He

Siangnya setelah Stella selesai berolahraga, perempuan itu sempat bersantai sebentar di depan ruang TV. Menonton drama sembari memakan snack yang kemarin ia dan Jelang beli.

Tidak lama kemudian, pintu depan terbuka. Tristan baru saja pulang, laki-laki itu membawa dua koper besar dan paper bag berisi lauk-lauk yang Ibu nya Jelang bawakan. Stella yang melihat Tristan kerepotan langsung bergegas membantu Adik sepupu Suaminya itu.

“Bilang kek, Ta. Kalo butuh bantuan,” cibir Stella, ia membantu Tristan menyeret koper besarnya dan membawa paper bag nya.

“Gak enak, orang Mbak Stella lagi nyantai,” ucapnya setelah koper-koper itu masuk ke dalam rumah. “Mas Jelang udah berangkat, Mbak?”

Stella mengangguk, “dari pagi. Belum ngabarin juga, dia hari ini kerja di luar juga katanya.”

Stella sempat memeriksa paper bag yang Tristan bawa, ia pikir Ibu mertuanya itu hanya membawakan ayam kesukaan Jelang. Tapi siapa sangka kalau Ibu nya Jelang juga membawakan asinan buah dan udang saus mentega kesukaannya.

“Budhe tadi bikin asinan, besok mau bikin acara syukuran karena Mas Jelang udah nikah sambil undang tetangga kanan kiri. Terus nitipin udang juga buat Mbak Stella,” jelas Tristan.

Mata Stella masih berbinar melihat makanan-makanan itu, ia selalu excited setiap kali melihat makanan.

“Mbak harus telfon Ibu ini sih, banyak banget bisa buat besok juga.”

“Jangan sekarang, Mbak. Budhe lagi repot banget, lagi bikin kue juga buat acara besok.” sewaktu Tristan pulang rumah begitu ramai, ada sekumpulan Ibu-Ibu yang Budhe nya bayar untuk membantunya memasak.

“Mana besok Mbak kerja lagi, jadi enggak bisa datang ke acara syukurannya Ibu,” bahu Stella merosot, dia jadi enggak enak sama Ibu mertuanya itu.

“Gapapa, Mbak. Santai aja, Budhe juga tau Mbak sama Mas Jelang tuh sibuk.”

Sembari membongkar koper miliknya, Tristan mengajak Stella ngobrol beberapa hal. Mulai dari kuliahnya, kedua orang tuanya di Solo. Sampai soal cerita kecilnya bersama Jelang dulu.

Menurut Tristan, Mbak Stella bukan orang yang kaku, perempuan itu baik, ramah dan juga gampang di ajak berbicara berbagai macam hal. Makanya Tristan enggak ada rasa canggung sedikit pun dari hari pertama ia datang, buktinya berduaan dengannya pun Tristan enggak canggung sama sekali.

“Mbak Stella tuh kenapa bisa mau deh nikahin Mas Jelang, padahal orangnya kaku begitu. Gak ada lucu-lucunya dia mah,” Tristan cuma penasaran aja, pasalnya selama ini ia tidak pernah mendengar kalau Jelang memiliki pacar, tapi tahu-tahu ia dapat kabar Mas sepupunya itu menikah benar-benar mendadak.

Stella yang di tanya begitu jadi mengulum bibirnya sendiri, pasalnya ada cerita yang ia dan Jelang sembunyikan tentang pernikahan mereka dari keluarga. Apa ini artinya Stella harus mengarang cerita?

“Hmm.. Itu, Mbak sama Jelang kan udah kenal lama juga, kita tuh.. Temen sekolah. Mbak dulu murid aksel, jadi enggak banyak kenal murid lain di kelas itu. Sampai akhirnya Jelang yang jadi teman pertama Mbak di kelas.”

Stella memang murid aksel dulu, dia lulus lebih cepat dari pada teman seangkatannya. Waktu itu Stella pendiam karena merasa teman-teman sekelasnya adalah Kakak kelasnya, ia merasa canggung dan lebih banyak sendiri. Sampai akhirnya Jelang mengajaknya istirahat bersama. Dari sana mereka dekat sampai akhirnya bertemu kembali saat bekerja.

Selama kuliah, Jelang dan Stella masih berteman. Hanya saja waktu mereka untuk bertemu menjadi lebih sempit karena kesibukan keduanya. Tapi siapa sangka jika takdir mengikat mereka dalam sebuah pernikahan.

“Ohhhh jadi teman tapi menikah?” ucap Tristan asal-asalan.

“Ya gitu lah, ya..yaudah, Ta. Mbak ke kamar dulu yah, ngantuk banget. Besok Mbak juga udah masuk kerja.”

Sebenarnya itu hanya alibi Stella saja supaya Tristan enggak nanya-nanya lagi, soalnya Stella memang tidak pandai berbohong.

“Yaudah, Mbak. Tristan juga mau beres-beres kamar.”

Stella akhirnya masuk ke dalam kamar, dalam hati ia meruntuki dirinya sendiri. Semoga saja Tristan percaya dengan semua ucapanya barusan. Begitu Stella membuka pintu kamar, Tristan tidak sengaja melihat ke dalam kamar Jelang dan Stella.

