Jeno.
Jeno bersyukur karena pekerjaan beratnya di oil rig, di usia empat tahun menuju empat puluh, ia masih bisa menggendong sambil menciumnya begitu brutal malam ini.
Dan semoga, Renjun juga masih bisa mengimbangi energi Jeno ya malam ini.