News And Heartbreak

Lelaki jangkung itu memasuki ruangannya setelah selesai melakukan autopsi siang ini, masih ada 2 autopsi lagi yang menunggu, namun ini sudah memasuki jam makan siang dan perutnya juga terasa keroncongan. Jadi ia memutuskan untuk makan siang lebih dulu.

Sebelum bergegas keluar untuk ke kafetaria, ia duduk dulu di kursinya. Ponsel yang ia taruh di meja nya itu bergetar dan menampakan nama orang terkasihnya di sana. Itu dari Istrinya, Istri yang sudah 6 bulan ini tidak tinggal bersama nya.

Setelah membaca sederet pesan itu, ia menyandarkan punggungnya di kursi. Sembari memejamkan matanya sebentar, namanya Galuh Patih Ardi, dia adalah dokter forensik yang bekerja di BFN. Ardi sudah menikah dan memiliki 1 orang anak perempuan berumur 3 tahun.

Namun sayang, sepertinya pernikahan yang baru ia jalin selama 4 tahun itu harus kandas sebentar lagi, barusan Istrinya mengirimkan file berisi gugatan perceraian mereka. Ardi sudah tidak kaget lagi dengan itu, ia sudah tahu dan sudah membicarakan ini semua dari awal.

Ardi pikir hidup dalam pernikahan yang tidak di restui oleh kedua belah pihak keluarga tidak akan serumit ini, ternyata ia salah. Ini jauh lebih sulit dari yang ia bayangkan, awal nya Ardi masih gigih untuk bertahan apalagi dengan makian orang tua dari Istrinya. Namun lama kelamaan, ia merasa lelah.

Belum lagi Ardi yang akhirnya tahu jika setelah anak mereka lahir, Istrinya itu dekat dengan laki-laki lain. Itu menambah pikiran dan hatinya yang mulai goyah, sampai akhirnya Ardi meninggalkan rumah dan putri kecil mereka.

“dokter Ardi gak makan siang?” tanya Seorang asisten forensik yang kebetulan masuk ke ruanganya.

“Ini mau makan siang, ah iya, ngomong-ngomong dokter Stella kemana? Saya enggak liat dia hari ini.”

“dokter Stella lagi keluar, Dok. Katanya ada urusan sebentar, nanti setelah jam makan siang dia balik kok.”

Ardi mengangguk, akhirnya ia memutuskan untuk makan siang lebih dulu. Kafetaria yang ada di BFN hari ini agak sedikit ramai, tapi Ardi lebih memilih untuk makan sendirian di pojok kafetaria alih-alih bergabung dengan rekan-rekanya yang lain. Ia harus menenangkan hatinya dulu.

Biasanya saat sedang resah seperti ini, Ardi akan bercerita dengan Stella. Mungkin nanti Ardi akan menceritakan itu dengan Stella. Setelah badai rumah tangga yang di laluinya, ia mengenal Stella. Perempuan yang tangguh yang selalu menjadi pelipur lara nya akhir-akhir ini.

Katakan ia memang perasa, karena merasa Stella selalu ada untuknya. Perasaan untuk gadis itu tumbuh begitu saja, rencananya setelah perceraiannya dengan mantan Istrinya itu selesai, Ardi berniat ingin menyatakan perasaanya dengan Stella.

Urusan nanti jika Stella menolaknya, pernah dulu Ardi tanya apa Stella pernah memiliki hubungan dengan orang lain sebelumnya, dan Stella menjawab jika ia tidak punya hubungan sebelumnya. Hidup Stella hanya di sibukan dengan belajar dan bekerja keras selama ini.

Sedang asik memikirkan perempuan yang ia sukai, tidak di sangka jika sosok itu muncul di hadapanya. Stella dengan rambut panjangnya yang selalu ia ikat, Stella cantik namun tidak begitu memperdulikan penampilanya.

“Parah-parah, pada makan gue gak di tungguin,” Stella menggelengkan kepalanya, seolah-olah ia kecewa karena Ardi makan lebih dulu tanpa menunggu dirinya.

Ardi hanya terkekeh, apalagi melihat nampan dengan isian lauk dan nasi yang lebih banyak dari porsi dirinya. Stella memang makan lebih banyak, dia bilang kalau pekerjaan mereka lebih membutuhkan banyak pikiran dan itu sangat menguras energinya sehingga membuat dirinya jadi mudah lapar.

“Lo abis dari mana aja emang? Kita ada autopsi juga.” timpal Ardi.

“Gue abis survey rumah.”

“Rumah? Mau pindah lo?”

