By Spring Seasonnn

Malam ini Ara sama Julian lagi nonton TV di ruang tengah, mereka baru saja selesai makan malam. Sebenarnya sejak makan tadi sembari mengobrol banyak hal pada Julian ada pertanyaan yang ingin sekali Ara tanyakan pada Suaminya itu, namun ia urung bertanya karena bingung harus memulainya dari mana.

TV yang menayangkan drama Korea kesukaan Ara itu rasanya enggak menarik lagi, pikirannya penuh menuntut akan jawaban dari siapa perempuan yang Kamila maksud. Di sebelah Julian, Ara melirik Suaminya itu hati-hati. Julian sedang fokus menonton, drama nya memang bergenre thriller makanya Julian mau nontonnya, kalau romantis sih dia biasanya ogah. Kata nya Julian ga tahan dengar Ara muji-muji aktor nya.

“Bang?” panggil Ara hati-hati.

“Hm?” Julian masih fokus menonton, dia enggak menatap wajah Istrinya itu.

Di tempatnya Ara mengulum bibirnya sendiri, kepalanya sibuk menata kata yang tepat agar tidak nampak sedang mencurigakan Julian. “Besok kamu gapapa datang sendiri ke ulang tahunnya Bella kan?”

Ya, mungkin Ara bisa mulai bertanya dari hal itu dulu. Baru nanti dia akan bertanya hal lain pada Julian, oiya besok Ara gak bisa nemenin Julian ke acara ulang tahun Bella anaknya Liliana. Besok Reno dan Karina akan ke Bandung mau jenguk Ara sekalian bawain titipan Bunda buat Ara sama Julian, makanya enggak enak kalau Reno sama Karina justru Ara tinggal.

“Gapapa, Bun. Kan ada anak-anak yang lain juga, oiya. Kadonya udah kamu bungkus kan?”

Ara mengangguk, “udah kok, ada di laci.”

Ara memejamkan matanya sebentar, rasanya dia bingung banget harus memulai dari mana. Julian ngerasa ada yg Ara tutup-tutupi darinya, ia menebak-nebak kenapa sifat Ara malam ini agak berbeda. Lebih banyak diam dan melamun.

“Bun? Kenapa sih?” tanya Julian.

“Apanya?”

“Ya kamu, aneh banget. Banyak diem, lagi ada yang di pikirin?” Julian mengubah posisi nya, ia menegapkan sedikit badannya karena agak sedikit pegal di senderin Ara melulu dari tadi.

“Gapapa,” Ara nunduk. Rasanya dia belum siap kalau nantinya Julian bohong, tapi hati kecilnya juga mengatakan dia percaya sama Suaminya itu. Julian enggak mungkin macam-macam.

“Gerak gerik kamu tuh aneh tau gak? Kenapa sih?” Julian membalikan badan Ara jadi menghadap ke arahnya, dia jadi bisa melihat jelas ada raut kebingungan di wajah Istrinya itu. “Ada apa?”

“Bang?”

“Ya, sayang?”

“Kamu akhir-akhir ini sempat main ke rumah siapa gitu?”

“Maksudnya?” Julian mengerutkan keningnya bingung.

“Iya, kemarin waktu aku habis dari klinik. Aku sempat ketemu Kamila, dia cerita ke aku dia sempat liat kamu di daerah rumah temannya. Kamu main ke rumah tetangga temannya itu, cewek?” Ara memelankan suaranya. “Ke rumah siapa, Bang?”

“Cewek?” Julian tampak berpikir sebentar, tapi tidak lama kemudian dia tersenyum. Dia ingat dia habis berkunjung ke rumah Kevin dan Yves. “Oh, itu aku abis main ke rumahnya Kevin sama Yves, kenapa emangnya? Kok Kamila gak manggil aku sih.”

Mendengar jawaban dari bibir Julian itu bikin perasaan Ara bukannya lega justru tambah enggak karuan, jawaban Julian dan cerita dari Kamila sama sekali enggak sinkron. Yves bukan seorang single parents dan lagi pula anaknya laki-laki bukan perempuan.

“Hmm..” Ara mengangguk-angguk, Ara masih mencoba berpikiran positif. Bisa saja Julian lupa, lagi pula Kamila bilang kan kalau dia melihatnya sudah lama.

“Kevin waktu itu nyuruh aku mampir, sayang. Ngambil oleh-oleh yang dia bawa dari Jepang, kan dia habis liburan sama Yves sama anaknya juga tuh. Kebetulan kan kantor aku sama rumahnya searah, emang sih Kevin nya lagi enggak ada. Tapi aku gak masuk ke dalam rumahnya kok, aku duduk di teras. Itu juga enggak lama,” jelas Julian.

“Iya, Bang.” Ara senyum kecil, biarlah nanti dia yang akan mencari tahu sendiri.

“Kita tidur yuk? Udah jam setengah sebelas, udah ngantuk belum kamu?”

Ara hanya mengangguk, rasanya pikirannya masih mengawang.

“Yuk, aku kunci pagar sama pintu depan dulu. Nanti aku nyusul,” Julian berdiri kemudian mengusap pucuk kepala Ara sebelum berjalan keluar untuk mengunci pagar rumah mereka.


Mobil yang Julian kendarai berhenti di depan pekarangan rumah Liliana, dia nampak agak sedikit bingung karena seperti tidak ada sebuah pesta di sana. Maksudnya, Liliana kan mengundang teman-teman di divisi nya. Masa iya tidak ada motor atau bahkan mobil mereka yang terparkir di depan rumah Liliana? Pikir Julian.

Sebelum turun, Julian sempat meriksa arlojinya dulu. Dia datang pun agak sedikit telat, lalu kenapa rasanya dia yang datang duluan?

“Mungkin pada ngaret kali ya?” gumam nya pada diri sendiri, Julian akhirnya melepas seat belt nya dan mengambil paper bag berisi hadiah untuk Bella di kursi sebelahnya dan beranjak turun dari sana.

Pintu rumah Liliana terbuka, di bagian depannya di hias dengan balon serta pernak pernik khas ulang tahun anak-anak. Sepi, menurut Julian untuk seukuran pesta ulang tahun anak-anak. Tidak ada teman-teman Bella yang di undang juga.

assalamualaikum?” karena pintu rumah Liliana enggak di tutup, Julian langsung mengucapkan salam.

Ternyata ada Bella yang sedang duduk di depan meja yang di atasnya berisi kue ulang tahun, minuman serta makanan-makanan. Begitu melihat Julian datang pun wajah anak itu cerah, dia langsung berlari menghampiri Julian dan memeluknya.

“PAPAAAAAA...” teriak Bella, bocah itu memeluk kaki Julian. Bella senang bukan main.

“Hai, Bella?” Julian jongkok, dia memeluk Bella sebentar sebelum akhirnya ia urai pelukan itu. “happy birthday ya, ini Paman bawain hadiah untuk Bella.”

Julian ngasih paper bag berisi hadiah untuk Bella, bocah itu langsung senyum sumringah dan sedetik kemudian memeluk leher Julian. “Makasih yah, Pah. Bella suka hadiahnya, Bella senang Papa datang, buat Bella, Papa itu udah jadi hadiah untuk ulang tahunnya Bella.”

Mendengar ucapan lirih dari bibir anak berumur 5 tahun itu, membuat hati Julian seakan di remas dari dalam. Tangannya tadi tidak membalas pelukan Bella, namun pada akhirnya Julian membalas pelukan Bella.

“Iya, sama-sama.”

Tidak lama kemudian, Liliana keluar dari dapur dan agak sedikit terkejut melihat seniornya itu sudah datang. Julian tengah memeluk Bella di depan pintu sana.

“Bella..” Liliana buru-buru menghampiri Bella dan menarik anaknya itu agar melepaskan pelukannya dari Julian. “Jangan kaya gitu, sayang.”

“Kenapa sih, Mah? Bella cuma mau peluk Papa.” Bella melihat ke arah Ibu nya itu, wajahnya sendu, waktu Liliana menariknya menjauh dari laki-laki yang ia yakini adalah Ayahnya.

“Bella masalahnya Paman Julian itu bukan—”

“Kita duduk di sana yuk? Ini pestanya belum di mulai ya? Kok baru saya aja yang datang, Li?” Julian mengalihkan pembicaraan, dia cuma gak mau membuat Bella sedih di hari ulang tahunnya. Biar lah Bella memanggilnya dengan sebutan Papa, Julian enggak keberatan sama sekali.

Mendengar pertanyaan dari Julian, Liliana jadi salah tingkah sendiri. Ia memang tidak mengundang siapa-siapa lagi selain Julian. Seperti permintaan Bella, dia hanya ingin ulang tahunnya di rayakan oleh Mama dan laki-laki yang ia yakini adalah Papa nya.

“Pak, kita bisa bicara sebentar di depan?” Liliana pikir dia harus jujur, dia butuh bantuan Julian untuk bersandiwara. Dia ingin Bella bahagia untuk hari ini saja.

Julian nampak bingung, namun pada akhirnya dia mengangguk.

“Bella, Mama butuh bicara dulu sama Paman ya, Bella tunggu disini sebentar.”

“Papa, Mah. Bukan Paman.” Bella mengoreksi.

“Iya, Papa.”

Setelah Bella duduk di sofa ruang tamu, Liliana menarik tangan Julian ke arah taman di belakang rumahnya. Dia enggak mau Bella mendengar rencana sandiwara nya dengan Julian.

“Pak, sebelumnya saya minta maaf sekali karena bikin Bapak bingung.” Liliana menunduk, ah iya, kalau boleh jujur dia agak sedikit senang mengetahui Julian datang sendirian. Sepertinya dewi fortuna memang sedang berpihak padanya di hari ulang tahun Bella ini.

“Maksudnya apa sih, Li? Kenapa yang lain belum pada datang?” tanya Julian.

“Pertama-tama, maaf saya bohong. Saya memang cuma mengundang Bapak aja, saya gak mengundang siapa-siapa lagi.”

Julian menghela nafasnya berat, “kenapa?”

“Itu karena keinginan Bella, Pak. Bella bilang ke saya kalau dia cuma ingin hari ulang tahunnya di rayakan sama saya dan Bapak aja, dia masih mempercayai kalau Pak Julian adalah Papa nya,” jelas Liliana.

Julian mengusap wajahnya gusar, pantas saja sudah hampir jam setengah delapan malam pun masih sepi. Tidak ada tamu lain yang datang selain dirinya. “Kenapa kamu harus bohongin saya, Li?”

“Maaf, Pak. Maaf sekali lagi, sejujurnya saya mau minta bantuan Pak Julian. Anggap lah ini semua bantuan yang terakhir kalinya saya minta dari Bapak.”

“Bantuan apa?”

“Tolong jadi Papa untuk Bella hari ini saja, Pak. Saya cuma mau Bella bahagia dan rasain sosok Papa di hidupnya.”

“Sekali lagi selamat bergabung yah Ara di klinik kami, semoga betah bekerja disini,” Buk Halimah menjabat tangan Ara, wanita itu lega akhirnya bisa menemukan orang untuk mengisi posisi psikolog anak si kliniknya.

“Sama-sama, Buk. Saya juga senang bisa di kasih kesempatan buat bergabung di klinik ini.”

Julian akhirnya memberi izin Ara untuk bekerja di klinik setelah memikirkan beberapa pertimbangan, yang membuat Julian akhirnya mengizinkan Istrinya itu buat bekerja di klinik. ya, apalagi kalo peluang ini bagus buat menambah pengalaman Ara sebagai seorang psikolog, yang mana nantinya akan membantunya untuk mendapatkan izin membuka klinik sendiri, selain itu jam kerja nya juga Julian rasa enggak akan menyita waktu Ara karena dia enggak tiap hari ke klinik.

Makanya hari ini Ara datang ke klinik tempat Niken bekerja untuk menyerahkan berkas-berkas miliknya dan melakukan sesi wawancara, dan hasilnya pun Buk Halimah sangat cocok pada kepribadian Ara dan juga reputasinya. Wanita itu enggak nyangka kalau orang yang di rekomendasikan oleh Niken adalah Arumi Naura Shalika, konten kreator yang suka berbagi ilmu seputar kesehatan mental.

Setelah berpamitan dengan Buk Halimah, Ara keluar dari ruangan wanita itu. Di depan ruangan Buk Halimah sudah ada Niken yang menunggu Ara, dia kebetulan memang sedang praktik.

“Gimana, Ra?” tanya Niken begitu Ara keluar dari ruangan Buk Halimah.

Ara mengangguk dan menyunggingkan senyum nya, “Buk Halimah terima aku, Teh. Besok aku udah bisa mulai praktik!” pekik Ara, tidak lama kemudian dia menutup mulutnya sendiri dengan kedua tangan setelah sadar suaranya lumayan menyita perhatian orang-orang di sekitarnya.

Niken yang mendengar itu membulatkan matanya dan langsung menghampiri Ara, dia meluk wanita itu dengan penuh rasa bahagia. “Syukur deh, seneng banget aku tuh kalau Buk Halimah cocok sama kamu, Ra. Ya gak mungkin gak cocok juga sih, beliau tuh selalu ngikutin konten-konten kamu loh.”

“Masa sih, Teh?”

Kedua wanita itu memilih untuk duduk di salah satu kursi yang ada di sana, sebelum Ara pulang Niken mau ngobrol sebentar sama Ara mengenai Buk Halimah dan klinik. Ya biar bagaimana pun sekarang Niken sudah menjadi seniornya di klinik kan.

“Iya serius, beliau tuh pernah tanya ke aku tau kalo aku satu kampus sama kamu, terus nanya-nanya tentang kamu gitu. Tapi pas aku bilang aku punya kenalan buat ngisi posisi ini, aku gak bilang itu kamu.” Niken emang enggak bilang kalau ia merekomendasikan Ara, ya itu supaya Buk Halimah bisa mempertimbangkannya secara objektif bukan menilai Ara secara bias karena beliau memang mengidolakannya.

“Pantesan tadi waktu wawancara beliau sempat nyinggung soal konten-konten aku.” Ara manggut-manggut, dia sendiri gak nyangka kalau konten yang berawal karena iseng dan niatnya hanya ingin membagi sedikit ilmunya tentang kesehatan mental. Bisa menjadi jembatan bagi banyak orang untuk perduli lagi pada kesehatan mental, dia gak nyangka nama nya akan sebesar ini.

“Dengan kamu gabung disini tuh pasti bawa banyak klien juga buat Buk Halimah, Ra. Gak mungkin dia gak terima kamu.”

