His Ambition

Begitu Jelang dan Pak Wira sampai di lokasi bekas pabrik itu, pemadam kebakaran sudah selesai memadamkan apinya. Api yang membakar pabrik itu cukup besar, hingga pemadam kebakaran memerlukan waktu dua jam hanya untuk memadamkanya.

Dan saat ini lokasi itu masih di beri garis polisi dan pemadam kebakaran masih memeriksa apakah masih ada sisa api di dalam gedung atau tidak. Jelang belum bisa masuk untuk ikut memeriksa, karena ini masih menjadi tanggung jawab pemadam kebakaran.

Pak, ada korban tewas yang terjebak di dalam. Korban hangus terkabar.

Jelang mendengar suara itu dari walkie talkie milik kepala pemadam kebakaran, laki-laki yang tadinya sedang duduk itu sontak berdiri dengan rahang yang mengeras. Benar dugaanya memang ada yang tidak beres, Jelang benar-benar telah memastikan jika pabrik itu sudah terbengkalai sejak sepuluh tahun yang lalu.

Lalu bagaimana bisa ada seseorang yang terjebak di dalamnya? Pikir Jelang.

“Saya akan suruh tim evakuasi untuk membawa jasad nya keluar.”

Setelah mengatakan itu, kepala petugas pemadam kebakaran berbicara dengan Pak Wira untuk membantu menyelidiki kasus kebakaran bekas pabrik itu. Jelang juga telah menghubungi tim forensik untuk mencari tahu penyebab kebakaran. Pasalnya pemadam tidak bisa menemukan adanya kosleting listrik, karena pabrik itu sudah tidak di beri aliran listrik lagi sejak berhenti beroperasi.

Jadi untuk saat ini penyebab kebakaran di duga ada oknum yang sengaja membakar bekas pabrik tersebut. Jelang enggak ikut tim forensik memeriksa lokasi kebakaran, ia bersama Davin justru pergi ke BFN untuk melihat jalanya autopsi, Jelang harus tahu identitas korban yang terbakar hingga tewas ini.

Di jalan, Jelang menghiraukan begitu saja ucapan Davin soal kemungkinan-kemungkinan kebaran pabrik. Namun konsentrasi Jelang justru tertuju pada sinyal ponsel milik pria yang kemarin bertemunya justru berhenti di lokasi lain.

Itu artinya selama ia sibuk karena kejadian kebakaran pabrik barusan, pria itu telah bergerak keluar dari rumah kontrakanya. Jelang enggak boleh lengah, ia harus menghubungi penyidik lain untuk membantunya.

“Bang Hema, gue butuh bantuan lo,” ucap Jelang, ia menelfon Hema seniornya. Hema dan Jelang memang dekat, makanya enggak heran kalau Jelang lebih sering memanggil Hema dengan sebutan abang ketimbang memanggilnya dengan sebutan 'Pak' lagi pula, umur mereka hanya berbeda 2 tahun saja.

Setelah menjelaskan soal kasus yang sedang ia tangani, Hema menyetujui untuk membantu Jelang. Laki-laki itu pun langsung menuju lokasi yang di kirimkan oleh Jelang, dengan begitu ia bisa berkonsentrasi penuh untuk menyelidiki kasus kebakaran ini.

Begitu sampai di BFN, Jelang langsung masuk ke ruangan yang di batasi kaca besar untuk melihat jalanya autopsi. Jelang pikir Stella sudah pulang, namun siapa sangka jika Stella lah yang melakukan jalannya autopsi ini.

Begitu masuk ruang autopsi, Stella hanya bisa menghela nafasnya pelan saat melihat wajah lelah Suaminya itu. Jelang hanya bisa menunduk, wajah seriusnya itu sungkan untuk tersenyum di saat pikiranya sedang menata teka teki dari kasus ini.

“Autopsinya akan di mulai pada pukul enam belas lewat lima,” ucap Stella setelah ia menyelesaikan doa nya.

Maka di bukanya kantung jenazah itu dan di keluarkanya jasad yang sudah terbujur kaku terpanggang di sekujur tubuhnya.

“Kita mulai dari leher nya,” ucap Stella, ia memakai lup untuk melihat dengan jelas permukaan leher jasad, siapa tahu ada tanda-tanda sebelum kematianya.

“Sinar UV.” Stella melihat ada benda asing yang samar di ceruk leher korban.

Seorang asisten yang tadinya sedang memotret korban, beralih pada perintah yang di berikan oleh Stella. Ia menyalakan sinar UV nya dan kembali fokus memotret korban.

“Ada tali dengan bahan fluoresens,” gumam Stella.

Jelang dan Davin masih fokus pada jalanya autopsi, Jelang juga enggak mau nanya-nanya dulu karena dia mau Stella sendiri yang menjelaskanya. Stella mengambil sisa tali itu dan menaruhnya di tabung untuk di selidiki.

“Sisa tali yang ada di ceruk leher korban, enggak begitu terlihat jelas karena tertutup kerutan lehernya,” jelas Stella.

“Pisau bedah.”

Asisten nya yang lain memberikan Stella pisau bedah, Stella akan membuka tubuh korban untuk melihat organ-organ dalamnya, Terutama jantungnya.

“Gunting bedah.”

Davin masih saja bergedik saat tangan Stella dengan lihai mematahkan tulang rusuk korban, dan mengambilnya begitu saja. Padahal Davin sendiri sudah lumayan sering melihat autopsi.

“Kami akan membuka bronkusnya.” Stella membuka bronkus korban dan melebarkanya dengan kedua telunjuknya. “Bronkusnya hampir tidak memiliki jelaga,” lanjutnya.

