For Revenge *blm di revisi
“Gimana udah ngajak dia ngobrol belum?” tanya Gita yang tiba-tiba saja muncul di gazebo waktu Yuno lagi nungguin Ara pulang disana.
Yuno yang di tanya gitu hanya menggeleng, ia menghela nafasnya beberapa kali. Bagaimana mau di ajak bicara, meski tinggal di rumah yang sama saja Yuno jarang melihat Ara. Tapi Yuno sempat berpikir kalau Ara memang sedang menghindarinya.
“Lah gimana sih?” protes Gita. “Kalo gak ngomong-ngomong gimana Ara mau tau?”
“Gue aja belum liat dia, Git.”
“Hah? Maksudnya?” Gita bingung, gimana bisa Yuno belum lihat Ara, maksudnya. Mereka kan serumah. Masa iya Yuno enggak pernah berpapasan sama Ara sekalipun? Bukanya itu aneh? Yah kecuali kalau Ara memang memilih menghindarinya sih.
“Dia kayanya ngehindarin gue, Git.” Yuno meringis. “Mungkin masih malu sama kejadian kemarin? Atau dia marah sama gue?”
“Marah gimana? Bukanya harus nya dia bilang makasih? Udah di jemput juga, kenapa musti marah coba?”
“Karena gue nolak dia.”
“Kak coba deh lo kalo ngomong jangan separuh-separuh, gue kesel lama-lama dengernya.” Gita jadi sewot sendiri.
“Malam itu Ara minta sesuatu dari gue, gue tolak dia. Gue enggak mau kita nyesal besok paginya pas udah sadar.”
Gita memejamkan matanya, agak sedikit sebal dengar cerita Yuno. Gita cuma mikir Ara malam itu dalam pengaruh obat, enggak mungkin juga kan Ara marah gara-gara itu? Kalau menghindari Yuno karena malu sih mungkin saja.
“Kak yang lo lakuin tuh udah benar yah please lagi pula, Ara bukan tipe cewek kaya gitu. Dia minta kaya gitu ke lo juga karena dalam pengaruh obat, gila aja kali.”
“Jadi mungkin dia malu?”
Gita mengangguk kecil, “bisa jadi.”
Yuno menghela nafasnya pelan, menatap langit Bandung sore itu yang agak sedikit kejinggan. Sangat indah, lebih indah dari langit Heidelberg yang selalu Yuno lihat sore hari saat perjalanan pulang ke apartemen nya.
Sudah dari kemarin Yuno menimang-nimang untuk segera meluruskan kesalah pahamannya dengan Ara, namun selama itu juga Ara terus menghindarinya. Kadang Yuno ingin menyerah, namun logika dan hatinya bertolak belakang. Ego nya masih menginginkan gadis itu menjadi miliknya kembali.
“Kak Yuno Kak Yuno, beban lo udah kaya lagi ngurus negara aja tau gak sampe ngehela nafas berkali-kali.” Gita menggelengkan kepalanya, heran sama Yuno sekaligus geregetan dengan hubungan Yuno dan Ara itu, ya meski Gita tau kalau hubungan mereka cukup rumit. Mengingat sekarang ada Julian di antara mereka.
“Kalo menurut lo, Ara masih sayang sama gue gak sih, Git?”
“Jangan tanya gue lah, tanya cewek lo—upss, maksud gue ask your ex.“
“Gak menurut lo aja, gue juga bakalan tanya itu sama dia. Tapi sepengelihatan lo gimana?” Yuno menggeser duduknya, demi bisa melihat mimik Gita. Apalagi Yuno tahu Ara dan Gita cukup dekat, masa sih Ara enggak pernah cerita tentangnya dengan Gita. Pasti pernah kan? Pikirnya.
Gita sempat menelisik wajah Yuno yang mengharapkan jawaban padannya, Gita sendiri juga bingung. Pasalnya Ara enggak cerita banyak soal Yuno, dan lagi. Gita tahu betapa dekatnya Ara dan Julian. Gita enggak yakin Ara masih sayang sama Yuno. Bisa saja gadis itu sudah melupakan Kakak sepupunya kan?