Niken mikirnya gitu, reputasi Ara sebagai seorang influencer kesehatan mental dan dirinya sebagai seorang psikolog itu baik banget. Ara bahkan pernah di undang ke seminar waktu hari kesehatan mental, dan menjadi pembicara di kampus-kampus. Orang-orang pasti akan mudah melirik klinik Buk Halimah karena mempekerjakan orang dengan reputasi yang baik. Ini menambah citra baik juga untuk kliniknya juga.

“Syukur deh, Teh. Aku juga senang banget bisa kerja lagi. Julian juga setuju aku kerja disini karena jam kerjanya gak menyita banyak waktu aku.”

“Syukur deh. oiya, kamu ke sini sendiri?”

Ara mengangguk, dia memang membawa mobilnya sendiri. Julian masih kerja, Ara tuh bukan tipe cewek yang selalu bergantung sama Suaminya. Kalau dia masih bisa lakuin banyak hal sendiri, dia bakalan lakuin hal itu sendiri kok. Ya walau gak bisa di pungkiri kalau sama Julian dia tuh manja banget, soalnya Julian sendiri senang banget manjain Istrinya.

“Iya, Teh. Ijul mah masih kerja jam segini.”

Tidak lama kemudian resepsionis yang ada di klinik itu memanggil Niken, setelah menerima telfon barusan. “Mbak, Niken. Ada klien, udah nunggu di ruangan.”

“Oh iya, sebentar lagi saya ke sana,” jawab Niken pada wanita yang menjadi resepsionis di kliniknya itu. “Ra, aku balik lagi yah. Kamu pulangnya hati-hati.”

Niken genggam tangan Ara, dia beneran senang banget Ara bisa bekerja di klinik yang sama dengannya. Walau jam praktik mereka berbeda setidaknya kan, mereka bakalan sering ketemu nantinya.

“Iya, Teh. Aku juga udah mau balik, Teteh semangat yahhh.”

Begitu Niken kembali ke ruangannya, Ara juga langsung pulang. Dia mencet lift buat ke lantai 1, tapi siapa sangka saat lift berhenti di lantai 2 ia justru bertemu dengan Kamila. Yup, Kamila tunangannya Jonas itu. Entah sedang apa cewek itu di sana.

“Loh, Ara? Haiii ketemu lagi,” sapa nya, cewek itu tersenyum dan memeluk Ara seperti biasanya.

“Haii, Mil. by the way kamu ngapain?” Ara sempat melirik ke arah luar lift tadi saat pintunya terbuka, kalau enggak salah di lantai 2 tadi ada tempat bimbel anak-anak.

“Aku habis nganterin keponakan aku bimbel, kamu sendiri?”

“Aku habis wawancara kerja, di lantai 3 tadi.”

Kamila menyipitkan matanya, dia sudah hapal betul di gedung ini ada apa saja karena sering mengantar keponakannya buat bimbel. “Klinik?” tanyanya.

“Um.” Ara mengangguk, “Sunshine klinik, aku baru aja di terima jadi psikolog anak di sana.”

“Wahhh!!” pekik Kamila, dia senyum sumringah banget, Kamila ini emang positif vibes banget anaknya. “Congratulation, Ra. happy banget dengarnya. Berarti kita bisa sering-sering ketemu kalau gitu, kebetulan aku nganter jemput keponakanku setiap selasa sama kamis.”

Kedua bahu Ara merosot, dia memang bekerja hanya 3 kali dalam seminggu tapi hari nya praktik berbeda dengan hari Kamila mengantar keponakannya. “Sayangnya aku gak praktik di hari itu, Mil. Aku praktik setiap senin, rabu sama jumat.”

“Ahhh sayang banget.”

Kebetulan pintu lift terbuka, mereka sudah sampai di lantai 1. Disana ada restoran ayam goreng yang cukup terkenal, Kamila rasa dia masih mau mengobrol sebentar dengan Ara. “by the way, Ra. Mau ngobrol-ngobrol sebentar gak?”

Ara mengangguk, “boleh-boleh. Aku juga gak buru-buru sih.”

Ara ngerasa gak enak kalau bertemu Kamila langsung pulang, mengingat terakhir kali mereka bertemu itu di supermarket dan mereka belum banyak mengobrol. Kedua nya akhirnya masuk ke dalam restoran ayam itu, Kamila sempat pesan spicy wings dan cola, sementara Ara hanya memesan ice cream vanila dan kentang goreng saja. Dia kebetulan sudah makan sebelum pergi ke klinik, dan lagi pula Ara masak di rumah.

by the way, Ra. Sebenarnya di hari terkahir kita ketemu di supermarket tuh ada yang mau aku tanyain sama kamu deh.” Kamila sudah mempertimbangkan hal ini, dia bukan berniat buat ikut campur sama rumah tangga Ara dan Julian. Dia cuma gak mau Ara mengalami hal yang di alami oleh kedua orang tua nya. Intinya niat Kamila baik kok, dia mau memberikan peringatan untuk temannya Jonas itu.

Ara mengerutkan keningnya, kalo gak salah ingat memang di supermarket hari itu Kamila terlihat ingin mengatakan sesuatu. Namun keburu Julian datang dan mereka berpisah karena Julian keburu ngajak Ara antre duluan di kasir, dia dan Julian sudah selesai berbelanja.

“Nanya apa, Mil?”

“Sebenernya udah agak lama sih, Ra.”

“Um,” Ara mengangguk, Kamila tampak ragu dan merasa tidak nyaman ingin bicara dan itu membuat Ara semakin penasaran.

“Soal Julian, Ra.” Kamila mengulum bibirnya sendiri.

“Kenapa sama Julian, Mil?”

“Aku sempat ngeliat Julian waktu lagi main ke rumah temanku, dia masuk ke rumah tetangganya temanku. Malam-malam, Ra.” melihat perubahan wajah Ara membuat Kamila jadi merasa enggak enak.

“Tetangga teman kamu?”

Kamila mengangguk, “cewek, Ra. Kata temanku dia janda. Tinggal berdua sama anaknya aja, dan Julian masuk ke dalam rumah itu cukup lama. Tapi yang bikin aku kaget tuh, anak itu manggil Julian pakai sebutan Papa.”

Mendengar hal itu, hati Ara mencelos dia jadi bingung sekaligus merasa ada yang mengganjal di hatinya. 'Papa?' kenapa anak itu memanggil Julian dengan sebutan 'Papa?' dan siapa wanita yang Kamila maksud.

“Itu mungkin kerabat atau keluarga kamu atau Julian, Ra?” tanya Kamila hati-hati.

“Keluarga aku sama Ijul gak ada yang di Bandung, Mil.” kedua bahu Ara merosot, dia cukup percaya sama Suaminya itu lagi pula selama berpacaran sama Julian dalam kurun waktu yang cukup lama. Sejauh itu Julian enggak pernah aneh-aneh, Julian baik dan sangat menghargainya. Tapi kenapa rasanya ucapan Kamila barusan menambah beban pikirannya.

“Mungkin temannya kali, Ra? Atau siapa mungkin? Teman kosan lo sama dia?”

Ara hanya menggeleng, pikirannya jadi mengawang. Tapi dia berusaha untuk tetap berpikir positif tentang Suaminya itu, biar nanti Ara yang akan menanyakan hal ini langsung dengan Julian pakai caranya sendiri. Dia mau melihat kejujuran Suaminya itu, biasanya Julian selalu bercerita apa saja yang ia lakukan sehari-hari dan kemana ia pergi.

Tapi soal cerita Kamila yang melihat Julian masuk ke rumah seorang perempuan yang hanya tinggal berdua dengan anaknya, Julian enggak pernah cerita. Dan hal yang paling menganggu Ara adalah, kenapa anak itu harus memanggil Julian dengan sebutan 'Papa?'

Liliana tampak gusar untuk duduk di kursi kerjanya, matanya sesekali melirik ke arah ruangan senior nya itu yang masih tertutup rapat. Ragu-ragu ia pertimbangkan untuk masuk ke dalam sana nanti, Liliana mencoba sadar kembali. Dia mengusap wajahnya dengan frustasi kemudian mencoba kembali fokus pada pekerjaannya hari ini.

Namun sayangnya fokusnya itu terlanjur buyar, di pikirannya hanya ada percakapannya dengan Bella semalam yang kerap mengganggunya. Bahkan Liliana enggak bisa tidur dan memutuskan untuk ke kantor lebih pagi, oh, Bahkan dia masih sempat beli sarapan dulu, Liliana enggak fokus ngapa-ngapain termasuk membuat bekalnya ke kantor.

“Sadar, Li. Sadar..” gumam nya mencoba mengingatkan dirinya sendiri.

Namun enggak bisa semudah itu, ucapan nelangsa dari bibir mungil anaknya itu terus membuat pergolakan batin dan pikirannya enggak karuan. Hatinya berkata jika yang akan ia lakukan salah, namun isi kepalanya berkata lain. Ia tidak egois untuk dirinya sendiri, ia seorang Ibu yang hanya ingin membuat anaknya bahagia.

Liliana coba hiraukan percakapan itu, memejamkan matanya dan menaikan volume lagu yang ada di earphone nya. Bahkan samar-samar Monika yang duduk tepat di sebelahnya itu sampai menoleh, karena suara dari earphone Liliana sampai terdengar keluar.

malam itu sebelum Bella tidur, Liliana sempat bertanya banyak hal pada anaknya. Termasuk kegiatannya di sekolah, di rumah bahkan keinginan-keinginan Bella di hari ulang tahunnya nanti. Yup, Bella sebentar lagi akan ulang tahun. Dan Liliana ingin memberikan hadiah apapun yang Bella inginkan.

terus tadi aku juga belajar menggambar, Mah. Mama mau lihat gak Bella gambar apa?” bocah itu berdiri tepat di depan Ibunya, Liliana sedang duduk. Mereka tadi sedang membaca dongeng sembari Bella menunjukan buku-buku dongeng baru yang ia beli bersama Bi Narsih.

mau dong, emang Bella gambar apa?

tunggu sebentar yah, Mah. Tapi Mama tutup matanya dulu dong!” Bella ingin gambar yang ia warnai itu menjadi kejutan untuk Ibu nya, oh iya. Bella ini punya bakat menggambar dan melukis. Guru di sekolahnya juga bilang seperti itu sama Liliana, bahkan guru nya sempat menyarankan kelak dewasa nanti Bella bisa di arahkan ke sekolah seni.

Liliana menutup matanya, ia tersenyum. Dalam hati menebak-nebak gambar apa yang anaknya itu ingin tunjukan padannya. Sementara itu Bella mengambil selembar gambar yang ia bawa dari sekolah, gambar itu ia gulung dan ia taruh di ransel sekolahnya. Setelah kembali menutup ransel miliknya, Bella kembali berlari menghampiri Ibunya.

sekarang Mama buka mata.” pekik bocah itu girang, ia menunjukan gambar miliknya di depan Ibunya itu. Namun bukan senyuman yang Liliana berikan, namun raut wajah bingung sekaligus sedih yang Liliana hadiahkan untuk Bella. Sementara bocah itu masih tersenyum bangga pada mahakarya buatannya.

bagus gak, Mah?”

Liliana mengambil gambar itu, memperhatikannya lekat-lekat. Gambar yang sangat bagus untuk gambar anak yang baru berumur 4 tahun. Namun gambar yang tampak indah itu membuat hati Liliana terasa di sayat-sayat, Bella menggambar dirinya, Liliana dan juga seorang laki-laki yang bocah itu yakini adalah Ayahnya.

sampai hari ini Bella masih menganggap jika Julian adalah Ayahnya, Ayah yang selalu Liliana tanamkan dari kecil suatu hari akan pulang bekerja. Liliana tahu dia salah, tapi dia enggak menyangka akan seperti ini jadinya.

Bella kenapa gambar ini?” tanya Liliana, dia cuma penasaran kenapa Bella harus kepikiran buat gambar ini.

karena kita enggak punya foto bareng Papa, makanya Bella gambar sendiri aja. Bagus yah, Mah?

ditanya seperti itu, Liliana hanya diam. Dia gak tau harus jawab apa karena gambar yang Bella buat benar-benar bagus sekaligus membuat nya merasa bersalah. Liliana hanya mengangguk kecil sebagai jawaban karena Bella menunggu jawaban darinya.

um

kan sebentar lagi Bella ulang tahun, boleh gak, Mah. Bella minta hadiahnya Papa disini aja sama kita? Di rayain bertiga, Bella gak minta mainan baru lagi deh Bella janji. Tapi bawa Papa pulang yah, Mah?” ucapan Bella barusan lebih terdengar seperti sebuah permohonan di banding permintaan di telinga Liliana. Raut wajahnya penuh harapan jika Ibunya mampu mewujudkan keinginan sederhannya itu.

Mama bisa beliin Bella mainan baru, Bella mau mainan apa?” Liliana mencoba bernegosiasi pada Bella, lebih baik bocah itu minta di belikan mainan saja alih-alih minta keinginan nya itu ia penuhi. Liliana enggak sanggup, dia gak mau merepotkan orang lain dan membuat Bella tambah salah paham.

Bella menggeleng, ia hanya ingin Ayahnya pulang. Itu saja, “gak mau, Mah. Bella maunya Papa aja. Yah, Mah. Bella cuma mau Papa disini sehari aja, kita rayain ulang tahunnya Bella.

Mendengar hal itu, Liliana hanya diam. Dia membiarkan Bella merengek sembari mengayun-ayunkan tangannya. Tubuh Liliana lunglai rasanya, otaknya terasa di paksa berpikir bagaimana caranya ia bisa mewujudkan permintaan anaknya itu.

Karena ada tepukan halus di punggungnya, Liliana yang tadinya menaruh kepalanya di meja sembari memejamkan matanya itu mengangkat kepalanya. Ternyata Monik yang menepuk punggungnya, dia pikir Pak Ferdy atau bahkan atasannya yang lain.

“Kenapa?” tanya Liliana bingung.

“Mas Julian udah datang tuh, katanya tadi mau ketemu?” Liliana memang bilang ke Monik jika Julian datang tolong beri tahu dia, sebenarnya enggak ada yang ingin Liliana bicarakan perihal pekerjaan pada laki-laki itu. Liliana hanya ingin mencoba peruntungannya saja.

Liliana mengangguk-angguk kecil “Oiya, makasih ya.”

“Ya sama-sama,” jawab Monik, cewek itu kemudian kembali fokus pada pekerjaannya.

Sementara Liliana menoleh ke arah ruangan Julian, ruangannya hanya di lapisi kaca untuk menjadi pemisah antara ruang kerja divisi lain dan ruang kerja untuk divisi R&D. Ada tirai penutup juga yang sedikit samar, namun Liliana tetap bisa melihat apa yang sedang di kerjakan oleh seniornya itu di dalam sana.

biarin kali ini aku egois sedikit saja Tuhan..” ucapnya dalam hati.

