Accusation (08)
Setelah pulang bekerja, Stella sempat mampir ke rumah Ibu nya dulu. Ternyata Ibu masih sibuk di toko mie ayam nya, kebetulan tokonya hari itu sedang ramai Seperti ada acara kantor yang ramai-ramai datang untuk makan malam di sana.
Stella sempat membantu Ibu sebentar, seperti mengantar pesanan ke meja-meja dan membuat pesanan pelanggan. Stella bersyukur Ibu dan Bapaknya baik-baik saja, mungkin setelah ini ia ingin mampir sebentar saja untuk menjenguk Ibu nya Jelang.
Perasaan Stella terlalu kuat, ia benar-benar takut sesuatu terjadi pada keluarganya atau pun keluarga Jelang. Makanya demi memastikan keduanya baik-baik saja, Stella rela mampir sewaktu selesai bekerja. Sebenarnya Stella juga khawatir dengan Jelang, namun ia yakin laki-laki itu bisa menjaga dirinya sendiri.
“Kamu mau langsung pulang, La?” tanya Ibu waktu lihat Stella melepaskan celemek dan menggantungnya di belakang pintu dapur.
“Enggak, Buk. Mau jenguk Ibu sama Bapaknya Jelang dulu.”
“Mereka sakit?”
Stella tersenyum, kemudian menggeleng pelan. “Enggak, cuma pengen jenguk aja kok.”
“La?” panggil Bapak, Pria itu membawa dua kantung berisi pangsit yang tinggal Stella rebus saja lengkap dengan bumbunya. Itu adalah makanan favorite Stella di toko Ibu.
Jika Ibu pandai membuat mie maka Bapak pandai membuat pangsit dan juga isianya, pangsit Bapak itu yang terbaik menurut Stella.
“Bapak bawain pangsit, yang ini isi daging ayam. Nanti di rumah di rebus yah, makan bareng sama Jelang.” Bapak kasih bungkusan itu ke Stella.
“Makasih yah, Pak.” Stella mengintip isi kantung itu dulu, kotak berisi pangsit itu benar-benar penuh. Bapak juga membawakanya sayuran. “Yaudah kalau gitu Stella pamit yah, Pak, Bu.”
Setelah berpamitan kepada kedua orang tua nya, Stella langsung menuju rumah Jelang. Ia sempat menelfon Tristan untuk bertanya ia sudah pulang atau belum, namun ponsel miliknya tidak aktif.
Begitu sampai di depan rumah kedua orang tua Jelang, Stella melihat ada laki-laki yang tidak di kenal sedang berdiri di depan pagarnya. Dengan sigap Stella keluar dari mobilnya dan langsung menghampiri laki-laki, yang tampak sedang kebingungan itu.
“Cari siapa, Mas?” tanya Stella tegas.
Laki-laki itu tampak bingung, ia tidak menjawab pertanyaan Stella dan malah berbalik badan untuk mengintip ke dalam pagar rumah orang tua Jelang.
Stella yang malam itu penuh rasa waspada dan curiga akhirnya menarik jaket yang di kenakan laki-laki itu, dan memojokkanya ke tembok. Stella juga mencengkram baju bagian depan laki-laki itu dengan kencang.
“JAWAB LO SIAPA?!!!” sentak Stella.
Laki-laki itu semakin panik, ia masih belum menjawab namun tanganya merogoh saku celana nya dan mengambil ponsel. Laki-laki itu seperti mengetikan sesuatu di sana dan menunjukanya pada Stella.
Ternyata laki-laki itu adalah kurir pengantar makanan yang di pesan orang tua Jelang, ia diam saja karena memang tidak bisa bicara, kurir itu tunawicara.
Setelah membaca tulisan itu, Stella melepaskan cengkramannya pada laki-laki itu. Ia bisa sedikit bernafas lega sekarang, meskipun ada perasaan bersalah.
“Maaf saya enggak tahu,” ucap Stella dengan bahasa isyarat ala kadarnya. Ia yakin laki-laki itu bisa membaca gerak bibirnya.
Stella akhirnya memutuskan untuk membawa pesanan orang tua Jelang ke dalam rumah, ia juga memberi sedikit tip untuk laki-laki itu sebagai permintaan maafnya. Beruntungnya kurir tunawicara itu tidak marah, ia hanya menyuruh Stella untuk tidak mengulangi perbuatanya lagi.
“Menantu Ibu..” sambut Ibu nya Jelang sewaktu pintu rumahnya terbuka.
Stella tersenyum, ia sangat bersyukur memiliki Ibu mertua yang hangat seperti Ibu nya Jelang. Dari dulu Ibu nya Jelang selalu merasa senang setiap kali Stella main ke rumahnya.
