By Spring Seasonnn

“Mas Yuda!! Mas Yuda!” pekik Ara, gadis itu turun dari lantai dua tempat kamarnya berada, Ara sudah rapih dan tengah mencari Yuda untuk meminta di antarkan ke rumah Yuno hari ini.

Di meja makan, gadis itu hanya mencomot pastel yang tadi pagi Papa nya beli di pasar sewaktu mengantar Bunda belanja. Papa sedang minum kopi di meja makan sembari menonton siaran ulang bola semalam melalui ponselnya.

Karena Yuda tidak kunjung keluar dari kamarnya, akhirnya Ara berinsiatif untuk memakai sepatunya dulu. Biar setelah Yuda keluar dari kamarnya mereka bisa langsung jalan.

“Pelan-pelan, Kak. Makan dulu baru di pakai sepatunya,” ucap Papa yang mulai risih liat Ara keribetan sendiri.

“Duh, Pah. Udah telat ini, Kak Yuno sama Bunda Lastri udah siap.” Ara menghela nafasnya, kemudian menghabisi pastel isi telur dan bihun itu dalam sekali suapan.

“Mas Yuda kemana sih, Pah?” Tanya Ara pada akhirnya karna Yuda tidak kunjung keluar juga.

“Di kamarnya, sana kamu panggil aja.”

“Ck.”

Ara yang sudah tidak sabaran akhirnya berjalan ke kamar Yuda, dan benar saja cowok itu masih sibuk menyisir. Rambut Mas Yuda memang sudah gondrong, dia enggak mau cukur, katanya masih betah dengan rambut panjangnya.

Dan perlu Ara akui jika rambut gondrong Mas Yuda memang cocok untuk dirinya, walau terlihat semakin sangar tapi Mas Yuda justru bertambah maskulin dengan tatanan rambut yang selalu ia ikat itu.

“Mas Yuda!!! Ihhh lama, buruan nanti aku di tinggalin!” Pekik Ara.

“Sabarrrrrrr!!”

“Ngaca mulu ih kaya ikan cupang, buruan, aku tunggu di depan.”

Akhirnya Ara masuk ke dalam mobil lebih dulu, di mobil ia menghela nafasnya dengan berat. Hari ini adalah hari keberangkatan Yuno ke Jerman untuk studi nya, Yuno sudah terdaftar menjadi mahasiswa di sebuah universitas bergengsi di Berlin.

Sebenarnya berat bagi Ara harus menjalani hubungan dengan jarak jauh seperti ini, bukan hanya soal perbedaan waktu yang cukup jauh, tapi juga keberadaan Yuno yang selalu bersamanya, Membuat Ara akan merasakan kehilangan, namun apa daya, dia sendiri gak bisa melarang Yuno untuk meraih apa yang cowok itu impikan.

Sedang asik melamun sembari mengusap liontin dari kalung yang Yuno belikan, tidak lama kemudian Mas Yuda datang. Cowok itu langsung masuk ke dalam mobil sembari bersiul, namun saat melihat raut wajah Ara yang sedikit mendung, Yuda mengerutkan keningnya.

“Dih, nangis lu yah?” tanya Yuda, lengkap dengan nada paling menyebalkan di telinga Ara.

“Berisik ah, udah jalan aja buru.”

“Yeeealah, Dek. Baru di tinggal ke Jerman ama Yuno aja nangis, liburan juga dia bakal balik.”

Ara diam saja, Mas Yuda memang suka menganggap sepele. Pantas saja setiap kali menjalin hubungan dengan perempuan, hubungan itu tidak akan bertahan lama. Ara sih enggak heran, karena yang sudah-sudah mantan kekasih Mas Yuda selalu bercerita betapa Yuda cuek dan masih nyaman dengan dunia nya sendiri.

Seperti Yuda sering lupa membalas pesan singkat, tidak ada waktu untuk sekedar jalan berdua atau terkadang Yuda yang terlalu friendly dengan teman-teman perempuannya yang lain.

“Takut Yuno selingkuh yah?” tebak Yuda, cowok itu melirik Ara sesekali dan kemudian kembali fokus menyetir. Untungnya pagi itu jalanan tidak terlalu padat, jadi Ara bisa pastikan tidak akan terlambat untuk sampai ke rumah Yuno.

“Apaan sih, Kak Yuno tuh gak gitu.”

“Terus kenapa mewek?”

Ara menghela nafasnya pelan, ia memalingkan wajahnya ke arah kaca jendela dan melihat jalanan di luar sana.

“Takut kangen aja.”

“Yaelah, Dek. Dangdut amat, sekarang kan jamannya udah canggih, udah bisa video call.”

“Tapi video call sama ketemu langsung tuh beda Mas Yuda.” Ara melipat tangannya di depan dada. “Gini nih, pantes aja pacar-pacar Mas Yuda minta putus, orang cowoknya aja cuek kaya begini.”

“Dih, enak aja. Mas tuh bukannya cuek, tapi mencoba memprioritaskan apa yang lebih penting dulu. Lagian masih pacar juga.” Yuda memang seperti itu, ia akan memprioritaskan apa yang menurutnya penting ketimbang sibuk berkencan dan mengabaikan urusan kampusnya.

Yuda itu aktif dalam organisasi di kampusnya, selain itu, Yuda juga masih suka bermain futsal, menemani Reno bermain basket atau sepedaan dan tentunya aktif dalam kegiatan menyuarakan aspirasi.

Bisa di bayangkan betapa sibuknya Yuda, kan. Dan dia kadang suka lupa kalau dia punya pacar yang menunggu kabar darinya, waktu di putusin pun Yuda gak pernah menyangkal kalau ia memang suka sibuk sendirian. Makanya kali ini Yuda enggak mau punya hubungan apa-apa sama perempuan, ia tidak ingin menyakiti hati perempuan lagi karena sikap cueknya itu.

“Terserah Mas Yuda aja lah.” percuma juga berdebat dengan Yuda, isi kepala nya dan Yuda sangat berbeda.

Tidak lama kemudian mobil yang di kendarai Yuda sampai juga di depan rumah Yuno, sudah ada mobil Bunda Lastri terparkir di depannya tapi Ara enggak melihat ada mobil Papa nya Yuno di sana.

“Heh, nanti pulangnya Mas Yuda gak bisa jemput, kamu naik ojol aja yah.” biasanya Ara memang suka meminta di jemput Yuda, yah walau kadang Yuda sendiri agak sedikit ngaret menjemputnya.

“Aku pulang sama Bunda Lastri.”

Setelah mengatakan itu, Ara langsung menutup pintu mobil nya dan masuk ke dalam rumah Yuno. Di sana Yuno sudah siap dengan koper besarnya dan backpacker yang ia bawa, sebagian barang Yuno yang lain sudah di kirim duluan ke apartemen yang akan Yuno tempati di Berlin.

Dan tidak membutuhkan waktu lama, mereka pun segera menuju ke Bandara. Di perjalanan Bunda banyak bercerita bagaimana kondisi kampus Yuno di Berlin, apartemen dan juga sekolah bahasa yang akan Yuno jalankan dalam setahun ini sebelum nantinya ia akan resmi menjadi mahasiswa kedokteran.

Ara sesekali menanggapi, walau terkadang ia harus menahan mati-matian perasaan tidak nyamannya. Di dalam mobil, Ara duduk di belakang bersama Bunda Lastri, sementara Yuno duduk di sebelah Pak Mamat, supir keluarga Yuno.

“Oh iya, Bun. Kok Papa gak ikut?” Ara dari tadi enggak lihat Papa nya Yuno, setahunya Papa sudah berjanji untuk mengantar Yuno juga.

“Papa ada jadwal operasi, sayang. Jadi terpaksa deh gak bisa antar Yuno, pagi-pagi sekali sudah pergi.”

Ara mengangguk, saat ia hendak melihat ke arah jendela matanya justru bertemu dengan mata Yuno yang tengah melihatnya dari rear view mirror. Yuno tersenyum, dan itu juga membuat Ara ikut tersenyum.

Begitu sampai di Bandara, Bunda Lastri menyingkir sebentar untuk menerima telfon dari rumah sakit. Dan kesempatan itu di pakai Yuno dan Ara untuk berbicara berdua sebelum Yuno boarding.

“Semalam aku mikirin banyak hal, Setelah telponan sama kamu,” ucap Yuno yang membuat Ara bingung. Matanya memandangi pautan tangan mereka, kemudian menoleh ke melihat wajah cantik yang nantinya akan sangat ia rindukan itu.

“Mikirin apa?”

“Kalo aku harus secepat mungkin selesain studi kedokteran aku, biar bisa pulang.”

Ara terkekeh, ia pikir Yuno mikirin apa. “Harus! Tapi juga Kak Yuno harus jaga kesehatan di sana, jangan telat makan, jangan terlalu forsir diri.”

“Sama jangan lupa mikirin kamu gak?” Yuno tersenyum, dan itu membuat Ara jadi salah tingkah sendiri.

“Apa sih, gombal.”

Melihat pipi kekasihnya yang semakin merona itu, Yuno hanya bisa terkekeh dan mengusap pucuk kepala Ara. Ia akan selalu merindukan suara gadis itu, rajukkanya dan pelukannya yang selalu membuat Yuno nyaman. Ah, jangan lupa cerita keseharian Ara dan teman-temannya itu.

Tidak lama kemudian tibalah waktu Yuno harus segera boarding Bunda Lastri sempat memeluk putra satu-satunya itu, dan memberikan nasihat-nasihat untuk Yuno. Sementara Ara berdiri di belakangnya, ia menahan segala gejolak kesedihan di sana, sungguh. Ara tidak ingin menangis.

Ia juga sudah berjanji pada Yuno bahwa saat akan mengantarnya ia tidak akan menangis, maka dari itu ia memilin ujung bajunya sendiri dan mati-matian mengigit bibir terdalamnya.

“Bunda duluan yah, Ra. Bunda tunggu di mobil,” ucap Bunda sembari menepuk bahu Ara, Bunda Lastri memberikan waktu bagi Yuno untuk mengucapkan salam perpisahan sebelum jarak memisahkan keduanya.

Saat Bunda sudah pergi barulah Yuno merentangkan tangannya, memberi isyarat pada Ara untuk segera memeluknya. Dan di saat itulah tangis Ara pecah, dalam pelukan cowok itu. Ia banyak-banyak menghirup aroma tubuh Yuno yang nantinya akan sangat ia rindukan.

“Kalo liburan aku pasti pulang, atau kalau kamu libur, Kamu aja yang ke Berlin gimana, hm?” Yuno berusaha untuk menghibur Ara, ia juga berat di tangisi seperti ini. Dulu, waktu Yuno mengatakan jika ia akan kuliah di Jerman. Mereka sempat bertengkar, Ara bilang dia enggak akan kuat untuk berhubungan jarak jauh dengan Yuno, Namun Yuno berhasil meyakinkannya.

Yuno sangat paham, terkadang Ara memang belum dewasa sepenuhnya. Dan Yuno menerima sifat kekanakan kekasihnya itu, menurutnya ada banyak keistimewaan Ara yang membuat Yuno tetap memilihnya alih-alih sifat kekanakannya.

“Tapi pasti lama kan?” ucap Ara di sela-sela isak nya.

“Kan bisa video call kalau kangen, yang berubah dari kita cuma banyak menunda buat ketemu. Kamu masih bisa cerita ke aku, aku masih bisa ngajarin kamu, aku masih bisa milihin kutek mana yang mau kamu pakai, masih bisa nyanyiin kamu.”

Karena tidak ingin semakin memberatkan Yuno, Ara mengurai pelukan mereka, menatap wajah tampan yang sebentar lagi akan pergi ke benua lain meninggalkannya. Yuno tersenyum, tidak ada bolongan indah di pipinya, namun senyum itu masih tetap menawan di mata Ara.

Kedua ibu jari cowok itu mengusap pipi Ara, kemudian terulur mengusap bahu kecilnya. Berharap isak gadis itu segera reda.

“Kak Yuno janji jangan lupa makan lagi?”

“Um,” Yuno mengangguk.

“Pakai jaket yang aku beliin kalau pergi pas winter.

