DPO (10)

Begitu mendapatkan ponsel milik Jelang, Davin langsung bergegas menuju kantor kepolisian tempatnya bekerja. Ia akan menemui Hellen dan mencari tahu apakah ada yang meretas ponsel milik Jelang atau tidak.

Davin melajukan motornya agak kencang, di kepalanya ia sudah menyusun rencana untuk mengambil tetesan darah yang ada di TKP. Mungkin setelah memberikan ponsel Jelang pada Hellen, Davin akan mencaritahu lapas mana tempat Jelang di tahan.

Begitu sampai di kantornya, Davin langsung turun dari motornya dan bergegas ke lantai empat tempat ruangan Hellen berada. Begitu ia masuk, Hellen yang biasanya bekerja berdua dengan asisten nya itu kini menjadi beriga karena ada Ipda Hema di sana.

“Bang Hema?” panggil Davin.

“Abis dari mana lo?” tanya Hema, wajahnya agak sedikit terlihat kurang bersahabat, mungkin karena kantor sedang direpotkan dengan kasus Jelang dan kasus yang di pegang Hema juga ada yng berakhir alot, Hema memang terkenal kaku dan serius, laki-laki itu lebih kaku dari Jelang. Davin menyebutnya Hema adalah laki-laki yang paling tidak asik.

“Gue habis bantuin Stella buat nyari tahu soal jebakan Bang Jelang,” ucap Davin jujur.

Toh Hema memang ada di pihak Jelang. Ia juga masih menyelidiki soal ponsel milik Eros yang ia temukan di hutan namun sayangnya ponsel itu di temukan dalam keadaan hangus terbakar, Hellen terlihat seperti sedang memulihkan data-datanya. Hema akan mencari tahu tentang Eros dari ponsel yang ia temukan.

Davin mengeluarkan ponsel milik Jelang dan memberikan ponsel itu ke Hellen. “Tolong periksa HP nya Bang Jelang, Len. Stella curiga kalo HP Bang Jelang di retas sama orang lain, makanya nomernya bisa ada di daftar orang pertama yang melapor terjadinya kebakaran.”

Hellen mengangguk, ia mengambil ponsel itu dan menyalakanya. “Nanti gue coba yah, Vin. Nanti gue kabarin lo kalo udah ada hasilnya.”

“BRENGSEK!!” pekik Hema yang membuat Hellen dan Davin menoleh ke arah laki-laki itu secara bersamaan. Laki-laki sedang membaca sesuatu di ponselnya dengan kening berkerut tampak tegang.

“Ada apa, Bang?”

“Markas besar ngeluarin DPO atas nama Jelang Niskala.”

“Bang Jelang kabur?!” pekik Davin.

Hema hanya mengangguk pelan, dan menepuk pundak Davin. “Gue harus ke markas, Vin. Setelah itu gue nyoba nyari Jelang.”

Hema melesat begitu saja, ia harus tahu apa yang sedang terjadi sebenarnya sampai-sampai Jelang kabur dan kepolisian markas memasukanya ke Daftar Pencarian Orang.

Sementara itu Davin mencoba menghubungi Stella, namun sayangnya Stella tidak menjawabnya dan itu menambah kekhawatiran Davin akan Istri dari seniornya itu. Karena panik, akhirnya Davin memutuskan untuk ke rumah Jelang dan Stella demi memastikan perempuan itu baik-baik saja.

“Angkat, La..” gumam Davin sebelum ia melajukan motornya.

Karena Stella urung menjawab juga, akhirnya Davin memakai helm miliknya dan langsung melesat menuju kediaman Jelang dan Stella berada. Begitu Davin sampai di depan rumah Stella, keningnya mengkerut bingung, perasaanya juga berubah jadi tidak karuan ketika mendapati mobil polisi ada di depanya.

Alih-alih memarkirkan motornya dengan benar, Davin justru membanting motor itu sembarangan hingga motor miliknya jatuh begitu saja. Davin langsung berlari ke dalam rumah Stella, yang ia dapati di sana justru Stella yang tengah meremat kerah yang di pakai oleh pria yang menangkap Jelang kemarin.

