His Ambition (07)
Jelang terus mengetuk-etukan spidol yang ia pegang ke mejanya, matanya masih memandang ke arah laptopnya demi melihat sinyal GPS dari laki-laki yang bertemunya kemarin. Hingga hari ini laki-laki itu urung bergerak juga, Jelang sudah menyuruh anggota nya yang lain untuk beroperasi di sana juga.
Sesekali konsentrasi laki-laki itu terbagi ketika Pak Wira dan Davin membahas soal pengusaha kaya yang baru saja di bebaskan dari kasus pembunuhan seorang wanita.
“Anehnya, memang hari itu mereka punya bukti kalo Pak Dion memang berada di luar kota. Ini aneh banget, padahal jelas-jelas di barang bukti itu ada sidik jari dia,” ucap Davin.
“Kejaksaan atau pengacaranya ngasih bukti kalau dia memang berada di luar kota?” tanya Pak Wira.
Davin mengangguk, “pengacaranya kirim bukti check in atas nama Pak Dion hotel di daerah Malang dan foto mereka bareng klien. Ada yang bersaksi juga kalau hari itu mereka memang bersama Pak Dion. Ada rekaman CCTV di hotel tempat mereka menginap juga.”
“Mereka kasih bukti CCTV nya, Vin?” samber Jelang, dia masih enggak terima pelaku bebas begitu saja. Jelang masih memikirkan cara lain untuk memperkuat bukti jika pria itu benar-benar pembunuhnya.
“Enggak, Bang. Tapi gue usahain supaya dapat CCTV itu gimana pun caranya.”
“Kalo udah dapat, kasih bukti itu ke Hellen.”
Davin hanya mengangguk pelan, laki-laki itu kemudian berjalan ke meja milik Jelang. Ada beberapa hal yang harus ia tanyakan pada seniornya itu.
“Gue dapat info,” bisik Davin, yang berhasil mengalihkan atensi Jelang.
“Apa?”
“Salah satu bandar besar ini masih ada kaitannya sama Pak Dion.”
Jelang hanya mengangguk, ia sudah tahu itu. Makanya Jelang sudah tidak kaget kalau ia susah sekali menangkap bandar narkoba ini, bahkan untuk mendapat informasi mengenai di mana mereka bertransaksi saja susah. Pria itu benar-benar licik.
“Gue udah tau, Vin. Ini kenapa kita susah banget buat sekedar tahu dimana sarangnya. Gue yakin, si brengsek ini pasti di lindungi, kita bisa mecahin kasus bandar ini, setelah itu kita bisa tuntut Pak Dion dengan pasal lain. Kita bisa ngulur waktu buat nyari bukti tambahan soal kasus pembunuhan itu,” jelas Jelang, yang di jawab anggukan oleh Davin.
“Kalo gitu gue cabut, Bang. Gue harus dapat bukti CCTV itu hari ini.” Davin berdiri ia mengambil kunci mobilnya di atas meja dan berlalu begitu saja dari sana.
Tidak lama kemudian, telfon di meja Jelang berbunyi. Tanpa menunggu lama Jelang langsung mengangkatnya, di sebrang sana sudah terdengar suara Hellen yang sedikit panik saat berbicara dengannya.
“Mas Jelang, ini gawat banget. Kami baru dapat laporan kalau bekas pabrik tempat kemarin Mas Jelang ketemu sama kurir dari bandar narkoba itu kebakar habis, sekarang pemadam kebakaran masih berusaha padamin apinya.” jelas Hellen.
“Kebakaran?” Jelang meremas tangannya kencang, ia yakin ini ada yang tidak beres. “Gue ke sana sekarang!”
Jelang langsung menutup telfon itu dan memakai jaketnya, Pak Wira yang sedang berada di kursinya sampai berdiri melihat Jelang yang tampak terburu-buru itu.
“Ada apa, Lang?” tanya Pak Wira.
“Bekas pabrik tempat transaksi narkoba kebakar, Pak. Ini ada yang enggak beres, makanya saya harus ke sana,” jelas Jelang.
“Kita ke sana sekarang!”
Setelah mengabari Davin untuk segera ke lokasi pabrik, jelang di temani Pak Wira dan anggota lainya langsung bergegas menuju lokasi kebakaran. Jelang belum cerita kalau kemarin ia melakukan penyamaran ke sana, Jelang merasa ia belum mendapatkan hasil apa-apa makanya ia belum bisa bercerita.
Di jalan hari ini begitu padat, emosi Jelang yang sudah menggebu-gebu itu semakin tidak terkendali saat menyetir. Beberapa kali ia menekan klakson mobilnya kencang hingga kendaraan yang berada di depannya menyingkir.
“Arrghgg!! Brengsekk!” pekik Jelang.
“Lang, tenang. Kamu gak bisa emosi kaya gini, ini sudah jam pulang kantor. di jam segini memang wajar terjadi kemacetan.” kata Pak Wira menenangkan Jelang, saking takutnya Pak Wira sampai berpegangan pada handle yang berada di atas kepalanya.
“Saya udah nyalain sirene, Pak. Seharusnya mereka paham kalau ini keadaan genting!”
Pak Wira yang mendengar nada tinggi dari juniornya itu malah menciut, Jelang memang tegas dan emosian di waktu yang bersamaan. Pak Wira sudah terlalu paham dengan watak laki-laki itu.
Sore ini Ardi dan Stella baru saja menyelesaikan visum et repertum mereka, untuk mencari tahu penyebab kematian wanita yang masih menjadi benang merah sindikat jual beli organ.
Stella lega, berkat Ardi kasus ini terpecahkan. Ardi memang lebih senior dari pada Stella, makanya Stella sering sekali meminta bantuan cowok itu apalagi untuk di mintai pendapat lain.
