17 September 2022 (Part 1)
Setelah mendapatkan pesan dari Aruna yang mengatakan bahwa dirinya akan segera pulang ke Bogor—dijemput oleh Ayah dan Buna yang hanya dalam hitungan beberapa menit lagi akan sampai di indekosnya Aruna—Aska segera berangkat menuju indekos Aruna dengan menggunakan motor vespa kesayangannya.
“Ayah, Buna, tunggu sebentar ya. Abang katanya mau kesini. Mau ketemu sama Ayah dan Buna dulu.” Aruna menyampaikan pesan dari Abang kepada kedua orang tuanya yang kini tengah berada di depan pagar indekos Aruna—meminta agar Ayah dan Buna bertahan sedikit lebih lama di indekos Aruna, menunggu kedatangan Si Abang, begitu isi pesannya.
“Nah itu Abang udah sampe!!!” pekik Aruna saat kedua matanya menangkap sosok raga beserta vespa milik Abangnya yang telah terlihat bahkan dari jarak 20 meter. Aruna sudah hafal dengan suara yang dikeluarkan oleh motor vespa berwarna putih tersebut. Bahkan Aruna sudah mendapatkan feel terlebih dahulu jika motor beserta Sang Pemilik tersebut mendekati indekos Aruna. Tunggu, Aruna tidak sendiri kan? Kalian suka merasakan hal seperti itu juga enggak sih?
By the way, jarak yang ditempuh Aska dari indekosnya menuju indekos Aruna terbilang dekat. Alasannya hanya karena Aska yang tidak ingin berjauhan dengan Aruna. ‘Biar lebih gampang ngejaga dan nengokin Aruna. Jadi, yaa amit-amit kalo ada apa-apa kan aku bisa langsung cepet datenginnya.’ Kalau kata Aska sih begitu kepada kedua orang tuanya.
“Ini nih jagoannya Ayah udah resmi loh sekarang namanya udah ada gelarnya, Bun. Keren banget ini anak Ayah.”
“Apa deh, Bang, gelarnya? Buna lupa.”
“S.Ars., Bun.”
“Wuih anak Buna nanti namanya jadi Baskara Akhza Malik S.Ars. loh, Yah. Keren banget ya anak kita. Selamat ya Abang sayang. Buna bangga sekali sama Abang,” ucap Buna seraya memeluk lalu mencium kedua pipi anak sulungnya itu.
“Abang anak Ayah, jagoan Ayah. Hebat kamu, Nak, Ayah bangga sekali sama Abang. Terima kasih ya, Abang. Semoga ilmunya berguna bagi diri kamu, berguna untuk orang lain, agama, bangsa dan negara ya, Nak,” timpal Ayah seraya memeluk anak laki satu-satunya itu.
“Adek, kamu enggak ucapin Abangnya juga?” tanya Buna.
“Adek udah ngucapin Abang tauuuu. Adek kan nungguin Abang sidang juga hehe. Tapi yaudah deh biar samaan kayak Ayah sama Buna, Adek peluk Abang lagi,” kata Aruna sambil menghampiri lalu memeluk Abangnya itu, “sekali lagi selamat yaaa Abang jelek!”
“Makasih yaaa Ayah, Buna, Adek. Gelar ini Abang dedikasikan buat kalian—satu-satunya harta Abang yang paling berharga.”
“Dih gaya banget omongannya,” celetuk Aruna yang dibalas Buna dengan omelan dari sorot matanya, ‘Adek! Enggak boleh ngomong seperti itu ke Abang.’
“Ini Ayah, Buna sama Adek mau langsung pulang? Apa mau pergi lagi dulu?” tanya Aska.
“Si Adek katanya mau ke Kopi Daong, Bang,” jawab Ayah seraya mencubit pelan pipi Aruna.
“Abisnya aku mau kesana dari bulan lalu sama Raven tapi ada orang nyebelin yang enggak ngebolehin aku pergi, Yah!!” sindir Aruna.
“Hahaha yaudah tapi kan sekarang Adek jadi perginya malah sama Ayah dan Buna. Lebih seneng pergi berdua sama Raven atau pergi bertiga sama Ayah Buna?” tanya Buna kepada Aruna.
“Pergi bertiga sama Ayah dan Buna donggg!!” jawab Aruna sambil mengalungkan lengannya pada lengan Buna.
Aska pun hanya bisa terkekeh melihat tingkah laku Adiknya yang menurutnya malah semakin menggemaskan, “dasar cimoool,” ledek Aska kembali.
