A Home (05)

“Pagi, Dok.”

Ardi hanya mengangguk kecil dan berjalan terus ke ruangannya, tampaknya pagi ini beberapa rekan nya sedang membicarakan tentang pernikahan Stella dengan lelaki itu, Ardi terlalu malas menyebutkan namanya.

Stella mengundangnya, namun Ardi memilih tidak datang karna alasan ada jadwal autopsi yang harus ia kerjakan. Ia juga tidak memberikan ucapan selamat pada Stella, ia belum siap untuk itu. Ia masih ingin menyendiri. Hari ini Stella juga tidak kerja, Ardi tau kalo perempuan itu mengambil cuti untuk dua hari kedepan.

Ardi duduk di ruangannya, menghela nafasnya dengan kasar sembari mencari jawaban jika nanti Stella masuk ia harus bersikap seperti apa. Ardi enggak mungkin menghindarinya, apalagi menjauh. Itu sangat sulit karena mereka adalah rekan kerja.

“Saya pikir Dokter Ardi jadi izin,” ucap asisten nya, perempuan dengan tinggi 160cm itu menyerahkan beberapa surat permintaan autopsi untuk hari ini.

Ardi memang sempat mengajukan izin untuk tidak bekerja karena harus mengurus berkas-berkas perceraianya. Minggu depan ia juga sudah memasuki persidangan pertamanya, ia harus mengumpulkan bukti sebanyak mungkin jika istrinya memang sedang dekat dengan laki-laki lain.

Ardi ingin mendapatkan hak asuh atas putri nya, satu-satunya yang ia punya dan tersisa dari kebahagiaanya, yang saat ini sudah di hancur hanya putrinya.

“Iya, ngurus berkasnya lebih cepat dari dugaan saya. Makanya saya milih masuk aja, lagi pula satu dokter juga lagi cuti kan. Dokter Emma juga sedang di luar kota,” alibi Ardi.

“Ah iya, Dokter Stella emang ambil cuti, kemarin dia menikah. Kemarin kayanya Dokter Ardi enggak datang yah?”

Ardi menahan nafasnya sebentar, pertanyaan sederhana itu yang sangat ia hindari hari ini akhirnya ia dengar juga.

“Ia, saya sibuk, Ren.” jawab Ardi sekena nya.

“Kemarin tuh kami semua panik, Dok. Soalnya sudah waktunya akad tapi Dokter Stella dan Ipda Jelang belum juga datang, mana malamnya juga dia habis dapat penyerangan di parkiran gedung—”

“Tunggu.. Penyerangan?” tanya Ardi, ia sama sekali tidak tahu kalau Stella sempat kena musibah sebelum hari pernikahanya. “Penyerangan gimana maksudnya?”

“Loh Dokter Ardi enggak tahu?”

Ardi hanya menggeleng, dia benar-benar enggak tahu. Stella juga belum bercerita denganya, sama sekali enggak ada yang memberitahunya.

“Malam di hari sebelum Dokter Stella menikah tuh, dia masih masuk, dok. Malamnya pas dia mau pulang, tiba-tiba ada orang enggak di kenal nyerang Dokter Stella. Yah, untungnya masih bisa Dokter Stella tangani sampai polisi datang,” jelas Irene asistenya.

“Udah dapat kabar motif nya apa?”

“Kalau enggak salah, orang itu suruhan untuk kasus sindikat jual beli organ ilegal yang melibatkan tuna wisma.”

Setelah mengetahui kabar Stella yang malam itu mendapatkan penyerangan, Ardi langsung mengetikan pesan untuk Stella. Ia khawatir dengan temannya itu, Ardi tahu Stella pintar bela diri. Tapi tetap saja rasanya khawatir dari bagaimana cara Irene bercerita, itu sangat bahaya sekali.


Siang ini Jelang dan Stella berada di pusat perbelanjaan, mereka akan membeli beberapa perabotan rumah dan stok makanan untuk mengisi dapur dan kulkas mereka. Stella tampak antusias sekali begitu troli yang Jelang dorong memasuki area snack-snack.

Perabotan yang mereka beli, sudah mereka kirim ke rumah lebih dulu. Akan sangat penuh jika semuanya berada dalam mobil yang Jelang bawa.

“Lang, Lang berenti dulu gue mau ambil ciki yang ini sebentar,” ucap Stella, dia menarik lengan hoodie yang Jelang pakai hingga laki-laki itu berjalan mundur mengikuti arah tarikanya.

“La, jangan narik-narik nanti melar baju gue.”

“Makanya elu jangan main jalan-jalan aja ih!” gerutu Stella.

Begitu sudah sampai di depan deretan ciki rasa jagung itu, Stella langsung tersenyum sumringah. Ia seperti habis mendapatkan undian lotre nya. Kemudian di ambilnya beberapa ciki-ciki itu dalam ukuran besar dan ia taruh di trolly mereka yang sudah hampir penuh.

“Ih lo gak mau ambil apa gitu, Lang?” tanyanya, Stella heran. Jelang cuma ngambil kopi, teh dengan berbagai macam rasa dan aroma dan roti saja. Apa laki-laki itu enggak tertarik sama snack lainya?

“Punya lo aja udah banyak, udah lah nanti gue nebeng aja,” jawabnya enteng.

Keduanya kembali berjalan lagi walau kadang sembari jalan, tangan Stella mengambil beberapa barang yang ia rasa di butuhkan dan menaruhnya di trolly begitu saja.

“Kurang apa lagi nih?” tanya Jelang. Ini untuk pertama kalinya dia belanja bulanan begini, jadi enggak banyak yang Jelang tahu. Bahkan Jelang gak expect kalau belanjaan mereka sudah memenuhi 2 trolly sekaligus.