“Siap.”

“Jangan genit-genit sama bule di sana.”

“Pacar aku secantik ini buat apa genit sama bule di sana?”

Ara mengulum bibirnya sendiri, ia mengangguk pelan.

“Aku berangkat yah.”

Ara masih menunduk, ia tidak ingin menatap Yuno dan berakhir menangis lagi. Namun siapa sangka jika Yuno justru menangkup wajahnya dan melayangkan satu kecupan di bibir ranumnya, membuat kedua mata Ara membulat dan waktu terasa berhenti berputar sejenak.

Yuno sedikit melumat bibir mungil itu, memangutnya dengan sangat hati-hati meski gadisnya tidak membalas ciuman itu, Ara memang masih kaku. Ia hanya memejamkan matanya menikmati setiap kecupan itu, saat di rasa sudah cukup meluruhkan segala gumpalan ketidaknyamanan di hatinya, Yuno melepaskan pautan itu.

Dan kakinya melangkah pergi meninggalkan Ara, ia tidak ingin menoleh ke belakang lagi yang nantinya akan semakin membuat langkahnya semakin berat.

Setelah selesai mempelajari beberapa materi untuk ujian sekolah bahasanya, Yuno hendak akan tidur. Ini sudah jam 12 malam di Jerman dan sebelum ia tidur, Yuno sempatkan mengirimkan pesan singkat ke Ara hanya untuk mengucapkan selamat pagi.

Setelah itu ia menarik selimut miliknya lalu menonton beberapa video dulu sebelum akhirnya terlelap, sudah 4 bulan setelah Yuno di Jerman dan ia masih aktif menjadi siswa sekolah bahasa Jerman sampai ke tingkat B2 sebelum akhirnya nanti melanjutkan ke kampus kedokterannya.

Satu bulan pertama setelah pindah Yuno banyak sekali kaget dengan budaya di Jerman, makannya dan yang jelas iklim di sana. Terlebih, Yuno benar-benar sendiri. Tidak ada sanak saudara di Jerman maka dari itu Ara tidak ada hentinya mengingatkan Yuno untuk menjaga kesehatannya.

Jika di tanya rindu dengan Jakarta dan segala bentuk kebisingannya, maka Yuno akan menjawab, tentu saja ia rindu. Mata yang perlahan-lahan mulai berat itu kembali segar ketika sebuah panggilan muncul di layar ponselnya. Itu Ara, gadis itu memang selalu bangun subuh-subuh.

Ara akan sedikit membaca materi sebelum mandi dan bersiap untuk sekolah, gadis itu akhir-akhir ini sibuk. Sejak menginjak kelas 12, Ara sering pulang larut karena ada jam tambahan di sekolah dan beberapa bimbel yang harus ia ikuti demi bisa masuk perguruan tinggi.

“Halo, Sayang?” sapa Yuno, wajahnya tersenyum walau Ara tidak melihatnya.

Kak Yuno kok belum tidur? Di sana udah jam 12 malam kan?

“Baru mau tidur kok, habis ngerjain tugas. Kamu lagi apa?”

lagi baca-baca materi aja, habis itu mau mandi.

Dari sebrang sana, Yuno bisa mendengar suara kertas yang seperti di bulak balik. Ara benar-benar tengah membaca kembali materi yang di pelajari nya. Kemarin Ara bercerita bahwa gadis itu sudah memiliki tujuan kampus mana yang akan ia pilih, Ara juga bilang jika ia ingin mengambil jurusan psikologi.

Dan alasan itu semua karena Ara termotivasi oleh Yuno. Sewaktu hectic menjelang ujian nasional, Yuno sempat sering terkena panic attack dan Ara tahu akan hal itu. Yuno juga sempat stress berat hingga berimbas pada kesehatannya karena waktu itu nilainya sempat turun, berujung dengan kemarahan Papa yang kecewa dengan nilai Yuno.

Sejak itu, Ara jadi termotivasi menjadi seorang psikolog. Jika Yuno nanti akan menyembuhkan orang lain, maka Ara yang akan menyembuhkannya.

“Um, jangan lupa sarapan yah. Di antar siapa, sayang?”

aku di jemput Echa sama Janu, ihhh Kak Yuno tau gak sih? Mereka tuh ngeselin banget tau,” Ara merajuk, jika boleh Yuno tebak pasti wajah gadis itu tengah cemberut sekarang.

“Kenapa sayang?”

Kak Yuno tau kan kalo Janu sama Echa pacaran? Yah itu, mereka bucin terus di kelas. Aku jadi kaya nyamuk tau di antara mereka, nyebelin banget kan? Apalagi Janu si kutu kupret itu, dia sering banget ngeledekin aku kalo aku pacaran sama Bang Toyib. Apa banget coba!!

Yuno terkekeh, ia sudah tahu Janu dan Echa berakhir bersama. Karena waktu itu Janu sempat menjadi bahan ledekan di grup chat yang Jo buat.

“Mulut nya Janu emang gak ada adab nya, masa aku di samain sama Bang Toyib.”

kalo Kak Yuno pulang kasih paham dia yah.

“Kalo aku pulang nanti aku ikat di tiang listrik aja kali yah,” ucap Yuno yang kemudian membuat keduanya tertawa.

Kak?

“Ya, Sayang?”

i miss you.” suara Ara sedikit bergetar, meski sudah 4 bulan di tinggal Yuno, Ara belum terbiasa akan hal itu.

Terkadang ia harus menahan diri untuk bercerita dengan Yuno karena perbedaan waktu antara Jakarta dan Berlin yang berbeda 6 jam. Belum lagi jika Yuno sedang sibuk dengan kegiatannya, begitu mereka ada sedikit waktu senggang Ara terkadang suka tidak mood untuk menceritakan kesehariannya.

Belum lagi Ara terkadang harus sedikit mengalah, seperti tidur sedikit larut demi bisa bertatap wajah meski dari layar laptop dengan Yuno. Atau bahkan sebaliknya, yah seperti ini.

“Sabar yah, aku janji kalau libur aku pasti pulang kok. Aku juga kangen kamu.” suara Yuno sedikit memelan, ia juga sangat merindukan kekasihnya.

Habis selesai ujian nasional, aku terbang ke Jerman yah? Aku nabung kok, nanti sisa nya aku minta tambahin Papa.

“Aku tambahin aja yah?”

jangan ih!!

“Kenapa emang?”

gak usah, Kak Yuno nanti jajanin aku aja di sana.

“Ya udah deh kalo gitu.”

Setelah berbicara dengan Ara melalui telefon, mata Yuno jadi tidak mengantuk lagi. Ia malah sibuk melihat isi galerinya, foto-foto nya dengan Ara. Kemudian membuat daftar tempat-tempat yang bisa ia kunjungi jika Ara ke Berlin nanti.

Meski baru 4 bulan di Jerman, Yuno sudah memiliki seorang teman dekat yang tahu sekali tempat wisata yang wajib di kunjungi jika ke Berlin. Maka dari itu Yuno sudah mengunjungi banyak tempat.


Ini sudah jam pelajaran ke 4 hari ini, sayangnya guru yang seharusnya hadir di kelas itu sedang berhalangan. Maka dari itu kelas 12 IPS 2 jadi agak ramai, ada yang asik bermain game, mengobrol, makan sampai yang pacaran pun ada.

Tapi yang Ara lakukan justru meringkuk di kursinya sembari menyandarkan kepalanya di meja. Perutnya terasa sakit karena hari pertama datang bulannya, Echa yang duduk di kursi Janu itu jadi menghampiri Ara yang terlihat tidak baik-baik saja.

Janu itu duduk di kursi belakang Echa dan Ara. Janu duduk sendiri, karena jumlah murid di kelas mereka hanya 27. Makanya Janu enggak punya teman sebangku, dan dia enggak masalah dengan itu.

“Ra, lo kenapa?” tanya Echa khawatir, ia menyibak rambut panjang temannya itu yang sedikit menutupi wajahnya.

“Cha, perut gue sakit banget.”

“Lo lagi dapet?

Ara hanya mengangguk, kepalanya juga sedikit pening karena keringat yang terus bercucuran di dahi nya.

“ke UKS aja yuk gue temenin, jam kosong gini.”

Ara hanya mengangguk, Echa kemudian membantu Ara berdiri dan memapah gadis itu untuk berjalan menuju UKS. Namun tidak lama kemudian Janu yang duduk tepat di belakang Ara itu kaget, pasalnya rok putih yang Ara kenakan berubah menjadi merah.

“Beb, rok nya Ara kotor!” pekik Janu yang membuat beberapa murid jadi menoleh ke arah Ara dan Echa.

Sontak itu juga membuat Echa langsung memeriksa rok yang Ara pakai, dan benar saja. Rok itu sudah kotor dengan darah yang agak banyak. untung saja Echa membawa jaket, jadi langsung ia ambil jaket miliknya dan ia ikat jaket itu di pinggang Ara agar menutupi roknya.

“Cha, tapi nanti jaket lo kotor gimana?” Ara jadi enggak enak, pasalnya itu adalah jaket favorite Echa.

“Udah lah gapapa, nanti bisa di cuci dari pada lo jalan di liatin orang kan gak lucu, Ra.”

Sesampainya di UKS, Ara berbaring di ranjang. Meringkuk sembari menghirup banyak-banyak aroma minyak angin yang di berikan oleh perawat UKS sembari menunggu Echa membelikan teh manis hangat untuknya.

Tiba-tiba saja ia jadi semakin merindukan Yuno, waktu Ara sakit perut saat sedang datang bulan seperti ini. Yuno yang mengantarnya pulang, Yuno juga yang memberikan jaketnya untuk menutupi rok Ara yang kotor.

Yuno bahkan enggak malu membeli beberapa kebutuhan Ara sewaktu datang bulan, seperti pembalut, jamu pereda nyeri, hot pack dan tablet tambah darah. Dan saat ini Yuno enggak ada di dekatnya.

Tanpa Ara sadari ia menangis, menutupi wajahnya dengan selimut. Isak nya tidak kencang, Ara menangis tanpa suara namun ia berhasil membuat nafasnya sedikit tersengal karena sesak menahan rasa sakit dan kerinduannya pada Yuno.

Tidak lama kemudian korden ruang UKS terbuka menampakan Echa yang membawa segelas teh hangat, dan wajah nya berubah menjadi panik karena melihat Ara yang tiba-tiba menangis sesenggukan.

Setelah menaruh teh hangat yang ia beli di nakas, Echa duduk di kursi samping ranjang Ara dan mengusap bahu temannya itu penuh khawatir. Waktu itu, Echa cuma berpikir jika keram perut yang Ara rasakan benar-benar sesakit itu.

“Ra, lo mau balik aja? Sakit banget yah?”

Awalnya Ara tidak menjawab, namun setelahnya gadis itu menyibak selimut yang menutupi wajahnya.

“Cha, gue kangen Kak Yuno...” ucapnya, dan tangis Ara semakin pecah.

“Ya ampun, Ra. Gue pikir kenapa—”

“Kenapa gimana!! Waktu gue keram perut tuh biasanya Kak Yuno yang bawa gue ke UKS, beliin jamu, beliin teh hangat sampai minjemin jaketnya!!” rajuk Ara benar-benar seperti anak kecil yang tengah menangis karena tidak di belikan mainan.

“Iya, tapi kan sekarang ada gue, Ra.”

“Gue maunya Kak Yuno!”

Setelah selesai pada kelas bahasanya, Yuno berniat untuk berjalan-jalan sebentar di sekitaran daerah sekolah bahasanya. Yuno sangat bersyukur ia bisa memiliki teman-teman yang baik. seperti saat ini, Yuno tengah duduk di taman bersama dengan Josep, Josep adalah siswa dari Thailand yang juga berkuliah di Jerman. Mereka satu kelas di kelas bahasa yang sama.

Sayangnya Josep tidak mengambil jurusan kedokteran seperti Yuno. Apartemen mereka pun hanya beda lantai saja, hari ini mereka sedang menunggu Rosseane atau yang kerap di sapa Ann. Ann ini berasal dari Indonesia juga, sama seperti Yuno.

