He (06)
Pagi ini Jelang sudah bersiap untuk segera kembali ke kantor, dia udah dapat laporan dari tim nya terkait kasus yang akan ia selidiki sendiri hari ini. Setelah memastikan dirinya sudah siap barulah Jelang keluar dari kamar.
Saat bekerja, Jelang lebih banyak memakai pakaian biasa. Jelang baru akan memakai seragamnya jika ada keperluan di kantor saja, lagi pula dia lebih banyak di lapangan dari pada di kantor.
Stella sudah bangun dari subuh, perempuan itu sempat berolahraga dulu baru kemudian membuatkan sarapan untuk mereka makan. Pagi ini Stella membuatkan nasi goreng dengan telur mata sapi di atasnya.
“Kamu mau minum apa, Lang? Teh manis apa air putih aja?” tanya Stella, ia tidak menatap Jelang. Matanya dan tangannya sibuk memilih teh dengan rasa apa untuk pagi ini.
Sementara itu, Jelang justru tidak menanggapi Stella karena ia justru tidak sengaja membaca isi pesan Stella dengan rekan kerjanya bernama Ardi. Kebetulan ponsel Stella tergeletak di atas meja makan, dan menampilkan bubble chat dari laki-laki itu.
“Lang?” karena Jelang tidak kunjung menyahut akhirnya Stella berbalik badan dan mendapati Jelang yang masih menatap ponselnya.
“Ardi, dokter yang waktu itu debat sama aku, La?”
Stella mengangguk, “iya, dia cuma nanya kapan aku masuk.”
“Hm..” Jelang mengangguk dan duduk di meja makan. “Kamu jangan terlalu dekat sama dia deh.”
Jelang ngomong gini bukan hanya di landasi cemburu buta kaya remaja yang baru di mabuk cinta kok, tapi Jelang punya firasat tidak enak setiap kali melihat laki-laki bernama Ardi itu.
“Cemburu?” Stella menaikan satu alisnya.
Ia juga ikut duduk di depan Jelang yang sudah melahap nasi gorengnya lebih dulu, sembari menelisik wajah Jelang, Stella sembari memberikan Jelang teh rasa apel untuk Suaminya itu.
“Enggak, aku cuma...” Jelang menahan ucapannya, dia ngerasa bukan saat yang tepat membicarakan ini pada Stella. Apalagi ini cuma menyangkut firasat buruknya saja dengan Ardi. “Pokoknya jangan terlalu dekat aja.”
“Ya tapi kasih alasannya dong, aku sama Ardi kan rekan kerja. Gak mungkin aku gak deket sama dia, Lang.”
“Ya Udah kalau di kerjaan aja. Selepas itu jangan terlalu dekat,” jelas Jelang yang membuat Stella agak sedikit dongkol.
Pasalnya Stella enggak suka di larang-larang kalau tidak ada alasan yang jelas, “gak jelas,” cibirnya.
“Oh iya, Tristan tadi pamit jalan duluan ke rumah Ibu. Mau ambil koper sama barang-barang lainya, Ibu juga katanya bikinin ayam goreng serundeng buat kita.”
Pagi-pagi setelah Stella selesai olahraga, Tristan memang berpamitan untuk kembali ke rumah Ibu nya Jelang dulu. Untuk mengambil barang-barangnya, waktu itu Jelang sedang mandi jadi Tristan hanya berpamitan pada Stella saja.
Jelang hanya mengangguk pelan, “kamu habis ini mau ngapain?”
“Nyantai kayanya,” Stella tersenyum, dia benar-benar akan memanfaatkan cuti nya yang singkat dengan baik untuk hari ini.
“Hari ini aku ada penyamaran lagi,” ucap Jelang.
“Buat kasus baru?”
Jelang menggeleng, “enggak, kasusnya masih berjalan cuma emang agak ribet aja.”
“Kamu sama Davin kan?”
“Enggak, aku sendiri. Terlalu bahaya, La. Orang bisa curiga.”
Stella hanya mengangguk kecil, kalau sudah begini. Stella hanya bisa berdoa supaya apapun kasus yang sedang Jelang pegang berjalan dengan lancar.
Hari ini Jelang benar-benar kerja sendirian, dia juga gak pakai mobil dinasnya. Laki-laki menyewa motor dari sebuah rental agar orang yang ingin ia selidiki tidak mencurigainya.
Jelang mendapatkan laporan kalau ada bekas pabrik yang tidak terpakai, yang di jadikan tempat untuk transaksi jual beli narkoba.
