Miracle (O2)
Setelah merapalkan doa sebelum memulai autopsi, Stella sudah bisa membuka kain yang menutupi jenazah di depan nya. Pagi ini ia di minta mengautopsi seorang wanita berusia 33 tahun, yang di temukan tewas di rumahnya dengan sekujur tubuh yang lebam.
Ini bukan kasus yang di pegang Jelang, tapi kasus yang di pegang oleh penyidik lain. Dugaan kuat saat ini adalah suami korban yang sering melakukan kekerasan.
“Autopsi akan di mulai jam 09:30 pagi,” ucap Stella, ia kemudian membuka kain penutup itu untuk menelisik seluruh tubuh korban.
Sementara tim forensik lainya, bertugas untuk mencatat dan memotret keadaan tubuh korban. Stella sempat memeriksa bagian luar tubuh korban dulu, mulai dari membuka kelopak mata, membuka mulut, hidung, serta selinga korban.
“Forceps.” Begitu Stella membuka bibir dalam korban, bagian dalamnya sudah berubah menjadi warna merah.
Stella di bantu oleh asistenya kemudian membalikan tubuh korban untuk memeriksa bagian belakang tubuhnya. Begitu tubuh korban di balik, Stella sedikit menyerengit. Banyak lebam kehitaman dan merah di sekujur tubuh bagian belakangnya.
“Banyak kanstusio, ini adalah pendarahan di dalam jaringan kulit,” jelas Stella, matanya melihat ke arah kaca pembatas agar penyidik mengerti ucapanya.
Sementara itu tim forensik lainya mencatat apa yang di ucapkan Stella barusan.
“rigor mortis di tangan kananya, banyak material yang di temukan di bawah kuku jarinya.” Sembari memeriksa, Stella mengambil sampel dari material yang di temukan di kuku korban dan memberikanya ke asistenya yang lain.
“Pendarahan hipodermal pada bagian ke 25, 2,6cm x 6cm, vertikal.”
Setelah memeriksa bagian belakangnya, Stella menyuruh asistenya yang lain untuk melakukan CT scan direkonstruksi menjadi kerangka 3 dimensi.
Setelah siap, ia kembali untuk memeriksa kerangka jenazah melalu CT scan. Begitu mengetahui keanehan di dalam tubuh korban, Stella baru bisa melakukan pembedahan tubuh bagian depan, Terutama di bagian dada sebelah kanan.
“Retakan pada tulang rusuk ke empat bahu kirinya, pukulan itu berasal dari belakang.” Stella berhenti sebentar, ia harus memeriksa sesuatu dari asistenya. “Vel, apa kita dapat daftar obat?”
“Iya, dok,” ucap Vellin, wanita yang sedang mencatat apa yang di ucapkan Stella itu jadi berhenti sebentar.
Vellin mengambil berkas dari kepolisian, berisi daftar obat dan bukti yang di temukan di rumah korban.
“Warfarin¹..” Gumam Stella, matanya kembali membaca sederatan obat yang ada di berkas itu.
Setelah memastikan obat-obatan itu, Stella mulai membuka tulang rusuk korban agar bisa memeriksa organ bagian dalamnya, Stella mengambil hati korban untuk kemudian ia timbang.
“Berat hatinya 326 gram,” ucapnya. “Korban pernah menjalani operasi katup prostetik.”
“Pisau bedah,” ucapnya lagi, tidak lama kemudian Vellin mengambil pisau bedah dan di berikanya pada Stella.
Stella ingin membuka isi lambung korban untuk mengetahui apa yang terakhir kali korban cerna, ini juga berfungsi untuk memeriksa zat beracun.
“Adanya obat-obatan, Vel, tolong setelah ini cek ini obat apa, ada indikasi beracun atau tidak.”
Setelah autopsi itu selesai dan Stella menjelaskan semua hasilnya pada penyidik barulah ia bisa bernafas lega. Sekarang tinggal ia memeriksa beberapa permintaan autopsi dari kepolisian lainya. Masih ada 2 autopsi hari ini yang harus ia pegang.
“Makan siangnya, La.” Ucap Vellin, gadis itu memberikan kotak makan siang untuk Stella yang masih sibuk di mejanya.
“thanks ya, Vel.”
“Sama-sama, masih banyak permintaan autopsi hari ini?” Tanya Vellin.
“Masih ada 2 lagi.”
Vellin mengangguk pelan, kemudian kedua wanita itu sedikit tersentak karena dari luar ruangan pintu berbahan dasar kaca itu di ketuk oleh seseorang.
Itu Jelang ternyata, cowok itu datang untuk menemui Stella di sela-sela kesibukanya.
“Gue tinggal sebentar yah,” ucap Stella pada Vellin, ia kemudian langsung keluar dari sana dan mengajak Jelang untuk ke taman depan gedung Badan Forensik Nasional.
“Gimana lo udah bilang sama orang tua lo, La?” Tanya Jelang to the point.
“Belum, rencana nya nanti setelah gue balik. Lo sendiri?”
Jelang mengangguk, “mereka kaya kaget enggak kaget sih, tapi seneng banget. Ah, Iya. Mendingan gue lamar lo sekalian aja deh, bawa orang tua gue juga. Besok gimana?”
Stella terkekeh, masih menjadi lelucon baginya mendengar soal pernikahanya dengan Jelang. Pernikahan yang saling menguntungkan, Stella hanya mengidamkan sebuah rumah dan seperti keajaiban Jelang akan membantu apa yang ia inginkan hanya dengan menikah denganya.
“Lo bukanya lagi sibuk? Katanya masih nyari tau soal kasus bandar narkoba itu?”
“Masih di pantau sama Hellen, gue juga masih nunggu laporan dari Araska. Gak semudah itu mancing mereka, La. Jadi gimana?”