Rencananya ketiga nya akan ke Mauerpark untuk duduk-duduk sembari menikmati hari menjelang weekend, setelah itu Yuno juga berencana untuk belanja karena stok makanannya sudah hampir habis.

Tanpa kedua laki-laki itu sadari, seorang perempuan mengendap-endap di belakang mereka. Perempuan dengan paras seperti blasteran Indo dan Jerman, itu Rosseane dengan rambut bloonde yang ia ikat asal.

“DOR!!!” pekiknya, yang berhasil membuat Yuno dan Josep terkesiap di kursi mereka.

Ann yang melihat reaksi kedua temannya itu yang terkejut akhirnya terkekeh, ia merangkul keduanya dengan gemas.

It's so funny,” ucap Ann sembari memegangi perutnya.

“Kalo jantung gue copot lo gue salahin yah?” Yuno menggeser duduknya, memberikan isyarat pada Ann untuk duduk di sebelahnya.

Watch out, I'll reply until you faint from shock,” balas Josep tidak terima, Ann hanya semakin tertawa apalagi saat melihat Josep mengusap-usap dada nya.

“Kita mau langsung jalan aja?” tanya Yuno.

“Iya sekarang aja gak sih?”

Setelah kedua cowok itu setuju, ketiganya langsung berjalan ke bus stop. Menunggu bus yang akan mengantarkan mereka ke Mauerpark. Di perjalanan mereka sempat bercerita tentang materi yang mereka pelajari hari ini, dan juga soal ujian minggu depan untuk kenaikan level bahasa mereka.

Sesekali Yuno memeriksa arloji miliknya, di Berlin hari ini sudah jam 4 sore. Itu artinya di Jakarta kini sudah jam 10 malam, Ara mungkin sudah tidur ketika Yuno pulang ke apartemen nya nanti. Jadi Yuno memutuskan untuk mengirimi Ara pesan dulu.

Mengatakan jika ia keluar sebentar dengan teman-temannya, dan Yuno akan menelfon Ara kembali jika cewek itu sudah pulang sekolah.

“Lo mau ke Asia mart, No?” tanya Ann yang duduk di kursi sebelah Yuno.

Yuno mengangguk, memperlihatkan daftar belanjaannya pada Ann. “Perut gue kalo gak makan-makanan Indo kaya ada yang kurang, lo mau belanja juga?”

“Kayanya sih, cuma mau beli bumbu aja. Sisa nya nanti gue bisa belanja di supermarket deket apart.”

“Lo udah bisa masak?” tanya Yuno, dia agak sedikit kaget karna terakhir kali Yuno dan Josep main ke apartemen Ann. Gadis itu membuatkan mie instan untuk Yuno dan Josep namun mie instan itu belum matang sempurna, makanya Yuno agak kaget waktu Ann bilang mau beli bumbu.

“Enggak, kebetulan sepupu gue lagi liburan. Jadi dia yang masak, terus ngirimin daftar bumbu apa aja yang harus gue beli, makanya bantuin yah.”

Yuno terkekeh, namun akhirnya ia mengangguk.

Begitu sampai di Manuerpark, ketiganya duduk di hamparan rerumputan, Josep sempat mentraktir Yuno dan Ann burger. dan Yuno mentraktir Josep dan Ann lemonade. Ann itu sudah biasa di Jerman, ia sering berlibur ke sini. Jadi Ann yang paling tahu jalanan-jalanan di Berlin.

Di antara Yuno dan Josep, Ann juga lah yang paling cepat naik level bahasa. Bahkan bulan depan Ann sudah bisa lulus dari sekolah bahasanya.

Sorry guys, I have to answer the phone from my girlfriend. I'll come back later” Josep memamerkan panggilan dari pacarnya itu pada Yuno dan Ann.

Ann hanya tertawa, kemudian mengangguk pelan. Dan tidak lama kemudian Josep agak sedikit menjauh dari mereka. Dan kini tinggal Yuno dan Ann yang masih menikmati gigitan terakhir burger milik mereka.

“Ann?” panggil Yuno.

“Hm?”

“Selain tempat-tempat yang udah kita kunjungin, ada lagi gak tempat yang menurut lo harus di datengin buat berdua?” Yuno mau menambahkan daftar tempat yang harus ia kunjungi bersama Ara selama gadis itu di Jerman nanti.

“Ada sih, kenapa emang?”

“Kemana tuh?”

“Heidelberg, Heidelberg Palace. Kampus kedokteran lo di sana juga kan?”

Yuno menjentikkan jarinya, ia sampai lupa kalau Heidelberg Palace bahkan di tandai sebagai simbol romantisme di Jerman. Kebetulan tempat itu juga dekat dengan kampus kedokterannya, Yuno hanya sekolah bahasa di Berlin selama 1 tahun. Dan kemudian ia akan pindah ke Heidelberg dan menetap di sana sampai lulus dari kampus kedokterannya.

“Gue sampe lupa, bener juga yah. Bahkan Heidelberg Palace juga di julikin sebagai simbol romantisme di Jerman. Kenapa gak kepikiran.” Yuno heran pada dirinya sendiri, bisa-bisa nya ia melupakan tempat itu. Ia sudah pernah ke sana, waktu Papa mengajak Yuno berkunjung jauh sebelum ia kelas dua belas.

“Lo mau ngajak siapa?” Ann menoleh ke arah Yuno setelah ia menghabiskan burger miliknya.

“Cewek gue, dia mau liburan di Jerman setelah kelulusan nanti.”

Ketika mendengar jawaban Yuno itu, Ann terdiam. Ia sedikit meringis, jujur saja Ann memang mengagumi Yuno dan tidak pernah berpikir jika Yuno sudah memiliki kekasih.

She is beautiful?” tanya Ann hati-hati.

Yuno mengangguk, cowok itu tersenyum dan matanya berbinar terang. Ann bahkan enggak pernah melihat pancaran kebahagiaan seperti itu sebelumnya dari wajah Yuno.

“Banget, dia baik, ceria dan paling mengerti gue, Ann. Ah, ngomongin dia gini jadi bikin gue tambah kangen. Bagi gue, dia itu kaya bunga mawar. Cantik, kadang kelihatan kasar dan menyeramkan karena ada duri di batanganya. Tapi itu justru cara dia melindungi diri,”

“Di mata gue dia kaya warna merah. Kelihatan elegan, berani dan jadi pusat perhatian. Meski dia suka warna pink,” Yuno terkekeh.

“Siapa namanya?”

“Arumi Naura Shalika, namanya bagus yah?”

Ann tidak menyahuti lagi, ia hanya mengangguk pelan dan membuang pandanganya ke arah lain. Dari pancaran matannya, dari bagaimana Yuno mendeskripsikan gadis itu. Semua menjelaskan betapa Yuno mencintai gadis bernama Arumi Naura Shalika itu.

Dalam hati Ann iri, ia juga ingin di cintai seperti itu oleh seorang laki-laki. Namun di sisi lain, gadis itu benar-benar beruntung bisa memiliki Yuno.


“Haiiii Kak Yuno!!” pekik Echa waktu Ara mengarahkan ponselnya ke Echa yang kebetulan lagi main di rumah Ara, ada Janu juga tapi cowok itu sedang ke kamar mandi.

hai, Cha. Gimana pacaran sama Janu nya?” ledek Yuno.

“Ahh Janu gak jelas, Kak. Suka cemburu buta enggak jelas, masih suka centil juga. Makan hati gue nih.”

Ara jadi terkekeh, Janu memang masih suka genit ke cewek lain. Terutama ke adik kelas, walau cowok itu bilang hanya bercanda saja tapi tetap saja itu membuat Echa cemburu.

getok aja kalo macem-macem mah. Di bilangin jangan mau sama Janu.

Tidak lama kemudian terdengar pekikan suara Echa dan Ara, ponsel yang tadinya wajah keduanya juga berubah dan kini di gantikan wajah Janu di layar ponsel milik Ara.

“Dih, songong Bang Toyib. Heh kapan balik lu, Bang? Cewek lu nih kemarin nangis-nangis gara-gara kangen.”

“Janu apaan sih ember banget mulut lo!!” pekik Ara, gadis itu juga melempar Janu dengan cushion yang ada di sofabed kamarnya.

“Tuh kan liat tuh, kelakuan cewek lu brutal banget,” Janu mengadu.

emang lo mah pantes buat di kasarin, eh mana Ara? Balikin HP nya gue mau ngomong sama cewek gue.

Tidak lama kemudian Janu memberikan ponsel itu ke Ara, dan Ara menjauh dulu dari teman-temannya itu. Ia yakin ada yang ingin Yuno bicarakan dengannya, dari tadi Yuno sibuk menyapa Echa dan Janu, mereka belum sempat berbicara berdua.

“Kak Yuno udah makan?” tanya Ara begitu ia sampai di balkon kamarnya.

udah kok, Sayang?

“Iya, Kak?”

yang di bilang Janu bener?

Ara tidak menjawab, ia hanya melihat ke arah lain. Ia memang sempat menangis kemarin sewaktu keram perut, Ara juga enggak cerita apapun tentang keram perutnya pada Yuno. Tidak ingin membuat cowok itu khawatir, apalagi kemarin Yuno sedang banyak bercerita tentang hari-harinya.

Ara?” panggil Yuno menintrupsi lamunan Ara akan harinya kemarin.

“Janu kok di percaya sih, Kak? Kaya gak tau aja dia kaya kompor bleduk,” sangkal Ara.

beneran? Kamu gak lagi bohong kan?

Ara hanya mengangguk, “aku kemarin keram perut, nangis nya karena itu kok. Tapi habis itu udah baikan, Echa yang beliin aku obat.”

Di sebrang sana Yuno menghela nafasnya pelan, Yuno tahu bagaimana Ara jika sedang datang bulan. Biasanya jika sedang merasakan keram perut, Yuno selalu membelikannya hot pack, jamu dan makanan-makanan yang Ara inginkan. Tapi karena jarak, kini ia tidak bisa melakukan itu untuk gadisnya.

sekarang masih sakit?

“Udah enggak kok, ini aku udah biasa aja malahan. Kak Yuno gak usah khawatir yah.”

aku tetap khawatir, maaf yah aku gak ada di sana waktu kamu butuh aku.” katakan Yuno egois, ia tidak ingin peran dirinya di gantikan oleh siapapun dan hanya bisa berharap Ara akan selalu baik-baik saja di sana.

“Kak Yuno, disini aku kan gak sendirian. Ada Bunda, Papa, Mas Yuda, Reno, Echa, Janu. Ah iya, Gita. Aku rencana nya mau main sama Gita minggu depan.”

kemana, sayang?

“Cuma ke Jakarta Aquarium. Mau liat biota laut. Sama teman-teman dia juga kok.”

have fun yah. Nanti pas aku pulang, kita ke sana berdua.

“Bener yah?”

Yuno mengangguk.

“Aku tagih!! Yaudah, Kak Yuno lanjut belajar buat test hari ini, semangat yah! Aku juga mau belajar buat Try Out.”

Setelah menutup panggilan video dari Kak Yuno, Ara kembali ke kamarnya. Gadis itu langsung menjambak rambut Janu hingga cowok itu mengeluh kesakitan.

“Anjirrr lu mak lampir, sakitt banget!! Rambut gue rontok tuh!” pekik Janu sembari memperlihatkan 2 helai rambutnya yang rontok karena Ara jambak.

“Lo nih, bikin Kak Yuno overthinking tau gak, kasian tau dia jadi ngerasa bersalah banget karena dia gak ada waktu gue butuh.”

“Tau lo, Nu. Lo tuh kebiasaan deh suka jadi kompor,” ucap Echa.

“Lah, kan emang bener kalo kemarin lo nangis karena kangen juga sama Bang Yuno. Bagus itu gue kasih tau biar dia peka, lagian nih yah, Ra. Lo tuh udah LDR sama Bang Yuno, komunikasinya kudu di kencengin. Lo gak takut apa kalo Bang Yuno di sana mmmphhh—”

Sebelum mulut Janu bicara semakin melantur lebih baik Echa membekapnya saja. Bukan hanya Ara yang kesal kalo Janu udah jadi kompor begini, tapi Echa pun juga.