Begitu mengetahui Davin datang dengan terengah-engah, Stella langsung melepaskan tanganya dari kerah kemeja yang di kenakan pria itu. Mata Stella menyalang dengan raut wajah yang marah sekaligus khawatir disana.

“Kami akan terus memantau anda, kami minta pihak keluarga Ipda Jelang untuk koperatif, jika dia memang pulang ke rumah tolong segera hubungi—”

“Saya sudah bilang berapa kali kalau suami sayang enggak pulang!!” sentak Stella, perempuan itu benar-benar naik pitam. Davin bahkan yakin Stella ingin sekali menghajar pria di depannya saat ini.

“Kalau gitu kami tidak akan melepaskan status DPO pada Ipda Jelang, sampai kami bisa menemukan keberadaanya.”

Stella semakin tidak bisa menahan amarahnya, sebelum pria itu pergi meninggalkan rumahnya. Ia hadang pria itu dan kembali di tariknya kerah bajunya, anggota polisi yang lain sempat menahan tangan Stella, namun perempuan itu menepisnya dengan kasar.

“Kalau sampai terjadi apa-apa sama suami saya, saya pastikan. Saya akan melaporkan anda balik.” setelah mengatakan itu, Stella mendorong pria tadi dan melepaskan cengkraman tanganya dari kerah bajunya.

Stella kembali masuk ke dalam rumahnya, sementara itu Davin justru masih terpaku di depan rumah. Matanya masih beradu tatap pada pria yang menangkap seniornya itu hingga pria tadi dan anggota kepolisian lainya meninggalkan rumah Jelang dan Stella.

“La, Bang Jelang—”

“Gue udah tau, Vin.” Stella menarik nafasnya pelan, ia menarik kursi meja makan miliknya dan duduk disana. “Jelang di tikam sama napi yang satu sel sama dia, Vin. Sekarang gue enggak tahu dia dimana..”

Walau dalam keadaan genting seperti ini, Stella masih enggan menunjukan kerapuhanya. Ia benar-benar perempuan yang tangguh, bagi Stella yang di butuhkan disini bukan ia harus menangisi Jelang. Baginya, ia harus memikirkan cara bagaimana menemukan Jelang, atau kemungkinan kemana Jelang pergi dan bersembunyi.

“Bang Hema lagi nyari Bang Jelang, La. Gue juga bakalan bantu nyari, kita bisa bertukar kabar kalau salah satu dari kita ketemu sama Bang Jelang,” ucap Davin.

Stella hanya mengangguk pelan, “lo udah kasih HP nya Jelang ke Hellen?”

“Udah, Hellen lagi nyari tahu semuanya. Dia bakalan ngabarin gue kalau udah dapat hasilnya.”

Kemudian hening, Stella masih berusaha mengatur amarahnya. Ia baru ingat kalau ia sempat menemukan sabu di saku milik Jelang, sepertinya masih utuh. Itu artinya Jelang sama sekali tidak menyentuh barang itu.

“Vin?”

“Kenapa?”

Stella berdiri, ia berjalan ke arah mesin cuci yang ada di dekat dapurnya untuk mengambil jaket milik Jelang. Di rogohnya saku jaket itu dan ia berikan kantung berisi bubuk putih itu pada Davin.

“Barang yang sempat Jelang beli, gue yakin barang itu sama sekali enggak dia sentuh.”

Davin menimang barang itu di tanganya, ia akan menyimpan barang itu untuk di jadikan bukti jika Jelang hanya membelinya guna penyelidikan saja tanpa menyentuhnya sedikit pun.


Setelah lari dari kejaran polisi, Jelang sampat mengumpat ke gang-gang kecil dari lingkungan kumuh di sana. Sepertinya bius lokal yang dokter suntikan di pinggangnya sudah hilang, karena kini luka yang ada di perut sampingnya kembali nyeri, bahkan Jelang mengeluarkan keringat yang cukup deras.

Setelah mencuri pakaian yang di jemur di depan rumah warga, Jelang sempat bersembunyi di toilet mesjid. Ia berganti baju di sana dan memutuskan untuk duduk di dalamnya dulu, Jelang masih bingung harus kemana ia pergi.