Liliana merapihkan sedikit rambutnya sebelum masuk ke ruangan seniornya itu, Liliana sempat mengetuk pintunya dulu sebentar baru setelah itu dia buka.

“Eh, ada apa, Li?” tanya Julian dari kursinya. “Duduk dulu sini.”

“Ya, Pak.” Liliana duduk di sofa yang ada di ruangan itu. Berkali-kali dia menarik nafasnya untuk menghilangkan rasa gugup sialan ini.

“Ada apa, Li?” Julian duduk di sofa sebrang Liliana. Matanya masih tertuju pada setumpukkan map yang tadi sempat ia ambil di atas meja kerjanya.

“Gak ada kerjaan yang mau saya diskusikan sama Bapak sebenarnya.”

Julian yang tadinya fokus pada map-map berisi berkas di pangkuannya itu jadi mengadahkan kepalanya dan menatap Liliana. “Terus?”

“Saya..” Liliana menarik nafasnya pelan, sungguh rasanya gugup. Seperti dia akan menyatakan perasaanya pada laki-laki itu, padahal dia hanya ingin mengajak seniornya itu makan malam di hari ulang tahun Bella, Itu saja.

“Kamu sakit, Li?” tanya Julian khawatir, Liliana memang nampak pucat dan sedikit berkeringat.

Liliana menggeleng, “enggak, Pak.”

“Santai aja, Li. Kamu mau ngomong apa emang? Sampai pucat begitu.”

“Pak, saya sebenarnya mau ngundang Bapak buat makan malam di rumah,” cicit Liliana. Suaranya jadi memelan karena mengatakan hal ini.

“Makan malam?” Julian mengerutkan keningnya bingung, “dalam rangka apa, Li?”

“Bella ulang tahun, Pak. Saya juga ngundang anak-anak yang lain kok.”

“Oh ya? Boleh-boleh, nanti saya ajak Istri saya juga ya. Kapan, Li?”

Mendengar jawaban dari seniornya itu, hati Liliana seakan di cubit dari dalam semesta mencoba menyadarkannya, Niatnya ia hanya mengundang Julian saja tanpa Ara, bagaimana nanti jika Bella kecewa? Bagaimana kalau Ara mengetahui Bella memanggil Suaminya itu dengan sebutan 'Papa?'

Namun mau enggak mau Liliana mengangguk, untuk urusan itu biar ia pikirkan nanti saja. “Boleh, Pak. Acaranya lusa jam 7 malam.”

Julian mengangguk, “oke, nanti saya usahain datang yah.”

“Makasih banyak, Pak.”

Dengan rasa sedikit kecewa, Liliana keluar dari ruangan itu. Sebenarnya ajakan Liliana dan tentang semua rekan-rekan di divisinya ia undang adalah sebuah kebohongan, ia hanya mengundang Julian saja. Ia memakai alasan itu agar Julian enggak curiga dan bertanya kenapa hanya dia saja yang di undang.

assalamualaikum, Bun?”

Dari kamar mandi Ara bisa dengar ada suara Suaminya itu, Julian udah pulang ternyata. Walau Julian ngucap salam, tapi Ara sengaja gak sahutin soalnya lagi di dalam kamar mandi.

“Bun?” panggil Julian lagi.

“Iya, lagi di kamar mandi, Bang.”

Oiya semenjak Ara positif hamil tuh Julian jadi lebih suka manggil Istrinya itu pakai sebutan 'Bunda' alih-alih 'sayang' kaya awal-awal mereka pacaran sampai nikah, katanya sih biar terbiasa manggilnya waktu anak mereka udah lahir. Kalo Ara belum biasa manggil Julian pakai sebutan 'Ayah' dia masih setia manggil Julian pake sebutan 'Abang' kaya waktu mereka pacaran.

Begitu Ara keluar Julian lagi duduk di meja makan sambil minum teh manis hangat yang udah Ara siapin di meja makan, laki-laki itu senyum waktu liat Istrinya itu keluar dari kamar mandi.

“Abis ngapain, Bun?” tanya Julian.

“Abis pup.” liat Julian yang mau mencomot bakwan jagung yang Ara buat, bikin Ara jadi reflek nepuk punggung tangan Suaminya. “Mandi dulu, cuci tangan dulu.”

“Hehe.” Julian nyengir, dia bangun dari kursinya dan nyium pipi Istrinya itu gemas. “Kamu udah mandi?”

“Udah lah, aku mah udah wangi.”

“Coba aku cium lagi deh.” tanpa menunggu persetujuan dari Ara, Julian nyium leher Istrinya itu dengan gemas. “Wangii ih, abis mandi nanti sun lagi yah, Bun? Padahal kalo belum mandi mau aku ajakin mandi bareng ih.”

“Kelamaan mandi bareng kamu mah keburu masuk angin aku, sana mandi dulu ih.” Ara dorong badan Suaminya itu, walau Julian tuh masih wangi tapi kalo habis mandi nyiumin Suaminya tuh beda aja rasanya. Kaya aroma sabun, shampo sama parfum yang di pakai Julian nempel jadi satu, candu banget pokoknya deh.

“Mau sapa anak Ayah dulu,” baru saja Julian mau berjongkok dan mengusap perut Istrinya itu Ara udah nyubit pinggangnya dengan gemas.

“Mandi, Bang.”

“Ish, galak banget sih. Biasanya juga suka nyiumin bau aku.”

“Kamu tuh habis dari luar ih, bawa kotoran. Mandi dulu sana, kalo gak mandi gausah kelon lah males aku.”

“Iya iya iya aku mandi nih.” Julian langsung pergi dari sana dan melesat ke dalam kamarnya.

Sembari nunggu Suaminya itu mandi, Ara nunggu Julian di sofa ruang tamu sambil ngemilin bala-bala yang dia bikin sendiri. Gak tau kenapa semenjak hamil Ara jadi suka banget sama bala-bala, mangga muda sama rujak jambu pokoknya yang segar-segar gitu deh yang berbau sayuran sama buah-buahan asinan sayur apa lagi.

Sembari ngemil dia nontonin berita selebriti yang mengumumkan perceraian, padahal seingat Ara tuh pasangan selebriti itu baru menikah tahun kemarin. Dan enggak ada kabar apa-apa selama pacaran dan menikah, tau-tau si cowoknya udah di beritakan selingkuh aja.

Kadang Ara tuh suka heran sama orang yang suka selingkuh dari pasangannya, sebenarnya apa sih yang di cari? Padahal setia sama satu pasangan aja tuh rasanya bahagia banget, kalau nyari kekurangan dari pasangan tuh emang gak ada habisnya, toh manusia kan memang enggak ada yang sempurna. Justru kita lah yang harusnya melengkapi kekurangan pasangan kita, pernikahan itu kan kuncinya selain komunikasi adalah saling kan? Pikirnya.

Dulu tuh, Ara sama sekali gak kepikiran nikah sama Julian. Ya mereka emang enggak sempat putus sih, sempatnya tuh ribut besar-besaran aja perkara Chaka yang naksir sama Ara. Tapi buat kepikiran ninggalin Julian di saat hubungan mereka sedang ada di fase toxic juga enggak mudah, terlalu banyak waktu yang dia dan Julian habiskan berdua.

Terlalu banyak hal-hal tentang dirinya yang Julian pahami, Julian bukan hanya seorang Suami bagi Ara, dia adalah teman, sahabat dan pelengkap dirinya. Ara bahkan gak bisa bayangin kalo hidup tanpa laki-laki itu. Ya walau kerap kali Julian itu nyebelin di matanya, tapi Julian tuh selalu punya 1001 cara buat dapat maaf dari Ara.

“Makan bala-bala terus ih.” Julian keluar dari kamar mereka, dia udah mandi dan duduk di sebelah Ara.

“Kenapa sih emangnya?”

“Gapapa, emang gak bosen apa, Bun?”

Ara menggeleng. “Enak tau, Bang.”

“Aku mau sapa anak aku dulu,” Julian beringsut meluk perut Ara terus dia ciumin gitu, padahal perut Istrinya tuh belum gede banget ya kelihatan sih tapi kaya orang abis kekenyangan makan aja. Orang usia kandungannya juga baru masuk 2 bulan.

“Kamu mah nyapa makan siang aku tau gak?” ucap Ara sambil terkekeh pelan, Julian masa bodo aja.

Dia malah fokus ngusap-ngusap perut Ara penuh kasih sayang gitu, kadang tiap malam kalau lagi enggak bisa tidur pun. Julian suka kepikiran anaknya dan Ara tuh cowok atau cewek, lebih dominant muka siapa waktu lahir nanti. Sama mau dia kasih nama siapa, pokoknya banyak hal yang udah Julian pikirin deh. Termasuk nyiapin tabungan pendidikan buat anaknya kelak.

“Bang?”

“Hm?”

“Tadi Teh Niken ke rumah sama Chaka.” Ara rasa sekarang waktunya yang pas buat minta izin sama Julian kalau dia mau ambil pekerjaan sebagai psikolog anak di klinik tempat Niken bekerja.

“Oh ya? Bilang apa?” Julian benerin posisi duduknya, dia jadi bersandar di sofa sembari satu tangannya kecilin volume TV.

“Iya, mau jenguk aku gitu. Sama tadi dia ngasih penawaran buat aku.”

Julian mengerutkan keningnya bingung. “Oh ya? Penawaran apa?”

“Posisi psikolog anak di klinik tempat Teh Niken kerja kan lagi kosong, psikolog nya lagi resign sementara?” Ara menyipitkan matanya, gak yakin dan agak sedikit lupa untuk sebutan resign atau cuti sebenarnya. Tapi Ara rasa, Teh Niken memang menyebutnya resign.

“Karena Suaminya habis meninggal, jadi posisi itu kosong. Aku di minta handle klien-klien nya gitu buat jangka waktu 2-3 bulan ke depan, ya sampai masa berkabungnya kelar gitu, gimana?”

Julian menghela nafasnya pelan, dia sebenarnya agak khawatir kalau Ara balik kerja lagi. Dia takut pekerjaan itu membuat kondisi tubuh Istrinya itu menurun, Ara itu mudah lelah. Semenjak operasi daya tahan tubuhnya udah enggak sebagus dulu waktu mereka masih kuliah.

“Kamu kuat gak? Aku sebenarnya khawatir. Takut kamu kecapekan, sayang. Cuma aku mikir tawaran ini bagus buat nambah pengalaman kamu sebagai psikolog klinis. Apalagi kamu sering ngeluh bosan di rumah aja waktu aku kerja kan?” Julian mau tanya dulu ke Ara, apa dia sendiri sanggup atau enggak. Karena menurut Julian kan Ara yang punya badan, dia pasti tahu kapasitas dirinya sendiri.

“Kuat sih, Bang. Aku juga kan gak ngalamin morning sick terus juga jam kerjanya sebentar. Seminggu aku cuma ke klinik 3 kali dan jam kerjanya tuh cuma dari jam 9 sampai jam 2,” jelas Ara berusaha yakini Suaminya itu.

Julian enggak langsung jawab, dia nimang-nimang hal itu dulu. Beneran Julian sebenarnya lebih nyaman Ara di rumah aja, ya ngurus kanal Youtube nya kek, bercocok tanam atau bahkan mau ikut kelas memasak lagi juga Julian pasti ngizinin sih, tapi hal ini tuh bagus banget buat nambah pengalaman Ara selain pengalaman dia magang waktu nyelesain S2 nya.

“Aku pikir-pikir dulu ya? Besok habis pulang kerja aku kasih tau kamu.”

Ara mengangguk, dia hargain kok keputusan Julian apapun itu. Dia beneran gak mau maksain kehendaknya kalau Suaminya itu gak mengizinkan. “Yaudah, makasih ya, Bang.”


Siang itu jadi harinya Ara buat belanja bulanan, ya enggak banyak sih gak sampe satu troli penuh juga dia cuma belanja kebutuhan yang lagi kosong aja sama nyetok beberapa makanan buat dia isi kulkas nya. Julian tuh suka banget ngemil, makanya stok cemilan mereka cepat banget habis.

“Roti udah, susu udah, sawi, jamur, kaldu jamur, ciki jagung, cream soup, bengbeng, granola, biskuit,vApa lagi ya?” gumam Ara, dia ngerasa ada yang kurang sama belanjaanya, Padahal sebelum pergi pun udah dia bikinin list nya.

Karena di depan sana lagi ada demo masak, Ara sempat menghampiri kerumunan itu. Ada Mbak-Mbak SPG nya juga yang ngasih sampel makananya buat di cobain, ya Ara pasti cobain lah. Orang gratis, sayang kan kalo enggak di cobain.

“Makasih yah, Mbak.” Ara senyum ke Mbak-Mbak SPG nya, terus nyicipin masakan yang di kasih. Ternyata itu ayam, pakai saus barbecue gitu. enak sih, tapi Ara udah beli bumbu kalasan dan rasa dari ayam saus barbecue itu bukan selerannya Julian banget, dari pada nanti enggak kemakan ya Ara enggak beli lah.

“Loh Ara?” panggil seseorang di sebelah Ara.

“Kamila?” Ara senyum, dia langsung meluk Kamila. Udah lama banget enggak ketemu sama tunanganya Jonas itu, terakhir mereka ketemu waktu Jonas sama Kamila datang ke acara pernikahannya.

“Apa kabar? Kangen banget gila.”

“Kamu tuh yang gak ada kabar sama Jonas, aku baik kok. by the way kamu sendirian?” tanya Ara, soalnya dia emang gak liat ada Jonas.

“Iya sendiri, Jonas lagi keluar kota. Oiya, congratulations ya sebentar lagi punya baby gila aku seneng banget dengarnya.” Kamila ngusap-ngusap perut Ara gitu, ya masih rata kok tapi kalau di raba tuh kerasa dan agak keras sedikit.

thank you yah, Mil. Oiya salam buat Jonas ya, kapan-kapan main sih ke rumah ku.”

next time yah, aku pasti mampir kalo si Jonas enggak sibuk.” Kamila jadi teringat soal Julian tempo hari, dia pengen banget nanyain hal ini ke Ara. “Oiya, Ra. Kamu sama Julian—”

“Bun!! Aku beli es krim!” gak lama kemudian orang yang mau Kamila omongin malah muncul, Julian datang dari lorong makanan beku dan langsung nyamperin Ara. Dia nenteng-nenteng es krim gitu yang ukurannya besar, persis anak kecil. “Loh Kamila?”