“Gausah di dengerin, Ra. Anggep aja orang gila,” tukas Echa.

Malam itu Rachel sedang melamun di balkon kamar nya, memandangi langit malam tanpa bintang di temani rintik hujan dan semilir angin dingin yang menusuk hingga tulangnya. Sesekali ia mengusap kedua lenganya, mengeratkan cardigan yang ia pakai walau itu tidak banyak membantu untuk menghangatkan tubuhnya.

Sudah seminggu ia dan Dimas bertengkar, dan tidak jarang Ibu mertua nya itu ikut campur dalam permasalahan rumah tangganya. Dimas dan Rachel sudah menikah sekitar 8 bulan, belum di karuniai keturunan. Dan selama 8 bulan itu juga Rachel seperti hidup dalam neraka yang di buat oleh Ibu mertua nya.

Ibu nya Dimas tidak pernah menyukai Rachel, sudah jelas alasanya. Karena Rachel memiliki anak dengan mantan kekasihnya, dan Ibu nya Dimas keberatan dengan itu. Meski tahu Rachel adalah seorang dokter dan tengah menjalani studi spesialisnya. Ibu nya Dimas enggak perduli sama itu, yang beliau inginkan adalah. Dimas menikahi perempuan baik-baik yang belum memiliki anak, apalagi dari hasil di luar pernikahan.

Dan itu juga yang menjadi duri di rumah tangga Rachel dan Dimas, selalu tentang mantan kekasih dan anaknya yang menjadi hal mereka bertengkar. Seperti saat ini, Dimas yang cemburu ketika Rachel izin menjaga Hana bersama Yuno di rumah sakit. Anak itu sakit, dan Hana hanya ingin di temani oleh kedua orang tua nya saja.

Sejak lahir, Rachel enggak pernah mengurus Hana. Bahkan memberikan ASI nya pun tidak, ia meninggalkan bayi itu bersama Yuno untuk tetap mengejar impianya sebagai seorang dokter sekaligus model. Yuno enggak pernah marah dengan hal itu, ia membiarkan Rachel pergi mengejar semua yang ia inginkan.

Saat tengah melamun, Rachel merasakan ada sepasang tangan melingkari pinggang rampingnya. Itu tangan Dimas, Rachel bisa tahu hanya dari parfum yang di kenakan pria itu.

“Aku minta maaf yah,” bisiknya, Dimas mengecupi bahu Rachel dan menenggelamkan wajahnya di ceruk leher jenjang Istrinya itu.

“Dari awal aku udah bilang ke kamu Mas, Sama aku itu enggak mudah.”

i know aku yang salah karena udah cemburu.”

Rachel menghela nafasnya pelan, melepaskan kedua tangan Dimas dan membalikan badannya menatap Suaminya itu dengan wajah penuh rasa bersalahnya.

“Aku gak mau kita berantem terus-terusan,” cicit Semesta.

“Apa kamu pikir aku mau?”

“Tapi aku juga gak bisa nyembunyiin kalo aku cemburu, di antara kamu sama dia ada anak itu—”

“Namanya Bintang.” Tari benci setiap kali Semesta menyebut Bintang dengan sebutan 'anak itu.' Tari tahu, Semesta masih belum bisa menerima Bintang. Meski pria itu bilang dia bisa menerima masa lalu Tari.

“Iya, Bintang.” koreksinya. “Aku takut kamu kembali sama Angkasa.”

Rachel mendengus, ia membuang pandanganya ke arah lain. Agak sedikit kecewa karena Dimas masih terus meragukkanya, bagi Rachel hubunganya dengan Yuno hanyalah sebagai orang tua Hana. Toh, mereka juga enggak pernah menikah. Rachel menolak saat Yuno ingin bertanggung jawab saat mengetahui ia hamil.

“Kamu masih gak percaya sama aku, Mas?”

“Rachel, kamu gak ngerti posisi aku disini tuh gimana.”

“Iya, aku gak ngerti. Termasuk sama jalan pikiran kamu.”

Dimas dan Rachel sempat diam, masih saling memandang. Seperti mereka saling berkomunikasi hanya dengan saling bertatapan seperti itu, meski rasanya tidak nyaman tapi keduanya masih tetap bertahan pada posisinya.

“Kamu masih cinta sama aku gak sih?” tanya Dimas pada akhirnya.

“Mas..”

“Gak, kalau kamu udah gak cinta sama aku. Aku bisa mundur, aku bisa lihat Yuno masih sangat cinta sama kamu, Hel. Sorot matanya gak menjelaskan kalau dia cuma anggap kamu sebatas Ibu nya Hana.”

“Apa kamu pikir perasaan aku ke Mas Yuno masih ada hanya kamu pikir dia masih cinta sama aku?” perasaan Rachel ke Yuno sudah tidak ada lagi, ia sudah melupakan laki-laki itu. Rachel hanya menganggap Yuno sebagai Ayah dari anaknya saja. Tidak lebih, dan ia hanya mencintai Dimas. Meski hidup dengan pria itu juga seperti neraka baginya.

“Kamu pikir bertahan sama kamu mudah, Mas? Kamu pikir enak jadi aku?”

“Hel..”

Dimas tahu arah bicara Rachel ke mana, Dimas juga tahu bahwa Ibu nya enggak pernah menyukai Rachel. Bahkan Ibu sering kali menyuruh Dimas menceraikan Rachel kalau dalam waktu 2 bulan ini Rachel belum hamil. Selalu ada saja alasan Ibu nya untuk membuat Dimas menceraikan Rachel.

Rachel mengusao wajahnya gusar, ia sudah lelah bekerja dan belajar hari ini. Dan malamnya Dimas malah mengajaknya berdebat, walau awalnya pria itu memang berniat meminta maaf. Karena tidak ingin memperpanjang masalah, Rachel masuk ke dalam kamar. Namun ia sedikit tersentak, ketika tidak lama kemudian tanganya di tarik oleh Dimas dan bibir nya di cium paksa oleh Suaminya itu.

Rachel kaget bukan main, decapan, lumatan serta gigitan dari Suaminya itu di bibirnya bisa menjelaskan betapa cemburu sekaligus sayang yang Dimas curahkan disana.

Rachel hanya diam saja, tapi ia menikmati setiap pangutan bibir Suaminya itu. Ia memejamkan matanya, menaruh kedua tanganya di leher Dimas. Sementara kedua tangan Dimas berada di pinggang ramping Istrinya itu.

Tidak ingin Dimas merasa tidak di cinta, Rachel menekan tengkuk Suaminya itu. Mencecapi bibir Dimas dan sesekali melumatnya seperti orang kehausan, tangan Dimas yang semula berada di pinggang Rachel itu beralih menarik cardigan yang Istrinya itu kenakan.

Hingga cardigan itu lepas, menampakan bahu mulus Istrinya itu yang hanya mengenakan gaun tidur berbahan satin berwarna merah marun dengan tali tipis di bahunya. Keduanya masih saling terpaut, tidak pernah puas mencecapi rasa bibir masing-masing. Kali ini bukan hanya ada luapan cemburu, ego dan kasih sayang. Ada sirat hasrat yang ingin keduanya tuntaskan.

Jadi, Dimas menuntun Istrinya itu ke ranjang mereka. Sembari tanganya melepas satu persatu kemeja yang ia pakai, dan melemparnya ke sembarang arah. Ciuman keduanya sempat terlepas, saat kaki Rachel menabrak ranjang mereka dan ia jatuh di sana dengan tubuh gagah Dimas berada di atasnya.

Namun Dimas tidak membiarkan itu berlangsung lama, ia kembali memburu bibir Istrinya itu sembari terburu-buru membuka gaun tidur yang Rachel kenakan. Saat gaun itu tanggal, Dimas membuangnya sembarangan. Kini Istrinya itu hanya mengenakan celana dalam dan bra berwarna senada dengan gaun tidurnya tadi.

Tangan Rachel yang semula di bahu Dimas, kini beralih mengusap dada bidang Suaminya itu, kemudian turun membelai perut Suaminya dan menjalar ke punggung lebar Dimas.

“Aahhhh..” Rachel melenguh, ketika Dimas mengecupi lehernya sembari ia remas payudaranya itu dengan satu tangan.

Kini bra yang Rachel kenakan sudah tidak pada tempatnya lagi, dan Dimas melepasnya dengan kasar. Payudara sintal Rachel yang sudah tidak terhalang apapun itu kini ia kecup, ia remas dan ia usap puting merah muda nya itu dengan jari telunnjuknya.

“Nngggh..” Rachel meremas rambut Dimas, menekan kepala Suaminya itu untuk terus bermain di atas payudara nya.

Dimas terus mencecapi puting Istrinya itu bagai bayi yang kehausan, sesekali ia mengigitnya dengan gemas dan meremas payudara sebelahnya dengan gerakan yang membuat Rachel pening setengah mati.

“Mas.. Mmhh..”

“Hm?”

Masih betah berlama-lama dengan payudara Istrinya itu, dengan terburu-buru Dimas melepas sabuk yang ia pakai dan melepas celana bahan yang ia kenakan. Miliknya di bawah sana sudah sesak, gundukan besar itu semakin besar ketika kaki Rachel menyentuhnya. Mengusapnya dengan punggung kakinya seduktif.

“Aaarghhhh Rachel..”

Dimas hanya berharap, malam panjang ini bisa membrikannya keturunan untuk ia dan Rachel. Agar tidak ada alasan lagi bagi Ibu nya untuk membuat mereka berpisah.

Bibir Dimas yang semula masih mengecapi puting kemerahan itu, kini beralih mengecupi perut rata Istrinya itu hingga kini wajahnya berada di depan vagina Istrinya itu yang masih tertutup oleh celana dalam.

Sebelum membuka nya, Dimas menarik nafasnya pelan. Ia benar-benar berharap bayi hadir di antara mereka, Dimas benar-benar mendambakan seorang anak.

“Mas?” panggil Rachel.

Tanpa memperdulikan panggilan dari Istrinya itu, Dimas melepas celana dalam Rachel. Dan kini tubuh indah milik Istrinya itu tidak terhalang benang sedikit pun, Dimas bahkan bisa leluasa mencecapi vagina istrinya itu. Lidahnya dengan pandai bermain di sana hingga kaki Rachel menggelincang hebat.

“Aaahh, Mas.. Mmhhh..” Rachel merapatkan kakinya, menahan kepala Suaminya itu untuk tetap berada di sana.

Dimas enggak perduli dengan erangan serta lenguhan Rachel, itu semakin membuatnya bersemangat mengerjai bagian bawah Istrinya itu hingga Rachel frustasi.

“Aaahhhh..” nafas Rachel terengah-engah pelepasan pertamanya baru saja keluar, dada nya naik turun dan peluh membasahi dada hingga keningnya.

Namun Dimas benar-benar tidak memberinya sedikit jeda untuk beristirahat, lidah pria itu kembali mencecapi vagina nya. Membuat kaki Rachel kembali bergelincang menahan nikmat sekaligus geli.

“Aaahhh.. Mas.. please nnghh..” dengan kuat ia meremas seprei yang ada di sana, kaki Rachel yang semula mengapit kepala Dimas kini ia lebarkan.

“Mmmhhh.. Aku mohon, Dimas.. Aahh” dan Rachel memejamkan matanya, menikmati pelapasan keduanya yang membuat kedua kakinya bergetar.

“Sayang?” panggil Dimas.

“Hm?”

you okey?

“Um,” Rachel mengangguk, ia membuka kedua matanya dan mengusap wajah tampan kesayanganya itu.

I want there to be a baby between us, so that my mother won't tell us to divorce anymore.” ucap Dimas penuh frustasi, Rachel sudah tahu soal ini.

Karena Ibu nya Dimas juga bilang kalau Rachel harus segera hamil dalam waktu 2 bulan ini. Karena jika tidak, maka beliau akan menyuruh Dimas menceraikan Rachel dan menikah dengan perempuan pilihanya.

“Sayang?”

“Aku sayang kamu, Hel. Aku gak mau pisah. Aku tahu ini enggak mudah, tapi aku mau menjalani hal yang enggak mudah ini bersama kamu.”