Stella hanya mengangguk sembari sesekali tersenyum saat makanan masuk ke dalam mulutnya, kadang Ardi berpikir jika Stella cocok menjadi pembawa acara kuliner ketimbang bekerja di forensik. Ardi ingin mengambil ikan goreng miliknya dan menaruhnya di piring Stella, namun gerakanya itu tertahan ketika Stella menatapnya dengan wajah berbinar.

“Di, gue mau nikah,” ucapnya tiba-tiba.

Ardi akhirnya mengurungkan niatnya itu, tenggorokanya tercekat waktu dengar Stella bilang ia akan menikah. Rasanya ia ingin menyangkal, berharap ia salah mendengar, ah tapi tidak, itu terlalu jelas karena Stella berada di depanya.

“Um, sama siapa?”

“Lo kenal Jelang kan?”

Jelang? Laki-laki tengil, emosian dan semaunya sendiri itu? Apa ia tidak salah dengar? Pikir Ardi.

Bagaimana ia tidak kenal dengan Jelang, si Penyidik yang sudah meragukan kemampuanya sampai-sampai ia dan tim forensik lainya harus membuat percobaan demi meyakinkan peryataanya. Percobaan itu memerlukan waktu seharian sampai akhirnya Jelang menyaksikan sendiri dan yakin atas ucapanya.

“Si Polisi rese itu? Lo yakin sama dia, La?”

Rasanya nafsu makan Ardi siang ini sudah lenyap begitu saja, baginya siang ini ia terus mendapat kabar buruk. Oh, bukan cuma nafsu makannya saja yang lenyap. Tapi semangat untuk melanjutkan pekerjaannya hari ini juga ikut lenyap.

“Jelang tuh temen gue dari SMA, Di. Dia baik, ya kalo di pikir-pikir cowok yang deket sama gue ya cuma dia. Makanya pas dia ngajak nikah, ya langsung gue iyain aja,” jelasnya dengan mata berbinar. Stella menjelaskanya terlalu gamblang dengan bagaimana laki-laki itu mengajaknya menikah.

Raut wajah dan matanya tidak bisa berbohong jika Stella bahagia dan jatuh cinta. Setelah makan siang, Ardi enggak melanjutkan pekerjaanya. Dia justru keluar dari gedung BFN untuk menenangkan pikiranya lebih dulu. Ardi berjalan ke coffee shop yang berada di sebrangnya, memesan kopi sembari melamun melihat ramainya lalu lintas siang itu.


“Hubungan Gladis sama Ibu nya baik kok, Pak. Yah memang, Gladis anak yang enggak terlalu banyak ngomong, anak itu pendiam. Sewaktu ada acara di hari Ibu, Gladis dan Ibu nya juga sangat kompak mengikuti lomba,” jelas wali kelas Gladis di SD tempatnya sekolah.

Jelang masih menyelidiki kasus tabrak lari yang saat ini ia curigai sebagai kasus penyiksaan anak, Jelang yakin ada motif di balik ini semua dan Jelang masih terus mencari tahunya.

“Di kelas ada CCTV kan, Buk? Bisa saya lihat CCTV di hari perlombaan itu?”

Wali kelas Gladis itu mengangguk, wanita itu akhirnya mencari file rekaman CCTV di hari perlombaan. Pada rekaman itu, tampak jelas Gladis menyuapi Ibu nya dengan mata yang di tutup kain. Gladis dan Ibu nya tampak akur dan dekat, tidak ada yang mencurigakan hari itu.

Jelang mengangguk pelan, setelah melihat rekaman itu. Ia akhirnya bergegas ke alamat kantor tempat Ibu korban bekerja. ia harus tahu pendapat tetangga dan rekan kerja Ibu korban, tadi pagi sebelum dari SD tempat korban sekolah, Jelang sempat mampir ke daerah rumah korban untuk memintai keterangan dari tetangga sekitar.

“Bu Dina sedang izin, Pak. Sudah 3 hari ini enggak masuk, katanya anaknya kecelakaan lagi. Tapi kemarin dia sempat ke kantor buat klaim asuransi,” jelas rekan kerja Ibu korban.

Kening Jelang mengernyit, “klaim asuransi? Asuransi apa?”

“Jadi kantor memfasilitasi asuransi kecelakaan untuk pegawai dan anaknya, kebetulan asuransi nya Gladis di klaim kemarin dari hasil rekam medisnya katanya luka dan cidera nya lumayan parah sampai harus operasi. Makanya kantor lagi proses pencairannya secepatnya.”

Dan bagai menemui titik terang, Jelang akhirnya bisa tahu motif dari Ibu korban. Kini semua bukti yang ia kumpulkan tinggal ia beberkan semua saat di ruang interogasi nanti.

