Crime Scenario
Suasana di ruangan yang di dominasi warna hitam itu begitu tegang, pria dengan wajah dingin dan angkuh itu tampak marah membaca pesan yang baru saja dia dapat. Berita soal kepolisian yang akan melakukan penangkapan padanya sudah ia dengar hari ini.
Berita soal Jelang yang sudah muncul dan membeberkan bukti-bukti jika ia di jebak juga sudah ia dengar, sekarang pria itu sedang memutar otaknya untuk bisa menyangkal itu semua.
“Enggak ada cara lain, Pak. Saya sudah memesan tiket untuk keluar negeri,” ucap Gunawan, kuasa hukum sekaligus orang kepercayaannya itu.
“Kita bisa gunakan helikopter perusahaan. Saya yakin, mereka pasti sudah menyiapkan pasukan di bandara untuk mengepung saya.”
“Tapi, Pak—”
Baru saja Gunawan ingin melanjutkan ucapannya, atasannya itu menoleh dan membulatkan matanya. Tatapannya nyalang, ia marah karena Gunawan seperti tidak yakin dengan ucapannya.
Menurut Dion ini adalah cara terbaik, ia tidak perduli Ayahnya nanti akan marah jika berita ini kembali mencuat ke media, ia juga tidak perduli jika namanya harus di hapus dari daftar pewaris perusahaan. Yang terpenting saat ini, ia tidak boleh kelihatan kalah.
“Baik, Pak. Akan segera saya siapkan.” Gunawan keluar dari ruangan itu untuk menyiapkan helikopter yang akan mereka pakai untuk keluar negeri.
Sementara itu di ruangannya Dion masih di kuasai oleh amarahnya, ia meremas tangannya sendiri dengan kesal. Ia sudah menyusun cara se rapih ini namun Jelang jauh lebih cerdik dari dugaannya.
“Saya enggak akan bikin kamu hidup dengan tenang Jelang.” Gumamnya.
Sementara itu, jauh dari dugaan Dion dan Gunawan. Di lantai dasar perusahaan yang di pimpin oleh Dion, Jelang berserta anggota lainya sudah datang untuk melakukan penangkapan pada Dion.
Semua karyawan di gedung itu mendadak panik sekaligus bingung, ketika mobil polisi mengepung gedung itu. Bahkan banyak karyawan yang merekam kejadian itu dan membicarakannya.
“Ruangan Bapak Dion Wiranto,” ucap Jelang, ia menunjukan kartu identitasnya sebagai polisi kepada resepsionis perusahaan itu.
“A..ada di lantai lima belas, Pak.”
Jelang mengangguk, ia kemudian menekan lift untuk sampai ke lantai lima belas. Namun belum sempat pintu lift terbuka, perasaan Jelang sudah tidak karuan ketika ia melihat ke arah pintu darurat.
Ia punya firasat jika bisa saja tersangka kabur lewat pintu darurat, Dion itu licik dan licin seperti belut. Dia pasti akan memikirkan cara agar bisa kabur, ada banyak kemungkinan jika ia kabur melalui pintu darurat menuju parkiran mobil, atau yang terburuk adalah, Kabur dengan helikopter perusahaan, mengingat di gedung ini terdapat helipad di bagian paling atas gedung.
Jelang menyenggol lengan Davin dan membuat lelaki itu menoleh ke arahnya, “tunggu lift nya sampai kebuka, lo naik ke atas pakai lift ini.”
“Lo mau kemana, Bang?” Tanya Davin bingung.
“Gue lewat pintu darurat,” jawab Jelang.
“Jangan sendiri, Lang. Gue ikut bareng lo.” Hema menimpali, keduanya pun langsung masuk ke pintu darurat dan naik ke lantai lima belas dari sana.
“Gue bakalan ke atas, Bang.” ucap Jelang tiba-tiba saat mereka hendak menaiki tangga kini mereka sudah setengah jalan menuju lantai lima belas.
“Mak..sud lo?” tanya Hema terbata-bata, ia berusaha mengendalikan nafasnya karena begitu lelah menaiki tangga menuju lantai lima belas, apalagi keduanya sedikit berlari.