“Di?” panggil Stella, mereka berada di lift yang sama untuk sampai ke ruangan masing-masing, ruang autopsi itu ada di lantai tiga sedangkan ruangan mereka ada di lantai dua.
Ardi tidak menjawab, ia hanya menoleh sebentar. Stella ngerasa memang ada yang aneh dengan Ardi, cowok itu lebih pendiam dari pada biasanya.
“thanks yah.”
“Lo udah ngomong itu tadi, La.” jawab Ardi dengan senyuman hangatnya.
“Iya, gapapa mau bilang makasih aja lagi. Kalo bukan karna lo, mungkin gue belum bisa bikin hasil autopsi nya hari ini.”
Ardi mengangguk, ia masih merasa canggung dengan Stella. Hatinya masih belum terima jika saat ini Stella sudah berstatus Istri dari laki-laki lain. Namun, Ardi ngerasa ia harus minta maaf karena tidak bisa hadir di hari pernikahan Stella dan soal penyerangan Stella malam itu.
Mereka belum mengobrol banyak dari kemarin karena sibuk, setelah melakukan autopsi kemarin dan meminta pendapat Ardi. Laki-laki itu langsung bergegas pergi dari gedung BFN untuk menjelaskan hasil autopsi kasus miliknya pada jaksa.
“La?” panggil Ardi yang membuat Stella menoleh ke arah laki-laki itu, mereka sudah berada di depan ruangan masing-masing. “Hhm.. Boleh ke ruangan gue dulu sebentar gak?”
Stella mengangguk dan mengekori Ardi dari belakang, Ardi menyuruh Stella untuk duduk sebentar sementara Ardi mengambil hadiah pernikahan untuk Stella dari lokernya.
“Apa nih?” tanya Stella waktu Ardi ngasih amplop berwarna putih padanya.
“Tiket honeymoon ke Lombok. Buat lo sama..” Ardi diam sebentar, rasanya tidak nyaman menyebutkan nama laki-laki itu. “Ipda Jelang,” lanjutnya.
“Aaahhhh gila lo baik banget sih, Di.” Stella tersenyum lebar, ia membuka amplop itu dan semakin terkejut ketika Ardi memesan hotel mewah di sana untuknya dan Jelang.
“Sumpah, Di. Ini tuh hotel mahal loh?” pekik Stella.
“Sebagai hadiah, sekaligus permintaan maaf gue karena gak bisa hadir di acara nikahan lo.”
Stella menyimpan tiket itu ke dalam sakunya, ia menghela nafasnya pelan karena melihat perubahan wajah Ardi yang drastis. Stella sempat dapat kabar dari Verra jika Ardi sedang dalam proses perceraiannya.
“Gapapa, Di. Gue paham kok,” Stella menepuk-nepuk pundak Ardi, ia turut sedih dengan berita itu.
“Gue.. Berusaha buat dapat hak asuh itu, La.”
“Lo pasti bisa, Di.”
Ardi tersenyum getir, ia yakin pengacaranya mampu membantunya. Yang ia tidak yakin justru, apakah anaknya mau ikut dengannya nanti jika hak asuh itu jatuh ke tangannya, mengingat mantan Istrinya itu sudah mendoktrin putri mereka agar membenci Ardi.
“Sebelum hari persidangan, gue sempet ketemu sama anak gue, La. Tapi hari itu dia gak mau gue pegang. Bahkan ngeliat gue pun dia enggak mau, gue yakin udah ada orang yang pengaruhi dia supaya benci sama gue.”
Saat Ardi menoleh ke arah Stella, kedua mata laki-laki itu memerah. Ardi ingat sekali bagaimana putri kecilnya itu menepis tangannya ketika Ardi hendak memeluk.
“Lo harus bisa ambil hatinya lagi, Di. Ini bakal mudah kalau hak asuhnya jatuh di tangan lo. Sebelumnya juga Abel dekat sama lo kan?”
Ardi mengangguk, “doain gue ya, La.”
“Um, pasti.”
“La, soal kasus penyerangan—”
“Ahh,” Stella mengangguk, dia gak nyangka kalau Ardi udah tahu soal penyeranganya malam itu. “Kasusnya udah di pegang sama Ipda Hema, gue juga gapapa, Di. Gue cuma perlu ngasih kesaksian aja nanti di persidangan sebagai korban.”
Ardi mengangguk, namun tanganya terulur menarik tangan Stella dan mengenggamnya. Ardi benar-benar khawatir saat tahu soal penyerangan itu, pasalnya Stella di serang saat ia sedang sendirian dan ini penyerangan pertama yang Stella dapatkan, biasanya ia dan tim forensik lainya hanya mendapatkan ancaman saja.
“Gue khawatir banget, La. Gue takut lo kenapa-kenapa,” ucap Ardi dengan tatapan khawatirnya itu.
Namun perlakuan Ardi barusan membuat Stella tidak nyaman, jadi, di tariknya tanganya itu dari genggaman tangan Ardi.
“Di, sorry,” ucap Stella.
Mereka sempat canggung beberapa saat, sampai akhirnya Stella memutuskan berpamitan untuk kembali ke ruanganya.
“Gue balik ke ruangan gue dulu yah, Di. Sekali lagi, thanks.“
Setelah mengatakan itu Stella langsung keluar begitu saja, menyisakan Ardi yang masih terteguh di tempatnya menatap punggung Stella yang hilang dari balik pintu. Ardi menyeringai, namun sedetik kemudian ia tersenyum getir penuh kekalahan.
Hatinya merasa sakit mendapatkan penolakan seperti tadi oleh Stella, sampai Ardi enggak sadar kalau tanganya mengepal kuat.