Kening laki-laki itu mengekerut bingung, bagaimana bisa pengantin baru seperti Jelang dan Stella, tidur di ranjang yang hanya bisa di tempati oleh satu orang saja?

“Kok kasurnya cuma 1 yah, itu kan buat 1 orang aja, terus Mas Jelang tidur di lantai?” gumam Tristan.


Keesokan paginya Stella sudah kembali ke BFN dan bekerja seperti biasa, banyak rekan nya yang datang ke ruanganya hanya untuk memberinya ucapan selamat dan juga hadiah. Jujur saja, Stella sedikit terharu lingkungan kerjanya begitu hangat untuk mendukung satu sama lain.

“Dok, kita ada autopsi,” ucap seorang asistenya.

Stella sempat membaca surat permintaan autopsinya dan siapa penyidik yang membuat permintaan autopsi, setelah membaca surat itu, Stella langsung bergegas ke ruang autopsi.

Di ruang autopsi sudah ada Ipda Hema dan penyidik lainya, Stella tidak begitu mengenalnya tapi laki-laki itu beberapa kali datang ke BFN untuk melihat jalanya autopsi. Sebelum memulai autopsi, Stella sempat berdoa terlebih dahulu.

“Kita akan mulai autopsinya di jam sepuluh lewat lima,” ucap Stella.

Kemudian di bukanya kain putih penutup jasad itu dan menampakan jasad seorang perempuan yang sudah terbujur kaku, ada bekas memar di dahi nya serta warna kulit pada muka yang berubah menjadi keputihan.

“Dokter Stella ingat soal anak berusia dua belas tahun yang kami bawa dan kehilangan ginjalnya?” tanya lelaki bernama Hema itu.

Stella mengangguk pelan, “kasus sindikat jual beli organ itu?”

“Benar, wanita ini orang yang dekat dengan anak itu. Dan wanita ini di temukan tewas di kontrakannya.”

Mata Stella menelisik wajah jasad wanita itu dan mengangguk pelan pada Ipda Hema. “Kalau begitu, kemungkinan kasus ini masih ada kaitanya?”

“Kemungkinan besar.”

Stella mengangguk pelan dan mulai melakukan autopsinya, seperti biasa. Ia melakukan autopsi luar terlebih dahulu, terutama pada benjolan dan memar yang ada pada dahi dan wajah korban.

Stella mengambil penggaris yang sudah di siapkan, ia ingin tahu seberapa panjang benjolan yang ada di dahi korban.

“Di dahinya ada fraktur depresi lingkaran berdiameter 2,5” ucap Stella.

“Apa itu kemungkinan korban di pukul dengan palu? Biasanya palu yang ada di rumah-rumah memiliki diameter yang sama dengan luka korban,” tanya penyidik yang berada di sebelah Ipda Hema.

Stella mengangguk, “kemungkinan besar memang palu tapi bisa juga benda tumpul lain, itu gunanya penyidik Buat mencari tahu.”

Laki-laki itu terdiam, apalagi setelah Ipda Hema menyenggol lenganya. Dan Stella pun kembali melalukan pemeriksaan.

“Adanya bercak putih di sekitar wajah dan lehernya, tidak ada kelembapan, ah, Ver. Tolong kikis kulitnya, kita lakuin biopsi kulit buat cari tahu penyababnya,” ucap Stella pada asistenya.

“Baik, Dok.”

Setelah asistenya itu selesai mengambil jaringan kulitnya, Stella meminta bantuan pada asisten nya yang lain untuk melakukan pemeriksaan livor mortis, ini untuk memeriksa perubahan warna ungu pada kulit setelah terjadinya kematian.

Stella di bantu asitenya yang lain, membalikan tubuh jasad untuk melihat kondisi bagian belakang tubuhnya.

“Ada livor mortis di bagian belakang tubuh,” ucapnya, setelah itu Stella kembali memeriksa bagian mata, hidung dan mulut jasad. Semuanya bersih tidak ada pendarahan sedikit pun.

“Saya akan melakukan pembedahan untuk mencari tahu sebab kematian,” lanjutnya.

Stella mengambil pisau bedah, membuka tubuh korban dari leher hingga perutnya, kemudian kening perempuan itu mengekerut begitu di lihatnya ada kejanggalan pada tulang rusuk jasad.

“Ada 3 patahan tulang rusuk sebelah kanan, lekukan ketiga dan keempat di sternum juga retak.” setelahnya Stella membuka tulang rusuk jasad untuk memeriksa organ bagian dalamnya.

Dan lagi-lagi Stella dan tim nya di buat bingung begitu melihat pendarahan yang begitu banyak di dalamnya, Verra asistenya itu kemudian mengambil darah yang berada di dalam tubuh korban untuk mengetahui berapa volume nya.

“Volume darahnya sekitar 250 ml.”

“Kenapa enggak ada trauma padahal di pendarahan sebanyak itu?” tanya Ipda Hema.

“Ini yang harus kami cari tahu.”