Matanya kini berpindah dari organ korban kemudian menatap Jelang yang berada di sebrang sana.

“Kalau seseorang tewas karena kebakaran, mereka menghirup asap yang membuat bronkusnya menghitam tapi bronkus korban tidak menghitam sama sekali. Itu artinya korban enggak napas sama sekali saat kebakaran,” ucap Stella.

“Apa itu artinya dia udah mati sebelum kebakaran?” tanya Jelang.

Stella tidak menjawab, ia hanya menatap Jelang. Kemudian kembali fokus melakukan autopsinya.

“Ambil darah dari jantungnya,” ucap Stella memerintahkan asistenya untuk mengambil darah korban, ia akan mengidentifikasi DNA nya untuk mengetahui identitas korban.

“Tolong minta identifikasi DNA korban,” lanjutnya lagi pada asistenya.

Karena adanya sisa tali di leher korban, Stella akhirnya menyuruh asisten nya untuk melakukan rontgen pada kepala hingga leher korban. Setelah selesai melakukan autopsi Stella keluar dari ruangan itu, untuk memeriksa hasil rontgen korban.

Setelah mendapatkan hasilnya, Stella baru bisa menemui Jelang dan Davin untuk menjelaskan kondisi leher korban.

“Ini hasil rontgen pada leher korban, kamu liat kan, Lang. Kalau ada patahan pada tulang hyoid disini?” Stella menunjukan patahan yang ia maksud barusan pada Jelang.

Davin yang mendengar itu hanya bisa menahan tawanya, ia baru sadar Stella memanggil Jelang dengan sebutan 'aku' alih-alih 'gue' seperti biasanya. Jelang yang menyadari itu akhirnya menyenggol lengan Davin dan menyuruhnya untuk fokus.

“Kita lagi enggak bercanda, Vin!” sentak Jelang.

“Siap salah, Bang.”

Stella yang melihat kedua penyidik dengan karakter yang berbeda itu hanya bisa menggelengkan kepalanya.

“Ini artinya dia tercekik lumayan kuat dengan tali itu sampai mati hingga tulang hyoid nya patah. Penyebab kematianya bisa jadi sesak nafas, sementara ini tekanan tali pada leher belum di ketahui. Jasad nya terbakar hangus sampai aku gak bisa lihat itu jerat atau gantung.”

Jerat atau gantung ini adalah simpul yang terdapat pada leher, biasanya ada ciri khusus saat orang gantung diri dan ciri khusus saat orang mati karena di jerat dengan tali, simpulnya berbeda. Namun dalam kasus ini, jasad tidak bisa di identifikasi simpulnya karena terbakar hingga hangus.

“Singkatnya, ini bisa jadi pembunuhan, Lang.” ucap Stella lagi.

Jelang yang mendengar itu hanya bisa menghela nafasnya pelan. Ini semua sesuai dugaanya, benar-benar ada yang tidak beres.

“Ah, ini hasil DNA korban udah keluar,” Stella memeriksa hasil DNA identifikasi korban kebakaran itu yang lab kirim melalui surelnya. Stella juga memberikan hasilnya pada Jelang alih-alih membacakannya.

“Eros,” Jelang Mengepalkan tanganya kuat, korban tewas di pabrik itu adalah pria yang bertemu denganya kemarin. Kurir narkoba itu, dia tewas di lokasi mereka bertemu. Lalu bagaimana dengan ponselnya? Siapa yang memegang ponsel itu? Pikir Jelang.

“Brengsek!!” sentak Jelang.

“Kenapa, Bang?” tanya Davin.

“Lo ingat kasus bandar narkoba itu?”

Davin mengangguk.

“Orang ini, dia kurir yang biasa ngantar barang,” jelas Jelang.

“Mantan narapidana karena pernah di hukum lima kali karena kasus perampokan, begal motor dan yang terakhir kasus penusukan,” sambung Stella.

Jelang menatap Stella, kedua mata mereka saling bertemu. Stella pernah dua kali memeriksa sidik jari korban pada kasus penusukan, jadi jelas dia tahu kasus nya.

“Kita ke TKP sekarang, Vin.” ucap Jelang.

Ia menyuruh Davin untuk berjalan lebih dulu ke parkiran mobil sementara Jelang menunggu hasil visum et repertum nya keluar, ia juga masih ingin melihat Stella sebentar.

“Kamu udah gak ada permintaan autopsi lagi kan, La?” tanya Jelang begitu mereka memiliki kesempatan berdua.

“Enggak.”

Jelang mengangguk, “setelah ini langsung pulang?” tanyanya.

“Iya, kenapa?”

“Gapapa, hati-hati.”

“Kamu gak pulang lagi, Lang?”

Jelang mengangguk dan meringis, “kasus kebakaran ini masih ada kaitanya dengan penyamaran aku kemarin, La.”

Stella menghela nafasnya pelan, lagi-lagi ia harus cemas sendirian di rumah. Akhir-akhir ini perasaan Stella sedikit sensitif, dia takut terjadi sesuatu yang buruk entah pada dirinya atau pada Jelang.

Tidak lama kemudian asisten Stella datang dan memberikan visum et repertum nya yang sudah selesai di buat pada Jelang, sebelum Jelang pergi ke TKP. Stella sempat menepuk pundak suaminya itu pelan.

“Hati-hati yah, Lang.”

Jelang tersenyum, sedetik kemudian ia mengangguk dan berlalu dari sana.

To Be Contiunue