Stella mengangguk pelan, “oke, nanti malam gue ngomong ke orang tua gue kalo besok orang tua lo mau dateng.”
“Ahh iya, gue ada tugas buat lo.”
“Apaan lagi?”
Jelang kemudian mengeluarkan ponselnya, laki-laki itu menunjukan foto-foto rumah pada Stella. “Lo pilih mau rumah yang mana, nanti hubungin nomer nya ke sini.”
“Rumah kita?” Tanya Stella.
Saat Stella berbicara seperti itu, Jelang sempat terdiam sebentar. Bibirnya tertarik membentuk sebuah senyum tipis ketika mendengar Stella menyebut 'rumah kita' rasanya seperti dirinya dan Stella jadi satu.
“Hm,” angguknya. “Kalo lo setuju, setelah lamaran kita bisa survey. Kalo lo suka, bisa kita bayar full. Gue udah bilang sama orang kantor kalo kita mau nikah, terus Pak Hadi bilang kalo tunjangan pernikahan gue bisa cair setelah kita nikah.”
“Oke.” Stella mengangguk kecil, saat ia akan hendak membeli minuman untuknya dan Jelang, tiba-tiba saja matanya menangkap ada luka goresan di leher Jelang. Luka itu masih baru, dan sepertinya belum ia obati. Jelang sering sekali mendapat luka saat tengah menjalani tugasnya, dan sering kali ia anggap sepele luka-luka itu.
“Lang, lo luka gini gak kerasa? Mati rasa apa gimana sih sampe enggak di obatin?” Stella memegang luka itu, dan sontak membuat Jelang menyerengit.
“Belum sempet.”
“Ini kenapa?”
“Kena pisau pas gue mau bebasin anak SMA yang di culik,” jawab Jelang enteng, seolah-olah itu bukan suatu hal yang besar dan harus di khawatirkan.
Stella hanya bisa menghela nafasnya pelan. “Tunggu disini, gue obatin.”
Jelang hanya mengangguk, ia tetap duduk di tempatnya berada. Menunggu Stella kembali sembari sesekali memikirkan kehidupan mereka ketika sudah menikah nanti. Tidak lama kemudian Stella kembali, membawa kotak obat dan dua minuman kaleng untuk mereka.
“Lo tuh kalo ada luka kaya gini di obatin, kalo infeksi gimana? Nyawa lo tuh ada berapa sih?” Omel Stella, ia dengan telaten membersihkan luka itu dulu sebelum ia oleskan dengan salep dan di tutup dengan plester.
“Banyak kayanya, ini buktinya gue masih hidup walau udah sering mau di tikam,” ucap Jelang sembari terkekeh. “Aahhh anjir sakit, La.”
Tidak lama kemudian Stella menendang kaki Jelang, ia benci kalau Jelang udah tengil kaya gini.
“Awas aja yah lo sampe berakhir di meja gue!”
Malamnya Stella memberanikan diri untuk berbicara pada orang tua nya lebih dulu, di rumah hanya ada Ibu, Ibu sedang sibuk menyiapkan sayuran dan beberapa ayam untuk toko mie ayamnya itu.
“Buk,” panggil Stella, gadis itu duduk di depan Ibu nya yang sedang sibuk memilah sayuran.
“Udah makan kamu, La?”
“Udah.”
Ibu kemudian berhenti sebentar, memperhatikan wajah anak satu-satunya itu yang terlihat sedang bingung. Seperti ada sesuatu yang ingin Stella katakan namun masih ia tahan. Stella itu adalah anak perempuan yang meniru dirinya sewaktu muda, dulu, Stella ingin masuk ke kepolisian. Namun sayang nya ia tidak lolos karena ia pernah mengalami kecelakaan di kelas sepuluh yang ber akibat pada kakinya.
Ligment kaki kiri Stella robek, ia tidak bisa berlari cepat dan akan sering merasakan ngilu.
“Mau ngomong apa kamu, La?”
“Stella mau menikah, Buk.” Ucap Stella to the point.
“Nikah?”
Stella mengangguk.
“Sama siapa?”
“Sama Jelang.”
“Jelang?” Ibu menghela nafasnya pelan, sudah Ibu duga kalau putri satu-satunya itu memang menjalin hubungan dengan Jelang. Ya, walau tidak terlihat seperti pasangan kekasih pada umumnya.
“Ibu ngerestuin gak kalau Stella nikah sama Jelang?”
“Ya kamu sayang gak sama dia?”
Mendapat pertanyaan seperti itu, Stella jadi terdiam. Alih-alih menjawab, ia justru bertanya pada dirinya sendiri tentang bagaimana perasaanya pada Jelang.
“Kalau sayang, menikah. Ibu cuma gak mau kamu salah pilihan dan berakhir adu mulut terus kaya Ibu sama Bapak. Lagi pula, Ibu lihat-lihat Jelang baik kok.”
“Jadi Ibu ngerestuin?”
Ibu menatap Stella, kemudian mengangguk dan tersenyum kecil. Toh Ibu sudah mengenal Jelang, anak itu sering main ke rumahnya dulu.
“Makasih ya, Bu...” Ucap Stella, ia berdiri dan memeluk Ibunya dari samping.
“Kapan Jelang mau ke sini sama orang tua nya buat ngelamar kamu?”
“Besok. Rencananya, kami mau menikah minggu depan. Lebih cepat lebih baik, Buk.”
“Besok?!” Pekik Ibu, yang di balas anggukan kecil oleh Stella. “La, kamu gak hamil kan?”
***
warfarin¹: Warfarin merupakan senyawa antagonis vitamin K dari kelas enantiomer yang pertama kali dipasarkan sebagai bahan terapi anti-koagulan sejak tahun 1954.