Kamila yang lihat Julian cuma bisa senyum kikuk, untung aja dia belum sempat ngomong apa-apa. “Ha..hai, Jul.”

“Lo sama Jonas apa kabar? Main-main lah ke rumah.”

Kamila mengangguk, “iya, next ya, Jonas lagi di Surabaya. Nanti balik dari sana gue pasti main kok ke rumah lo.”

“Aku tunggu pokoknya ya.” Ara senyum sambil ngusap lengan Kamila.

Setelah Julian sama Ara pemitan buat ke kasir lebih dulu, Kamila tuh jadi mikir lagi soal Julian dan cewek tetangga temannya itu. Kalau Kamila lihat sih kayanya Julian bukan tipe cowok tukang selingkuh, ya tapi gak tau kenapa rasanya dia penasaran banget kenapa anak itu manggil Julian pakai sebutan 'Papa'. belum lagi Julian sempat masuk ke rumah cewek itu, yang mana Kamila tahu cewek itu hanya tinggal berduaan dengan anaknya saja.

“Ahhh pusing gue, tapi kalau beneran Ijul selingkuh. Kasian banget Ara,” gumamnya.

Setelah selesai dengan jadwal praktiknya hari ini, Niken enggak langsung pulang, dia di panggil sama pemilik klinik nya dulu. Niken sendiri juga enggak tau ada maksud apa pemilik klinik memanggilnya ke ruangannya, tapi Niken harap atasannya itu bukan mau komplain mengenai kinerja nya.

Karna sejauh ini Niken berusaha menjadi psikolog dan terapis yang baik, klien nya juga sudah lumayan banyak. Oiya, di klinik ini menyediakan beberapa layanan konsultasi. Ada konsultasi tumbuh kembang anak, terapi untuk anak-anak, konseling remaja dan dewasa sampai konselor pernikahan.

“Sore, Buk.” sapa Niken waktu dia membuka pintu ruangan atasannya itu.

Oiya klinik ini adanya di gedung yang sharing sama perusahaan lainnya, letaknya di lantai 5 di lantai 1-4 itu ada perkantoran, praktik dokter gigi, restoran ayam goreng, sampai tempat les.

“Duduk, Mbak Niken.”

Niken duduk di sofa yang ada di ruangan itu, namanya Buk Halimah. Beliau wanita berusia 55 tahun yang sudah membuka praktik sejak 20 tahun yang lalu. Wanita itu membuatkan teh untuk Niken dan meletakkannya di meja, kemudian duduk bersebrangan dengan Niken.

“Ibu manggil saya? Ada apa, Buk?” tanya Niken langsung pada intinya.

“Iya, Mbak. Gini, kita kan kekurangan orang untuk posisi psikolog anak. Kira-kira kamu ada rekomendasi orang untuk mengisi posisi ini gak?”

Niken menghela nafas, dia pikir ada yang salah sama kinerjanya selama ini. Memang posisi psikolog anak sedang kosong saat ini, hanya sementara sih karena psikolog anak yang mengisi posisi ini sedang berduka dan butuh waktu agak lama untuk kembali bekerja. Ya semacam resign sementara sampai nanti pada akhirnya akan kembali bekerja.

“Ada sih, tapi saya gak tau dia mau isi posisi ini atau enggak. Soalnya setahu saya dia memang mengundurkan diri di tempatnya bekerja karna ngerasa over working.” yang Niken maksud ini emang Ara kok, karena dia enggak kepikiran siapa-siapa lagi selain wanita itu.

“Oh, enggak kok, Ken. Dia disini hanya 3 kali bekerja dalam seminggu. Waktunya hanya setengah hari, dari jam 9 sampai jam 2 siang. Coba yah kamu bicarain dulu sama dia, soalnya sejauh ini saya belum nemu orang yang cocok. Cuma buat handle klien psikolog anak sebelumnya.” karena hanya sementara, Buk Halima gak mau pasang lowongan ini di web kliniknya.

Niken mengangguk, mungkin enggak ada salahnya dia ngomongin ini sama Ara. Toh Ara juga sering cerita ke Niken kalau dia agak bosan di rumah, karena biasanya Ara tuh sibuk kerja. Bikin konten pun dia hanya syuting sekali dalam seminggu, itu pun di rumah.

“Nanti saya coba bicarain ya, Buk. Tapi saya enggak janji dia mau.” Niken enggak berani janji manis dulu ke Buk Halimah, apalagi Ara lagi hamil. Bisa aja Ara gak dapat izin dari Julian kan, pikirnya.

“Gapapa, Ken. Yang penting kamu sudah mau coba bicarain sama dia, terima kasih yah, Ken.”

Niken mengangguk, setelah ngobrol-ngobrol sebentar sama Buk Halimah. Akhirnya Niken berpamitan, kebetulan Chaka juga sudah menjemputnya di bawah. Rencaannya mereka memang mau bermain ke rumah Ara dan Julian, gak ada acara apa-apa kok. Cuma mau jengukin wanita itu aja di rumahnya sekalian Niken ngobrolin tawaran ini sama Ara.

Begitu Niken keluar dari ruangan Buk Halimah, ada seorang anak kecil berlari dan menabraknya hingga jatuh. Anak perempuan, rambutnya panjang sebahu dan di kepang, cantik menurut Niken. Walau jatuh anak itu enggak nangis sama sekali, tapi kan tetap aja Niken yang khawatir.

“Kamu gapapa?” Niken jongkok dan membantu anak itu untuk bangun.

“Gapapa, gak sakit kok, Tante.” ucapanya.

“Bella, kan Mama bilang jangan lari-lari—” tidak lama kemudian datang seorang wanita yang menyusul anak itu. Wanita itu tersenyum kikuk waktu liat Niken gandeng tangan anaknya itu. “Maaf yah, Mbak. Anak saya nabrak Mbak yah?”

Niken senyum, dia menggeleng kepalanya pelan. “ gapapa kok, Mbak. Gak sengaja dia.”

“Sini, Bella. Kan Mama bilang apa jangan lari-lari,” pekik wanita itu.

Niken yang mendengar wanita di depannya itu berbicara dengan nada agak tinggi, anak yang sedang di gandeng nya itu agak kaget, bocah itu menunduk dan berjalan ke arah Ibu nya. Wajahnya merasa bersalah.

“Mau konseling, Mbak?” tanya Niken. Dia hanya menebak sih, tapi sepertinya dia enggak pernah melihat Ibu dan anak ini di klinik. Hampir klien di klinik ini Niken kenal, maksudnya mengenali wajahnya gitu loh bukan mengenal secara pribadi.

“Baru mau daftar, Mbak. Buat anak saya,” jelasnya.

“Ahh..” Niken mengangguk-angguk. “Kalau gitu saya duluan yah, bye Bella. Nanti kita ketemu lagi.” Niken melambaikan tangannya pada Bella yang tersenyum di sebelah Ibu nya.

bye Tante cantik!” pekik bocah itu.

Di perjalanan menuju rumah Ara, Niken sempat mengirimkan pesan pada teman-temannya yang lain. Ya, menawari posisi psikolog anak yang sedang kosong di kliniknya untuk sementara waktu. Tapi kebanyakan dari mereka menolak dan sebagian sudah ada yang membuka klinik sendiri.

“Kenapa sih, yang? Lesu amat muka nya,” tanya Chaka, kebetulan di depan sana sedang macet. Dan Chaka bisa melihat betul kerisauan pacarnya itu yang duduk di sebelahnya. Biasanya Niken ini agak ceriwis, banyak cerita hal-hal yang dia lakuin hari ini. Ya maklum, Chaka sama Niken ini enggak ketemu setiap hari karena kesibukan masing-masing.

“Pusing aku, Buk Halimah minta cariin orang buat posisi psikolog anak. Kan Mbak Sandara resign karena habis kehilangan Suaminya. Ya resign sementara sih, mungkin kalau masa berkabungnya udah selesai dia bakalan balik lagi. Makanya butuh posisi ini buat jangka waktu 2-3 bulan kedepan,” jelas Niken pada Chaka.

“Temen-teman kamu gak ada?”

Niken menggeleng, “udah aku tanyain satu-satu. Mereka gak mau kalau cuma 2-3 bulan, apalagi dalam seminggu cuma 3 kali praktik.”

“Coba tawarin ke Ara aja?” Chaka menoleh ke arah Niken, wajah cewek itu cemberut beneran agak frustasi juga kalau nantinya Ara menolak posisi ini atau bahkan gak dapat izin dari Julian.

“Niatnya emang gitu, tapi masalahnya dia mau gak? Dapat izin gak dari Ijul. Apalagi dia cerita ke aku dia resign jadi penerjemah biar lebih banyak waktu di rumah.”

“Iya sih, tapi kan gak ada salahnya?” Chaka menaikan satu alisnya. “Dia aja gabut banget sekarang, sering chat-chat random di grup kan, saking gabutnya. Terus Ijul juga sering ngerengek ke aku sama anak-anak.”

“Ngerengek kenapa?” Niken mengerutkan keningnya bingung.

“Ya bini nya ngidam nya aneh-aneh. Dia juga suka bilang Ara suka ngeluh bosen di rumah, sampai itu taman kecil di depan rumahnya udah rapih Ara yang rapihin sendiri.”

Niken mengangguk-angguk. “Iya sih, Ara juga cerita ke aku gitu. Dia sering gabut, kadang suka ngajak jalan minta di temenin bikin konten. Tapi kan kamu tau jadwal praktiku kaya apa, belum lagi kalau ngisi seminar.”

Chaka senyum, dia mengulurkan tangannya hingga menyentuh pucuk kepala pacarnya itu. “Pacar aku hebat banget sih. Jadi makin sayang, aku tuh bangga banget kalau nemenin kamu ke acara seminar.”

Niken yang melihat itu nyengir, dia mencubit pipi Chaka terutama di bolongan pipi pacarnya itu yang selalu jadi spot favorite nya. “Brondong aku juga hebat banget sih!! Konten nya edukatif, enggak jadi konten kreator yang toxic dan lagi fans nya banyak walau bocil-bocil.”

Sesampainya di rumah Ara, keduanya langsung di sambut sama Ara yang lagi makanin bala-bala di ruang TV. Wanita itu lagi nonton drama korea sambil nangis-nangis, ya ceritanya sedih gitu deh. Ada beberapa lembar tissu juga yang berserakan di bawah sofa, tapi begitu Niken sama Chaka datang, dia langsung beresin tissu nya.

“Duduk, Teh, Ka. Kalian mau minum apa?” tanya Ara sembari mengucak matanya yang merah karena menangis, hidungnya bahkan memerah dan mayanya sembab.

“Nanti aku ambil minum sendiri gapapa, Ra.” Niken tersenyum kikuk, agak bingung sama kelakuan ajaib Ara. Dari dulu emang suka aneh sih, tapi semenjak hamil tuh jadi makin aneh tapi Niken maklumin kok.

“Lo nangis? Nonton drama? Lebay ih.” Chaka nunjuk ke arah TV yang lagi nampilin adegan sepasang kekasih yang terpaksa kandas hubungannya karena sudah berbeda tujuan. Iya, Ara lagi nonton drama 2125 yang di peranin sama Kim Taeri dan Nam Joohyuk. Yang masih suka di sindir dimana-mana gara-gara mereka gak berakhir bersama.

“Ini tuh sedih Chaka!! Gak punya perasaan banget sih!” rengek Ara, saking sebalnya sama ucapan Chaka dia sampe lempar tissu ke cowok itu.

Chaka jadi dapat tatapan tajam dari pacarnya itu kan gara-gara bikin Ara tambah nangis. “Kamu nih!! Makanya kalo nonton di hayati.”

Niken yang liat Ara tambah nangis jadi ngusap-ngusap punggung wanita itu, “udah-udah jangan di dengerin si Chaka, Ra. Dia kebanyakan nonton film horor makanya gak ngerti genre romance gini.”

“Nyebelin! Sama aja kaya Baek Yijin!”

“Hah?!” pekik Chaka. Dia akhirnya geleng-geleng kepala aja dan mencomot bala-bala di piring yang ada di meja TV Ara, tapi belum sempat mencomot Ara udah melempar cushion ke arah Chaka sampe ngenain kepala nya.

“JANGAN MAKAN BALA-BALA GUE IH!! ITU BELI NYA JAUH!” rengek Ara.

“Chaka!!” pekik Niken memperingati pacarnya itu.

“Ya Allah, salah mulu gue.” Chaka akhirnya kembali ke tempatnya duduk, dia ngeluarin HP nya aja sembari ngetik sesuatu di sana. Yup, Chaka ngadu ke Julian soal Ara di grup yang isinya cowok-cowok di kosan. Tanggapan teman-temannya itu justru malah menertawai Chaka, bikin tambah dongkol aja kan? Pikirnya.

“Teh, maaf yah kamu datang aku berantakan gini,” ucap Ara setelah dia jauh lebih tenang.

Niken nyengir, “hehe, gapapa, Ra.”

“Teh Niken baru balik praktik?”

Niken mengangguk, ini kesempatannya buat ngomongin soal tawaran Buk Halimah ke Ara. “Iya, Ra. Kebetulan selain jengukin kamu aku juga punya tawaran buat kamu, tapi pikir-pikir dulu aja yah.”

“Tawaran apa, Teh?”

“Gini, kan atasan aku nyuruh aku cari orang buat posisi psikolog anak. Kebetulan posisi itu lagi kosong, tapi yah cuma 2-3 bulan kerja aja. Mungkin kamu mau ambil posisi itu? Praktiknya cuma 3 kali dalam seminggu aja kok, jam praktiknya juga setengah hari. Lumayan kan sambil nambah pengalaman kamu.” jelas Niken.

Ara menimang-nimang tawaran itu, kalau dia sendiri sih mau-mau aja yah apalagi dia sering bosan di rumah kalau Julian lagi kerja, mendengar jam kerjanya yang sebentar itu juga Ara mikirnya dia masih dapat banyak waktu luang.

Apalagi selama hamil Ara gak ngerasain morning sick yang berbeda hanya dia sering ngidam makanan sama perutnya terasa lebih sering lapar, buktinya aja berat badanya sudah naik 2kg.

“Aku mau, Teh. Tapi aku izin sama Ijul dulu ya?”

Niken mengangguk-angguk, wajahnya cerah banget karena dia ngerasa dapat harapan dari Ara. Sekarang tinggal bagaimana Julian mengizinkan Istrinya itu atau enggak. “Gapapa, Ra. Ngomong dulu aja sama Julian oke, aku tunggu kabarnya ya.”