Rachel mengangguk, mengusap wajah Dimas yang tertunduk dengan kedua mata yang tergenang air mata itu. Rachel juga enggak ingin berpisah dengan Dimas, ia sangat mencintai laki-laki itu. Dimas sudah menemaninya saat Rachel berada di titik terendahnya, menemaninya hingga Rachel bisa menyabat gelar dokter sekaligus menjadi model terkenal.

“Kita lakuin yah?” Rachel mengarahkan telapak tangan Dimas di atas perut ratanya. “Sampai dia ada di sini?”

Dimas kemudian mengangguk, dan saat keduanya sudah sedikit tenang. Mereka kembali melanjutkan permainan panas yang sempat berhenti tadi, kini Rachel sudah berada di bawah kaki Dimas. Mencecapi kejantanan Suaminya itu dengan susah payah karena terlalu besar masuk ke dalam mulut nya yang kecil.

“Aaarghhh Rachel ouhhhh..” Dimas memejamkan mata, adam apple nya itu naik turun merakan nikmat yang di berikan oleh mulut Istrinya itu.

“Nnghh.” ketika miliknya berkedut, Dimas tahan kepala Rachel disana hingga benihnya itu tumpah di dalam mulut Istrinya itu.

“Mmhh...”

Setelah Rachel menelan semua benih milik Dimas, tubuh rampingnya itu di angkat oleh Dimas hingga kini ia berada di bawah kuasanya. Dimas melebarkan kaki Istrinya itu, menggesekan kejantananya di vagina Istrinya itu hingga Rachel melengguh.

“Mmhhh.. Mas..”

Jemari Rachel meremas bahu Dimas, ketika ia merasakan kejantanan Suaminya itu memasuki dirinya. Rasanya benar-benar keras, perih, sesak sekaligus nikmat benar-benar surga yang di rasa keduanya saat ini.

“Ohhh..”

Saat milik Dimas sudah tertanam sempurna, ia gerakkan pinggangnya membuat gerakan perlahan-lahan hingga Rachel mengetatkan otot-otot vagina nya itu.

“Nnghhh.. Mas Dimas...”

“Hm?” Dimas menaikan satu alisnya, sesekali ia tekan miliknya semakin dalam dan kasar hingga Rachel memekik.

“Aaaghh..”

Gerakan yang semula pelan dan terkesan terbata-bata itu kini berubah menjadi lebih cepat dan sedikit kasar, Rachel bahkan sampai menancapkan kuku-kukunya di punggung Dimas.

“Aaahhh Mas...please..”

“Aarghhh tahan sayang.”

Dimas semakin menekan miliknya, membuat Rachel memekik ketika kejantanan Suaminya itu menyentuk titik sensitifnya. Rachel memejamkan matanya, semakin menekan pinggang Dimas untuk terus menganggahinya.

“Aaaahhhhh.”

Dimas semakin cepat menggerakan miliknya itu, sebelah kaki Istrinya itu ia taruh di bahu nya. Ia menahan tubuhnya dengan kedua tanganya agar tidak menindihi Rachel seutuhnya, Dimas memejamkan matanya miliknya sudah berkedut dan semakin besar di dalam sana.

“Mas...”

“Aarghhhh.”

Dimas hentakan semakin kencang miliknya, dan ia keluarkan benihnya di dalam sana. Hangat, lengket dan meleggakan hingga kini keduanya memejamkan mata menikmati pelepasan mereka.

Rachel membuka kedua matanya, mengusap dada Suaminya itu yang penuh dengan keringat. Ia tersenyum, ketika Dimas juga tersenyum melihatnya. Dimas masih betah memendam miliknya di dalam sana, jadi ia pakai kesempatan itu untuk mengecupi bahu Istrinya.

“Mas?”

“Hm?”

“Aku sayang kamu.” Rachel memeluk Suaminya itu dengan posesif.

ada hari di mana Yuno pernah mengkhawatirkan banyak hal yang belum pernah terjadi, seperti saat ini. Saat ujian kenaikan level bahasanya sudah selesai, Yuno memutuskan untuk ke sebuah cafe yang tidak jauh dari sekolah bahasanya. Ia sudah berjanji untuk menghubungi Gita setelah ujiannya selesai.

Hari ini memang Yuno pulang lebih cepat, begitu sampai di cafe, Yuno memesan sebuah minuman dan cake untuknya. Ia sengaja memilih kursi di pojok karna hanya tempat itu yang ia pikir nyaman untuk melakukan panggilan video. Tidak ada orang berlalu lalang, hanya ada 4 orang saja yang sedang fokus pada laptop di depannya dan membaca buku.

Sebelum memulai panggilan video, Yuno sempat mengirimi Gita pesan dulu. Memastikan Adik sepupunya itu sudah siap, dan tidak lama kemudian keduanya melakukan panggilan video. Ternyata Gita sedang berada di kamarnya.

“Lo gak sekolah?” tanya Yuno, tanpa basa basi apapun.

salam dulu kek minimal, ini main langsung nanya gak sekolah aja.” di sebrang sana Gita terlihat menghela nafasnya dengan kasar, namun pada akhirnya ia menjawab pertanyaan itu.

di Jakarta tuh udah jam 7, sekolah apaan jam 7 malam. Ngaco!!

Yuno sampai lupa jika sekarang sudah jam 2 siang di Berlin, pantas saja Gita sudah berada di rumahnya. Tapi setahu Yuno, gadis itu juga sibuk. Bukan hanya dengan sekolah. Dari dulu, Gita banyak mengikuti berbagai macam kegiatan. Seperti balet, private biola dan segala macam bentuk kegiatan yang banyak ia ikuti.

Tapi walau begitu, Yuno senang karna Gita melakukan itu semua atas kemauannya sendiri. Berbeda dengan Yuno, ia tidak pernah bisa melakukan apa yang ia inginkan. Bahkan untuk sekedar bermain musik, pernah dulu Yuno ketahuan ikut ekstrakulikuler musik di sekolahnya.

Dan saat Papa nya tahu, Yuno di tentang habis-habisan dan di paksa keluar dari sana. Alih-alih bermusik, Papa lebih setuju Yuno bermain basket atau lebih baik fokus pada nilai akademiknya, Berbeda dengan kedua orang tua nya Gita yang membiarkan anak mereka mendapatkan apa yang di mau.

“Maksud gue, gak ada bimbel atau private apa gitu. Biasanya kan lo lebih sibuk dari gue.”

gak ada, hari ini gue mau istirahat. Capek lagi jadi kelas dua belas tuh.” di sebrang sana Gita memperhatikan Yuno, seperti Kakak sepupunya itu bukan sedang berada di apartemen miliknya.

lo dimana, Kak? Di cafe?

Yuno mengangguk, setelah pelayan mengantarkan pesanan miliknya. Yuno menyeruput kopi itu sedikit dan kembali fokus berbicara dengan Gita.

“Baru kelar ujian gue. Gimana sekolah lo? Lancar kan? Jangan kebanyakan pacaran sama Kevin.”

Ah iya, Gita sudah putus dengan Jo, seingat Yuno keduanya mengakhiri hubungan mereka atas kesalahan Jo, Gita hanya cerita pada Yuno kalau intinya ia sudah kecewa dengan Jo, namun saat di tanya kenapa, Gita lebih memilih merahasiakannya.

Namun pada akhirnya Jo sendirilah yang jujur pada Yuno dan meminta maaf padanya, karena ia sudah menyakiti Adik sepupu yang Yuno jaga selama ini. Meski begitu, hubungan Jo dan Yuno masih berteman baik.

siapa yang pacaran melulu, gue sama Kevin tuh bisa bagi waktu. Eh, gimana ujian lo tadi, Kak?

“Lancar, doain aja gue cepat naik level.”

tapi lo betah gak di sana?

“Betah, walau kadang banyak kagetnya. Oh, iya. Git, weekend ini lo jadi jalan sama anak-anak?” ucap Yuno terus terang, memang ia ingin menanyakan hal ini pada Gita dan meminta tolong sesuatu pada adik sepupunya itu.

iya jadi, Ara cerita ke lo yah?

Yuno mengangguk, “akhir-akhir ini gue kepikiran dia terus.”

kepikiran apa? Takut Ara selingkuh?” tebak Gita.

“Bukan, kepikiran aja kalo ada yang gantiin gue pas Ara lagi butuh.”

itu artinya lo kepikiran Ara selingkuh dodol, kok lo bisa sih mikir gitu, Kak? Yang Ara pikirin aja cuma lo tau, kemarin gue sempat main sama dia sebentar karena gak sengaja ketemu waktu lagi beli make up. Sepanjang main sama gue, dia selalu ngomongin lo terus. Ini lagi, lo malah kepikiran gini.

“Git, gue cuma takut Ara terbiasa tanpa gue..” nada suara Yuno memelan, itu yang sangat ia takuti. Meski liburan nanti ia akan pulang, meski ia terus menjaga komunikasinya dengan Ara. Tapi tetap saja itu semua terasa berbeda dengan ia yang biasanya selalu berada di sisi Ara.

Gita yang mendengar ucapan itu jadi agak terdiam, Yuno memang baru pertama kali pacaran. Dan Gita tahu bagaimana Yuno sangat mencintai dan memperlakukan pacarnya itu dengan baik.

Kak, gue bukanya mau bikin lo tambah kepikiran. Tapi menurut gue, bukanya bagus kalo Ara justru terbiasa tanpa lo? Gini, bagus kalo Ara mandiri, bagus kalo dia gak bergantung sama lo, lo bisa bayangin gak kalo Ara gak mandiri dan bergantung ke elo? Lo juga yang bakalan repot

Gita tau ini terdengar sedikit menyakitkan untuk Yuno, mungkin. Tapi bukankah bagus jika Ara tidak terlalu bergantung pada Yuno? Toh pacaran kan bukan harus selalu berdua, bayangkan serepot apa Yuno jika Ara selalu bergantung padanya. Lama kelamaan hubungan yang seperti itu akan menjadi hubungan yang tidak sehat.

selama kalian masih komunikasi dengan baik, menurut gue gak ada yang harus di permasalahin dari itu. Sekarang, gimana caranya kalian bisa saling jaga kepercayaan satu sama lain. Kak, kuncinya jalin hubungan itu tuh kepercayaan. Lagian yah, pacaran ketemu mulu terus bucin-bucinan mulu tuh bakal jadi bosen.

Yuno sempat diam sebentar, mencerna kata-kata Gita yang agak sedikit membuat dadanya sesak, seperti ia baru saja di tampar oleh sebuah kenyataan. Namun, Yuno tetap mendengarkan kata-kata Adik sepupunya itu, ucapan Gita benar. Ia harusnya bangga kalau Ara bisa mandiri dan tidak bergantung padanya.


Siang itu Ara ke toko buku sendirian, hari ini dia gak sama Echa, Cindy atau pun Kinan. Hari ini Echa pulang bareng Janu, sementara Cindy dan Kinan harus menyelesaikan tugas terakhirnya untuk menyelesaikan masa jabatan kedua nya di OSIS.

Ara sebenarnya gak berniat buat ke toko buku, karena tujuan utamanya jalan-jalan ke mall sendirian cuma buat beli lip tint. Tapi siapa sangka kalau kakinya justru melangkah masuk ke toko buku, jadi sekalian saja dia membeli buku untuk keperluan Ujian Nasional dan beberapa novel.

Ara tersenyum ketika ia menemukan buku yang ia cari, buku soal-soal Ujian Nasional terbaru yang paling laris. Hanya sisa 1 di rak buku dan ia langsung mengambil buku itu, namun siapa sangka kalau ada tangan lain yang ikut mengambil buku itu juga.

Dan Ara langsung menoleh ke arah orang yang berada di sampingnya itu, seorang laki-laki tinggi dengan jaket denim dan celana jeans kini menatap dirinya.

“Oh, sorry, Mas.” Ara menunduk, biarlah ia mengalah. Toh nanti ia masih bisa mencari di toko buku lain.

“Ambil aja, lo tadi duluan yang liat kan,” ucap laki-laki tinggi itu.