“Helipad, bisa aja Dion pergi dengan helikopter punya perusahaanya. Gue gak mau kita kecolongan.”
Hema mengangguk, ia paham maksud Jelang. Mereka pun akhirnya berpisah saat Hema sudah tiba di lantai lima belas, sementara Jelang Ia masih terus menaiki tangga darurat menuju lantai teratas.
Saat beberapa anak tangga lagi akan sampai di helipad, Jelang berhenti ketika ponselnya bergetar dan menunjukan nama Hema di sana.
“Dion dan kuasa hukumnya enggak ada di ruangannya..“
Begitu mendengar ucapan itu, Jelang langsung mematikan sambungannya dan berlari dengan kencang menaiki satu persatu tangga terakhir menuju helipad. Awalnya pintu menuju helipad tidak bisa di buka, dengan susah payah Jelang mendobrak pintu itu.
“BAJINGANN!!” teriaknya emosi, ia yakin Dion dan kuasa hukumnya ada di dalam sana.
Nafas Jelang semakin memburu, ia akhirnya mengambil APAR yang ada di dekat pintu menuju helipad dan memukul gagang pintu itu hingga rusak. Begitu pintu terbuka, benar saja dugaannya. Dion dan kuasa hukumnya sedang menunggu helikopter di sana.
“Pak Dion..” ucap Jelang dengan seringainya. “Saya rasa anda gak perlu repot-repot pergi dengan helikopter, karena mobil kepolisian sudah menunggu anda di bawah.”
Awalnya Dion ingin bicara, namun Gunawan selaku kuasa hukumnya itu memberikan isyarat padanya untuk tetap diam.
“Pak Dion akan dalam perjalanan bisnis, bukanya anda tidak punya bukti lagi atas tuduhan pembunuhan itu?” ucap Gunawan.
Jelang terkekeh, “pembunuhan bukan cuma sama wanita itu, Pak Dion juga membunuh dua orang lainya.” Jelang diam sebentar, ia merogoh sakunya dan mengeluarkan borgol disana.
“Atas pembunuhan Eros dan Mahardika, pembakaran gedung bekas pabrik, manipulasi bukti, percobaan pembunuhan dan pencemaran nama baik,” jelas Jelang.
Kini giliran Dion yang menyeringai, ia mengeluarkan ponselnya dan menunjukan sebuah video di sana. Seorang laki-laki yang sedang di sandra di sebuah gudang, matanya di tutup kaki dan tangannya di ikat ke kursi kayu yang di didudukinya.
“BRENGSEKKK!!” pekik Jelang saat ia sadar jika itu adalah Tristan Adik sepupunya. “Lepasin dia bajingan!!”
“Saya bisa saja lepasin dia kalau dari awal kamu datang baik-baik, Jelang.”
Pria itu menghampiri Jelang, wajahnya yang awalnya di serang rasa panik itu kembali tenang begitu melihat Jelang mendadak panik ketika mengetahui bahwa Tristan di culik.
“Dia gak ada sangkut pautnya sama gue!!”
“Sssttt....” desis Dion sembari memegang kedua bahu Jelang. “Memang gak ada, tapi karena Abangnya yang kaya pahlawan kesiangan ini. Tristan..ahh benar kan namanya Tristan?” pria itu terkekeh.
“Dia terpaksa harus menanggung dosa-dosa yang harus kamu tebus, Jelang.” lanjutnya.
Nafas Jelang tersengal-sengal. Antara emosi dan juga khawatir akan Tristan menjadi satu, ia harus menolong Tristan tapi ia juga tidak boleh melepaskan bajingan ini begitu saja. Dion dan Gunawan harus di hukum, pikir Jelang.
“Apa yang lo mau dari gue?” tanya Jelang.
“Gampang.. Cukup akui kalau itu semua perbuatan kamu dan membusuk di penjara “
Tangan Jelang yang sedari tadi ia kepal dengan kencang itu akhirnya melayang juga mendarat di wajah Dion hingga pria itu tersungkur ke aspal.
“BAJINGANNN!!! ARGHHHH.” Jelang memukul wajah Dion tanpa sempat memberi pria itu kesempatan untuk bangkit.