“Kak, gue enggak tahu. Gue gak bisa nebak isi hati Ara, gue juga gak mau bikin lo kecewa kalau seandainya jawaban gue enggak sama kaya yang Ara rasain ke lo. Jadi mending lo tanya sendiri ke dia yah,” Gita menaikan sedikit dagunya, memberi insyarat jika Ara sudah pulang. Yah meski di belakangnya ada Julian yang mengekori.
Melihat Ara yang baru pulang itu, Yuno mengangguk. Gita benar ada baikanya ia bertanya langsung sama Ara, ketimbang bertanya padannya. Akhirnya Yuno berdiri, menghampiri Ara yang tadinya gadis itu ingin buru-buru masuk ke dalam kosan. Namun dengan sigap Yuno menahan tangannya.
“Ra, aku boleh ngomong sama kamu sebentar gak?” tanya Yuno.
Ara enggak berbalik, menatap Yuno pun rasanya dia enggak punya muka lagi. Dia masih malu dengan segala kelakuan konyolnya malam itu.
“Ma..mau ngomong apa, Kak?” Ara mengulum bibirnya, memejamkan matanya berusaha untuk tidak mengingat kejadian semalam. Dan sialnya, hanya mendengar suara Yuno saja kejadian itu langsung berputar di kepalanya.
“Enggak ngomong disini.”
Julian yang baru saja selesai memarkirkan motornya di carport itu membeku di sana, mata sayu nya menatap tangan Yuno yang masih setia menahan tangan Ara disana agar gadis itu enggak menghindarinya lagi.
“Ehm..” deham Julian, ia menarik nafasnya dalam kemudian berlalu dari sana. “Ra, Bang Yuno. Gue masuk duluan.”
Yuno hanya mengangguk kecil sebagai jawaban, sementara Ara membulatkan matanya. Memberi kode pada Julian agar tidak meninggalkannya berduaan saja dengan Yuno, namun Julian tidak menggubris itu. Ia terus berlalu dari sana, kalau boleh jujur. Julian cemburu, tapi dia ngerasa juga keduanya perlu bicara.
Terutama Ara, dia ngerasa Ara harus mengucapkan terima kasih karena Yuno sudah menyelamatkannya malam itu. Jadi Julian langsung masuk saja ke kosan dan duduk berkumpul bersama penghuni lainnya yang sedang makan malam di meja makan.
“Tumben baru balik lo, Jul. Abis dari mane?” tanya Janu, cowok itu sedang menyeruput indomi yang asapnya masih sedikit mengepul di udara.
“Abis makan pecel ayam sama Ara deket Elit.”
“Titipan gue mana?” Janu mengadahkan tangannya, sementara Julian mengerutkan dahinya bingung.
“Titipan apaan jir? Lo nitip apaan? Halu?”
“Gue nitip rokok ye, Marlboro. Kan udah gue chat, ah gila parah banget sih.” Janu geleng-geleng kepala, kecewa berat karena dua temannya lupa membelikan pesanannya. Tadinya, Janu nitip rokok sama Kevin. Tapi Kevin pulang enggak bawa titipannya, Kevin bilang dia lupa. Makanya Janu nitip ke Julian yang kebetulan masih di luar kosan.
“HP gue mati,” jawab Julian enteng.
“Lagian elu bukannya beli sendiri kenapa demen banget sih nyuruh-nyuruh orang? Manja banget,” hardik Chaka, ikut sebal tiap kali Janu nitip rokok.
“Gue lupa. Asem dah nih mulut abis makan gak nyebat.”
“Lo tadi sama Ara, Jul? Sekarang Ara nya mana?” tanya Arial, yup. Arial makan malam di kosan Abah. Cowok itu akan pulang ke kosannya jika sudah mengantuk, selebihnya dia lebih suka berkeliaran di kosan Abah.
“Di luar lagi ngomong sama Bang Yuno, Mas.”
