Maafin Abang
Kesabaran Aska memang sedang diuji. Belum selesai mengurus adik satu-satunya yang tengah mengalami pubertas, Sang Kekasihnya pun turut andil dalam mengoyak perasaan dan emosinya. Tugas-tugas, project, rapat divisi organisasi, dan turnamen telah menyita perhatian Aska belakangan ini sehingga ia pun tidak bisa memberikan atensi yang seharusnya kepada dua perempuan kesayangannya itu.
Mengesampingkan perihal Ayya yang sedang berada di cafe dengan seorang laki-laki yang tidak diketahuinya—Aarav atau Arab, Aska tidak peduli dan tidak mau tahu tentang itu—setidaknya untuk saat ini. Sekarang yang menjadi prioritasnya adalah Adik kesayangannya; Athasya Aruna.
Aska menyadari bahwa ia melakukan kesalahan; tidak membalas chat Aruna yang membuat Adiknya itu merajuk kesudahannya. Aruna sedang berada di masa pubertas; masa peralihan dari remaja menjadi dewasa, masa yang meliputi perubahan fisik, emosi, sikap serta perilaku yang masih belum stabil. Aska sudah lebih dulu mengalaminya sehingga ia dapat memaklumi perubahan sikap Adik kesayangannya itu.
Namun menurut Aska, kali ini Aruna sudah keterlaluan. Adiknya berubah menjadi seseorang yang sulit diatur dan tidak pernah mendengarkan perkataan Aska. Entah hanya untuk mencari perhatiannya saja atau memang dia ingin bertindak semaunya. Sejujurnya Aska sedih dan kecewa. Sedih karena sekarang ia merasa bahwa hubungannya dengan Aruna semakin menjauh, kecewa pada dirinya sendiri karena gagal dalam mendidik dan menjaga adiknya. Gemuruh menyelimuti dada dan pikirannya tatkala ia melajukan motor vespa miliknya—kabarnya dibelikan Ayah sebagai hadiah karena sudah berhasil masuk ke salah satu universitas terbaik di Indonesia—menuju rumahnya di Bogor. Aska terus mempertimbangkan dengan baik bagaimana ia harus memperlakukan Aruna, bagaimana penyampaian dan kata-kata apa yang harus ia ucapkan agar Aruna mau mengerti dan mendengarkan perkataannya tanpa menyakiti perasaan Aruna. Bagaimana ia harus mendidik dan menasehati Aruna yang sudah mulai beranjak dewasa ini.
Satu jam telah berlalu dan Aska pun telah sampai di rumahnya. Ia segera memarkirkan motornya di garasi dan memilih untuk berdiam diri—menetralkan emosi dan nafasnya sebelum masuk ke dalam rumah. Ia berusaha meredam emosinya agar tidak menuturkan kata-kata yang tidak diinginkan sehingga dapat menyakiti Adiknya lebih jauh dan membuat hubungan keduanya semakin renggang.
“Assalamualaikum, Buna. Abang pulang.” Suara Aska menggemai tatkala ia memasuki kediamannya.
“Waalaikumsalam. Abanggg?” tanya Buna memastikan apakah suara yang menyergap telinganya benar milik anak sulung kesayangannya.
Aska pun melangkahkan kakinya menuju sumber suara guna meyakinkan Buna bahwa dirinya benar sudah berada di rumah, “Iya ini Abang, Buna.”
“Yaampun anak Buna sayang. Kangen banget loh Buna ini sama Abang.” Buna menghampiri Aska seraya memberikan pelukan hangat untuk anak laki-laki kesayangannya yang akhir-akhir ini jarang terlihat dalam jangkauan pandangannya.
“Abang juga kangeeeen banget sama Buna.” Aska pun membalas pelukan Buna. Pelukan yang berminggu-minggu ini tidak ia dapatkan; pelukan hangat penenang segala kegundahan dalam hidupnya.
“Buna, Adek mana? Jadi dia pergi Bun?”
“Adeknya diapain sih Abang? Tadi dia udah rapi tuh mau pergi sama Hisyam. Tiba-tiba teriak “Buna, Abang jahat!!!!”, terus ngambek naik ke kamarnya sambil banting pintu. Buna udah ketuk pintu kamarnya, Buna bilang “Adek sayang kenapa nak?”, tapi enggak dijawab sama dia. Kenapa sih Bang?” jelas Buna panjang lebar.
Aska pun menjelaskan dengan detail kepada Buna mulai dari perihal Aruna yang sudah tidak mau mendengarkan nasihat Aska, Aruna yang sulit diatur, Aruna yang sering judes, dan akhirnya bagaimana Aruna bisa merajuk yang berujung dengan renggangnya hubungan Aruna dengan dirinya.
“Aruna kenapa ya? Kok dia jadi kayak gitu sih ke aku, Bun? Dia masih marah sama aku? Padahal aku udah minta maaf sama dia berkali-kali.”
