Miracle

“Ganteng anak Ibu,” ucap Ibu begitu selesai merapihkan kemeja yang di pake Jelang.

Pagi ini Ibu, Bapak dan Jelang akan datang ke rumah Stella untuk melamar Stella. Ibu dan Bapaknya begitu tampak bahagia karena kabar pernikahannya yang terlalu mendadak ini, namun dalam hati Jelang. Ia merasa sedikit bersalah, pasalnya pernikahan ini ada karena Jelang merasa tidak nyaman selalu di desak setiap hari nya.

Jika di tanya bagaimana perasaanya dengan Stella, itu hanya rahasia bagi Jelang. Enggak ada yang tahu kalau selama ini Jelang menyimpan rasa pada perempuan itu dan ia tutup rapat sendiri, Jelang hanya tahu kalau Stella hanya menganggapnya sebagai seorang teman.

“Dari dulu kali, Buk.” Jelang terkekeh, ia sempat menatap cermin nya dahulu untuk memastikan dirinya sendiri.

Kemudian ia mengambil kunci mobil dan langsung bergegas ke rumah Stella, semua di siapkan dengan cara yang sederhana. Stella dan Jelang juga sudah membicarakan soal pernikahan mereka, Stella mau pernikahan hanya di gelar untuk keluarga saja. Jelang juga sudah bilang ke Stella bahwa ia tetap ingin mengadakan resepsi, namun setelah ia menyelesaikan kasus besar yang ia pegang dulu.

“Cantik amat, tumben lo gak pake celana jeans sama jaket boomber,” cibirnya. Jujur Stella cantik sekali mengenakan kebaya dan kain dengan rambut yang di bentuk dengan gaya messy bun.

“Ya kali acara lamaran begini gue pake baju kaya gitu.” Stella melirik Jelang dengan sebal, tangannya juga diam-diam mencubit lengan Jelang dari samping sambil sesekali ia tersenyum ke kedua orang tua nya dan Jelang.

“Jadi, maksud kedatangan kami, orang tua dari Jelang Niskala ini untuk, melamar putri Ibu dan Bapak yang bernama Stella Anindya,” ucap Bapak.

Acara lamaran itu pun berlangsung cukup panjang, setelah selesai melamar, Ibu dan Bapaknya Jelang sempat berbincang tentang mereka yang juga sedikit terkejut waktu Jelang bilang mau menikah.

“Eh tapi kamu yakin, Lang, La? Mau menikah hanya akad saja dan cuma di hadiri keluarga aja?” tanya Ibunya Stella, Ibu sama sekali tidak masalah dengan pilihan putri dan calon menantunya itu. Ibu hanya ingin memastikan saja.

“Ekhem, Iya, Buk. Stella sama Jelang udah sepakat mau nunda resepsi sampai Jelang selesai sama kasus yang lagi dia pegang,” jelas Stella.

“Setelah kasusnya selesai, Jelang janji kita bisa gelar resepsi kok, Buk, Pak,” Jelang ikut menimpali.

Orang tua keduanya hanya bisa mengangguk setuju, toh anak-anak mereka sudah dewasa. Sudah tau mana yang harus di dahulukan. Orang tua Jelang dan Stella ini bukan tipe orang tua yang banyak menuntut anaknya, selama itu menjadi pilihan baik. Mereka akan ikut mendukungnya.

Lagi pula Jelang dan Stella sama-sama memegang peran penting di bidangnya, terutama Jelang. Jelang belum bisa mengambil cuti dalam waktu dekat ini karena ada banyak kasus yang menunggunya.

Orang tua keduanya masih berbincang di ruang tamu, sementara Stella mengajak Jelang keluar untuk duduk di depan toko mie ayam Ibunya.

“Es nih biar seger,” Stella memberikan satu es krim rasa semangka itu ke Jelang.

“Kemarin gimana? sorry ya, La. Gue gak bisa bantu pilih, tapi gue yakin pilihan rumah lo buat kita tinggal pasti bagus kok.”

Kemarin Stella sempat melihat-lihat rumah yang Jelang berikan fotonya ke Stella, menelfon satu persatu pemiliknya untuk menanyakan perihal detail rumah yang di jual. Stella melakukan itu sendiri karena Jelang masih bertugas di luar, Stella enggak masalah dengan itu, namun Jelang merasa bersalah.

“Santai aja kali, Lang. Ah, Iya.” Stella mengeluarkan ponselnya dan menunjukan sebuah rumah, dengan design minimalis berwarna cream itu. Masih bangunan baru karena pemiliknya baru merenovasi rumahnya sebelum di jual.

“Gue naksir yang ini, ya emang kecil sih. Cuma ada dua kamar tidur, ruang tamu, 2 kamar mandi, dapur sama laundry room ah iya,” Stella menggeser layar ponselnya dan menunjukan foto taman kecil yang terletak di belakang rumah itu. “Ada taman kecil di belakangnya.”