Stella kembali memeriksa jantung dan paru-paru korban yang sudah ia angkat untuk memeriksanya

“Vertikel kiri pecah, bagian vertikel kiri adalah bagian terlemah jantung dan lagi, ada beberapa pendarahan yang terlihat di kedua permukaan paru-paru. Jika korban di pukul, seharusnya ada memar di bagian yang di pukul. Selain itu, organ lain seperti hati dan ginjal nya baik-baik aja,” jelas Stella. Ia mulai di buat bingung dengan jesad yang sedang ia autopsi ini.

“Ini benar-benar bikin bingung, gimana korban bisa pendarahan sebanyak itu sedangkan di tubuhnya enggak ada trauma apapun.”

“Saya akan minta pendapat dari ahli forensik yang lain,” ucap Stella.

Kalau sudah begini, Stella harus mengirimkan SOS untuk meminta bantuan. Ia harus meminta pendapat kedua dari ahli forensik lainya. Saat berdiri di depan telfon yang akan menghubungkanya dengan ahli forensik lainya, Stella teringat kata-kata Jelang kemarin untuk tidak terlalu dekat dengan Ardi.

Namun tidak ada pilihan lain, Ardi adalah ahli forensik yang kompeten. Lagi pula ini juga masih menyangkut penyelidikan dan pekerjaanya. Akhirnya Stella menghubungkan telfonya ke ruanganya Ardi dan tidak membutuhkan lama, laki-laki itu setuju untuk membantunya di mintai pendapat lain.

Setelah selesai dengan autopsinya yang memakan waktu lebih lama dari biasanya itu, Stella bergegas keluar dari gedung BFN. Jelang bilang dia ada di depan gedung. Dan benar saja, begitu Stella keluar, Jelang sudah menunggunya di kursi depan sembari menenggak sekaleng kopi.

“Baru pulang?” tanya Stella, ia duduk di samping Jelang.

Jelang mengangguk pelan, “kamu udah makan?”

“Belum, baru banget selesai autopsi.”

“Makan dulu.” Jelang tersenyum, melegakan rasanya melihat Stella hari ini. Tadinya Jelang mau pulang dulu sebentar untuk berganti baju, tapi kebetulan sekali ia lewat gedung BFN akhirnya ia memutuskan untuk mampir melihat Stella dulu.

“Kamu udah makan?”

Jelang menggeleng, “belum, nanti di rumah baru mau makan.”

“Terus pergi lagi?”

Jelang tidak menjawab, laki-laki itu hanya tersenyum. Ia rasa Stella sudah tahu jawabanya tanpa Jelang perjelas lagi.

“Lang?”

“Hm?”

“Kemarin siang Tristan bawain lauk dari Ibu, di makan yah.”

“Pasti.”

Tidak lama kemudian ada beberapa karyawan dari divisi teknik forensik lainya yang baru saja datang, setelah membeli kopi di cafe sebrang gedung BFN. Dari jauh saja mereka sudah menggoda Stella, begitu semakin dekat godaan-godaan itu pun semakin kencang di lontarkan.

“Cielah Dokter Stella, mentang-mentang pengantin baru lagi istirahat aja pake di samperin segala,” ucap seorang laki-laki dari divisi teknik forensik.

“Pengantin baru emang gitu, gak liat semenit aja udah kangen.”

Mendengar itu Jelang menjentikan jarinya dan merangkul Stella agar lebih dekat denganya.

“Benar, bahkan gak ngeliat sedetik karna ngedip mata aja udah kangen,” Jelang menghela nafasnya pelan dan memasang muka sok sedihnya itu.

“Makanya cuti Ipda Jelang, biar bisa berduaan mulu di rumah.”

Stella hanya menyengir, ia juga merangkul pinggang Jelang agar sandiwara itu terlihat natural. Begitu segerombolan itu sudah masuk ke dalam gedung, barulah Stella buru-buru melepaskan rangkulan Jelang.

“Jangan peluk-peluk ah malu entar di liat yang lain,” ucap Stella sedikit salah tingkah.

“La, biar mereka percaya kita nih pengantin baru yang harmonis.”

Stella hanya memutar bola matanya malas, dan Jelang yang melihat itu hanya bisa terkekeh pelan.

“Yaudah, aku balik yah.”

“Lang?”

“Iya?”

“Hati-hati, aku tunggu di rumah yah, tapi kalo kamu enggak pulang lagi tolong kabarin.”

Jelang hanya mengangguk pelan, setelah berpamitan. Laki-laki itu pun berjalan menuju parkiran, dan Stella masih setia menunggu sampai punggung suaminya itu semakin menjauh.

Aneh, rasanya hari itu Stella hanya ingin berada di dekat Jelang. Atau menyuruh Suaminya itu untuk di rumah saja, namun apa daya. Pekerjaanya itu tidak bisa membuat Stella menyuruh Jelang untuk tetap tinggal. Lagi pula, Jelang juga tidak akan setuju.

Jelang itu seorang yang ambisius, dia tidak akan bisa pulang dengan tenang jika belum memecahkan kasus yang ia pegang dan menangkap pelaku-pelakunya.

To Be Continue