Epilog
10 bulan kemudian
Cuaca malam yang semakin dingin itu membuat Stella tidak bisa tidur, ia masih duduk di depan api unggun sembari sesekali menyesap coklat panas miliknya dan melihat-lihat foto di ponsel lamanya.
Sesekali Stella tersenyum melihat foto-foto lama miliknya, dulu sekali, Stella sama sekali enggak nyangka kalau dia bisa bertahan sejauh ini. Bisa mewujudkan keinginan-keinginan yang dulu ia pikir sangat susah di raih. Keterbatasannya bukan soal kemampuan, tapi financial selalu saja seperti itu sejak Bapak berhenti bekerja.
Stella tersenyum, ia kembali memutar video sepuluh bulan yang lalu Jelang buat untuknya. Video yang tidak pernah bosan ia lihat setiap kali ia merindukan Jelang, meski sudah berkali-kali di lihat, Stella masih tetap terharu saat melihatnya lagi.
Apalagi saat menyadari satu persatu keinginannya terwujud bersama dengan Jelang. Stella tiba-tiba saja jadi ingat saat pertama kali ia bertemu Jelang di kelas, laki-laki itu sedang asik mengobrol dengan teman-temannya.
Waktu itu Stella sering merasa enggak nyaman kalau kemana-mana harus sendiri, seperti istirahat, melakukan piket kelas dan kerja kelompok. Stella sering merasa di asingkan karena dia adalah murid akselerasi di kelas, ia yang termuda di angkatan itu.
Dan saat Stella memutuskan untuk hampir keluar, Jelang menahannya, entah angin apa pada saat itu yang membawa Jelang sering menemaninya saat jam istirahat, Jelang juga sering mengajaknya masuk ke dalam kelompok belajarnya. Sampai akhirnya mereka pun lulus bersama.
Waktu Stella mengalami cidera dan tidak bisa masuk kepolisian, Jelang juga yang ada untuknya. Jelang bilang Stella bisa punya jalan lain dan gagal menjadi polisi bukanlah akhir dari hidupnya. Sampai akhirnya Stella memutuskan untuk mengambil kedokteran dan tertarik pada bidang forensik.
Waktu itu, Stella sempat terhalang biayah, hutang Bapak dan Ibu sudah terlalu banyak. Saat itu Jelang juga yang membantu Stella mencarikan beasiswa sampai akhirnya Stella bisa lulus dari fakultas kedokteran, dan impian Stella yang terakhir adalah rumah. Dan Jelang jugalah yang membuatnya mewujudkan impian itu.
Stella tersenyum, ia menyimpan ponselnya di saku dan kembali menyesap coklat panas miliknya lagi. Langit dari atas Bukit Cinta Gunung Bromo malam itu nampak indah, Stella bisa melihat hamparan bintang dari atas sini yang jarang sekali ia lihat di kotanya tinggal.
Sedang asik menikmati indahnya langit malam itu, tanpa ia sadari laki-laki yang tadinya sudah ia pastikan tidur di dalam tenda yang mereka dirikan itu keluar. Ia berdiri di belakang Stella dengan senyum yang merekah, tanpa ragu-ragu ia peluk perempuan itu dari belakang. Lenganya mendekap kedua bahu Stella dan mencium pipi kanan nya dari samping.
“Kok belum tidur?” tanyanya.
Stella hanya menggeleng pelan, “belum bisa tidur.”
“Harusnya bangunin aku.” ia cemberut, membuat Stella terkekeh pelan. Pipi yang dulu tampak tirus itu jadi semakin terlihat berisi.
“Kamu kenapa bangun?”
“Kaget, karena tiba-tiba kamu gak ada di sebelah aku.”
Stella tidak menjawab lagi, ia hanya tersenyum sembari mengusap pergelangan tangan laki-laki itu yang ada di atas dadanya.
“Sepuluh bulan yang lalu rasanya berat banget yah, Lang.” ucap Stella, ia menyandarkan kepalanya di dada bidang Suaminya itu.
“Um, tapi sepuluh bulan lalu juga aku bahagia banget karena bisa nikahin kamu.”