Semenjak Ara hamil tuh dia jadi ngerasa gak bisa jauh-jauh dari Julian, pokoknya banyak banget hal-hal dalam diri dia yang aneh banget deh. Kalo buat morning sick kaya kebanyakan ibu hamil sih dia enggak, tapi manja dan maunya dekat-dekat Julian ini loh yang gak tahan.

Sampai-sampai Ara jadi lebih suka pakein baju-bajunya Julian, dia gak mau pake bajunya sendiri. Menurutnya baju Julian tuh wangi nya Julian banget, padahal menurut Julian wanginya sama aja orang mereka kalo nyuci pun pakai detergen dan pewangi pakaian yang sama kok.

Dan yang lebih anehnya lagi adalah, Ara tuh suka banget nyiumin keringet nya Julian. Ya emang Julian bukan yang bau badan gitu sih, wangi nya pun kecampur sama wangi parfum dia tapi menurut Julian tetap aja aneh. Dia udah sering banget cerita ke Arial, Januar sama Kevin yang Istri-Istrinya lebih dulu hamil.

Tapi mereka tuh ngidam sewajarnya aja, tapi ngeliat Ara yang manja dan gak bisa jauh darinya bikin Julian senang sekaligus ngerasa repot, ya kaya sekarang ini. Dia lagi nyalain saklar di garasi rumahnya karena tiba-tiba aja listrik di rumah mereka turun pas mereka lagi nonton. Dan Ara udah...

“Abang??? Ihhh kemana sih?” rajuk Ara, Julian bisa dengar dari garasi rumah mereka.

“Iya sebentar sayang, ini aku lagi ngecek ada yang konslet atau enggak,” teriak Julian.

“Cepetan ihhhhh lama banget.”

Julian menghela nafasnya pelan, setelah memastikan aliran listrik di rumahnya sudah kembali normal dia masuk lagi ke dalam dan berjalan menuju ruang TV.

“Cuma di tinggal kedepan aja juga.”

“Tapi lama banget udah kangen ih.” Ara melambai-lambaikan tangannya, begitu Julian duduk di sebelahnya. Wanita itu langsung memeluk lengan Julian dan mengusap wajahnya di bahu Julian. “Gemes, kangen. Pokoknya gak boleh jauh-jauh!”

“Lebay, jauh-jauh apa orang aku cuma nyalain saklar doang loh.”

“Jauh itu nama nya.”

Julian geleng-geleng kepala aja, heran banget liat kelakuan Istrinya itu akhir-akhir ini. Tapi Ara yang liat Julian geleng-geleng kepala gitu malah tersinggung, dia jadi mikir Julian kesal sama dia. Ara akhirnya melepaskan pelukannya dari lengan Suaminya itu.

Pokoknya dia sedih banget kalo Julian ngerasa kaya nolak dia gini, hatinya sakit banget ngerasa gak di inginkan. Walau sesudahnya Ara juga ngerasa dia berlebihan, tapi tuh emang rasanya sedih banget. Pokoknya sedih seh, susah di jelasin.

“Kenapa?” tanya Julian waktu Istrinya itu ngelepas pelukannya dan ngeliatin Julian yang lagi sibuk makanin cheese ball di toples.

“Abang udah gak sayang aku?”

“Hah?” Julian bingung, ya gimana gak bingung kalau tiba-tiba Ara nanya begitu. Gimana gak sayang, apapun yang Ara mau juga Julian turutin kok. “Kok nanya gitu? Ya sayang lah, Bun.”

“Tapi tadi kamu ngatain aku lebay!!” Ara merajuk gak lama kemudian dia nangis sesenggukan, persis banget kaya anak kecil lengkap dengan ngucek-ngucek matanya terus nutupin wajahnya.

Kalau udah begini Julian jadi pening sendiri kan, “sayang, maksud aku gak gitu.”

Julian bawa Ara ke pelukannya dan dia usap-usap punggung kecil Istrinya itu, “maaf ya ngatain kamu lebay, kan aku niatnya cuma bercanda. Aku sayang kamu kok, sayang banget malahan.”

“Tapi kalau sayang kan harusnya kamu gak bilang lebay.”

“Iya maaf yahhh, maaf.” bisik Julian, dia ciumin pucuk kepala Istrinya itu sampai Ara gak nangis lagi. Setelah jauh lebih tenang, mereka lanjut nonton TV lagi sambil sesekali Ara minta kaki nya di pijitin.

“Bang?” panggil Ara, yang bikin Julian menoleh ke arahnya.

“Hm?”

“Kalau Ibu liat kamu mijitin aku gini, Ibu marah gak?”

“Marah?” Julian ngerutin dahinya bingung, sementara Ara mengangguk sebagai jawaban. “Marah kenapa?”

“Iya, kan aku punya teman yah, dia lagi hamil juga pas Suaminya lagi mijitin Istrinya terus masakin buat temenku, Ibu dari Suaminya dateng terus marah-marah. Katanya jangan jadiin Suaminya pesuruh katanya gak sopan, gitu.”

“Kok aneh,” Julian cuma mikir itu kan suatu hal yang wajar, lagi pula hamil pasti sulit dan gak ada salahnya Suami ngelayanin dan ngerawat Istrinya kan, toh Istri adalah teman hidupnya. Wanita yang rela meninggalkan kedua orang tua demi mengabdi sama Suaminya.

“Enggak sih, Ibu malah nyuruh aku buat jagain kamu terus, ngebawelin aku bilang kamu jangan capek-capek. Malah Ibu tuh nawarin tau ngirimin makanan atau suruh aku nyari asisten rumah tangga buat bantu-bantu kamu.”

“Iya?” pekik Ara, dia senyum sumringah banget. Ibu mertua nya emang baik banget, malah Julian suka cemburu karna semenjak menikah Ibu lebih perhatian sama Ara. “Ibu tuh emang mertua paling baik!!”

“Ibu tuh ngarep cucu banget dari kita, dia pasti ngejaga kamu banget kalau dekat.”

“Maaf ya aku suka mikir yang jelek-jelek cuma karena teman-teman aku suka cerita perlakuan buruk keluarga Suaminya ke dia.” Ara jadi ngerasa bersalah banget, padahal dia tuh beruntung banget di terima dan di sayang banget sama keluarga dari Suaminya. Terutama sama Ibu mertua nya itu.

“Ibuku tuh dulu puas banget di manja, di layanin, di sayang sama Bapak juga. Makanya dia berharap anak laki-lakinya juga bisa seperti itu sama Istrinya, makanya kehadiran kamu sama sekali bukan menjadi saingan buat Ibu karena aku jadi lebih perhatian ke kamu.”

“Bunda juga suka bilang gitu ke aku, aku harus nurut sama kamu, dengerin ucapan kamu.”

Julian senyum, gak lama dia ngecup bibir Istrinya itu dengan gemas. Kalau liat Ara senyum gini tuh rasanya dunia lagi berbaik hati banget sama dia, “mana yang pegal lagi? Aku pijitin.”

“Mau kelonan aja.”

Julian menaikan sebelah alisnya dan menyeringai. “Di kamar?”

Ara hanya mengangguk dan senyum malu-malu sampai ada semburat kemerahan di pipinya, “um.”

Tanpa mematikan TV di ruang tamu, Julian langsung menggendong Istrinya itu dan membawa nya ke kamar. Meniduri Ara di atas ranjang dan menarik selimut hingga menutupi keduanya.

“Abang geli ihhh!” teriak Ara dari dalam selimut waktu Julian nyiumin lehernya dengan gemas, mereka gak ngapa-ngapain kok cuma cuddle aja.


“Jo, kamu inget gak sih temen deket kamu waktu kuliah itu?” tanya Kamila sama Jonas yang lagi sibuk sama kerjaanya yang numpuk itu.

Oiya, Jonas juga sudah tunangan, rencana nya tahun depan juga dia akan menikah dengan tunangannya ini. Namanya Kamila, mereka bertemu karena bekerja di satu kantor yang sama. Dulu tuh Jonas pernah pacaran sama Adik tingkat kan? Nah sayangnya hubungannya kandas.

Ada tembok tinggi yang membentang di antara mereka, begitu kokoh sampai Jonas dan pacarnya dulu berdamai dan memutuskan untuk berpisah baik-baik. Ya meski pun belum menikah, Jonas sama Kamila ini sudah memutuskan untuk tinggal bersama.

Mereka mau coba saling mengenal lebih dalam karakter masing-masing agar lebih kenal sebelum akhirnya mantap untuk lanjut kepernikahan, ya kira-kira alasan Jonas sih begitu kalau teman-temannya dan Julian kadang meledeknya dengan sebutan 'kumpul orang' ya bukan kebo, mereka gak mau nyalahin kebo.

“Siapa? Ijul?” tebak Jonas.

“Yang istrinya Youtuber itu namanya Ijul?”

Jonas mengangguk, “iya si Ara, yang dulu sempet aku taksir, Bi. Kenapa dah?”

“Anjir lu, gak usah di perjelas bagian yang naksir. Gue udah gak cemburu sih tapi sebel aja dengernya,” Kamila menepuk pundak Jonas dengan kesal. Sok ganteng banget si Jonas ini, cintanya bertepuk sebelah tangan aja bangga, Pikir Kamila.

“Hehe,” Jonas nyengir. “Kenapa-kenapa sama Ijul?”

“Kemarin aku ketemu dia waktu habis dari rumah temenku.”

“Terus?”

“Ada yang aneh, dia nganterin cewek pulang.”

“Cewek? Bini nya kali?” tebak Jonas.

“Bukan, Bi. Kalau kata temen aku si Miranda, cewek itu janda punya anak 1. Terus Julian juga sempat masuk ke rumahnya dan gendong anaknya si itu cewek. Terus si anaknya ini juga manggilnya pake sebutan Papa.”

“HAH???” pekik Jonas kaget, agak lebay tapi dia tuh beneran kaget banget. Dia mau mikir yang enggak-enggak sama Julian seperti laki-laki itu selingkuh dan punya anak sama wanita lain, tapi sejauh yang ia kenal Julian bukan laki-laki seperti itu. “Kamu salah dengar gak?”

“Enggak, Bi. Serius. 3 hari yang lalu juga aku liat Julian lagi nganterin itu cewek, mobilnya Julian Hyundai Ioniq 5 warna silver kan?”

Jonas mengangguk, “iya.”

“Nah, mobil itu ada lagi. Tapi kali ini Julian enggak turun.”

“Masa sih, Bi?” Jonas agak gak percaya sama Kamila, tapi buat apa Kamila bohong? Jonas jadi mikir ada hubungan apa Julian sama cewek itu. Apalagi dari yang Jonas liat di akun instagram milik Ara, wanita itu baru mengumumkan kehamilannya harusnya hubungan mereka makin harmonis kan? Pikir Jonas.

“Buat apa aku bohong jir, aku cuma takut si Ara di selingkuhin dah.”

“Gak lah,” Jonas mengibaskan tangannya ke Kamila, dia coba mikir positif dulu. “Gak mungkin Ijul begitu, orang bucin banget dia sama bini nya.”

“Dih siapa tau aja? Mama sama Papaku juga kelihatan bucin banget, gak taunya Mama selingkuh.”

Mendengar ucapan Kamila itu, Jonas jadi mikirin Julian dan Ara. Dia gak yakin Julian kaya gitu, tapi dia sendiri takut enggak benar-benar mengenal temannya itu. Sekarang, Jonas jadi menimang-nimang dia harus cerita hal ini ke Ara atau enggak, tapi kalau cerita bagaimana kalau justru memicu renggangnya hubungan rumah tangga keduanya?

Tapi kalau Julian benar selingkuh, masa iya dia harus diam saja mengetahui hal itu padahal dia kenal Ara, itu sama aja dia mendukung perselingkuhan Julian dan menutupinya kan? Pikir Jonas.

Setelah 15 hari Gita di rawat di rumah sakit, akhirnya Gita di perbolehkan untuk pulang ke rumah. Dokter yang menangani Gita bilang kalau Gita enggak perlu pengawasan lagi karena kondisinya sudah jauh lebih stabil, sayangnya ada kenyataan pahit lagi yang harus Gita terima.

Dia dan Mama nya enggak bisa pulang ke rumah yang dulu mereka tempati, keluarga Artedja menyita seluruh aset atas nama Papa nya. Dan itu membuat Gita dan Mama nya terpaksa harus tinggal sementara di rumah Yuno, jadi pagi ini Yuno dan Mama nya membantu Gita untuk memindahkan beberapa barang milik Gita ke kamar Gita yang ada di rumah Yuno.

Gita juga belum pulang ke Bandung, kemungkinan lusa dia akan kembali ke sana. Tentunya bersama Yuno, Yuno sudah libur kuliah lebih dulu. Dan dia memutuskan untuk berlibur di Bandung sekalian menjaga Gita juga disana. Yuno mau tahu bagaimana kehidupan Adiknya itu selama di Bandung.

“Si Kevin belum ke sini juga?” Yuno ikut bergabung duduk di ruang tamu bersama Januar dan Chaka yang baru saja tiba di rumahnya.

Gita hanya menggeleng, “libur gini dia ada acara keluarga.”

“Dia gak ngontak elo sama sekali, Nyil?” tanya Chaka sembari mengunyah kastangel yang dari tadi ada di pangkuannya.

“Masih kok, lewat Mama. HP gue kan masih di pegang Mama.” sejak masuk rumah sakit sampai sekarang, Gita masih belum di berikan HP nya. Makanya Kevin hanya bisa mengontaknya melalui Mama nya. “Tapi gue ngerasa ada yang ngeganjel, kenapa yah?”

Yuno menaikan sebelah alisnya, emang aneh menurutnya. Selama Gita berada di rumah sakit, Kevin hanya menjenguknya sekali. Dan setelahnya cowok itu enggak pernah kelihatan jenguk Gita lagi, malahan lebih banyak Arial, Janu dan Chaka yang bolak balik ke rumah sakit.

Ah, soal Arial. Jika biasanya Yuno dan Arial tampak akrab saat bertemu dan banyak membicarakan hal-hal apa saja, lain hal nya saat ini. Arial hanya mengajaknya bicara seperlu nya saja, itu pun dengan nada bicara yang dingin dan tatapan mata sinis.

Yuno merasa Arial berubah, mungkin sebagai Kakak sepupu dari Ara. Ada sisi Arial yang tidak terima jika nyatanya Yuno memang sudah menyakiti Adik sepupunya itu. Jadi, Yuno bisa maklumi perubahan sikap Arial padanya.

“Ganjel kenapa?” tanya Yuno.

“Ya gitu, gak tau deh.” Gita menggedikan bahu nya, bingung harus menjelaskannya bagaimana atau ini hanya perasaanya saja.