“Oh iya Abang, Buna cuma ingin berpesan satu hal. Selalu jadi anak yang baik ya, Abang. Sekali pun kamu tidak bisa membahagiakan seseorang, jangan pernah menjadi penghalang seseorang dalam menggapai bahagianya, jangan merugikan orang lain ya, Nak. Kalau anak Buna berhasil menjadi orang hebat itu hanya bonus, Nak. Kamu masih terus hidup bersama Buna dan Ayah, sehat selalu, bahagia, memiliki tata krama dan budi pekerti yang baik, itu sudah cukup bagi Buna sayang. Ini berlaku juga untuk Adek ya sayang.”
“Ayah dan Buna sayang sekali sama kalian. Saling menjaga, melindungi, dan mendukung satu sama lain ya anak-anaknya Ayah. Abang, selagi Ayah dan Buna jauh dari kalian, selagi Ayah dan Buna tidak bisa menggapai kalian, Abang jagain Adeknya terus ya, Adeknya diperhatikan dan disayang, lindungi Adek ya, Nak. Adek juga harus begitu ke Abang. Adek harus perhatikan Abang juga, harus mendukung Abang, temani Abang, dan harus dengarkan omongan Abang ya, Nak, enggak boleh nakal. Karena kalau Abang menasehati dan ngomelin Adek itu pasti untuk kebaikan Adek kok. Karena Abang sayang sama Adek. Seperti layaknya Ayah dan Buna sayang sama Abang dan Adek. Saling mengingatkan satu sama lain juga ya, Nak, kalau diantara kalian ada yang melakukan kesalahan. Dan jangan berantem terus. Okay sayang-sayangnya Ayah?”
“Okeeey Ayah!! Okeeey Buna!!” ucap Aska dan Aruna bersamaan.
“Yaudah, Bang, Ayah berangkat dulu ya. Nanti keburu sore nih ke Daongnya, Adekmu nanti keburu ngambek,” ucap Ayah seraya memeluk Aska. Pelukan erat dari Ayah yang akhir-akhir ini jarang ia rasakan karena perbedaan jarak diantara keduanya. Sesungguhnya Aska sangat rindu dengan Ayah. Rindu pada hal-hal kecil yang biasa dilakukan berdua dengan Ayahnya. Seperti ngopi di teras bersama Ayah, membantu Ayah mencuci mobil, bahkan ikut memancing bersama Ayah dan teman-temannya. Aska berharap bahwa ia dapat melakukan hal-hal tersebut kembali bersama Ayah setelah ia benar-benar menyelesaikan persoalan kuliahnya disini.
“Kalo ngambek turunin aja, Yah, ditengah jalan.” Aska sengaja mengencangkan suaranya agar Aruna dapat mendengarnya; membuat kesal Aruna adalah hobi Aska.
“Aku denger ya, Abang!!!” Hal tersebut pun ternyata memang berhasil membuat Aruna kesal.
“Hush hush udah ah berantem terus. Abang, Buna berangkat dulu ya sayang. Pulangnya nanti jangan malem-malem ya, Abang.”
“Iyaaa Buna. Hati-hati ya, Bun, dijalan,” ucap Aska seraya memeluk erat Bunanya. Pelukan erat yang Aska berikan kepada Buna seakan tidak ingin melepasnya barang sedetik. Aska pun juga sangat merindukan Bunanya. Aska rindu menemani Buna belanja bulanan, rindu dengan omelan Buna jika Aska malas mandi, rindu melakukan eksperimen dalam membuat kue dengan Buna. ‘Buna, Abang janji, setelah Abang benar-benar menyelesaikan sekolah Abang disini, nanti Abang temani Buna lagi yaaa kemana pun Buna ingin pergi. Sebentar lagi ya, Buna,’ batin Aska.
Satu hal yang tidak diketahui oleh Aska bahwa kata-kata dan pelukan-pelukan itu merupakan hal terakhir yang dapat Aska dengar dan rasakan dari Ayah dan Bunanya. Aska tidak mengetahui bahwa sejak hari itu hidupnya akan berubah drastis. Bahwa segala harapan-harapan yang Aska lantunkan dalam hatinya tidak akan pernah terwujud. Harapan itu akan selalu bersemayam di dalam hatinya, dan akan-selalu-hanya menjadi sebuah harapan dan ilusi belaka. Tanpa adanya kepastian untuk terwujud. Oh maaf ralat, bukan tanpa adanya melainkan tidak akan pernah ada kepastian untuk terwujud. Hari itu, dunia Aska berhenti.
17 September 2022
Jiwa dan ragaku telah mati.
Tertanda, Baskara Akhza Malik