Namun Gunawan yang melihat atasanya itu di serang tidak tinggal diam, ia menendang Jelang hingga Jelang jatuh. Dengan sigap laki-laki itu mengambil APAR yang sempat Jelang bawa dan melamparnya ke arah Jelang, namun Jelang lebih sigap lagi karena ia langsung menghindar.
Di tengah pertarungan itu, helikopter yang menjemput Dion datang. Angin yang berterbangan karena baling-balingnya, tidak membuat Jelang kehilangan kendalinya untuk terus menahan kedua lengan Dion sialnya ia kehilangan borgol yang tadi ia bawa.
“LEPASIN!! BRENGSEKKK!” pekik Dion, ia mencoba untuk melepaskan dirinya dari Jelang. Sementara Gunawan sibuk mengarahkan pilot yang mengemudikan helikopeternya untuk segera menurunkan tali agar mereka bisa segera naik.
Karena Jelang sudah kualahan, ia akhirnya mengeluarkan pistol yang ada di saku celananya dan menodongkan pistol itu ke arah helikopter yang berada di atas mereka.
Di atas sana pilot yang mengemudikan helikopter itu terlihat panik, ia akhirnya memutar balik helikopternya untuk segera meninggalkan gedung itu.
“ARGHHHHH BAJINGANNN!!”
BUG
Dion yang murka akhirnya meninju jahitan yang ada di perut Jelang ia tahu kalau Jelang sempat di tikam oleh napi, jahitan yang belum begitu kering itu terasa ngilu hingga Jelang kehilangan keseimbangannya dan jatuh. Nafasnya terengah-engah menahan rasa sakit yang kembali menjalar di perutnya.
Tidak sampai di situ, Jelang yang masih meringkuk kesakitan kemudian di hajar kembali dengan Dion, pria itu menendang perut Jelang dan memukuli wajahnya.
Sementara itu, pistol yang di bawa Jelang tadi terjatuh dan mendarat tepat di bawah kaki Gunawan. Itu adalah kesempatan bagi Gunawan untuk mengendalikan Jelang, ia mengambil pistol itu dan mengarahkannya ke Jelang.
Namun belum sempat pelatuknya ia tekan, dari arah pintu masuk helipad, Stella masuk dan mengarahkan pistol yang ia bawa ke kepala Dion.
“BERANI LO TEMBAK JELANG, GUE JUGA BAKALAN BIKIN BOSS KESAYANGAN LO INI MAMPUS DI TANGAN GUE!” teriak Stella, nafas perempuan itu juga terengah-engah karena ia berlari menaiki tangga menuju lantai teratas.
Jelang yang masih berusaha bertahan dengan rasa sakit yang mendera nya itu samar-samar melihat Stella berdiri di ujung sana, rambut Istrinya berantakan, dan ada darah di sela bibir Stella. Jelang berani bersumpah, ia akan menghajar habis-habisan orang yang berani menyentuh Stella.
“TARUH PISTOLNYA!!” teriak Stella.
Dion sudah mengangkat kedua tanganya, ia pun mengisyaratkan pada Gunawan untuk menjatuhkan pistol itu ke tanah. Dan Gunawan pun mendengarkan perintah dari atasanya itu.
Setelah itu barulah Stella berani mendekati Dion dan juga Jelang, namun siapa sangka jika Gunawan yang berdiri di belakang Stella itu menyerang Stella di saat perempuan itu lengah.
Pistol yang di pegang Stella jatuh, namun Stella dengan sigap mengambilnya kembali, menyimpannya di jaket miliknya dan menghajar Gunawan hingga pria itu tersungkur di lantai. Gunawan menjambak rambut Stella dan menampar wajahnya dengan keras.
“Aahhh.”
Sementara itu Jelang berusaha susah payah untuk mengambil pistol miliknya, ia menyeret tubuhnya ke arah pistol itu dengan menahan rasa sakit di perutnya, pasalnya jahitan itu kembali terbuka dan membuat darah merembes lagi hingga membasahi baju yang Jelang pakai.