“Ini tadi ada kurir delivery yang antar makanan Ibu, terus sekalian Stella bawain aja. Ibu sama Bapak sehat kan?” tanya Stella, kedua nya masuk dan duduk di ruang tamu.
“Sehat sayang, tapi Bapak lagi enggak di rumah. Lagi keluar sama teman lamamya, Kamu sama Jelang bagaimana? Nyaman kan tinggal di rumah barunya?”
Stella mengangguk, “nyaman, Buk.”
“Kamu sendirian, La?”
“Jelang lagi tugas, Buk. Stella tadi ketemu sama Jelang di BFN.”
Ibu meringis, anak laki-laki nya itu benar-benar pekerja keras dan sosok yang ambisius. Ibu pikir Jelang akan sedikit berubah ketika sudah menikah, ternyata Jelang tetaplah Jelang.
“Ibu tuh bersyukur Jelang bisa kenal kamu, La.” Ibu tersenyum, wanita berumur 57 tahun itu menggenggam tangan Stella di pangkuanya. Seperti merasa bersyukur Stella telah hadir di hidup putra sematawayangnya itu.
“Berkat kamu Ibu bisa punya menantu, Jelang itu tadinya gak kepikiran menikah. Dia bilang mau fokus saja sama kerjaanya, Ibu kepengen sekali lihat Jelang punya kehidupan yang normal seperti laki-laki seusianya. Menikah, punya anak, mengurus rumah tangga, bukan hanya berkutat dengan pekerjaanya yang berbahaya saja,” jelas Ibu.
Stella hanya bisa mendengarkan cerita Ibu tentang Suaminya itu, Stella baru tahu kalau Jelang sempat di tentang untuk masuk kepolisian. Apalagi setelah Ibu tahu alasan Jelang yang berkaitan dengan masa lalunya, Ibu bilang, Ibu enggak ingin kehilangan anak lagi jika sesuatu yang buruk terjadi pada Jelang ketika sedang bertugas.
Stella dan Ibu mertuanya itu sempat lama bercerita, keduanya juga sempat makan malam bersama. Sampai akhirnya sudah cukup larut, Stella memutuskan untuk segera pulang. Tapi sebelum itu, Stella sempat menitip pesan pada Ibu agar tidak membukkan pintu untuk sembarangan orang.
Di perjalanan pulang, Stella sempat mencoba menelfon Tristan lagi. Namun nomernya tetap tidak aktif. Stella enggak nelfon Jelang, karena percuma saja, Laki-laki itu tidak akan mengangkatnya, Jelang juga bilang kalau nanti dia yang akan menelfon Stella.
Mobil yang Stella kendarai ia parkir di halaman rumahnya, komplek rumahnya sudah sepi. Dan suasana seperti ini mengingatkan Stella dengan kejadian penyerangan kemarin, setelah merasa nyaman berbicara dengan Ibu nya Jelang tadi, rasa waspada itu kini meningkat lagi.
Apalagi saat Stella merasa ada seseorang berdiri di belakangnya saat ia hendak membuka pintu, dan firasatnya itu terbukti karena ada dua bayangan di depan pintu. dalam hati Stella menghitung mundur, ia akan berbalik untuk melihat orang itu dan membantingnya ke tanah.
Dan pada hitungan terakhir, Stella berbalik dan langsung menarik tangan orang itu, mengangkatnya dan menjatuhkanya ke tanah. Tidak lupa Stella juga mengunci tangan orang itu dan menindihi tubuhnya agar tidak bisa bergerak.
“Aarghhhh, Mbak.. Ini aku Tristan, Mbak..” pekik Tristan kesakitan.
Ternyata yang mengendap-endap di belakangnya tadi adalah Tristan. Nafas Stella yang masih memburu itu ia buang begitu saja, dengan sedikit gontai ia melepaskan Tristan dan membantunya untuk bangun.
“Dari mana aja kamu? Mbak telfon HP nya enggak aktif!” pekik Stella dengan wajah juteknya.
“HP ku mati, Mbak. Kena air, besok aku mau ke tukang service HP,” jawab Tristan, ia sedikit memegangi tanganya yang ngilu karena di banting Stella tadi.
“Kamu dari mana? Kenapa gak pake motor? Motornya mana?”
Tristan mendengus, ia menunjuk motor miliknya yang terparkir tepat dibawah jendela kamarnya. Karena lampu taman di dekat jendela kamar Tristan tidak menyala, Stella jadi enggak tahu kalau Tristan memarkirakan motornya disana.