Setelah menelfon Davin untuk membawa Ibu korban ke ruang interogasi, Jelang menjelaskan sandiwara yang nantinya akan membuat Ibu korban mengaku dengan sendirinya.

Sementara itu, Jelang menuju ke kantor polisi tempatnya bekerja, di perjalanan ia sempat mendengarkan percakapan antara Davin dan Ibu korban melalui earphone nya. Ibu korban terus beralibi padahal Davin sudah memberikan peryataan yang membuatnya mau mengaku.

Begitu sampai di kantor, ia mengumpukan semua bukti-buktinya dan ia bawa ke ruang interogasi. Itu semua adalah bukti rontgen, rekaman CCTV yang sudah di perjelas Hellen jika itu adalah Ibu korban yang menaruh korban di pinggir jalan, membuat sandiwara seolah-olah itu adalah kecelakaan.

Jelang juga sudah punya saksi jika pada malam sebelum jam yang di akui sebagai kecelakaan, tetangga korban sempat mendengar Gladis berteriak kesakitan dan menangis.

“Acting yang sangat bagus, tapi sayang. Ibu gak selamanya bisa terus beracting,” ucap Jelang begitu dia masuk ruang interogasi.

Ia duduk di kursi yang tadinya di pakai Davin, kemudian membuka amplop berlogo rumah sakit yang berisi foto rontgen Gladis.

“Sayangnya, itu bukan kasus tabrak lari seperti yang Ibu bicarakan. Ini penyiksaan anak.” Jelang memberikan foto rontgen itu.

“Bapak itu gak punya bukti, itu jelas-jelas kecelakaan!” sentaknya.

“Gladis dan foto-foto ini adalah buktinya, ah,” Jelang terkekeh “sebenarnya masih ada lagi.”

Tatapan mata yang tajam itu, menatap pelaku dengan tegas dengan rahang yang mengeras. “Ini, ada 16 patahan tulang yang sama. Patahan tulang ini bernilai jutaan, Ibu bisa pakai kecelakaan—ah maksud saya alibi kecelakaan ini sebagai klaim asuransi.”

Penjelasan Jelang barusan membuat pelaku terdiam, tidak ada penyangkalan lagi seperti tadi saat Davin menginterogasinya.

“Pa...Pak..ini semua salah paham, Gladis itu anak yang aktif, sampai-sampai dia sering jatuh dari sepeda dan beberapa kali terserempet motor. Apa saya salah kalau saya mau mengambil uang asuransi cideranya?”

Jelang mengangguk, “lalu gimana dengan ini?”

Davin memutar rekaman CCTV yang di ambil dari dashboard mobil ekspedisi yang sudah di perjelas oleh Hellen. Pelaku mulai ketakutan, terlihat dari bagaimana ia meremas tangannya sendiri di atas meja.

“Anda memukuli Gladis di malam sebelum jam yang anda akui kecelakaan, kemudian membawa Gladis ke tempat yang sepi tanpa CCTV dan menelfon polisi jika ada kecelakaan di daerah itu. Sepanjang acting yang Ibu lakukan, cuma ada 1 hal yang tulus. Menangis memohon pada dokter untuk menyelamatkan Gladis,” Jelang berhenti sebentar, ia menyeringai merasa puas melihat pelaku terintimidasi olehnya.

“Tapi sayangnya itu semua bukan untuk Gladis, tapi untuk pencairan uang asuransi kan?”

Dan tidak lama kemudian Davin mendapat telfon yang membuat raut wajahnya nampak sedih, setelah itu Davin membisikan sesuatu ke Jelang yang membuat Jelang menghela nafasnya berat dan semakin geram dengan Ibu korban.

“Tapi sayangnya uang asuransi itu tidak akan pernah cair, karena Gladis.”

Pelaku menatap Jelang dengan pandangan penuh khawatir, ia sudah ketahuan dan kalah telak dengan semua bukti-bukti yang di kumpulkan oleh penyidik.

“Ada apa sama Gladis?”

“Anak itu meninggal.” lanjut Jelang.

Di kursinya, Pelaku menangis dan beberapa kali menjerit saat mengetahui anak yang ia siksa demi asuransi itu meninggal dunia. Kasus ini pun memberatkan pelaku dan menambah hukumannya, setelah selesai melakukan interogasi. Jelang keluar dari sana, ia melajukan mobilnya menuju rumah sakit tempat anak itu meninggal.

Rasanya ingatan buruk itu kembali memenuhi kepalanya, kilasan masa lalu kelam yang pernah Jelang alami, membuat dadanya sesak sampai ia harus memukulnya beberapa kali demi meredakan rasa sesak itu.

To Be Continue