“Gapapa, Mas. Buat Mas nya aja, nanti saya bisa cari di toko lain. Lagi enggak buru-buru juga kok.”

“Serius nih?”

Ara mengangguk, “iya gapapa, Mas.”

“Makasih, yah.”

Ara hanya membalas ucapan itu dengan tersenyum kikuk, begitu ia ingin berjalan ke arah kasir. Laki-laki tinggi tadi menahan pundak Ara, membuat gadis kurus itu sedikit mundur dan berbalik ke arahnya. Jujur saja, laki-laki tadi agak sedikit mengintimidasi Ara.

“Eh jangan manggil Mas juga, gue masih SMA kok. Gue kelas dua belas juga.”

“Kelas dua belas?”

Laki-laki itu mengangguk, Ara sedikit malu karena salah memanggil, ternyata laki-laki itu seumuran dengannya.

“Lo anak BM400 kan?”

“Kok tahu?” pekik Ara.

“Ya lo kan pake seragam.”

“Bener juga sih.” Ara mengangguk-angguk. “sorry yah, gue gak tau lo kelas dua belas juga, gue pikir beli itu buat adek lo atau siapa gitu.”

“Gapapa.”

“Kalau gitu, gue duluan.” Ara menunjuk ke arah kasir, dan cowok itu mengangguk. Membiarkan Ara pergi lebih dulu untuk membayar novel-novel yang ia beli.

Ara gak pernah menyangka bermain bersama teman-teman Gita akan seasik ini, hari ini mereka pergi ke Aquarium besar yang ada di Jakarta. Sebelum berangkat, mereka bertemu dulu di rumah Januar dan memutuskan untuk pergi dengan 2 mobil, milik Echa dan juga milik Kevin.

Mereka pergi berdelapan, ada Echa, Janu, Ara, Kevin, Gita, Chaka, Kinan dan Cindy. Di perjalanan mereka sempat memutar lagu-lagu, bertukar cerita betapa sibuknya menjadi siswa kelas dua belas dan membuat rencana-rencana untuk acara kelulusan.

“Habis UN mending muncak gak sih?” celetuk Janu tiba-tiba. Dia udah kepikiran banget buat nyewa villa atau sekalian saja hiking gak usah naik gunung yang jauh-jauh, seperti Papandayan atau Gunung Gede di daerah Jawa Barat kan bisa. Yah, walau Janu belum pernah punya pengalaman naik gunung sih.

Di mobil yang di bawa Janu itu ada Echa, Janu, Ara, Kinan. Sementara di mobil yang di kendarai Kevin itu ada Gita, Chaka, Kevin dan Cindy.

“Mau ngecamp gak? Ke cikole aja gak sih? Tidur di capsul camp gitu kayanya asik juga deh,” imbuh Kinan.

“Eh boleh tuh, kayanya asik juga. Siapa yang boking?” tanya Echa.

“Mending ngobrolinnya nanti aja deh pas kita makan siang, ajak juga tuh rombongan sebelah biar tambah rame,” kata Kinan, kalau Kinan memang sudah sedikit akrab dengan siswa dari SMA Anggada. Saking seringnya ia dan tim nya bertanding melawan SMA itu.

Kinan itu ikut dalam tim cheerleader dan sering kali tim dari SMA BM400 melawan SMA Anggada, walau begitu Kinan memiliki banyak teman juga dari SMA Anggada. Mereka hanya menjadi lawan ketika sedang di bertanding saja.

“Iya tuh bener, ngobrolinya nanti aja. Gue bayangin udah bakalan seru banget deh kayanya!!” Echa udah bayangin aja kalau menginap ramai-ramai, sebelumnya ia belum pernah pergi ke luar kota sampai menginap. Yah banter-banter cuma menginap di rumah Ara aja.

“Lo ikut kan, Ra?” tanya Kinan tiba-tiba, habis dari tadi Ara enggak menimpali apa-apa.

“Gue gak tau, tapi kemungkinan besar sih enggak.”

“Yeee, kenapa?” Janu yang sedang mengendarai mobil itu menoleh ke kursi belakang, mereka sudah sering bersama kalau Ara enggak ikut rasanya akan ada yang kurang.

“Ih, iya kenapa, Ra?”

“Gue mau ke Jerman, gue mau jenguk Kak Yuno. Udah janji juga mau liburan berdua sama dia.”

“Mau honey moon yah lo berdua?” ledek Echa yang langsung mendapat sentilan di keningnya dari Janu.

“Pikiran lo, yang.”

“Janu kampret!! Berantakan poni gue anjir.” meski enggak kencang tapi sentilan Janu di keningnya membuat poni Echa jadi sedikit berantakan.

“Gak lah, gila kali. Gue cuma mau liburan aja, kangen banget soalnya sama dia.”

“Ihhhh so sweet.” pekik Kinan. “Tapi Kak Yuno baik-baik aja kan di sana, Ra?”

Ara mengangguk, “baik kok, dia masih sekolah bahasa juga.”

“Gue kepengen deh punya pacar kaya Kak Yuno, udah pinter, ganteng, baik, anak orang kaya, ramah duh.” Kinan jadi berandai-andai jika suatu hari punya pacar kaya Yuno.

Kinan bukan naksir Kak Yuno kok, dia cuma kepengen punya pacar setipe kaya gitu. Walau banyak sekali cowok-cowok yang menggandrungi Kinan, tapi enggak mudah bagi mereka mendapatkan perhatian apalagi hati dari seorang Kinan. Kinan itu kalau di dekati malah menghindar, gak jarang Kinan malah berujung ilfeel sama cowok yang lagi mendekatinya.

“Makanya kalo di deketin cowok tuh jangan gampang ilfeel!” Echa yang kesal jadi melempar pop corn yang sedang ia makan ke wajah Kinan saking sebalnya.

“Heh, gimana gue gak ilfeel kalo yang deketin kaya Azriel si pentolan futsal yang kerjaannya deketin banyak cewek, terus ada lagi Anwar yang kerjaannya minta foto terus biar tau gue lagi ngapain, terus lagi Deka yang kalo ngechat typing nya jelek dan sok puitis banget. Lo juga pasti gak mau kan di deketin sama orang-orang kaya gitu.”

Kinan kadang juga heran sendiri kenapa cowok yang mendekatinya tidak pernah ada yang cocok dengan kriteria nya, Sejujurnya Kinan enggak ada kriteria khusus sih, dia cuma kepengen punya pacar yang baik, pintar dan gak genit.

Ara dan Echa yang mendengar itu jadi tertawa, Kinan dulu pernah punya pacar, sekelas dengannya dulu. Namun karena orang tua dari pacarnya dinas di luar kota maka pacarnya Kinan pun harus pindah ke luar kota. Seingat Ara dulu, sampai kelas sebelas pun mereka masih menjalin hubungan jarak jauh. Makanya Ara juga heran kenapa bisa sampai tandas saat itu.

“Eh, Nan. Tapi lo dulu putus sama Jevon gara-gara apa sih?” tanya Ara penasaran, pasalnya Kinan enggak pernah cerita apa-apa.

“Jevon selingkuh, Ra. Dia deket sama cewek lain di sekolah barunya. Yah gitu deh, LDR emang berat apalagi kalo sama-sama belum dewasa. Makanya lo jagain tuh Kak Yuno jangan sampe dia selingkuh juga kaya Jevon, apalagi Kak Yuno banyak banget yang naksir dari dulu,” cerocos Kinan yang tanpa ia sadari begitu mendengar ucapannya wajah Ara langsung berubah menjadi masam.

“Yah lo tuh gak bisa nyamain Jevon sama Kak Yuno tau, Nan. Kak Yuno orangnya baik, dia juga sayang banget sama Ara. ya kan, Ra?” Echa yang sadar akan perubahan wajah temannya itu jadi menyangkal kata-kata Kinan.

“Yah semoga aja yah, soalnya dulu Jevon juga kelihatan sayang banget sama gue tapi apa? Buktinya dia tetap ahhhh—” pekik Kinan yang tiba-tiba tangannya di tepuk oleh Echa, Kinan sepertinya tidak bisa menangkap sinyal darinya yang menyuruhnya untuk berhenti berbicara seperti itu di depan Ara.

“Um, semoga Kak Yuno gak kaya Jevon yah, Nan.” Ara mengangguk, ia langsung mengalihkan pandanganya ke arah jalanan yang pagi itu agak sedikit lenggang. Walau begitu, ucapan Kinan barusan berhasil membuat pikirannya melayang. Memikirkan nasib hubungannya dengan Kak Yuno.

Begitu sampai di Aquarium, mood Ara yang semula berantakan kini kembali membaik berkat melihat atraksi-atraksi hewan yang ada di sana, bukan hanya menyuguhkan biota laut. Di tempat itu ada berbagai atraksi hewan lain juga seperti Berang-Berang, Binturong dan Pinguin.

Ara sempat merekam atraksi itu untuk ia tunjukan pada Kak Yuno nanti, tidak ketinggalan dengan atraksi ikan Pari dan juga hewan laut lainnya. Ara juga sempat menyentuh Ular, Kecoa Madagaskar, Bintang Laut dan Siput Turbo.

“Geli gak, Ra?” tanya Gita waktu seorang staff menaruh kecoa madagaskar di tangan Ara.

Ara bergidik, rasanya agak sedikit tidak nyaman. Tidak berbeda jauh dengan menyentuh kecoa pada umumnya, hanya bedanya kecoa madagaskar ini tidak memiliki bau seperti kecoa yang sering di jumpai di rumah-rumah. Dan yang jelas ukuranya jauh lebih besar dari kebanyakan kecoa.

“Geli, Git. Tajem-tajem gitu, tapi lucu juga cobain deh biar gak penasaran.”

“Gue mau coba nyentuh badannya aja.” Gita enggak mau pegang, udah kebayang di kepala dia kaya gimana tekstur nya. Dari pada nanti berakhir Kecoa nya dia lempar karena saking gelinya, lebih baik ia menyentuh bagian atas Kecoa itu dengan tangannya saja. Gita berani memegang Ular, Bintang Laut, Berang-Berang dan Siput Turbo tapi enggak dengan Kecoa yang satu ini, apalagi yang ukurannya besar.

“Habis ini liat atraksi Lumba-Lumba yuk!” pekik Cindy.

“Gak, kita ke Zona Gurun dulu gue mau kasih makan Meerkat,” sangkal Chaka tak mau kalah.

“Meerkat apaan?” tanya Janu.

“Itu loh, kalo lo pernah nonton Lion King. Meerkat itu si Timon,” jelas Kevin. Kalau soal gini-ginian Kevin tuh banyak tau deh.

“Ohhh, itu. Gue juga mau dong, ayo kita ke Zona Gurun dulu kalo gitu!!”

“Ihhh mau liat Lumba-Lumba dulu!” Cindy enggak mau kalah, tujuan utama Cindy ke Aquarium kan memang mau melihat pertunjukan Lumba-Lumba.

“Eh sumpah, kaya bocah lu berdua. Mending kita liat Macaw aja dulu!” agar menghentikan perdebatan Chaka dan Cindy, akhirnya Gita memutuskan untuk mengajak mereka melihat Macaw dulu saja.

Di sana agak sedikit ramai, tapi walau begitu teman-temannya semua antusias saat melihat aksi Burung Beo besar yang memiliki lama hidup hingga 50 tahun. Bulu dan warna nya cantik, Ara bahkan begitu takjub melihatnya. Ini untuk pertama kalinya ia melihat Macaw, karena memang habitat Macaw ini tidak ada di Indonesia.

“Eh, Echa?” pekik seseorang begitu melihat Echa, begitu pula dengan Echa yang membulatkan kedua matanya.

“Julian!!” Echa yang melihat teman lamanya itu langsung menghampirinya dan memukul bahunya dengan excited.

“Ahh sakit, anjir! Main mukul aja,” ucap cowok bernama Julian itu.

“Lo sama siapa?”

“Sama Naufal, tapi dia lagi ke toilet. Lo sama siapa?” tanya Julian, soalnya dia liat Echa dateng ramai-ramai.

“Sama teman-teman gue, ada cowok gue juga tuh yang paling tinggi,” Echa menunjuk Janu yang lagi melongok melihat pertunjukan Macaw itu.