“Tadi aku tuh habis beli nasi goreng, Mbak. Makanya jalan kaki, orang deket juga. Terus mau nganggetin Mbak niatnya, eh malah di banting. Tuh lihat nasi gorengku jadi berantakan,” Tristan menunjuk bungkus nasi gorengnya yang isinya sudah keluar kemana-mana itu.
“Jangan ngaggetin, Mbak. Ini nih akibat kalo kamu mau ngagetin, Mbak.” kata Stella tegas.
Tristan enggak menjawab lagi, ia menunduk sembari memegangi tanganya. Stella yang melihat itu jadi ngerasa bersalah dan enggak tega juga.
“Mbak bawa pangsit, kita makan pangsit aja. Nasi gorengmu nanti Mbak ganti uangnya.”
“BENERAN MBAK?!” pekik Tristan excited.
“Hm...”
Di sisi lain, hari itu Jelang bersama Davin dan Pak Wira masih bergelut di lokasi terjadinya kebakaran. Ada divisi forensik juga yang membantu jalanya penyelidikan, saat ini sudah di ketahui kalau penyebab kebakaran di pabrik itu di sebabkan oleh bensin yang di sulut dengan pematik.
Jelang yang sedang melakukan olah TKP itu berdiri di depan kaca yang pecah di dalam pabrik itu, seingatnya malam itu kaca di pabrik tidak ada yang pecah. Jelang dengan sigap keluar untuk melihat apakah ada sesuatu yang mencurigakan di luar dekat dengan jendela kaca itu.
“Ada yang aneh, kaca ini seharusnya enggak pecah,” ucap Jelang, Yang berhasil mengalihkan atensi petugas forensik dan juga Pak Wira.
“Dari mana kamu tahu kaca itu seharusnya enggak pecah, Lang?”
Jelang yang berdiri di luar itu, menunjuk pecahan kaca yang berada di dalam. “Tolong angkat pecahan kaca yang paling besar itu, Vin.”
Davin yang berdiri tepat di depan jendela itu langsung berjongkok dan mengambil pecahan kaca yang ukuranya paling besar, laki-laki itu kaget dan menatap ke arah Pak Wira.
“Kaca ini di pecahin sebelum kebakaran itu terjadi..” ucap Davin menggantung.
Jelang mengangguk pelan, “kalau kacanya pecah waktu kebakaran terjadi seharusnya lantainya juga ikut hangus, tapi Bapak bisa lihat sendiri kan kalau lantainya bersih.”
Pak Wira mengangguk, ucapan Jelang masuk akal. Dan tim forensik akhirnya menandai bekas serpihan kaca itu dengan nomer dan memotretnya.
Setelah itu, Jelang kembali masuk ke dalam. Ia menyingkirkan barang-barang yang berjatuhan di sana, sampai akhirnya ia menemukan ada setetes darah yang tertutup oleh meja berbahan besi. Isi kepala Jelang sibuk membuat skenario tentang hari sebelum kebakaran itu.
Kemungkinan terjadinya perlawanan antara pembunuh dan juga korban sebelum terjadinya kebakaran, terlihat dari adanya tetesan darah dan lantai yang bersih tidak terbakar persis seperti lantai yang di bawah serpihan kaca itu.
“Hellen,” panggil Jelang, dengan sigap Hellen pun menghampiri Jelang yang sedang berjongkok di dekat meja-meja besi.
“Lo nemuin sesuatu, Bang?” tanya Hellen.
Jelang mengangguk, “ada tetesan darah. Korban nya laki-laki, gue yakin sebelum dia tewas sempat terjadinya perlawanan. Pelaku bisa jadi ninggalin darah buat kasus kaya gini,” jelas Jelang.
“Gue bakalan ambil tetesan darahnya, dan bikin permintaan darurat ke BFN buat identifikasi DNA.”
Jelang mengangguk, ia memerintahkan anggota lainya untuk berpencar. Siapa tahu ada senjata yang di pakai untuk membakar pabrik ini. Sementara itu, Jelang mendapat telfon dari Hema seniornya. Ia sempat menyingkir dari sana untuk mengangkat telfon itu.
“Gimana, Bang?” tanya Jelang.
“Lang, lo yakin sama titik lokasi yang lo kasih ke gue soal HP itu?“
“Iya yakin, itu yang Hellen kirim ke gue juga. Sinyal HP nya berhenti di sana.”
“ini hutan, Lang.“
“Hu..hutan?”
“Pagi nanti gue minta tim gue buat nyari ponsel nya ke sekitar sini. Begitu gue dapat, pasti ngehubungin lo lagi.” setelah mengatakan itu Hema mematikan panggilanya.