“Tapi kalo kata gue lo sama Kevin tuh gak cocok pacaran tau, Nyil,” samber Janu tiba-tiba.

“Kata gue juga,” balas Chaka. Yuno yang melihat itu hanya terkekeh dan menggeleng saja, dua teman Adiknya itu seperti pakar pasangan saja gayanya.

“Kalian ini emang tipe sohib spek monyet banget tau gak? Bukanya supportif kek sama temen sendiri,” hardik Gita pada Chaka dan Janu.

“Dih, emang iya. Yang selalu ada buat lo tuh malahan Bang Ril. Waktu lo di pukulin sama anak ILPOL siapa yang nolongin? Bang Ril kan, yang nungguin di rumah sakit juga Bang Ril.”

Mendengar itu Yuno mengerutkan keningnya, benarkah? Arial yang lebih banyak ada untuk Gita di banding Kevin? Karna setahu Yuno selama di Jakarta dulu, Kevin lebih banyak menemani Gita. Termasuk di masa-masa sulit Adiknya itu, lalu kenapa saat ini Kevin bahkan enggak ada di saat Gita sangat membutuhkan cowok itu?

“Serius?” Yuno menegapkan tubuhnya, tadinya dia bersandar di sofa.

“Janu bajingan...” Gita berbisik, ia memejamkan matanya kesal. Kalau udah enggak ada Yuno ia yakin Janu pasti sudah di hajarnya.

“Serius, Bang.” Janu mengangguk. “Makanya gue lebih setuju lo sama Bang Ril.”

“Gue juga!” imbuh Chaka ikut-ikutan.

“Eh jangan gitu nanti kalo dia baper beneran gimana?” Yuno terkekeh dan menendang kecil kaki Adik sepupunya itu, tenang aja enggak kencang kok Yuno masih sayang Gita.

“Dih, apaan sih! Mending lo tuh Kak cari pacar lagi sana udah move on belum?” Gita mengalihkan pembicaraan, agak sedikit salah tingkah dan bingung harus bersikap bagaimana saat kedua temannya sudah mulai menyinggung Arial.

“Lah? Bang Yuno sama Ara putus?” pekik Chaka kaget. “Seriusan?”

“Yeeeee kemana aja lo?” Janu menoyor kepala Chaka gemas. “Udah ada sebulan yang lalu kali mereka putusnya.”

“Dihhh, kok bisa?” Chaka menelan kastangel yang tadi dia kunyah dengan susah payah. “Maksudnya, kok bisa gue gak tau?”

“Yah lo sibuk gak karuan sih, lo balik dari kampus aja selalu malem. Terus sekalinya di kosan juga sibuk sama endorse lo itu.” karena jumlah followers Chaka yang melesat dan beberapa kali cowok itu bikin konten OOTD, ada beberapa brand fashion yang mulai menghubungi Chaka dan mengirimkan barang untuk Chaka promosikan di akun miliknya, gak cuma dari brand fashion bahkan Chaka juga di endorse parfum dan beberapa merk skincare.

“Lo jadi selebgram, Ka?” Yuno terkekeh, enggak nyangka kalau Chaka dapet endorse.

“Yoi, Bang. Lumayan buat nambah jajan, sisa nya mau gue tabung biar jadi crazy rich Chaka.”

“Lu mah kebagian crazy nya doang,” kata Janu sembari terkekeh pelan.

“Eh tapi seriusan Bang lo beneran putus sama Ara? Jangan-jangan yang waktu itu gue liat Ara lagi nangis di balkon lagi.” Chaka masih ingat banget Ara nangis di balkon kamar Julian dan Julian yang memeluknya. Dia mulai mikir apa mungkin hari itu Ara dan Yuno sepakat mengakhiri hubungannya? Pikir Chaka.

Yuno mengangguk, “dia pernah nangis?”

“Iya pernah waktu itu di balkon kamar—mmmpphhh.” belum sempat Chaka melanjutkan ucapannya Janu malah membekap mulut cowok itu dengan kedua tangannya meski Chaka terus meronta.

“Di balkon lantai 2, Bang.” ralat Janu, ia akhirnya melepaskan tangannya itu dari mulut Chaka karena cowok itu malah menjilat tangannya.

“Bajingan lu, asin banget tangan lu monyet!!” Pekik Chaka.

“Lu juga ngapain jilat tangan gue!”

“Berisik lu berdua, mendingan bantuin gue nih bikin portofolio buat Milkcocoa,” imbuh Gita menghentikan perdebatan Janu dan Chaka.

Sementara Yuno terdiam di kursinya, dia jadi mikirin gimana Ara nangis waktu itu meski Yuno sendiri gak tau hari yang Chaka maksud itu apa benar harinya dan Ara putus atau bukan. Pasalnya, Yuno ingat sekali keduanya sepakat mengakhiri hubungan saat Ara berada di Bogor. Lalu kenapa Chaka bilang dia pernah melihatnya menangis di balkon?


“Jadi lo bakalan nemenin Gita ke Bandung? Yakin kuat lo, No?” tanya Jo.

Siang itu Yuno sempat bertemu dengan Jo di cafe cowok itu, rencanannya sebelum ke Bandung dia mau ketemu sama teman-temannya dulu. Tio yang mengajak mereka bertemu untuk tanding futsal, rasanya sudah lama sekali Yuno enggak bermain futsal dengan mereka.

“Mau gimana lagi, gue juga ngerasa belum selesai, Bang.” Yuno melamun, melihat genangan air yang berada di bawah gelas berisi ice americano yang ia pesan barusan.

“Belum selesai?”

Yuno mengangguk, “masih banyak yang ngeganjel. Kaya gue belum nanya lebih jauh kenapa dia bisa nuduh gue selingkuh sama Ann, sama soal jepit rambut yang dia maksud.”

“Tapi lo gak selingkuh kan, No?” Jo memajukan kursinya, menelisik wajah kawan lamannya itu. Meski Jo yakin Yuno bukanlah tipe laki-laki seperti itu, tapi tidak ada salahnya dia bertanya lagi kan. Siapa tahu Jerman banyak mengubah Aryuno yang Jo kenal.

“Lo kenal gue, Bang. Buat deket sama cewek aja gue susah, Ara tuh cewek pertama gue.”

Jo mengangguk, agak lega mendengarnya. Yuno enggak berubah ternyata, masih menjadi Aryuno yang ia kenal. “Lo masih sayang tapi sama dia? Kenapa waktu itu lo mau-mau aja putus pas dia minta?”

Yuno menghela nafasnya pelan, katakan saat itu ia juga gegabah dalam mengambil keputusan. Namun, ada kalanya Yuno berpikir jika itu adalah keputusan yang tepat. Karena Ara merasa selalu tersakiti menjadi pihak yang selalu menunggu, dan Yuno enggak mau terus menerus menyakiti gadis itu tanpa ia sadari.

Jujur saja, jarak dan rentang waktu 5 sampai 6 jam membuat Yuno kalang kabut membagi waktu antara kuliah, menjadi asisten dosen, mengerjakan tugas dan waktunya untuk Ara. Belum lagi beberapa kali ia jatuh sakit.

“Gue pikir dengan udahan, gue gak akan bikin dia sakit lagi Bang. Gue gegabah jujur, waktu itu kondisi gue juga enggak stabil karena kepergian Ann.”

Jo menghela nafasnya pelan, dari cerita Yuno tentang Ara dan Ann sedikit banyaknya Jo bisa mengambil garis besarnya. “Lo ngerasa bersalah udah nolak Ann dan gak tau kalo hari itu jadi hari terakhir lo lihat dia?” tebak Jo.

Yuno mengangguk.

“Gini yah, No. Menurut gue gak ada salahnya lo nolak Ann, lo udah ada cewek dan itu bukan kesalahan lo juga. Lo gak perlu ngerasa bersalah, toh gak ada yang tahu kalo hari itu Ann juga bakalan kecelakaan.”

Yuno hanya diam, ucapan Jo benar. Tindakannya tidak ada yang salah, toh tidak ada yang tahu jika hari itu Ann akan kecelakaan. Ia juga yakin, Ann tidak ingin melihatnya terus merasa bersalah atas kesalahan yang tidak pernah Yuno lakukan.

“Kalo lo masih sayang sama Ara, kejar dia lagi, No.”

“Masalahnya ada cowok yang lagi deket sama dia, Bang. Gue juga takut kalo gue balik gue bakalan nyakitin dia lagi karena terus-terusan bikin dia nunggu.”

“Yaudah, terus lo maunya gimana?”

Yuno hanya menggeleng pelan, masih bingung maunya apa. Yuno hanya berencana untuk meluruskan kesalahpahaman Ara padannya, ada banyak hal yang ingin Yuno bicarakan pada Ara.

Tidak lama kemudian perhatian Yuno terintrupsi, ketika seorang gadis di ujung sana memanggil Jo. Wajahnya enggak asing, seperti Yuno pernah melihat gadis itu tapi ia lupa dimana.

“Siapa Bang?” tanya Yuno.

“Jenara,” Jo terkekeh, tadi Jenara memanggilnya untuk memberikan cake. untuk Yuno.

“Jenara Kim? Seriusan?” pekik Yuno kaget, ia melihat kembali wajah gadis yang berada di belakang showcase itu. Jenara sedang menyusun beberapa cake disana.

“Iya, liatinnya biasa aja kali, No.”

“Lo pacaran sama dia?”

Jo mengangguk malu-malu, dan itu membuat kedua mata Yuno membelalak kaget. “Kok selera nya Jenara jadi jatoh gini sih?”

“Sialan lu,” Jo terkekeh, kemudian menyenggol bahu Yuno. Menginsyarakatkan pada cowok itu untuk mencicipi cake nya. “Cobain nih, varian baru rasa pistacio kesukaan lo kan?”

Dan di sinilah sepasang anak manusia itu sekarang, duduk di kafetaria rumah sakit dengan keadaan canggung setengah mati itu. Sudah terhitung 5 menit keduanya di sana, namun tidak ada satu pun dari keduanya yang berani memulai obrolan lebih dahulu.

Yuno yang sibuk menelisik gadis yang tengah duduk di sebelahnya itu, bingung harus memulai pembicaraan dari mana. Apalagi saat ini Ara enggan memalingkan wajahnya untuk menghadap Yuno, Seperti ia adalah sesuatu yang membuat gadis itu alergi.

Ara justru lebih tertarik melihat air mancur yang berada di tengah taman, kebetulan kafetaria nya tidak jauh dari taman rumah sakit atau sesekali melihat pasien-pasien yang sedang duduk di lorong-lorong dari pada harus melihat ke arah Yuno apalagi memulai pembicaraan dengannya.

Yuno menarik nafasnya berat, ia tahu ini bukan saat yang tepat untuk membahas hubungannya dengan Ara. Keluarganya kini masih dalam suasana berkabung, apalagi melihat kondisi Gita yang sekarang ini. Yuno mengajak Ara untuk duduk di taman selain ia menunggu hingga Arial keluar dari kamar rawat Gita, Yuno juga hanya ingin mengetahui kabar dari Ara, Itu saja sebenarnya.

“Ra?” panggil Yuno pada akhirnya.

Ara? nama nya sendiri yang sudah lama tidak Ara dengar dari bibir Yuno. semenjak mereka berpacaran, Yuno jarang sekali memanggil Ara dengan namanya, Yuno lebih sering memanggilnya dengan sebutan 'sayang' makanya mendengar Yuno menyebut namanya sekarang, benar-benar terasa asing di telinga Ara.

Gadis yang di panggil itu menoleh, melihat ke arah Yuno dengan pandangan tidak nyaman. Yuno tahu itu, meski hanya sekilas mata mereka bertemu karena pada detik berikutnya Ara memalingkan pandangannya ke arah lain.

“Apa kabar?” lanjut Yuno.

Ara mengangguk, “baik, Kak Yuno?”

“Um, baik.”

Pada detik berikutnya tidak ada obrolan lagi di antara mereka, Ara sibuk menunduk sementara Yuno memaksa otaknya untuk mencari topik obrolan lagi. Kabar sudah ia dapati meski Yuno tidak begitu yakin dengan jawaban Ara, lalu apa lagi yang ingin Yuno ketahui dari gadis itu?

“Ra?” panggil Julian dari depan pintu masuk kafetaria, panggilan itu sontak membuat atensi Ara dan Yuno teralihkan. Keduanya kini menoleh ke arah Julian.

“Mau jenguk Gita gak? Mas Ril udah selesai nih.”

Ara hanya mengangguk kecil sebagai jawaban, kemudian ia menoleh ke arah Yuno lagi. Dan disitulah mata mereka kembali bertemu. “Kak, aku jenguk Gita duluan yah,” pamitnya.

“Um,” Yuno mengangguk.

“Duluan, Kak Yuno.”

Ara berdiri, kemudian melangkahkan kakinya meninggalkan Yuno yang masih setia di kursi kafetaria siang itu. Ia menghela nafasnya pelan, meremas tangannya ketika melihat Ara dan Julian keluar bersamaan dari kafetaria ke ruang rawat Gita.

Jujur saja, Yuno merindukan Ara. Tapi buat bicara banyak sama gadis itu juga Yuno enggak bisa, Yuno sadar Ara masih enggak nyaman dengan kehadirannya. Sementara itu, Ara sudah masuk ke ruangan Gita, tadinya dia masuk sama Julian. Tapi seorang suster menegur karena Gita baru boleh di jenguk oleh satu saja, jadi lah Julian menunggu di luar.

Di dalam sana, Gita enggak banyak bicara. Gadis itu baru bisa di ajak komunikasi tipis-tipis saja, jadi yang Ara lakukan hanya mengupasi Gita buah sembari menceritakan tentang boneka rajut yang Ara bawa untuknya. Dari dua hari yang lalu, Ara ngebut bikin boneka rajut untuk Gita. Ini juga jadi salah satu bentuk permintaan maafnya, sebenarnya Ara bikin 3, untuknya, Gita dan juga Echa.

Namun yang baru berhasil ia rampungkan hanya milik Gita saja, sisa nya masih berbentuk kepala yang belum Ara sambung ke badannya. Mungkin nanti jika ada waktu senggang lagi Ara akan melanjutkannya.

“Ini buat nemenin lo tidur, gue bikinnya agak kecil karna tadinya mau gue jadi gantungan kunci.” Ara menaruh boneka itu di samping Gita.

“Gue baru belajar bikinnya boneka bentuk panda, nanti gue belajar bentuk lain yah. Lo mau gue bikinin bentuk apa, Git?” tanya Ara.