Namun bukannya melihat Janu, ekor mata Julian justru tertuju sama Ara yang berada di sebelah Janu, yang kebetulan kini sedang melihat ke arah Julian juga. Ara tersenyum, begitu juga sama Julian yang kini mendekat ke arahnya.

“Lo temennya Echa juga?” tanya Julian.

Ara mengangguk, “lo kenal Echa?”

“Dia temen SMP gue.”

Echa yang bingung hanya mengernyit, pasalnya Ara gak pernah cerita kalau dia kenal sama Julian.

“Kalian kenal?” tanya Echa ke Julian dan Ara.

“Enggak, Cha. Belum sempet kenalan, kemarin gue ketemu dia di toko buku,” waktu itu ia ingin mengajak Ara untuk berkenalan, namun sayangnya selesai membayar bukunya, Ara sudah tidak ada lagi di sekitar toko buku. Namun siapa sangka jika ia justru bertemu Ara di sini, jadi biarkan kali ini Julian memberanikan diri untuk berkenalan dengan gadis itu.

“Nama gue Julian, anak SMA M.H Thamrin,” Julian mengulurkan tangannya dengan senyum manis mirip seperti seekor anak kucing.

“Ara, lo serius anak M.H Thamrin?” setahunya sekolah itu adalah sekolah unggulan negeri terbaik di Jakarta, kakak sepupunya Ara yang bernama Arial juga alumni sekolah itu. Lagi pula enggak mudah masuk sekolah itu, hanya murid terbaik yang bisa bersekolah di sana.

“Iya, kenapa emang?”

“Kakak sepupu gue alumni sana.”

“Siapa namanya? Kali aja gue kenal.”

“Mas Arial, ah, nama lengkapnya Arial Hazahfran. Kenal?”

“Ahhhh,” Julian mengangguk-angguk, siapa sih yang enggak kenal Arial? Murid akselerasi dengan segudang prestasi yang ia sabat untuk membuat harum nama sekolah. “Tahu, cuma enggak kenal. Bang Arial yang akselerasi kan?”

Ara mengangguk, sejak saat itu Julian dan Naufal memutuskan untuk bergabung dengan rombongan Echa dan teman-temannya. Mereka juga makan siang bersama sebelum akhirnya berpisah karena hari sudah semakin sore.

“Gita?!” pekik Ara, dia kaget banget waktu tiba-tiba Gita ada di depan pagar rumahnya. Gita datang sendiri, membawa buket berisi coklat dengan berbagai macam rasa.

“Gue mau nganter titipan Kak Yuno nih buat lo, Ra.” ucap Gita, gadis itu masuk setelah Ara membukakan pagar rumahnya.

“Sini, Git. Duduk dulu.”

Keduanya duduk di teras rumah Ara, di ruang tamu sedang ada Reno dan teman-temannya yang sedang kerja kelompok. Tadi Ara sedang bantu bunda bikin cookies untuk Reno dan juga teman-temannya.

“Lagi sibuk, Ra?” tanya Gita, dia ngasihin buket itu ke Ara. Setelah itu duduk di kursi yang ada di teras rumah Ara, rumahnya lumayan sejuk karena Bunda nya Ara menanam macam-macam tumbuhan. Ada kicauan burung milik Papa nya juga yang di gantung dengan sangkar di sana, bikin suasana rumah itu tampak asri.

“Enggak sih, Git. Ih ngomong-ngomong makasih, buketnya. Kenapa gak di antar sama kurir aja sih? Kak Yuno ngerepotin elo banget.”

Ara tersenyum kecil, begitu melihat ada coklat dengan berbagai macam rasa di sana. Terutama coklat rasa strawberry dan matcha, Ara suka banget sama kedua rasa itu. Dia juga gak nyangka kalau Yuno ngirimin buket ini pakai perantara Gita, cowok itu gak ngomong apa-apa.

Ah, lebih tepatnya Yuno dan Ara belum berkabar lagi sejak 2 hari yang lalu. Terakhir Yuno hanya bilang jika ia benar-benar sibuk di kampusnya, terlebih Yuno juga aktif di organisasi kampusnya. Cowok itu sedang menikmati tahun pertamannya sebagai mahasiswa baru.

“Santai aja, Kak Yuno emang ngerepotin sih, tapi gue juga sekalian mau main ke rumah lo sebentar, oh iya, di dalamnya ada surat buat lo, tapi bacanya nanti aja di kamar.”

Yuno yang mengetikkan kata-katanya sendiri, kemudian, Gita yang tulis ucapan itu di kartu ucapan. Dia gak nyangka kalau Kakak sepupunya itu bisa berubah jadi dangdut juga waktu sama Ara.

“Dia gak bilang ke gue kalo ngirimin ini,” Ara senyum, masih takjub dengan buket berisi coklat-coklat itu.

“Iya emang enggak, Ra. Kemarin dia ngerasa bersalah banget sama lo karena gak ngabarin lagi. Katanya ada acara di fakultasnya gitu,” Gita mengerutkan keningnya, berusaha mengingat cerita Yuno tempo hari. “party-party gitu gak paham deh, terus Kak Yuno mabuk jadi lupa deh tuh dia ngabarin lo.”

“Mabuk?” tanya Ara, keningnya berkerut bingung.

Seingatnya Yuno pernah bilang kalau dia enggak akan nyentuh alkohol, Yuno bilang ingin hidup sehat. Selain itu, tidak ada minuman alkohol juga di kulkas Yuno saat Ara datang. Tapi kenapa sekarang Ara mendapat kabar jika Yuno mabuk di acara fakultasnya? Apa memang budaya di Jerman seperti itu? Pikirnya.

Gita mengangguk, “iya, mabuk. Kak Yuno gak bilang apa gimana?”

Ara menggeleng pelan, suasana hatinya yang semula membaik itu menjadi tidak karuan setelah mendengar ucapan dari Gita barusan.

“Enggak, Git. Dia cuma bilang kalo emang ada acara di fakultasnya, tapi dia enggak bilang kalau sampai mabuk. Padahal dia udah janji sama gue, kalo enggak akan nyentuh alkohol. Dia bilang mau hidup sehat selama di sana,” jelas Ara, yang membuat Gita salah tingkah sendiri. Gita jadi enggak enak, dia jadi ngerasa kaya ngadu banget ke Ara tentang apa yang Yuno ceritakan padanya.

“Mungkin lupa kali, Ra. Emang budaya di luar tuh kaya gitu gak sih? Minum-minum itu udah biasa,” Gita tersenyum kikuk, dia berusaha menenangkan Ara.

“Ah, by the way sore ini pengumuman masuk SBM kan?” Gita mengalihkan pembicaraan mereka sebelumnya.

“Iya, makanya gue deg-degan banget nih.”

“Yakin aja udah, lo udah belajar.”

“Lo udah dapat kosan, Git?” tanya Ara.

Gita mengangguk, “udah kok, udah gue bayar juga. Tinggal cus pindah aja, rencana sih agak mepet pas ospek.”

Setelah mengantar buket berisi coklat untuk Ara, Gita langsung pulang. Dia gak bisa lama-lama karena harus ada beberapa barang yang ia beli untuk kebutuhannya selama di Bandung.

Sedangkan Ara, ia masuk ke dalam kamarnya. Memperhatikan buket itu dan terdiam di atas ranjangnya, dia benar-benar merasa Yuno telah berubah. Kadang Ara berpikir, bolehkan ia menaruh kecurigaan dengan gadis bernama Ann itu? Bagaimana jika Yuno menyukai gadis lain di sana? Bagaimana jika Ann yang merubah Yuno?

Sore nya, perasaan Ara semakin tidak karuan. Apalagi saat ia harus duduk di depan MacBook nya memperhatikan web yang menampilkan pengumuman penerimaan mahasiswa baru di kampus pilihannya. Di kursi meja belajarnya, Ara meremas jemarinya hingga buku-bukunya itu memutih.

Saking tegangnya, perutnya sedikit mual dan dadanya terasa panas. Ara setakut itu jika ia tidak di terima di kampus impiannya, meski jauh-jauh hari ia sudah menanamkan pada dirinya untuk tidak berekspektasi lebih, namun perasaanya tidak bisa di bohongi jika ia benar-benar mendambakan kampus itu.

Dan tibalah waktunya, web yang sedari tadi Ara tatap itu akhirnya menampakan nama-nama calon mahasiswa baru di kampus yang ia pilih, mata gadis itu tak ayal lepas dari layar MacBook di depannya. Mencari namanya di sana dengan telitih, satu persatu ia amati namun Ara sadar tidak ada namanya di sana.

Awalnya ia menyangkal, maka sekali lagi ia cari namanya di sana namun tak ia temukan. Saking kecewanya, Ara sampai sedikit mencakar jemarinya sendiri demi melampiaskan perasaan kesalnya.

“Kak? Gimana? Nama kamu ada gak?”

Itu suara Bunda, dan Ara tidak mampu menjawab panggilan Bunda itu. Ia luruh di bawah ranjangnya, memeluk lututnya sendiri dan menahan isaknya sendiri. Ara kecewa, hasil kerja kerasnya selama ini tidak membuahkan hasil yang ia inginkan. Segala usahanya menghianatinya, rasanya sore itu dunianya terasa runtuh.

Saat itu, Ara hanya memikirkan satu nama di kepalanya. Seseorang yang selalu menjadi tempatnya mengadu sebelum ia mengadu kepada Papa dan Bunda, Gadis itu mengambil ponselnya untuk menghubungi Yuno sembari menahan isakanya yang semakin menyesakkan.

Namun, di sebrang sana tak kunjung ia dapatkan jawaban. Ara hanya di hadapkan dengan suara sambungan telfon tanpa adanya suara barinton Yuno yang ingin ia dengar.

“Angkat, Kak. Aku butuh kamu...” gumamnya.

“Ara? Gimana, Kak? Buka dulu pintu nya sayang.”

Suara Bunda itu kembali mengintrupsi, namun Ara dengan frustasi justru melempar ponselnya ke ujung kamar karena tidak kunjung mendapatkan jawaban akan panggilannya pada Yuno.

Sore itu, Ara hanya bisa memeluk dirinya sendiri. Ia tidak keluar dari kamarnya bahkan sampai jam makan malam, Bunda dan Papa tentu saja khawatir. Namun kedua orang tua Ara itu tidak ada yang berhasil membujuk si tengah itu setidaknya untuk keluar makan malam.

Yang Ara lakukan di dalam kamarnya hanyalah meringkuk di atas ranjang, matanya sembab dan kepalanya pening di hantam kekecewaan bertubi-tubi.

“Kak? Apapun hasilnya, Bunda dan Papa enggak marah sama kamu, setidaknya Kakak udah bekerja keras, Nak.”

Tidak ada sahutan, Ara masih bergeming dan kembali memeluk selimutnya sendiri. Bahkan saking marahnya dengan Yuno karena tidak mengangkat telfonnya, Ara sampai menyingkirkan semua boneka pemberian cowok itu dari atas ranjangnya. Saat ini yang ia butuhkan hanya kesendirian, ia ingin menenangkan dirinya sendiri dulu.

Sejak hari dimana Julian dan Ara bertemu di toko buku kemudian bertemu kembali di Aquarium, Julian jadi menaruh rasa penasaran dan ketertarikan akan gadis bernama Ara itu. Sewaktu mereka makan bersama sehabis dari Aquarium, Julian dan Ara banyak mengobrol. Dan Julian sadari kalau ia dan Ara memiliki ketertarikan yang sama dengan film thriler.

Julian merasa nyambung banget ngobrol sama Ara, baginya Ara adalah gadis yang asik buat di ajak bicara, terlebih ia juga banyak merekomendasikan film-film yang bisa Julian tonton di kala waktu senggang.

Dan kini, cowok dengan tinggi 180cm itu tengah berbaring di ranjang kamarnya. Memandang langit-langit kamar sembari memikirkan hari dimana ia banyak berbicara dengan Ara, ada perasaan menyesal karena saat berpisah hari itu ia tidak sempat meminta kontaknya.

