Before
Ini adalah hari kedua Stella menemani Jelang di rumah sakit, setelah insiden penangkapan itu, Jelang mengalami pendarahan pada luka yang ada di perutnya dan juga di paha kirinya, Jahitan yang belum menyatu itu infeksi akibat aktifitas berat dan hajaran yang di dapatkan Jelang kemarin.
Karena pendarahan itu juga, Jelang harus mendapatkan transfusi darah hingga 3 kantung. Dan saat ini Jelang belum juga sadar, luka-luka di wajah dan tubuh Stella sudah mengering namun tidak dengan luka di hatinya.
Soal Tristan, laki-laki itu baik-baik saja. Davin dan Hema tepat waktu dalam menyelamatkan Tristan, walau begitu, Tristan masih di rawat karena kepalanya yang luka akibat hajaran dari stick baseball yang di dapatkan nya.
Stella belum tahu kelanjutan hukuman yang di dapatkan oleh Dion dan juga kuasa hukumnya, dia belum sanggup untuk mengikuti sidang kasusnya, dia masih memikirkan Jelang yang belum juga sadar.
Sedang asik memperhatikan Jelang yang masih tertidur pulas di ranjangnya, tiba-tiba saja pintu ruangan rawat Jelang terbuka, menampakan Ibu mertuanya itu di sana. Namun Stella masih bergeming, matanya tidak lepas menatap Jelang.
“Stella, istirahat dulu, sayang. Dari kemarin kamu belum pulang,” ucap Ibu.
“Nanti yang jagain Jelang siapa, Buk..” suara parau itu menambah kesedihan di hati Ibu nya Jelang. Selama bertahun-tahun putra nya berteman dengan Stella, baru kali ini Ibu melihat Stella sehancur itu.
Dulu, Ibu pernah melihat tatapan sedih itu juga waktu tahu Stella cidera di kaki dan tidak lolos mengikuti ujian kepolisian. Tapi kali ini, tatapan itu jauh lebih menyakitkan.
“Ada Ibu sama Bapak yang jagain Jelang. Nanti kalau Stella sudah istirahat, Stella boleh jagain Jelang lagi disini.”
Stella tidak menjawab, ia hanya menatap pautan tangannya dan tangan Jelang. dokter bilang keadaan Jelang sudah jauh lebih baik, tapi yang membuat Stella bingung kenapa hingga hari ini Jelang belum siuman juga.
“Di luar ada Ibu sama Bapakmu, La. Pulang dulu istirahat yah. Ibu sama Bapak yang jagain Jelang disini.” Ibu menyentuh pundak Stella, mengusapnya penuh kasih sayang. Ibu itu enggak punya anak perempuan, makanya Ibu benar-benar sayang sama Stella dan menganggapnya seperti anaknya sendiri alih-alih menantu.
“Tapi Ibu harus kabarin Stella kalau Jelang bangun yah, Buk.” Stella menoleh ke arah Ibu, dengan wajah sedikit pucat dan kantung mata yang membesar itu. Ia benar-benar kurang beristirahat.
“Iya, Ibu pasti kabarin Stella.”
Stella mengangguk, setelah berpamitan pada mertuanya itu. Ia akhirnya pulang di antar Bapak dan juga Ibu nya, Ibu dan Bapak juga akan menginap di rumah Jelang dan Stella untuk menjaga putri mereka. Mereka tidak tega meninggalkan Stella sendirian dengan kondisi seperti ini.
Di perjalanan, Ibu melirik Stella yang duduk di kursi belakang mobil. Pandanganya masih kosong, menatap jalanan yang pagi itu tampak sedikit lenggang.
“Stella?” panggil Ibu yang membuat Stella menoleh ke arahnya.
Ibu memberikan ponsel lama miliknya yang waktu itu Stella kasih ke Jelang, ponsel itu tertinggal di gudang toko. Dan Ibu menyimpannya.
“HP kamu yang waktu itu kamu kasih ke Jelang,” ucap Ibu.