“Aaahhhh...” erangnya ketika lukanya kembali terasa sakit.

Nafas Jelang semakin memburu, ia harus segera keluar dari sini untuk menemukan tempat persembunyian sementara. Jelang sempat kepikiran untuk bersembunyi di toko mie ayam milik Ibu mertuanya itu, mengingat toko itu lumayan dekat dari tempatnya bersembunyi sekarang.

Setelah sekuat tenaga menahan rasa sakit yang menyerang perutnya, Jelang memberanikan diri untuk keluar dari bilik toilet itu. Ia jalan biasa saja, tidak ingin orang-orang curiga denganya. Namun begitu ia keluar dari gang menuju toko mie ayam milik Ibu nya Stella.

Jelang merasa ada seseorang yang mengikutinya, jadi demi memastikan itu, akhirnya Jelang menoleh ke belakangnya. Dan benar saja, ada seorang pria berbaju hitam mengikutinya. Pria itu, pria asing yang tidak Jelang kenal. Saat mata mereka bertemu, ia menyeringai kemudian mendekat ke arah Jelang.

“Siapa lo?” tanya Jelang.

Pria itu hanya diam, namun tidak lama kemudian ia mengeluarkan pisau lipat dan ingin menusukanya ke leher Jelang. Beruntung Jelang sigap untuk menghindar, satu detik saja Jelang lengah mungkin pisau itu sudah menancap di lehernya.

Jelang tidak langsung kabur, ia sempat menghajar pria tadi dan menendangnya hingga pria tadi tersungkur di tanah. Pisau yang di pegangnya terjatuh, dan Jelang memakai kesempatan itu untuk melempar pisau itu sejauh mungkin. Dan sialnya pria tadi berdiri dengan sangat cepat dan menghajar balik wajah Jelang.

Jelang sedikit oleng, namun ia dengan mudah membalikan keadaan. Ia memukul balik pria tadi di bagian perut dan rahangnya, pria itu akhirnya tersungkur, dan Jelang dengan sigap menindihinya demi mengetahui apa motif pria itu menyerangnya.

“SIAPA YANG NYURUH LO BUAT NYERANG GUE?!!!” sentak Jelang.

Pria itu hanya menyeringai dan tertawa kencang tanpa menjawab, matanya yang licik itu kini beralih menatap bagian perut samping Jelang. Luka jahitan itu robek lagi hingga darah Jelang kembali membasahi baju yang ia pakai.

Tanpa menjawab pertanyaan Jelang, pria itu meninju luka yang ada di perut samping Jelang hingga darahnya merembas semakin deras.

“ARGHHHHGG!!!” teriak Jelang kesakitan.

Karena Jelang kesakitan, dengan secepat mungkin ia bangun dan menyerang balik Jelang. Kini tujuan pria itu hanya tertuju pada luka Jelang, ia terus menghajar perut Jelang meski Jelang sudah meringkuk kesakitan.

“ARGHHHHHHH... BRENGSEKKK!” teriak Jelang.

Tidak lama kemudian ada segerombolan Bapak-Bapak yang baru saja pulang dari mesjid, karena melihat ada orang lain di sana selain mereka. Pria tadi akhirnya kabur, meninggalkan Jelang yang masih kesakitan di pinggir jalan.

Sekumpulan Bapak-Bapak tadi berpencar, ada yang mengejar pria tadi dan sebagian yang lain ada yang membantu Jelang.

“Mas gapapa Mas?” tanya salah satu Bapak-Bapak yang membantu Jelang.

Jelang hanya menggeleng pelan, ia memegangi perutnya yang begitu sakit. Bahkan darahnya sudah membasahi baju bagian bawahnya itu.

“Gapapa, Pak. Teri..ma kasih..” ucap Jelang terbata-bata, dengan sisa tenaga yang ia miliki, Jelang akhirnya pergi dari sana. Ia harus segera tiba di toko milik Ibu nya Stella sebelum kesadaranya menghilang.

“Mau kemana, Mas? Biar saya antar. Sepertinya perutnya luka.” teriak salah satu Bapak-Bapak disana, namun Jelang abaikan begitu saja. Alih-alih minta di antar, ia lebih baik berjalan kaki saja.