Selangkah lagi pistol itu berada di tangannya, Dion yang menyadari jika Jelang bergerak itu kemudian berlari dan menginjak tangan Jelang hingga Jelang memekik kesakitan.
“BANGSATTTTT ARGHHHH.”
Bukan hanya tangan Jelang yang di injak, Dion juga menendang luka yang ada di perut Jelang hingga Jelang meringkuk kesakitan. Setelah itu ia ambil pistol itu dan ia tekan pelatuknya hingga mengenai paha Jelang.
DOR
“ARGHHHHHHHH.” pekik Jelang kesakitan.
Stella yang mendengar suara tembakan itu lengah, apalagi saat ia melihat darah segar mengalir dari paha Jelang. Cengkraman kuat tangannya di kerah kemeja yang di pakai Gunawan itu sedikit mengendur.
“Jelang!!!!” pekik Stella, air matanya terjun bebas begitu saja membasahi kedua pipinya.
“Tembak mereka, La!! Tembak!!” teriak Jelang.
Jelang sangat ingat jika pistol yang ia bawa hanya terisi satu peluru, dan peluru itu sudah keluar dan mengenainya. Itu artinya pistol yang di tangan Dion tidak terisi peluru apapun.
Stella dengan sigap mengeluarkan pistol miliknya, ia menodongkan pistol itu ke arah Dion. Namun Gunawan yang tadinya tersungkur karena hajaran Stella itu bangkit dan meninju wajah Stella hingga perempuan itu mundur beberapa langkah.
Stella tidak boleh lengah, maka dari itu ia berlari dan menendang perut Gunawan. Karena Gunawan terus melawan, Stella akhirnya menghajar kepala pria itu dengan pistol di tanganya hingga Gunawan tidak sadarkan diri.
Dan kini giliran Stella menghabisi Dion, namun pertahananya itu lemah ketika melihat Dion menyeret Jelang untuk berdiri dan menodongkan pistol ke kepala Jelang. Jelang sudah kehilangan banyak darah, kesadaran laki-laki itu juga sudah menurun.
“LEPASIN JELANG!!!!” teriak Stella.
“Saya bakalan lepasin Suami kamu dokter Stella, jatuhkan pistolnya!” ucap Dion tegas.
Stella menangis, ia tidak tega melihat Jelang yang sudah bersimbar darah seperti itu. Saat kedua mata Jelang terbuka, laki-laki itu menggeleng. Jelang sudah tidak sanggup bicara karena seluruh tubuhnya sakit.
“JATUHKAN PISTOLNYA!!” teriak Dion.
Stella akhirnya menurut, ia menjatuhkan pistol itu. Begitu pistolnya jatuh, Dion langsung melepaskan Jelang dan berlari untuk menghajar Stella.
“DOKTER BRENGSEK!”
“Aahhhhhh.”
Stella dengan pasrah di tendangi oleh Dion, namun Jelang yang kesadarannya terus menurun itu masih berusaha sekuat tenaga membuka kedua matanya, ia tidak boleh membiarkan Istrinya di pukuli seperti itu. sungguh Jelang benar-benar marah melihatnya.
Menahan rasa sakit yang terus mendera tubuhnya, Jelang menyeret kembali tubuhnya mendekat ke arah pistol milik Stella. Sampai akhirnya pistol itu berada di genggamannya, Jelang berusaha susah payah memfokuskan penglihatannya yang terus mengabur untuk menembak Dion.
DOR
Sampai akhirnya Dion yang tadinya sedang asik menendangi Stella itu tiba-tiba saja terjatuh, ketika sebuah peluru menembus di dekat bahu nya.
“ARGHHHHHH!” teriaknya kesakitan.
Tidak lama kemudian, Jelang kehilangan kesadarannya. Stella yang melihat Dion juga pingsan setelah di tembak itu kemudian berlari menghampiri Jelang dan menaruh kepala Suaminya itu di atas pahanya.
“Lang bangun.. Jangan tinggalin aku, Lang..” panggil Stella lirih.
Jelang tidak sadarkan diri, laki-laki itu benar-benar kehilangan banyak darah terutama di bagian pahanya.
“JELANGGGGGGGGG”
To Be Continue