urs 3
Jeno nepatin janjinya.
Kita selesai latihan sekitar jam 12 (dua belas) malam lewat sedikit.
Gue seperti biasa balik sama Jisung pake mobil pertama. Jaemin dijemput supirnya, Chenle dianterin sama supir kantor.
Jeno udah izin buat balik sendiri, ngakunya balik ke rumah. Dijemput supir. Padahal dia ngambil risiko buat naik taksi dan berhenti selama empat puluh menit di deket jalan menuju dorm sampai Jisung masuk kamar dan istirahat.
Sebenernya, Jisung tahu kok kalau Jeno sering ke dorm. Cuma dia nggak ambil pusing soal alasan Jeno datang. Toh, Jeno juga sebenernya masih punya hak tinggal di sini.
Bukain pintu dorm untuk Jeno lewat tengah malam gini selalu munculin adrenalin yang luar biasa di dada gue. Saling nautin tangan gue sama tangan berotot dia di gelapnya ruang tamu dan lorong dorm bikin gue ingat masa lalu. Waktu di mana gue selalu natap wajah tenang dia tiap sebelum tidur di temaramnya kamar sempit kami. Tetap kerasa indah karena waktu itu gue baru pertama jatuh cinta. Waktu yang indah sebelum semuanya membara kayak gini.
Ada kalanya, gue takut kalau semua dinding dan bahkan daun pintu di kamar ini bisa bicara. Mereka pasti ikut menghakimi dan ketawain gimana gue selalu luruh waktu Jeno mulai cium gue seolah hari esok nggak pernah datang, sedalam itu sampai rasanya punggung gue menyatu sama dinding keras di kamar ini.
Tawa kecil yang berubah jadi desahan pasti jadi pertanda kalau gue dan Jeno udah sama-sama terbuai. Selalu begitu.
Gimana Jeno akan tahu bagian-bagian yang harus dia sentuh—bagian yang akan bikin gue menggelinjang kayak orang sinting. Dia terlalu tahu banyak soal gue.
Susah untuk lupa sama Jeno kalau dia se-luar biasa ini memperlakukan gue. Nggak akan ada orang di luar sana yang setara sama dia. Dia udah bikin gue buta, dan gue dengan sukarela mau tutup mata.
Hampir dua setengah jam berlalu. Gue udah keluar berkali-kali, Jeno mungkin baru dua kali. Yet it feels so good on me.
Menjelang pagi gini, Jeno akan memastikan untuk cium kening gue sekali, lumat bibir gue yang pasti besok akan bengkak, dan bilang terima kasih, juga kemudian meluk gue sampai gue tidur. Yang sedihnya, selalu nyenyak karena memang cuma bau tubuh dia yang bisa bikin gue senyaman itu.
Jeno ... perlahan jadi poros hidup gue. Tapi gue nggak sadar bahwa kapanpun gue punya risiko untuk harus siap keluar dari orbit dan berhenti jadi naif demi menyelamatkan diri gue sendiri.