Dan saat ini Jelang sedang menyelidikinya, berbekal ponsel yang ia beli untuk melakukan penyamaran ia berhasil menghubungi pria yang di duga kurir yang mengantar barang haram tersebut.
Jelang memang bekerja sendiri hari ini, Davin bahkan tidak tahu kalau hari ini Jelang melakukan penyamaran. Davin dan kepala penyidiknya hanya tahu kalau Jelang sedang berada di kantor kejaksaan untuk mencari tahu pembebasan Dion Wiranto, pengusaha yang melakukan pembunuhan terhadap seorang wanita.
Ini sudah jam yang di tentukan oleh kurir tersebut untuk bertemu, Jelang sudah menunggu kurir tersebut di depan pabrik tempat mereka bertemu. Namun tidak ada tanda-tanda laki-laki itu muncul.
“Brengsek.. Awas aja kalau sampai ini orang nipu..” gumam Jelang, ia akhirnya mengambil sebatang rokok dan menyelipkannya di sela bibirnya.
Jelang bukan perokok aktif, dia hanya merokok di waktu-waktu tertentu saja. Tidak lama kemudian datang seorang laki-laki dengan pakaian serba hitam dan topi yang ia kenakan menghampiri Jelang.
Jelang yang tadinya ingin merokok jadi mengurungkan niatnya, ternyata benar. Itu adalah kurir yang mengantar 'barang pesanannya', dan tempat ini benar-benar menjadi tempat transaksinya. Jelang berpikir karena tidak ada CCTV dan orang yang berlalu lalang di sekitarnya. Maka tempat ini menjadi tempat aman untuk melakukan transaksi seperti ini.
“sorry lama, bro,” ucap pria itu, ia mengeluarkan bungkusan dari saku celana nya dan memberikan itu pada Jelang.
“Hm,” Jelang hanya mengangguk, sembari memberikan uang yang sudah ia siapkan.
“Kalau gitu, gue cabut duluan.” baru saja pria itu ingin pergi, Jelang malah menepuk bahunya pelan.
“Selain ini ada?” tanya Jelang, ia harus mendapati informasi lainya dari laki-laki ini.
“Ada, lo bisa hubungin gue lagi. Tapi jangan pakai nomer yang sama.”
Setelah menepuk bahu Jelang, pria tadi pergi begitu saja. Dan kini Jelang harus cepat beraksi mengikuti kemana pria tadi pergi, ia ingin tahu bandar nya bersarang dimana.
Malam itu daerah Bogor turun hujan, dan Jelang susah payah mengikuti pria tadi hingga memasuki gang-gang kecil. Namun sial, yang ia dapati justru pria tadi tidak datang ke tempat bandarnya, namun justru pulang ke kontrakannya. Terlihat bagaimana pria tadi di sambut oleh seorang wanita yang Jelang duga itu adalah Istrinya.
“Brengsek!”
Jelang tidak menyerah begitu saja, sampai hampir pagi ia masih tetap berada di sana untuk mengikuti kurir tadi. Namun belum juga ia dapati hasil kurir tadi urung keluar dari rumahnya juga, tidak lama kemudian ada telfon dari Stella.
Jelang sudah mengabari Stella jika ia tidak pulang hari ini dan menyuruh Stella tidur tidur terlalu larut.
“Hm?” deham Jelang begitu ia mengangkat teleponnya.
“*masih di luar, Lang?”
“Masih, La. Belum dapat hasil, ada apa?” Jelang mengetuk-entukan jari teluknya ke stir mobil, matanya tak ayal berpindah pada gang rumah pria semalam yang ia buntuti, Jelang sudah tidak memakai motor yang ia sewa. Ia hanya menyewanya untuk beberapa jam saja, jadi begitu sudah selesai ia langsung kembalikan.
“Gapapa, gue pikir lo udah di kantor.“
“Dikit lagi aku balik kok, Tristan udah balik kan?”
“udah.“
Jelang tersenyum, agak sedikit lega mengetahui Adik sepupunya sudah kembali. Setidaknya Stella tidak sendirian di rumah semalam.
“Ya udah, nanti aku kabarin lagi yah.”
Setelah mengatakan itu, Jelang menutup teleponnya. Tidak lama kemudian Davin mengiriminya berkas yang kejaksaan kirimkan, terkait kasus pembunuhan yang melibatkan seorang pengusaha kaya.
Jelang cukup geram, ia harus memutar otak bagaimana caranya memastikan pengusaha itu tetap mendapatkan hukuman untuk perbuatanya.