“Sama Yuno?” pekik Arial, sejak tahu Ara dan Yuno putus. Dan Arial yang tahu apa yang menjadi penyebab mereka putus, Arial jadi kehilangan rasa percayanya pada Yuno. Bahkan saat ini rasanya Arial lebih mendukung Ara bersama Julian ketimbang sama Yuno.
Sementara itu, di gazebo Yuno dan Ara duduk agak berjauhan. Belum ada yang memulai pembicaraan, apalagi yang membuat keadaan semakin canggung adalah Ara yang duduk membelakangi Yuno seperti ini.
“Ka..Kak Yuno mau ngomong apa? Kalo gak jadi ngomong aku masuk aja yah, Kak.” ucap Ara memecahkan keheningan di antara mereka.
“Jadi kok, tapi bisa gak kamu gak belakangin aku kaya gini, Ra?”
Ara mengigit bibir terdalamnya, ia sendiri juga merasa aneh harus membelakangi Yuno. Tapi bagaimana, ia masih malu dengan kejadian kemarin.
“Kalau kaya gini aja boleh gak, Kak? Aku mal...lu.”
“Malu kenapa?”
“Malu aja.”
“Ya, tapi malu kan pasti ada alasannya dong, Ra?”
Ara menghela nafasnya, membuang rasa malunya. Ia akhirnya memberanikan diri untuk berbalik badan menghadap Yuno, meski ia tahu kini pipinya terasa panas dan mungkin sudah semerah kepiting rebus.
“Nah, kalo ngomong gini kan enak.” Yuno tersenyum waktu Ara akhirnya berbalik menghadapnya.
“Kak.”
“Ra.”
Keduanya terkekeh saat hendak berbicara bersamaan.
“Kamu duluan,” ucap Yuno.
“Kak Yuno aja, kan kamu yang ngajakin aku ngomong disini.”
“Ada banyak banget yang mau aku omongin, aku bingung mau mulai dari mana. Jadi kamu duluan aja, ya.”
Ara akhirnya mengangguk, “makasih yah, Kak. Dan maaf.”
“Untuk?” Yuno menaikan satu alisnya.
“Malam kemarin. Makasih karna udah nyelamatin aku, aku gak tau kalau Kak Yuno sampai telat datang aku bakalan kaya gimana. Dan maaf, karna malam itu aku udah lancang banget.” Ara menggeleng kepalanya, rasanya malu banget buat menjabarkan apa yang ia lakukan pada Yuno. Namun dalam hati, ia berharap Yuno tahu apa yang ia maksud.
“Um.” Yuno mengangguk paham. “Sama-sama, Ra. Maaf yah. Maaf karna aku seharusnya datang lebih cepat biar laki-laki brengsek itu gak nyekokin kamu minum.”
Ara mengulum bibirnya sendiri, Yuno nya masih sama. Yuno yang suka menyalahkan dirinya sendiri atas kesalahan orang lain, cowok itu enggak berubah sedikit pun.
“Bukan salah kamu, Kak.”
“Ra?”
“Hm?”
“Aku boleh jelasin sesuatu ke kamu?”
“Tentang?” Ara mendongakan kepalanya menatap Yuno, kedua netra mereka bertemu. Ara bisa merasakan hangat dari tatapan itu yang selalu ia rindukan, apa Yuno masih memiliki perasaan untuknya? Pikir Ara.
“Tentang aku dan—”
“Ra?” tiba-tiba saja Arial datang, membuat ucapan Yuno tertahan begitu saja, keduanya menoleh ke arah si pemilik suara. Dan Arial yang berdiri tidak jauh dekat carport itu melambaikan tangannya pada Ara, memberi isyarat pada Ara untuk menghampirinya.
“Aku di panggil Mas Iyal, Kak.” ucap Ara.
“Um,” Yuno mengangguk, “samperin dulu aja.”
“Gapapa?”
“Gapapa, Ra. Kita masih punya banyak waktu buat ngobrol kok.” Yuno tersenyum.