Gita yang di tanya seperti itu hanya diam, dia masih memperhatikan boneka rajut yang Ara bawa. Menyentuhnya dan meraba wajah boneka itu dengan telunjuknya.

“Git?” panggil Ara.

Biarpun Ara pernah kesal dengan Gita, tapi melihat gadis itu tampak rapuh seperti ini membuat hatinya sakit juga. Gita yang selalu dia lihat di kosan dengan tawa dan ucapannya yang kadang ceplas ceplos itu menjadi Gita yang diam dengan pandangan kosong menyedihkan.

Ara gak pernah tahu hidup Gita semengerikan apa sampai-sampai ia harus mengalami hal seperti ini, tapi dari yang Ara tahu. Kepergian Papa nya cukup tragis, bahkan enggak ada yang menyangka kalau ada desas desus jika Papa nya Gita bukan mengalami kecelakaan tunggal namun sengaja bunuh diri, karena ketahuan menggelapkan dana perusahaan. Sampai detik ini pun Mama nya Gita masih mencari tahu kebenarannya.

Gita masih terdiam, memperhatikan boneka yang Ara berikan untuknya. Sampai akhirnya kedua mata gadis itu melihat ke arah Ara yang tengah menangis sesegukkan di depannya.

“Lo kenapa?” tanya Gita dengan suara parau nya. Gita bingung kenapa Ara tiba-tiba menangis, apa karena ia tidak menyahuti ucapannya barusan? Pikir nya.

Ara yang di tanya seperti itu hanya menggeleng pelan dan menghapus air matanya. “Gue kangen aja sama lo, maafin gue yah Git. Kemarin-kemarin gue udah jahat sama lo.”

Gita lagi-lagi hanya diam, namun gadis itu memperhatikan Ara yang sibuk mengusap air matanya sendiri dengan tangan dan lengan bajunya.

“Lo jangan ngerasa sendirian yah, Git. Hidup ini emang mengerikan banget, mungkin saat ini lebih mengerikan lagi buat lo. Tapi lo enggak sendirian Git, lo masih punya gue, Janu, Kevin, Mas Iyal, Julian, Echa sama Chaka. Kita temen lo, Git.”

Gita bingung menanggapinya seperti apa, jadi dia hanya diam sembari terus memperhatikan Ara. Gita bisa merasakan ketulusan dari permintaan maaf Ara, dia juga sudah melupakan kejadian itu.

Saat Ara pamit pulang pada Gita, gadis itu hanya mengangguk kecil tanpa mengucapkan apa-apa lagi, namun saat tangan Ara menyentuh gagang pintu dan hendak keluar dari ruang rawatnya, Ara menoleh ke arah Gita saat suara parau itu memanggil namanya.

“Ra?”

“Hm?”

“Makasih,” ucap Gita. Setelah mengucapkan itu, dia kembali meringkuk di ranjangnya memeluk boneka pemberian Ara tanpa melihat ke arahnya lagi.


Setelah menjenguk Gita, Ara gak langsung pulang ke Bandung. Kebetulan besok juga hari libur, jadi dia akan menginap di rumahnya dulu. Selama perjalanan pulang ke rumahnya di antar Julian. Ara banyak banget diam, ngomong-ngomong mereka naik angkutan umum karena motor Julian di tinggal di Bandung.

Biarpun begitu, Julian tetap ngotot buat ngantar Ara sampai rumahnya meski itu membuatnya lebih jauh pulang ke rumah. Rumah mereka enggak searah, dan Ara sudah mengatakan pada Julian jika ia tidak masalah pulang sendirian. Tapi tetap saja Julian ingin memastikan Ara pulang dengan selamat. Apalagi saat mereka pulang tadi sempat gerimis.

“Lo kenapa diam aja sih? Sakit gigi?” tanya Julian memecah hening di antara mereka, keduanya sedang berjalan kaki menunju rumah Ara, Bus yang mereka naiki tadi berhenti halte jadi mereka harus masuk lagi ke dalam kompleks perumahan.

“Gak kesambet kan abis ketemu mantan pacar?” ucap Julian asbun.

“Apaan sih,” Ara melirik Julian sinis, kemudian memukul perut cowok itu pelan. “Enggak lah. Cuma agak bingung aja, gue enggak nyangka dia beneran pulang terus ketemu di rumah sakit Itu aja.”

Julian mengangguk, ia sedang mempertimbangkan untuk menanyakan sesuatu pada Ara. Tapi ia takut gadis itu jadi sedih lagi kalau dia tanya-tanya soal perasaanya pada Yuno, jadi pada akhirnya Julian urungkan niat itu.

“Udah sampe, masuk gih.” Julian menunjuk pagar rumah Ara dengan dagu nya.

“Masuk yuk, gue kenalin sama Reno dan Mas Yuda.”

“Udah malam, Ra.”

Ara melihat ke jam tangan yang ia pakai di tangan kirinya, “apaan sih, baru jam 7 juga. Yuk?”

Julian tampak menimang-nimang ajakan itu, namun pada akhirnya ia mengangguk kecil dan mengikuti Ara masuk ke dalam rumahnya. Dari luar rumah itu nampak asri, ada buru-burung juga yang di gantung di dalam sangkar. Burung itu berkicau agak berisik ketika pagar rumahnya di buka.

Di teras rumah nya, Bunda banyak memelihara tanaman hias seperti bunga anggrek, bonsai dan juga kaktus. Benar-benar sangat nyaman meski ukuran rumah itu tidak begitu besar.

assalamualaikum, Bun? Ada Ijul nih, Bun.” panggil Ara.

Wa'alaikumsallam, udah pulang Kak?” Bunda keluar dari rumah, wanita itu tersenyum apalagi saat mendapati Julian mengantar putrinya itu. “Eh, nak Julian. Masuk sini. Sudah makan malam belum?”

Julian menyalami Bunda nya Ara, sudah bertemu dua kali dengan Bunda nya Ara tapi tetap saja Julian masih suka malu-malu.

“Udah, Tan—”

“Belum, Bun. Apaan udah sih lo, makan dulu sini.” sela Ara.

Julian hanya menyengir dan menggaruk tengkuknya malu-malu, ia memang belum makan malam. Tapi kalau makan malam di rumah Ara rasanya sungkan sekali, apalagi saat matanya bertemu dengan laki-laki gondrong yang sedang makan di meja makan itu.

Tatapannya tajam saat melihat Julian, dalam hati Julian menebak-nebak apa itu adalah Mas Yuda, Kakak pertama nya Ara?

“Makan sama-sama yuk, Tante masak semur daging. Enak deh, ada Reno adiknya Ara sama Mas Yuda juga. Kenalan dulu sini.”

Mau enggak mau akhirnya Julian mengangguk, enggak sopan rasanya menolak. Dan Ara yang melihat Julian tersenyum dengan kikuk itu malah tertawa, apalagi saat cowok itu merasa terintimidasi dengan tatapan tajam mata Mas Yuda. Julian enggak tahu aja Mas Yuda kalo udah ngomong ngeselin nya minta ampun, enggak ada lagi deh tuh aura galak kaya yang biasa orang-orang bilang saat pertama kali bertemu Mas Yuda.

Disini Arial sekarang, terpaku berdiri di depan taman rumah sakit sembari melihat punggung kecil yang tampak rapuh dari belakang itu. Arial menghela nafasnya pelan, seperti de javu Arial jadi ingat situasi seperti ini lagi saat ia bertemu dengan Gita di taman rumah sakit waktu itu.

Jauh sebelum Gita pindah ke Bandung, dan saat ini Arial harus di hadapkan pada situasi yang sama. Ah, tidak. Lebih memilukan kali ini karna Gita sama sekali tidak terlihat hidup. Sudah 2 hari sejak kejadian kecelakaan yang menimpa Papa nya itu, bahkan jasad nya sudah di kebumikan.

Gita masih merasa ini mimpi buruk yang kembali menimpa nya lagi, di kursi taman sana. Ada Kevin yang sedang menemani Gita, makanya Arial gak berani menghampiri gadis itu. Namun begitu Kevin menoleh ke arahnya, cowok itu seperti mengatakan sesuatu pada Gita kemudian menghampiri Arial.

“Masih diam aja?” tanya Arial begitu Kevin semakin dekat ke arahnya.

Kevin mengangguk, kedua laki-laki itu memandang punggung gadis rapuh itu dari kejauhan. “Masih, Bang. Semalam kata Suster yang jaga Gita sempat benturin kepalanya ke tembok dan jambak rambutnya. Karna udah gak ada benda yang bisa lukain diri dia lagi.”

Hati Arial mencelos, dia gak pernah tau kalau Gita akan menjadi serapuh itu. Jika disuruh memilih, lebih baik ia mendengar sumpah serapah dari gadis itu dari pada harus melihat Gita terlihat seperti saat ini.

“Gue balik yah, Bang.” ucap Kevin, sudah 3 jam dia di rumah sakit, Kevin pikir Arial ingin berbicara dengan Gita. Anggap Kevin ingin mencoba peruntungan, siapa tahu dengan kehadiran Arial, Gita mau berbicara. Yah, apapun itu. Asal gadis itu bersuara.

“Gita sendiri, Kev?”

“Mama nya lagi ngurus sesuatu sama Mama nya Bang Yuno, nanti ada Mbak Jesica yang datang buat jagain Gita kalo lo mau balik.”

“Mbak Jesica?” Arial mengerutkan keningnya bingung.

“Asisten nya Tante Masayu.” Kevin menepuk pundak Arial, kemudian berlalu dari sana.

Sebelum menghampiri Gita, Kevin sempat masuk ke kamar rawat gadis itu dulu. Mengambil cardigan yang di gantung di dekat ranjang Gita dan membawanya, di luar agak sedikit dingin karena bekas hujan semalam. Dia gak mau Gita kedinginan walau berkali-kali gadis itu pernah bilang kalau ia tahan dengan udara dingin.

Arial melangkah perlahan mendekati Gita, menaruh cardigan itu di pundak gadis yang tengah melamun di depan kolam ikan itu dan duduk di sebelahnya. Gita masih belum menyadari kehadirannya karena gadis itu melamun, walau tatapannya tertuju pada kolam ikan namun pandangannya sangat kosong.

“Git?” sapa Arial, siapa tahu Gita akan menyahut.

Arial meringis, tidak ada sahutan dari bibir Gita. Namun ia akan tetap berbicara, siapa tahu Gita menyimak ucapannya.

“Kaya de javu yah, Git.” ungkapnya.

Rasanya kaya de javu buat Arial, duduk di taman rumah sakit sembari mengobrol seperti ini. Walau saat ini hanya ia yang seperti bergumam sendirian. “Dunia terlalu jahat sama lo yah, Git.”

“Jahat,” lirih Gita, tatapannya tidak berpindah pada kolam ikan namun gadis itu menyahut. “Jahat banget.”

Dalam hati, Arial lega bukan main saat Gita menimpali ucapannya. Tidak apa hanya dua kata pun, itu sudah sebuah kemajuan bukan? Pikir Arial.

“Kak?” Gita menoleh, membuat Arial sedikit bingung karena gadis itu memanggilnya dengan sebutan 'Kak' alih-alih menyebut namanya saja seperti biasa. “Kenapa baru datang?”

“Hah?” Arial menelan salivanya susah payah, bingung harus menanggapi Gita seperti apa.

“Kak Yuno pasti sibuk,” lanjutnya lagi.

jadi dia anggap gue Yuno..” ucap Arial dalam hati.

“Git?”

“Gue takut disini.”

Arial masih dalam kebingungannya, namun ia tetap menimpali ucapan Gita itu. “Kenapa takut?”

“Jangan kemana-mana lagi, jangan pergi lagi.” Gita tiba-tiba memeluk Arial lebih dulu, walau bingung Arial tetap membalas pelukan itu dan mengusap punggung kecilnya.

“Gue enggak kemana-mana kok, gue disini sama lo.” Arial mengusap pucuk kepala Gita, walau mungkin Gita melihat dirinya sebagai Yuno. Tapi setidaknya gadis itu sudah mau memberikan respon. Itu tidak masalah bagi Arial, terserah Gita mau melihatnya sebagai siapa.

“Beneran yah?”

“Um,” Arial mengangguk.

Setelah itu Arial membawa Gita masuk ke dalam kamarnya, Jakarta di guyur hujan lagi pagi ini. Di dalam kamar, Gita hanya meringkuk sembari melihat ke arah jendela yang menunjukan hujan di luar sana serta kilatan petir yang sesekali muncul.

“Git?” panggil Arial lagi, ia tidak ingin Gita melamun. Gita tidak menyahut lagi, hujan di luar sama tampak seperti lebih menarik dari pada Arial menurutnya. “Apa gue udah masuk terlalu jauh ke hidup lo yah, Git?”

Arial hanya bergumam, namun gumam kecilnya tadi mampu membuat Gita menoleh ke arahnya. Kening gadis itu berkerut, namun sedetik kemudian Gita mengubah posisinya menjadi duduk dan menjauh dari Arial.

Seperti Gita kaget karena baru sadar ia mendapati seseorang masuk ke dalam kamarnya, padahal Arial lah yang dari tadi sudah menemaninya.

“Arial?!” pekik Gita.

“Kenapa, Git?” tanya Arial.

“Pergi!”

“Git, tapi gue—”

“KELUAR!” Gita teriak, dia nyaris kehilangan kendalinya lagi.

“Git, tapi.” Arial bingung, dia sudah biasa melihat kelakuan Gita yang menurutnya super random. Tapi enggak dengan sekarang ini.

“KELUAR!”

“Iya tapi kenapa, Git?”

“KALO GUE BILANG KELUAR YAH KELUAR!”

Dari pada Gita semakin parah, Arial bangkit dari kursinya dan hendak keluar untuk memanggil suster. Namun belum sempat ia menggapai gagang pintu, Gita tiba-tiba saja menangis dan memeluk dirinya sendiri di atas ranjang. Membuat langkah Arial tertahan di depan pintu sana.

ia ingin menghampiri Gita, tapi disisi lain Arial juga takut kalau Gita marah padannya lagi. Ia tidak ingin membuat suasana hati Gita kembali buruk hanya karena ia menghampirinya, jadi langkah itu terhenti di depan pintu sana.

“Gue enggak mau lo liat gue kaya gini, Ril.”

Rasanya seperti ada belati yang mencabik-cabik hati Arial untuk kesekian kalinya, alih-alih memanggil suster. Arial kembali mendekat ke arah Gita dengan hati-hati, merengkuh tubuh ringkih itu dan mendekapnya ke pelukannya meski beberapa kali Gita meronta meminta di lepaskan.

“Kalau gitu gue enggak akan kemana-mana.”