Stella mengangguk, ia juga bahagia bisa menikah dengan Jelang. Meski hari-hari setelah mereka menikah begitu berat, tapi setidaknya mereka melalui hal-hal berat itu berdua.
Jelang memang sempat kritis tiga hari karena insiden penangkapan itu, syukurnya laki-laki itu bisa pulih. Jelang juga enggak dapat hukuman apa-apa karena tindakannya yang di nilai gegabah karena sempat kabur, begitu pun dengan Stella.
Soal Ardi, laki-laki itu di beri hukuman karena di anggap memalsukan barang bukti, Ardi juga di pecat dari BFN. Tapi Stella lega karena Ardi benar-benar mengakui kesalahannya dan meminta maaf dengan Jelang dan Stella.
Dan saat ini mereka memutuskan untuk mengambil jatah cuti mereka, Jelang bilang ia ingin mengajak Stella menjelajahi tempat-tempat indah yang dulu Jelang datangi sendiri. Stella itu masih pemula kalau soal pendakian, dan tujuan utama mereka adalah Bromo.
“Lang?”
“Hm?”
“Sejak kapan kamu suka sama aku?” Stella cuma penasaran aja, kapan Jelang mulai menyukainya. Selama ini Jelang cuma bilang kalau ia sudah lama menyukainya tanpa menjelaskan sejak kapan ia memulainya.
“Hhmm...” Jelang berdeham sebentar, “waktu pertama kali kamu pindah kelas, kamu sering banget sendirian. Makan sendiri, sering gak dapat kelompok belajar juga, piket juga sendiri. Tapi aku mulai sadar kalau aku suka sama kamu, waktu kamu lagi ngerjain soal kalkulus di papan tulis.”
Stella mengerutkan keningnya bingung sembari menatap Jelang, memang apa istimewa nya dari mengerjakan soal kalkulus di papan tulis? Pikir Stella. “kenapa?”
“Keren aja, kamu nyelesain soalnya gak sampai lima menit,” jelas Jelang.
Stella terkekeh, “makanya waktu itu kamu mulai deketin aku duluan?”
Jelang mengangguk, tapi sejujurnya Jelang juga penasaran sejak kapan Stella menyukainya. Jelang pernah punya pemikiran jika Stella tidak pernah menganggapnya lebih dari sahabat sejak dulu, lalu tiba-tiba saja Stella bilang kalau ia menyukainya. Apa perasaan itu tumbuh saat mereka menikah? Tapi masa iya secepat itu? Pikirnya.
“Kalau kamu?”
Stella tersenyum, jujur ia memang belum lama menyukai Jelang. Tidak, sepertinya Stella hanya telat saja menyadari jika ia menyukai Jelang. Selama ini hidupnya hanya fokus pada impian-impiannya yang harus terwujud, tanpa ia sadari perasaanya sekaku itu, Stella buta untuk mengetahui jika Jelang orang teristimewa di hidupnya.
“Aku itu kaku, Lang. Aku buta, tujuan hidup aku dulu cuma bagaimana caranya aku bisa wujudin semua impian-impian aku. Sampai aku enggak sadar semua itu berkat kamu. Waktu tau kamu luka, aku ngerasa dunia yang aku bangun kokoh itu runtuh. Aku takut kamu kenapa-kenapa, aku takut kehilangan kamu. Tapi dari situ aku sadar, kalau kamu seistimewa itu di hidup aku.” Stella mengusap pergelangan tangan Jelang.
“Waktu kita menikah, aku rasa perasaan itu udah tumbuh. Tapi aku masih sering nyangkal, aku takut aku jatuh sendirian.”
Kedua nya tersenyum, malam itu benar-benar menjadi malam yang indah untuk keduanya. Stella tahu ini bukan akhir dari segalanya, tapi jika hari esok tidak akan ada, setidaknya ia sudah mewujudkan semua impiannya, ia juga sudah menemukan tujuan dan rumah sesungguhnya.
“Aku sayang kamu, Lang.” bisik Stella.
“Aku juga..” bisik Jelang, seiring dengan pelukannya yang semakin erat dan kecupan yang menghujami pucuk kepala Istrinya itu.
SELESAI