A Home
Sore ini kedua pasangan pengantin baru itu masih kompak untuk bekerja sama memberesi isi rumah baru mereka, kamar yang akan di tempati oleh Tristan sudah rapih, sudah di pasang korden, sudah di beri penerangan yang cukup, Begitu pula dengan kamar mereka.
Dan saat ini keduanya sedang sibuk di dapur untuk masak makan malam mereka, sebenarnya hanya Stella yang sibuk memasak, sementara Jelang sibuk menata belanja bahan makanan mereka di kulkas.
“Lang cobain deh kurang apa?” tanya Stella, ia memberikan satu sendok sup ayam jamur untuk Jelang cicipi.
Stella enggak begitu pandai memasak, tapi ya kalau cuma masak sup dan tumis-tumisan dia bisa, berbekal resep yang Ibunya kirimkan itu.
“Enak kok,” ucap Jelang setelah selesai mencicipi sup buatan Stella.
“Beneran? Gak kurang apa gitu?”
Jelang menggeleng, “enggak, udah pas itu beneran enak.”
“Oke, sekarang gue tinggal masak nasi. Oh iya, Tristan udah sampai mana?”
Stella mematikan kompornya, kemudian menaruh panci kecil ke meja makan yang baru saja mereka beli. Sekarang ia sibuk menata makanan yang sudah matang itu ke atas meja.
“Bentar gue chat dulu,” ucap Jelang. Baru saja Jelang mau mengirimkan pesan pada Adik sepupunya itu, tidak lama kemudian bel rumah mereka berbunyi. “Kayanya itu Tristan deh, gue aja yang bukain pintu.”
Jelang berdiri, meninggalkan bahan-bahan makanan mereka yang masih sibuk ia susun, tapi sebelum ia keluar membukakan pintu untuk Tristan. Jelang menghampiri Stella lebih dulu.
“La?” ucapnya agak sedikit gugup.
“Hm?”
“Kayanya kita gak bisa gini deh.”
Kening Stella mengkerut bingung, “maksudnya?”
“Kita jangan manggil lo gue gini, apalagi di depan Tristan. Di depan orang tua kita juga,” jelas Jelang.
Stella menghela nafasnya pelan, sebenarnya ia juga sempat memikirkan itu kemarin. Ya apalagi kalau bukan, Stella di tegur Ibunya karena di anggap tidak sopan menggunakan lo-gue sebagai panggilan untuk Jelang yang saat ini sudah menjadi suaminya.
“Terus pakai apa? Aku kamu?” tanya Stella.
“Iya gitu aja.”
Stella akhirnya mengangguk mengiyakan, lagi pula enggak ada yang salah dari bicara dengan kata aku-kamu. Stella sama sekali enggak keberatan, walau mereka menikah karena sama-sama menguntungkan tapi pernikahan ini enggak terikat kontrak dan perjanjian apa-apa.
“Ya.. Udah, kalau gitu a..ku bukain pintu buat Tristan dulu,” ucap Jelang dengan terbata-bata.
Stella yang mendengar itu hanya bisa tersenyum tipis, terdengar aneh dan nyaman di saat yang bersamaan. Tidak lama kemudian Jelang balik bersama dengan seorang laki-laki yang mengekorinya, laki-laki itu memiliki wajah yang lumayan mirip dengan Jelang. Hidung yang mancung, rahang yang tegas dan alis yang tebal. Benar-benar seperti pinang di belah dua.
“La, kenalin, ini Adik sepupu ak..aku. Namanya Najendra Tristan Permadi,” Jelang mengenalkan laki-laki di sebelahnya itu pada Stella.
“Tristan, Mbak.” laki-laki itu menyamili Stella, dan di sambut hangat oleh Stella.
Stella baru sadar kalau selain memiliki paras yang mirip, senyum kedua nya hampir sama. Hanya saja Tristan terlihat lebih tengil dari pada Jelang.
“Stella, kita makan dulu yuk, kebetulan Mbak baru masak.”
Mereka sempat makan bersama sore itu, sembari Tristan menceritakan kampus nya dan jurusan kuliah yang ia ambil. Menurut Stella, Jelang dan Tristan cukup dekat. Banyak obrolan serius sampai random yang mereka bicarakan berdua saat makan.
Besok Jelang sudah kembali masuk kerja, dan Stella masih memiliki satu hari lagi sampai nanti ia kembali masuk kerja. Mungkin ia akan memakai jatah cutinya itu untuk bersantai dan sedikit berolahraga besok.
“Ini kamar lo, Ta. Gue gak paham lo mau nata nya kaya gimana, tapi sementara waktu gue rapihin kaya gini dulu aja. Kalo ada yang kurang nanti tinggal lo benerin aja,” Jelang menunjukan kamar Tristan yang berada di depan ruang tamu.
Kamarnya tidak terlalu besar, di rumah yang mereka tempati. Kamar terbesar itu hanya kamar utama yang di tempati Jelang dan Stella. Meski sudah membeli beberapa perabotan, rumah mereka masih memiliki banyak space kosong. Mungkin nanti mereka akan mengisinya dengan barang lagi.
“thanks ya, Mas. Gue jadi ngerepotin gini numpang di rumah pengantin baru,” ucap Tristan enggak enak.
“Santai, ah iya,” Jelang merogoh kantung celana nya itu, dan mengeluarkan kunci motor serta surat-suratnya. Itu motor milik Jelang yang sudah jarang ia pakai, Jelang sekarang lebih sering memakai mobil dinas nya.