“Bagus,” Jelang mengangguk. “Besok kita survey bareng. Letaknya juga gak jauh dari BFN kan lo bisa lebih gampang kalo kerja.”

“Besok lo bisa?”

“Besok seharian gue di luar sama Davin. Lo gimana?”

Stella menarik nafasnya dalam lalu ia hembuskan perlahan, “setelah gue nyelesain satu autopsi bisa.”

“Besok gue jemput.”

“Gak usah, besok kita ketemuan di sana aja. Gue besok bawa mobil kok,” ucap Stella sembari menepuk pundak Jelang. Kemudian ia menumpukan lengannya di pundak itu dan melanjutkan makan es krim nya. Di tempatnya Jelang cuma bisa terkekeh sembari melihat Stella yang masih asik memakan es krim nya.


Di sebuah lapas yang siang itu tampak ramai dengan deretan mobil mewah dan pria berseragam hitam itu berjejer, sementara itu tahanan dengan nomer 1225 itu keluar di antar oleh sipir ke sebuah ruangan, di sana sudah ada pengacaranya, jaksa serta kepala lapas yang menatapnya penuh rasa hormat.

“Lagi pula, tidak rekaman CCTV di gedung itu karena rusak. Tidak ada bukti kuat untuk menahan klien saya ini, hanya karena Pak Dion adalah orang terakhir yang di temui Ibu Dianna. Soal stick golf itu, saya sudah jelaskan kalau itu stick lama dan kami sendiri enggak tahu dari mana asal noda darah itu, karena stick itu di berikan oleh rekan Pak Dion,” jelas seorang pengacara yang duduk di sebelah tahanan itu. Pengacara itu memberikan jas hitam dan memakaikannya ke klien nya itu.

“Saya paham, Pak.” jelas jaksa yang duduk tepat di depan pria berwajah angkuh itu.

Namanya Dion Wiranto, seorang pengusaha kaya dan politikus yang menjadi terdakwa pembunuhan, seorang wanita berumur 37 tahun di penthouse miliknya. Jelang bukan asal tuduh waktu itu, dari laporan yang dia dapat dari keluarga korban dan rekaman CCTV di ambil dari apartemen korban, korban memang pergi di jemput oleh pria bernama Dion itu.

Dan selanjutnya Jelang mendapat rekaman keduanya masuk ke gedung penthouse milik pria itu dari rekaman dasboard seorang penghuni gedung lainya, tidak ada rekaman dari lorong, lift hingga penthouse milik pria itu karena seseorang telah merusaknya.

Dan dugaan pembunuhan itu semakin kuat karena adanya bercak darah dari stick golf di penthouse terdakwa dan sidik jari dari tubuh korban.

Namun, terdakwa beralibi jika ia memang sempat bertemu dan bersentuhan dengan korban. Namun setelah itu mereka berpisah dan terdakwa tidak tahu korban pergi ke mana. Sementara itu tubuh korban di temukan di sebuah mobil, di basement tanpa CCTV di sebuah mall sudah dalam keadaan tidak bernyawa dengan kondisi kening berlumuran darah dan luka tusuk di pinggangnya.

Akibat dari penangkapan dan juga kasus perselingkuhan terdakwa dengan korban, istri pria itu mengajukan gugatan cerai di hari yang sama saat korban di tangkap di penthouse miliknya.

“Siapa nama penyidik yang kemarin menahan saya?” tanyanya seiring dengan kepulan asap yang ia hembuskan dari sela bibirnya.

“Jelang, Pak. Jelang Niskala. Dia memang di kenal gigih dalam menyelesaikan kasus, yah.. Meski kadang sikapnya suka gegabah dan sedikit arogan.” ucap Jaksa yang berada di depannya itu.

Pria angkuh bernama Dion itu hanya tersenyum, mengangguk-anggukan kepalanya sembari menikmati se puntung rokok di sela jarinya. Ia masih ingat sekali wajah laki-laki bernama Jelang itu, bagaimana caranya memborgol tangannya hingga menginterogasi dan membeberkan semua barang bukti di ruang interogasi.

Setelah berganti baju dari baju tahanan menjadi kemeja biru di balut dengan jas hitam, pria angkuh bernama Dion itu bergegas meninggalkan lapas yang menjadi tempat penahanannya selama dua minggu.

Di dalam mobil yang membawanya, ia membaca profil Jelang yang di dapat dari pengacara sekaligus sekretarisnya itu. Sesekali ia terkekeh meremehkan kemampuan Jelang dalam menangani kasus yang melibatkannya. Ia merasa terusik dengan adanya Jelang.

“Apa kabar terbarunya?” ucap pria itu.

“Dia akan segera menikah, Pak. Minggu depan.”

“Menikah?” pria itu menatap sekretarisnya dari kaca spion yang berada di kursi depan.

“Dengan seorang Dokter forensik yang mengautopsi Dianna.”

Pria itu menyeringai, dua orang yang mengusiknya akan segera menikah. “Awasi dia, saya tau kabar saya bebas akan sampai ke telinganya.”

“Baik, Pak.”

To Be Continue