Stella tidak menjawab, ia hanya mengambil ponsel itu. Setelahnya, tidak ada lagi obrolan di antara Bapak dan Ibunya. Kedua orang tuanya juga enggak mau banyak nanya ke Stella, mereka tahu Stella masih mengkhawatirkan keadaan Jelang
Saat sudah sampai rumah, Stella langsung membersihkan tubuhnya dan hendak akan beristirahat sebentar. Namun saat ia masuk ke dalam kamarnya dan Jelang, Stella mematung memandangi ranjang milik Jelang yang masih sangat rapih itu.
Terakhir kali Jelang menidurinya saat mereka akan kembali bekerja setelah menikah. Setelah itu, kekacauan terus terjadi hingga Jelang belum lagi meniduri ranjang miliknya sendiri.
Stella sangat merindukan Jelang, sungguh. Walau terkadang Jelang suka membuatnya jengkel, tapi Jelang adalah orang yang paling bisa mengerti dirinya sendiri.
Bahkan di saat Stella menyerah dengan impiannya dulu, Jelang adalah orang yang ada dan meyakinkannya jika Stella mampu hingga ia bisa berada di posisinya sekarang ini. Jelang lebih spesial dari sekedar teman di hidupnya tanpa Stella sadari.
Stella sudah tidak sanggup menangis, air matanya sudah terasa kering dan tubuhnya begitu lelah. Ia akhirnya memutuskan untuk berbaring di ranjang Jelang, menghirup aroma selimut yang masih meninggalkan harum khas tubuh Suaminya itu di sana.
Karena matanya belum merasa mengantuk, akhirnya Stella mengambil ponsel lama miliknya. Niatnya hanya ingin melihat foto-foto lamanya dan Jelang, namun siapa sangka jika ia menemukan video yang di buat Jelang di gudang toko.
“hai, La.” di video itu, Jelang tersenyum walau dengan wajah pucatnya. Entah kapan laki-laki itu merekamnya.
“aku enggak nyangka, kamu masih nyimpan foto-foto lama kita. Aku bahkan kehilangan foto-foto lama kita gara-gara HP ku kecopetan.” Jelang tertawa.
“kamu ingat gak, La. Habis akad kita sempat kabur ke rooftop gedung yang ada di samping mesjid? Terus kamu nanya ke aku, kalo gak akan ada hari besok apa hal yang mau aku lakuin.” Jelang tersenyum, telinganya berubah menjadi kemerahan entah karena apa.
Itu membuat Stella ikut tersenyum juga walau hatinya terasa sakit, ia sangat merindukan Jelang tersenyum dan menatapnya hangat seperti itu.
“ada hal lain yang belum aku bilang selain aku udah wujudin keinginan orang tuaku buat lihat aku menikah. Kamu tau gak itu apa, La?” pada rekaman itu, Jelang menatap kamera seolah-olah di depannya ada Stella yang melihatnya. Dan itu membuat air mata Stella bertambah deras.
“aku mau bilang kalau aku sayang sama kamu, La. Maaf karena aku enggak pernah berani bilang dari dulu, itu karena aku enggak mau kehilangan kamu, La. Aku tau kamu cuma anggap aku sebagai teman kamu. Kalo hari besok enggak akan pernah ada buat aku, aku mau bilang kalau aku suka sama kamu lebih dulu, La. Kamu tau gak La waktu kamu bilang kamu suka sama aku, rasanya kaya mimpi. Aku enggak nyangka perasaan aku akhirnya berbalas.” Jelang tertawa, namun tidak lama kemudian ia meringis memegangi perutnya.
“aku pikir aku jatuh cinta sendirian. La, kalo aku di kasih kesempatan lagi buat lihat hari besok. Aku mau ngajak kamu ke tempat-tempat yang pernah aku kunjungi, ke tempat yang indah. Aku mau nyatain perasaanku di sana dan bilang terima kasih karena kamu udah mau jadi teman, keluarga dan Istri buat aku. La, aku berharap kita bisa lihat video ini berdua. Tapi kalau pun enggak, aku harap kamu baik-baik aja waktu lagi lihat video ini.“
Stella tidak sanggup melihat video itu lagi, tubuhnya bergetar karena isak tangisnya yang semakin menyesakan. Stella tidak perduli pada ponselnya yang terjatuh, ia sibuk dengan tangisnya sembari sesekali memukul dadanya yang terasa semakin sesak.
To Be Continue