“Tinggal ambil deterjen aja abis itu bayar deh.”

Jelang mengangguk, “gue gak pernah tau kalo belanja bulanan sebanyak ini.” Jelang terkekeh pelan.

“Ya gimana tau, lo aja jarang pulang. tau gak, Lang. Irene tuh sampe ngira elu tuna wisma karna sering banget tidur di kantor dari pada pulang. Dia juga pernah ngeliat lo jadi tukang antar makanan.” jelas Stella sembari menaruh barang-barang yang mereka beli di meja kasir.

“Iya, waktu itu gue ada penyamaran buat kasus pencurian motor di parkiran liar terus gak sengaja ketemu dia, tapi bisa-bisa nya dia nyebut gue gelandangan. Sialan, gue punya rumah yah!” pekik Jelang enggak terima, Mbak kasir yang lagi mengemasi barang-barang mereka yang sudah di scan jadi ketawa dengernya.

“Ya karena dia lebih sering liat lo tidur di kantor sampe jarang ganti baju, dasar jorok.”

Jelang ingin menanggapi ucapan Stella, namun ponsel di saku nya itu bergetar dan membuat omelannya tertahan, Ada panggilan dari orang tua nya.

“La, Ibu nelpon. Gue angkat dulu ya sebentar.”

Stella hanya mengangguk, ia benar-benar kerepotan memindahkan barang-barang mereka ke meja kasir. Sementara itu, Jelang mengangkat telfon dan keluar dari barisan antrean.

“Halo, kenapa, Buk?”

Lang, rumahmu dekat sama Podomoro University kan?” tanya Ibu to the point.

“Iya, kenapa, Buk?”

gini, Lang. Tristan kan keterima di sana, Ibu sama Bapak nyuruh dia untuk tinggal sementara di rumah kamu. Kasian, dia kan jauh dari Ibu dan Bapaknya. Ekonomi mereka juga lagi jatuh, Tristan bisa kuliah juga berbekal beasiswa nya. Gapapa? Nanti biar Ibu juga minta izin sama Stella.

Tristan itu sepupu nya Jelang, anak dari Adiknya Ibu di Solo. Meski agak menyebalkan, tapi Tristan membuat Jelang merasa masih memiliki saudara yang harus ia jaga, setidaknya ia tidak kesepian saat Mas Angkasa sudah tidak ada. Ya meskipun jarak umur mereka jauh.

“Jelang gak masalah si, Buk. Nanti Jelang bilang sama Stella dulu yah, nanti Jelang kabari lagi. Sekarang Tristan ada di mana, Buk?”

ada di rumah ini, baru sampai.

“Nanti suruh dia ke rumah Jelang ya, Buk. Biar Jelang kenalin sama Stella.”

Setelah selesai menerima telfon dari Ibu, Jelang balik menghampiri Stella, gadis itu sudah selesai membayar, barang-barang mereka juga sudah di kemas dan sudah berada di trolly, sekarang gadis itu sedang duduk menunggu Jelang sambari memakan es krim semangka yang ada di tangannya.

Ada beberapa anak kecil, dan Stella mengajak mereka berbicara. Meskipun terlihat kuat, mandiri dan tegas. Stella itu punya hati yang lembut dan memiliki jiwa keibuan, buktinya anak kecil gampang sekali akrab dengannya.

“Udah?” tanyanya begitu Jelang sampai.

Jelang hanya mengangguk, “mau langsung pulang?”

Alih-alih menjawab, Stella justru membukakan satu bungkus es krim rasa semangka untuk Jelang. “Cobain deh ini enak banget, Lang.”

Jelang yang tiba-tiba dijejali es krim ke mulutnya itu hanya bisa menerimanya dengan pasrah, dan ekspresi wajahnya itu membuat anak kecil yang sedang bicara dengan Stella tadi terkekeh.

“Kak, itu Suami Kakak?” tanya bocah perempuan itu.

Stella hanya tersenyum sembari mengangguk pelan sebagai jawaban.

“Om nya ganteng..” ucap bocah itu lagi yang berhasil membuat Stella gemas.

Keduanya akhirnya pulang ke rumah, di perjalanan, sembari bercerita banyak hal termasuk soal Tristan. Stella menyuapi Jelang es krim yang tadi ia buka, tangan Jelang sibuk berkonsentrasi untuk menyetir.

“Tapi gue sama sekali enggak keberatan kok, Lang. Kalo semisalnya Tristan mau tinggal di rumah kita, kan masih ada satu kamar lagi.”

“Beneran?” tanya Jelang memastikan.

“Iya beneran, nanti kita rapihin lagi deh. Biar lebih nyaman. Kapan dia mau dateng?”

“Sore ini, gue mau ngenalin dia sama lo dulu.”

Stella mengangguk-angguk, melihat sela bibir Jelang yang belepotan, Stella jadi terkekeh. Ia akhirnya mengambil tissue yang ada di mobil Jelang dan membersihkan sela bibir Suaminya itu.

“Lo makanya belepotan,” gerutu Stella, seraya membersikan sisa es krim yang mengotori bibir Jelang.

“Lo nyuapinya asal-asalan ah.” jujur dalam hati Jelang ingin berteriak karena jantungnya berdegub tidak karuan, tiap kali Stella memeluknya, menatapnya atau bahkan saat sekarang ini. Apapun yang Stella lakukan untuknya, bisa membuat jantung Jelang berdegub gila-gilaan.

“Nanti gue mau masak biar kita bisa makan bareng Tristan.” ucapnya setelah ia selesai membersihkan sela bibir Jelang.