“Lepasin gue, Ril!!”

“Gue enggak mau pergi meski lo usir, Git.”

Gita lagi-lagi mencoba melepaskan Arial dari pelukannya meski itu berakhir nihil karena Arial memeluknya se erat mungkin. Seperti jika ia merenggangkan sedikit saja pelukan itu, akan ada sesuatu yang akan menyakiti Gita.

“Ril, lepasin!”

“Enggak, Git. Gue gak mau.”

Gita akhirnya pasrah, ia menangis dalam pelukan Arial meski tangis itu tidak bersuara. Bukan cuma Gita saja yang menangis, Arial bahkan menitihkan air matanya. Ini pertama kalinya ia menangis karena seorang gadis.

Tanpa keduanya sadari, ada Yuno yang baru saja tiba di rumah sakit. Cowok itu baru saja datang langsung dari bandara, bahkan Yuno masih menenteng ransel dan koper berukuran sedang miliknya. Yuno mengurungkan niatnya untuk masuk karena tampaknya Gita baru saja tenang meski dalam rengkuhan Arial.

Yuno gak menyangka kalau Gita akan berakhir seperti ini lagi, menghela nafasnya dengan berat. Yuno akhirnya berbalik, mencoba untuk menunggu Arial hingga selesai berbicara dengan Gita. Ia ingin ke kantin rumah sakit dulu, namun siapa sangka jika baru beberapa langkah ia pergi dari depan kamar rawat Gita, Yuno justru bertemu dengan Ara yang juga ingin menjenguk Gita.

Gadis itu enggak sendiri, dia berdua dengan seorang laki-laki tinggi yang berjalan tepat di sebelahnya. Sama hal nya dengan Yuno, Ara juga berhenti melangkah. Hatinya mencelos begitu melihat sosok yang sangat ia ingin hindari itu meski ia merindukannya.

Tidak ada sapaan di antara keduanya, keduanya hanya saling berdiam dan memandang. Sampai akhirnya, mata Yuno memandang ke arah laki-laki yang berdiri di sebelah Ara. Kedua mata mereka bertemu, jika Yuno memandang Julian dengan pandangan bertanya-tanya. Lain hal nya dengan Julian yang memandang Yuno dengan tatapan menelisik.

Seperti ada tatapan benci yang Julian lontarkan pada Yuno meski raut wajah cowok itu tampak begitu tenang, menurutnya Julian seperti air sungai yang tenang namun sangat dalam dan mematikan.

Pagi ini Ara bangun lebih pagi dari biasanya, bahkan dia bangun sebelum subuh dan langsung buru-buru ke dapur yang ada di lantai 1. Semalam setelah menyelesaikan tugasnya, Ara sibuk nyari resep pancake pisang yang enak di internet. Berbekal keberanian, akhirnya gadis itu langsung membuatnya pagi ini untuk sarapan.

Sembari bersenandung gadis itu mencampur berbagai bahan untuk membuat pancake nya ke wadan, kemudian menghaluskan pisang sembari sesekali ia memeriksa pan yang tadinya sudah ia olesi dengan butter.

Ara tersenyum, ia memang membuat pancake ini awalnya untuk Gita saja. Hingga hari ini Ara masih berusaha untuk merayu Gita agar memaafkannya, ya walau dia sendiri belum secara gamblang minta maaf langsung ke Gita sih. Tapi setidaknya dia mau mencairkan suasana dulu.

Sedang asik dengan adonan pancake nya yang hampir tandas, tiba-tiba aja ada suara derap kaki melangkah dari lantai dua. Ara sempat mengecilkan kompornya dulu untuk melihat siapa yang turun dari lantai dua, namun ternyata tidak ia dapati seseorang di sana.

“Gue gak salah denger kan? Tadi tuh beneran ada yang turun deh,” gumam nya.

Ara mengusap bahu hingga tengkuk nya, bulu kuduknya itu agak sedikit merinding. Namun ia halau pikiran buruk itu dan kembali melanjutkan masakannya pagi ini, hingga adzan subuh berkumandang. Ara masih sibuk berkutat di dapur, ia bukan hanya membuat pancake saja. Tapi Ara juga membuat roti bakar untuk bekal yang akan ia bawa.

“Bikin apaan lo, Ra? Kok pagi banget bangunnya?”

Ara tersentak kaget, pasalnya tidak ada derap kaki sama sekali namun tiba-tiba Echa sudah berdiri di belakangnya. Gadis itu sampai harus mengusap-usap dada nya karena degup jantungnya menggila.

“Cha, sumpah yah. Lo bikin kaget gue tau gak!” hardik Ara.

“Ih padahal gue jalan juga gak mengendap-endap loh.”

“Ck!” Ara berdecak, ia kembali memanggang rotinya lagi yang sebentar lagi selesai itu. “Gue lagi bikin sarapan buat anak-anak, lo dari mana? Kok gue gak denger lo turun dari atas?”

Echa duduk di kursi yang ada di dapur, kemudian mencomot strawberry yang Ara hias di atas pancake itu. Tenang aja, Echa ngambil strawberry di piring miliknya kok. Ara memang sudah membagi pancake itu untuk penghuni kosan dan menaruhnya di piring mereka masing-masing.

“Gue gak dari atas,” jawab Echa enteng di sela-sela kunyahannya.

“Hah? Tidur dimana lo semalem?”

“Di kamar Jan—” kedua mata Echa membulat nyaris saja ia keceplosan kalau semalam ia tidur di kamar Janu, namun buru-buru ia ralat ucapan itu sebelum Ara menyadarinya. “Gue.. Ketiduran di ruang tamu bawah, abis ngerjain tugas terus ketiduran.”

“Hah? Masa sih? Kok gue gak liat?”

“Gue.. Tadi sempet mandi dulu di kamar mandi bawah, nih lo gak liat gue habis keramas?” Echa menunjukan rambut panjangnya itu yang masih terbalut oleh handuk.

Ara yang melihat handuk di kepala Echa itu justru mengerutkan keningnya bingung, handuknya sangat familiar seperti Ara pernah melihat cowok kosan memakai handuk itu tapi siapa?

“Tunggu deh, kaya nya gue kenal sama handuknya.” Ara berusaha mengingat-ingat, kalau tidak salah itu handuk milik Janu kan? Handuk biru itu pernah tidak sengaja terbawa ke keranjang jemuran Julian dan Janu mengambilnya di kamar Julian sambil misuh-misuh minggu lalu.

“Ini handuknya Janu gak sih?” tebak Ara.

Echa mengibaskan tangannya salah tingkah, “ngaco loh, mana ada handuknya Janu. Eh udah ah, kok jadi ngalor ngidul gini sih ngomongnya.”

Ara menghela nafasnya pelan, ia menyelesaikan masakannya kemudian menatanya di meja makan. Echa pun turut mengekori gadis itu sembari ia sarapan pagi lebih dulu.

“Itu buat siapa, Ra?” Echa menunjuk kotak bekal yang Ara taruh di dekat piring miliknya.

“Ohh, ini?” Ara menunjuk kotak bekal yang ada di sebelahnya. “Ini buat Julian, hari ini dia ada raker sama Divisi keuangan di HIMA makanya gue bawain bekal.”

Echa ngerasa gak nyaman dengar ucapan Ara itu, namun sebisa mungkin ia menjaga air wajahnya dan hanya mengangguk sekena nya. “Lo deket banget sama Julian semenjak putus sama Kak Yuno deh.”

Ara berhenti sebentar untuk menuangkan susu ke gelas-gelas teman-temannya itu waktu Echa dengan sengaja menyebutkan nama Yuno. Usahanya untuk setidaknya mengalihkan pikirannya dari Yuno itu seperti sia-sia ketika seseorang kembali mengingatkan nya dengan cowok itu.

“Em..ang iya yah? Perasaan gue deket sama Julian dari dulu deh.”

“Emang Kak Yuno gak cemburu apa? Bahkan lo lebih kelihatan kaya pacaran sama Julian dari pada sama Kak Yuno,” ucap Echa santai.

Ara menarik nafasnya berat, benarkah? Apa selama ini ia terlihat seperti itu? Lalu apa dia harus menjauhi Julian? Tapi kenapa? Julian baik padannya, dan ia hanya menganggap Julian sebagai sahabatnya tanpa ada perasaan lebih.

Echa yang tadinya duduk itu agak sedikit bangun dan membungkuk, melihat wajah Ara yang mendadak mendung karena ia menyebutkan nama Yuno barusan.

“Hati-hati nanti naksir sama Julian,” bisik Echa. “Eh tapi jangan cepet-cepet juga naksirnya, lo juga kan baru putus sama Kak Yuno masa secepat itu sih udah suka sama cowok lain.”

Ara hanya diam, matanya sedikit memanas. Hatinya sakit waktu Echa bicara seperti itu padanya, padahal jauh dari yang Echa ucapkan. Ara justru masih sering merindukan Yuno bahkan di setiap malam sebelum ia tidur. Echa gak tahu bagaimana ia berjuang mengalihkan pikirannya dari Yuno.

Dan dengan entengnya cewek itu bilang seolah Ara adalah gadis yang mudah jatuh cinta bahkan kurang dari sebulan setelah ia putus.

“Apaan sih lo, Cha.” Jawab Ara.

Echa tertawa, ia kembali duduk di kursinya lagi. “Gue bercanda lagi, Ra. Gitu aja baper. Lagian mana mungkin lo naksir Julian gak sih? Tipe lo aja yang kaya Kak Yuno gitu.”

Karena ngerasa enggak nyaman, Ara buru-buru menyelesaikan pekerjaannya dan langsung melesat ke lantai dua masuk ke dalam kamarnya. Kebetulan hari ini dia juga ada kelas pagi, namun bukannya buru-buru bersiap ke kampus. Ara justru menangis dulu di ranjangnya, memeluk boneka pemberian Yuno itu lagi.


Motor yang Julian kendarai itu berhenti di parkiran mahasiswa, ia membiarkan Ara turun lebih dulu dan membukakan helm milik gadis itu. Kaitannya agak sedikit keras, makanya Ara enggak bisa buka sendiri.

Bukan Julian enggak sadar kalau sedari tadi sejak sarapan Ara agak sedikit diam, wajahnya juga tampak murung dengan mata yang agak sedikit memerah. Julian sudah tanya kenapa mata gadis itu memerah, namun Ara hanya menjawab kalau ini akibat kering karena semalam Ara pakai softlens untuk belajar.

“Kenapa sih? Cemberut gitu muka lo,” tanya Julian waktu dia sudah berhasil melepaskan helm di kepala Ara.

“Gapapa, Jul.”

“Lo tuh gak biasanya kaya gitu tau.”

“Emang biasanya gue gimana?” Ara menaikan sebelah alisnya. Dia sadar kok kalau pagi ini dia memang lebih diam, apalagi wajahnya yang cemberut itu enggak bisa Ara sembunyikan. Biasanya kalau pergi ke kampus sama Julian, keduanya suka membicarakan hal-hal random sampai tidak sadar sudah sampai di parkiran kampus.

“Biasanya lo tuh bawel, di jalan ada aja yang lo ceritain.”

Keduanya berjalan menuju ruang kelas mereka di gedung A fakultas Psikologi. Ruang kelasnya ada di lantai 5, kebetulan juga mereka datang 30 menit sebelum kelas akan di mulai.

“Gapapa, lagi capek aja kayanya,” jawab Ara sekena nya.

“Kalau capek, lo gak mungkin bikin sarapan buat anak-anak sekalian.”

Ara mengulum bibirnya sendiri, sejujurnya enggak enak diamin Julian kaya gini. Julian enggak salah, cowok itu selama ini udah baik banget ke Ara. Justru bukannya aneh kalau Ara harus jaga jarak dengan Julian hanya karena ucapan Echa barusan? Pikirnya.

“Lo udah minta maaf ke Gita?” tanya Julian.

Ara memang sempat cerita kalau ia menyesali perbuatannya kemarin yang udah kasar ke Gita. Dan Julian dukung Ara buat minta maaf ke Gita karena Julian juga merasa kalau Ara yang salah, karena sudah memakai kekerasan lebih dulu, menurutnya Ara hanya salah paham. Biarpun suka dan sayang banget ke Ara, Julian enggak pernah menilainya secara objektif hanya karena di landasi perasaan sukanya saja.

Kalau menurutnya salah yah tetap saja salah, dan Julian enggak menyangkal hal itu apalagi harus membela nya.

“Belum, mungkin nanti. Pagi ini gue lagi gak mood.” tanpa Ara sadari ia jadi mengungkapkan perasaanya yang sedang tidak karuan itu, memang susah untuk menyembunyikan banyak hal dari Julian. Sejak di Bandung, Julian lebih sering jadi tempat Ara bercerita ketimbang Echa.

“Tuh, kan. Kenapa sih?” tanya Julian.

Keduanya menunggu lift terbuka, bersamaan dengan banyaknya mahasiswa lain yang juga ingin menuju ke lantai atas. Bahkan Julian juga sedikit menggeser tubuh Ara yang kurus itu menjadi lebih dekat dengannya agar tidak tertabrak mahasiswa lain.

“Nanti aja yah ceritanya, Jul. Pas mau balik aja.”

Julian mengangguk, keduanya pun masuk ke dalam lift yang pagi itu agak sedikit padat. Seperti biasanya, Julian selalu menempatkan Ara di belakangnya dan menggandeng cewek itu. Namun, Julian sedikit kaget ketika pautan tangannya di tangan gadis itu dengan sengaja Ara lepas.

Julian bahkan sampai menoleh ke belakang, namun saat ia menoleh. Ara hanya tertunduk dan mengulum bibirnya sendiri, sampai lift terbuka di lantai tempat kelas mereka berada. Ara tetap bungkam walau gadis itu mengekori Julian.

“Jul, sebentar.” Ara merogoh saku kemeja miliknya, Arial menelponnya. Tumben sekali, ada apa? Pikir Ara. “Hallo, Mas Iyal kenapa?”

dek, Papa nya Gita kecelakaan. Beliau meninggal dunia, sekarang anak-anak kosan mau bareng-bareng ke Jakarta buat nganterin Gita. Kamu gimana?

“APA?!” pekik Ara yang membuat Julian ikut kaget dan penasaran. “Yaudah, kalau gitu aku sama Julian pulang sekarang, Mas.”

Ara memutus panggilan itu dengan wajah paniknya. “Jul kita pulang sekarang yah.”

“Kenapa, Ra? Kelasnya bentar lagi mulai—”

“Papa nya Gita meninggal karena kecelakaan. Anak-anak yang lain mau anter Gita ke Jakarta, ayo Jul kita pulang kasian Gita...”