“Pakai motor gue buat ambil barang-barang besok, sekalian buat lo ke kampus. Gue udah jarang pake motor.” jelasnya.
“Serius, Mas?”
Jelang mengangguk, “belajar yang bener, Ta. Gue ke kamar dulu yah.” Jelang menepuk pundak Adik sepupunya itu sebelum akhirnya keluar dari kamarnya.
Begitu Jelang masuk kamarnya, Stella sedang sibuk Berjongkok menata barang-barang miliknya di lemari. Salah satunya adalah umagi, shitabaki dan obi, itu semua adalah baju, celana dan sabuk berwarna hitam untuk olahraga judo.
Stella itu pandai bela diri, salah satunya adalah judo. Seni bela diri itu sudah Stella geluti sejak duduk di Sekolah Dasar. Berbeda dengan Jelang yang baru menggeluti seni bela diri saat menginjak SMP.
“Masih ada aja umagi nya,” ucap Jelang, ia duduk di sebelah Stella yang masih memandangi baju bela dirinya itu.
“Masih, aku dapetin sabuk ini susah payah tau.”
“Masih hapal teknik-tekniknya?”
Stella terkekeh sembari mengangguk pelan, “masih lah, apa perlu kita tanding berdua?”
“Kalau lawan nya kamu, aku milih mundur aja.” Jelang mengangkat tangannya sembari tersenyum.
“Lang, kamu tau gak kenapa pada akhirnya aku milih masuk kampus kedokteran dan nekat ambil ahli forensik?” tanya Stella, matanya masih memandangi sabuk hitam yang ada di pangkuannya itu.
Jelang hanya menggeleng pelan.
“Aku cuma mau bantu orang lain yang udah gak bisa bicara supaya dapat keadilan, Lang. Aku tau gimana susahnya dapat keadilan, jangankan buat orang yang udah meninggal. Buat orang yang masih hidup dan bisa bicara aja dapetin itu enggak mudah,” jelas Stella. Ia tersenyum getir di sana.
“Dulu Bapak kerja di pabrik, Lang. Cukup lama sampai aku menginjak SMP. Waktu itu, Bapak ngalamin kecelakaan kerja sampai dapat luka bakar di kaki dan tangannya. Tapi perusahaan gak mau kasih biaya pengobatan dan ganti rugi, waktu Bapak nekat bawa kasus ini ke hukum. Entah gimana caranya, perusahaan justru ngelaporin Bapak balik dengan pencemaran nama baik perusahaan.” Stella masih ingat bagaimana hancurnya Bapak saat itu dan Ibu nya yang mati-matian bekerja agar bisa membiayai pengobatan Bapak.
“Bapak kalah waktu itu dan stress banget sampai sering mabuk-mabukan, waktu itu aku cuma kepikiran buat jadi polisi supaya bisa mengusut kasus ini suatu hari nanti. Tapi justru kecelakaan bikin aku gagal buat dapetin itu semua, terus aku pikir jadi ahli forensik lebih baik waktu itu. Dan aku ngerasa itu udah tepat, toh aku bisa bantu polisi buat nangkap penjahat kan?”
Jelang mengangguk, “kamu dokter yang baik, La.”
Keduanya pun tersenyum, Stella kembali menyusun barang-barangnya. Sementara Jelang membuka lemari baju miliknya, dan mengambil sesuatu di dalam laci yang berisi kaus kaki di sana.
Benda itu di balut dengan kain hitam dan sebuah kantung hitam tebal. Stella tebak itu pasti senjata api milik Jelang yang di berikan olehnya dari kepolisian. Jelang sering membawanya saat bertugas, sudah enggak kaget lagi Stella dengan itu.
“Pegang, La.” Jelang memberikan benda itu ke Stella, ini pertama kalinya Stella memegang senjata api. Ternyata tidak seringan yang ia pikir, benda itu lumayan berat.
“Ini kan punya kamu, Lang?”
“Pegang aja, aku masih punya. Ini buat jaga-jaga kalau aku lagi dinas di luar, La. Kamu ingat kan kalo pernah bilang ke aku kalau musuh kita banyak? Apalagi kamu udah jadi Istri aku. Pakai ini kalau mendesak, tanggung jawabnya ada sama aku.”
“Lang...”
“Kasus yang aku pegang belum selesai, La. Orang yang aku tangkap sekarang udah berkeliaran bebas lagi dan dia bukan orang biasa, aku gak mau kamu kenapa-kenapa.” ucap Jelang dengan mata teduh miliknya.
Stella hanya mengangguk pelan, siang tadi saat mereka berdua sudah sampai rumah. Mereka sempat bersantai sebentar sembari menonton TV, dan saat itu TV menyiarkan berita soal pengusaha yang Jelang tangkap tempo hari. Di bebaskan karena kurangnya bukti-bukti untuk kasus pembunuhan.
Mungkin ini adalah yang di maksud dari ucapan Jelang barusan. Pengusaha itu memang di kenal licik dan memiliki jaringan yang kuat.
“Lang?”
“Hmm?”
“Janji sama aku yah, kamu harus baik-baik aja pas lagi tugas. Kamu harus pulang, aku selalu nunggu kamu di rumah.”
Jelang tidak menjawab, laki-laki itu hanya tersenyum sembari mengangguk pelan, membuat Stella akhirnya memeluk Jelang meski saat ini Jelang belum berani membalas pelukan itu. Jelang hanya menciumi rambut panjang Stella yang terurai.
To Be Continue