“Adek tuh kangen sama kamu, dia nyari perhatian kamu, Abang. Mungkin Adek mau menunjukkan, mau bilang kalau dia itu kangen, butuh kamu, minta perhatian kamu tapi dia enggak tau caranya, enggak tau cara mengekspresikannya ke kamu dan juga nggak mau bikin kamu kepikiran, enggak mau bikin kamu repot jadinya dia diem aja. Semuanya numpuk jadi satu, ditambah dia lagi masa puber, emosinya gak stabil, Bang, jadinya dia malah judes dan marah-marah terus sama kamu.”
Buna mengelus rambut Aska dengan lembut, “Yasudah Adeknya dibiarin aja dulu ya sayang, jangan dilarang-larang terus. Boleh sesekali Abang menasehati Adek, diberikan penjelasan dan pengertian yang baik, pelan-pelan bicaranya, jangan dimarahi. Buna yakin Adek itu anak yang baik kok, Bang. Dia tau mana yang baik dan mana yang buruk. Sana coba ke kamarnya, gih. Ngobrol sama Adek, abis itu ajak turun ya, kita makan malam bareng, Ayah sebentar lagi pulang nak.”
“Iya, Buna.”
Dengan langkah gontai, Aska berjalan perlahan, mendekati pintu kamar Aruna. Diketuk pelan pintu kamar berwarna pink pastel dengan gantungan kayu putih bertuliskan “Aruna's Room” itu.
Tok tok tok
“Adek?”
Tok tok tok
“Adek, ini Abang pulang sayang.”
1 detik ... 2 detik ... 3 detik berlalu namun tetap tak ada sahutan dari si empunya kamar.
“Adek? Abang izin masuk kamar Adek ya?”
Aska menggenggam hendel pintu kamar Aruna dan membukanya dengan perlahan.
“Aruna?” Aska menyembulkan kepalanya dan segera melangkahkan kakinya ke dalam kamar Aruna yang gelap gulita. Ia menghampiri adiknya—masih menggunakan pakaian rapi dan riasan wajah yang belum dihapus—yang telah tertidur nyenyak. Aska pun berlutut untuk menyetarakan tingginya dengan tempat tidur Aruna, lalu dipandangi wajah Adiknya lekat yang tengah beranjak dewasa itu.
“Aruna, Adeknya Abang yang paling cantik. Abang enggak sadar Adek sekarang udah gede banget ya, udah jadi ABG nih Adeknya Abang, udah tambah cantik, tapi tetep sih bakalan selalu jadi cimolnya Abang. Adek, maafin Abang ya. Adek kangen ya sama Abang? Abang juga kangen banget sama Adek. Maafin Abang yang enggak ada waktu buat Adek. Kamu itu Adek satu-satunya Abang, Abang sayang sekali sama Adek. Adek enggak perlu takut kehilangan Abang ya, karena Abang ada di sini, Abang janji bakalan selalu ada buat Adek. Adek harus inget ya, walaupun Abang jauh, Abang bakalan selalu ada di hati Adek,” kata Aska seraya mengelus rambut Adiknya dengan penuh kasih sayang, lalu ia membawa wajahnya mendekati wajah Aruna, dan diciumnya dengan lembut kening Adik kesayangannya itu.
Aska pun beranjak bangun dari posisi berlututnya yang terasa sudah mulai keram, lalu bermaksud untuk meninggalkan kamar Aruna. Tepat disaat Aska menutup pintu kamar Aruna, secara bersamaan Aruna membuka kedua matanya dan bulir air bening pun meluncur perlahan melewati kedua pipinya. Iya, Aruna menangis. Sedari tadi Aruna tidak tertidur, dia mendengar semua perkataan Abangnya. Namun Aruna memilih untuk tetap berpura-pura tidur agar dia tau segala hal yang selama ini ingin disampaikan oleh Abang Aska kepada dirinya. “Abang, maafin Adek juga ya. Adek udah keterlaluan sama Abang. Abang, Adek kangen sama Abang. Adek pengen peluk Abang,” kata Aruna pelan sambil menahan suara tangisannya.
Menu makan malam hari ini agak special karena merupakan salah satu menu makanan kesukaan Aska, yaitu ayam goreng mentega dan capcay! Ayah sudah sampai di rumah dengan selamat setelah seharian mengabdi pada perusahaannya—yang sekarang tengah membersihkan badannya di kamar mandi. Sedangkan Aruna, seperti yang telah diketahui sebelumnya, ia masih berada di kamarnya—(pura-pura) tertidur. Akhirnya, hanya Aska lah yang membantu Buna dalam menyiapkan makan malam keluarga mereka.
“Arunaaa! Adekkk! Bangun sayang makan malam dulu sini nak.” Buna berteriak membangunkan Adik dari lantai satu disaat makanan sudah siap dan semua anggota keluarga sudah berada di meja makan, termasuk Ayah yang telah menyelesaikan mandinya.
“Abang, Buna minta tolong bangunin Adeknya, Bang. Kasihan kalau enggak makan malam nanti dia tengah malam kelaperan nak. Minta tolong ya nak,” pinta Buna kepada Aska.
Belum sampai Aska bangkit dari duduknya, terdengar bunyi pintu yang terbuka dan semua orang melihat ke arah sumber suara itu. Iya, itu suara pintu kamar Aruna yang terbuka. Aruna melangkahkan kakinya turun ke lantai satu untuk makan malam bersama keluarganya. Lalu Aruna pun menduduki dirinya pada kursi disamping Aska. Ada rasa canggung pada diri mereka.
“Abang, gimana kuliahnya, nak? Lancar?” tanya Ayah kepada Aska.
“Lancar, Yah. Cuman ya emang tugasnya banyak, ditambah aku lagi sibuk ngurusin organisasi, jadi maaf ya Yah aku baru sempet pulang sekarang.” Aska pun melirik Aruna yang tengah mengaduk-aduk makanan di pirjngnya dengan tatapan yang kosong.
“Gak apa-apa nak. Justru bagus itu kamu aktif di kampus, enggak hanya belajar saja. Aktif dalam berorganisasi itu penting juga loh, Bang, banyak manfaatnya. Pesan Ayah cuma satu, jangan sampai kegiatan organisasi itu mengganggu perkuliahanmu dan proses belajarmu ya nak.”
“Iyaa Ayah, siappp!”
“Adek, kalau Adek gimana sekolahnya nak? Adek sudah punya teman dekat belum?” Kini giliran Aruna yang mendapatkan pertanyaan dari Ayah.
“Sudah Yah. Si Hisyam Hisyam itu yang sering datang ke sini buat jemput dan antar Adek sekolah, kadang suka ngajak Adek pergi juga dia tuh,” sahut Buna mengompori.
“Ohhh si Hisyam itu teman Adek? Ayah kira malah pacarnya Adek,” ledek Ayah sambil tertawa.
“Ihhh apa sih Buna, Ayah. Hisyam itu teman aku. Cuma-teman-aja-enggak-lebih-oke-titik,” jawab Aruna bersungut-sungut.
“Kok Abang enggak dikenalin sih Dek sama pacar kamu?”
“Bukan pacar aku ihhhh! Enggak mau aku ngenalin Hisyam ke Abang. Entar Hisyam disidang. Abang kan galak.”
“Abang galak darimananya coba? Penyanyang gini.”
“Buktinya Abang ngomelin aku mulu dari kemarin! Ayah, aku diomelin terus sama Abang nih Yah!!!”
“Adek nakal kali makanya Abang ngomelin kamu terus,” kata Ayah meledeki anak perempuan satu-satunya itu untuk yang kesekian kalinya.
“Tau ah! Ayah sama Abang sama aja. Semua laki-laki tuh sama aja tau gak,” ambek Aruna.
“Adek sayang enggak boleh gitu dong ngomongnya sama Ayah dan Abang. Ayah sama Abang juga, udah jangan ngeledekin Aruna terus ah,” ucap Buna sebagai penengah.
“Yaampun utuk-utuk Adek satu-satunya Abang yang ini ngambek terus siyyyy,” kata Aska sambil menowel-nowel pipi tembam Aruna.
“Diem Abang ihh!” gerutu Aruna seraya menepis tangan Aska.
“Jangan ngambek. Abis ini mau ikut Abang enggak?”
“Kemana?”
“JJM.”
“Apaan tuh Bang JJM? Ayah baru tau ada istilah JJM.”
“Jalan-jalan malem Yah,” jawab Aska sambil menaik-naikkan alisnya.
“Mau,” ucap Aruna pelan.
“Hah? Apa? Abang enggak dengar,” tanya Aska kepada Aruna seraya mendekatkan telinganya ke Aruna.
“Iya, Adek mau ikut.”
“Yaudah abis ini bantuin Buna dulu cuci piring. Abis itu siap-siap kamu. Dipake ya jaketnya Adikku yang cantik jelita.”
“Bawel.”
“Yaudah enggak jadi. Abang mau tidur aja.”
“IYA IYA ABANGKU SAYANG.”
Ucapan Aruna tersebut akhirnya berhasil mengundang gelak tawa Buna, Ayah dan Aska yang sedari tadi bersekongkol untuk terus meledek Aruna. Dan dengan begitu saja dapat membuat kecanggungan diantara Aska dan Aruna pun berhasil terkikis. Sekarang Aska menyadari bahwa sesibuk apapun dirinya, sejauh apapun dia pergi, keluarganya adalah satu-satunya tempat ia pulang. Bukanlah kemewahan yang Aska incar, namun hanya keluarga yang utuhlah yang menjadi sumber utama kebahagiaannya. Karena kehangatan sebuah keluarga tidak akan pernah bisa terbayarkan oleh apapun di dunia ini.