Tiba-tiba saja sekelebatan ide muncul di kepala Julian, ia rogoh saku celana seragam sekolahnya itu dan ia ambil ponsel miliknya, Julian mengetikkan sesuatu disana. Mencoba peruntungan dengan mencari sosial media milik Ara hanya bermodalkan memeriksa satu persatu pengikut di akun Twitter milik Echa.

Dan benar saja, Julian menemukan akun yang ia duga milik Ara. Dan sayangnya, akun itu di private. Akun milik Ara tidak terbuka untuk umum, dan Julian berakhir tidak bisa mencari tahu tentang gadis itu lebih dalam melalui akun sosial medianya.

“Apa gue follow aja kali yah?” gumamnya pada diri sendiri.

“Tapi kalo gak di accept gimana?”

Julian jadi sedikit meragu, mereka sudah saling mengetahui nama masing-masing, namun tetap saja bagi Julian ia masih seperti orang asing untuk Ara, hey, mereka baru 2 kali bertemu.

“Tapi kan gue udah kenalan yah? Gue juga kan temennya Echa, kelihatannya Ara juga bukan orang yang sombong apalagi sok ngartis kok.” Julian berusaha meyakinkan dirinya, sampai akhirnya pilihanya mantap untuk menekan opsi follow pada layar ponselnya.

Cowok itu tersenyum, kemudian bangun dari atas ranjangnya untuk membenahi tas dan berganti pakaian. Baru saja ia ingin keluar dari dalam kamarnya setelah berganti baju, tiba-tiba saja bunyi getar kecil dari ponsel yang ia taruh di atas lemari belajar kayu miliknya itu, mengintrupsi perhatian Julian.

Cowok itu mengambil ponselnya, dan betapa terkejutnya Julian ketika mendapatkan notifikasi jika Ara sudah menerima permintaan pertemananya di sosial media miliknya. Mata Julian berbinar, ia abaikan perut laparnya itu demi bisa mencari tahu tentang gadis yang akhir-akhir ini membuatnya penasaran.

Jadi Julian urungkan keluar kamar, ia memilih duduk di kursi belajarnya sembari menggulir layar ponselnya. Tidak ada yang aneh dari postingan yang Ara buat, hanya menuliskan lirik lagu yang sebagian Julian tahu, kemudian memposting ulang postingan yang di buat oleh artist favorite nya.

Sampai pada akhirnya Julian menemukan foto Ara dengan seorang laki-laki yang menurutnya tampak mesra itu, di postingan yang mendapatkan lebih dari 300 likes Ara menandai akun seseorang. Karena sudah kepalang penasaran, Julian mencoba mencari tahu siapa cowok bernama Aryuno itu.

Dan saat Julian melihat profil sosial medianya, sudah dapat Julian pastikan jika itu adalah kekasihnya Ara. Bahu tegap miliknya itu merosot, pupus sudah harapan Julian untuk mengenal Ara lebih dekat.

Ara dan cowok bernama Aryuno itu nampak mesra dan terlihat sebagai pasangan kekasih sekolah yang sangat terkenal. Julian hanya bisa meringis, dari pada terus mencari tahu lebih dalam dan berujung membuatnya sakit. Akhirnya Julian tutup aplikasi di ponselnya dan mencoba melupakan rasa penasaranya pada Ara.


kamu berani megang Kecoa?” tanya Yuno di sebrang sana.

Ara baru saja memperlihatkan video yang ia buat di Aquarium kemarin pada Yuno, supaya Yuno tahu apa saja yang Ara lakukan di sana. Ara juga ingin Yuno merasakan bahagia yang saat itu ia rasakan, terkadang Yuno juga suka buat video singkat tentang kesehariannya sebagai siswa sekolah bahasa dan ia bagikan ke Ara.

Kalau sudah begini, Ara jadi kepikiran buat bikin mini vlog. Tapi rasanya kepercayaan dirinya di kamera dan kemudian membagikkanya ke publik belum sebesar itu, belum lagi ia tidak memiliki waktu untuk mengedit video.

“Berani, karena Kecoa nya gak terbang. Seru deh, Kak. Aku juga liat Berang-Berang, terus Pingungin banyak deh pokoknya. Kalau Kak Yuno pulang kita Aquarium date yah.”

Yuno tersenyun kemudian mengangguk pelan, “boleh, sabar ya sayang. Nanti kalau kita ketemu kita puas-puasin deh berduaanya.

“Kak Yuno gimana disana?”

baik, lancar kok semuanya. Kemarin aku habis dari Heidelberg, ke kampus kedokteranku buat nyerahin berkas sama visit apart aku di sana.

“Oh ya? Bagus gak Kak kampusnya?”

bagus, nanti kalau kamu ke sini. Aku ajak ke kampus aku yah, oh iya sayang?

“Um?”

udah nentuin kamu mau ambil kampus mana aja?

Ara menarik nafasnya berat, wajah gadis itu agak sedikit murung. Kemarin malam, Ara sempat berdebat dengan Papa perihal kampus yang ingin Ara ambil. Ara kepikiran buat ambil kampus di luar Jakarta, seperti di Jogja, Malang atau Semarang. Ara ingin mencoba mandiri menjadi anak rantau, tapi Papa nampaknya tidak memberi izin untuk itu perihal Ara adalah anak perempuan. Dan dari kecil Ara pun enggak pernah jauh dari kedua orang tua nya.

Papa memang tidak pernah mengizinkan anak-anaknya untuk kuliah di luar kota, dengan alasan Papa dan Bunda akan sulit memantau anak-anaknya. Papa enggak mau anak-anaknya menjadi lebih bebas ketika harus hidup sendiri jauh dari kota asal dan juga orang tua.

Dulu Papa juga pernah berdebat seperti ini dengan Mas Yuda waktu Mas Yuda nekat ingin memilih kampus yang berada di Surabaya, akhirnya Papa tidak memberi izin dan Mas Yuda terpaksa memilih kampus swasta di Jakarta. Semua Papa turuti sekalipun Mas Yuda memilih kampus swasta dengan biaya kuliah yang cukup membuat tabungan Papa nyaris terkuras.

kenapa sayang? Kok lemes gitu?” tanya Yuno.

“Kemarin aku habsi debat sama Papa, soal kampus yang mau aku ambil.”

debat kenapa?

“Kak, Papa enggak setuju kalau aku ambil kampus di luar Jakarta. Padahal kan aku kepengen banget gitu hidup mandiri, jadi anak rantau, ngekost. Aku tuh bosen di Jakarta terus. Kan seru gitu kalo liat cerita-cerita mahasiswa rantau yang jauh dari orang tua.”

Yuno hanya meringis, sebagai orang yang hidup di perantauan meski baru beberapa bulan saja. Menurut Yuno ini enggak gampang, apalagi jika sudah terbiasa hidup bersama orang tua. Jujur saja, Yuno sempat sakit karena merindukan rumah dan kamarnya di Jakarta. Belum lagi ia harus beradaptasi dengan budaya, cuaca yang jauh berbeda seperti di Jakarta, makanan dan juga orang di sekitarnya.

Hei, jadi mahasiswa perantauan enggak semenyenangkan yang di bayangkan orang-orang, walau perlu Yuno akui jika hidupnya selama merantau jauh lebih bebas. Enggak ada lagi tuh Yuno yang harus belajar sampai tengah malam karena Papa mengawasinya, selama di Berlin. Jika Yuno sudah lelah belajar, ia akan mencari hiburan ia tidak memforsir dirinya sendiri.

mungkin karena Papa terlalu khawatir sama kamu, sayang. Kamu kan anak perempuan satu-satunya. Emang kamu mau ambil kampus dimana, hm?

“Aku punya pilihan di Jogja, Kak. Terus di Malang atau di Semarang.”

kalau kamu masih kepengen di kampus-kampus itu, masih ada waktu buat bujuk Papa kok. Aku pikir kamu cuma perlu yakinin Papa aja, tapi sayang? Kamu yakin mau ngerantau? Hidup di perantauan gak gampang loh.

Ara mengangguk, “yakin, Kak. Aku tuh mikir selama ini aku manja banget, makanya aku mau nantang diri aku sendiri buat hidup lebih mandiri dengan jauh dari orang tua.”

Ara cuma mikir selama ini dia cukup manja, ia juga ingin berubah menjadi gadis yang lebih mandiri lagi. Ia ingin menjadi dewasa dan lebih bertanggung jawab dengan diri sendiri.

Selain itu, Ara juga ingin mengksplore tempat-tempat lain, mengenal banyak budaya dan memiliki banyak teman di daerah lain. Ia ingin menjadi dewasa dengan caranya sendiri, dan Ara yakin ia bisa menjaga dirinya sebaik mungkin.

bagus kalau gitu, berarti tugas kamu nambah. Selain belajar buat ngejar kampus impian kamu, kamu juga harus bisa yakinin Papa.

“Kak?”

ya, sayang?

“Doain yah.” Ara mengerucutkan bibirnya, nada bicaranya merajuk dan membuat Yuno di sebrang sana menjadi gemas melihatnya, jika Ara saat ini berada di dekatnya. Mungkin Yuno sudah menangkup wajah gadis itu dan mengecupnya tanpa henti.

aku selalu doain kamu, sayang. Yaudah, tadi kita belajarnya sampai mana? Jadi keasikan sendiri kan tuh gara-gara kamu ngasih liat video di Aquarium kemarin.

Setelah banyak bercerita tentang kesehariannya dan juga perjuangan Ara membujuk Papa, Yuno kembali mengajari Ara beberapa materi ujian nanti. Meski dalam jarak jauh, Yuno enggak pernah kehilangan cara untuk mengajari Ara, ia ingin gadis itu juga pintar sama seperti dirinya.

Ujian Nasional tinggal terhitung sepuluh hari lagi, dan selama itu juga Ara benar-benar sibuk dengan segala macam bentuk latihan soal, test, belajar untuk masuk perguruan tinggi negeri dan juga les tambahan yang Bunda daftarkan untuknya.

Kadang saking sibuknya Ara tak jarang mengabaikan pesan singkat yang Yuno kirimkan padanya, Ara bukan benar-benar mengabaikanya kok. Hanya saja dia suka telat membalas pesannya, mereka juga jadi jarang melakukan panggilan video. Dan Yuno bisa paham atas semua kesibukan gadisnya, toh ia juga sibuk dengan test terakhir untuk sekolah bahasanya.

Siapa sangka jika masuk sekolah bahasa Yuno enggak sampai satu tahun, hanya hitungan bulan saja Yuno sudah mengantongi sertifikat B2. Itu artinya Yuno sudah bisa pindah ke Heidelberg dan mulai hidup barunya sebagai mahasiswa kedokteran.

Saat ini Ara tengah duduk di ruang tamu, ada Papa dan Bunda yang tengah menikmati secangkir teh, di temani oleh kue kering yang kemarin di antarkan oleh tetangga sebelah rumah mereka. Rencana nya pagi ini Ara akan kembali merayu Papa perihal kampus di luar kota yang akan ia ambil, ini kesempatan terakhirnya sebelum ia harus fokus untuk Ujian Nasional minggu depan.

“Pah, Bun?” panggil Ara, ia mengulum bibirnya sendiri menahan segala buncahan di hatinya. Takut-takut Papa tetap pada pendiriannya, melarang Ara untuk memilih kampus di luar kota.

“Kenapa, Kak?” tanya Bunda.

“Soal kampus Kakak..”

Papa mengangguk, “sudah dapat pilihan kampus di Jakarta atau kisaran Jabodetabek, Kak?”

Ara menggeleng, dia gak pernah sekalipun nyari tahu soal kampus di Jakarta yang membuatnya tertarik. “Kakak mau masuk jurusan psikologi di kampus yang ada di Malang, Pah.”

“Kak..” Papa menghela nafasnya, Ara ini memang keras kepala, walau Yuda juga agak sedikit keras kepala tapi setidaknya Yuda akhirnya pasrah pada ucapan Papa nya untuk tetap berkuliah di Jakarta, ya walau separuh dendam karena Yuda memilih kampus yang biayanya melejit.

please, Pah. Kakak janji gak aneh-aneh, Kakak juga bakalan belajar yang bener, IPK Kakak juga gak akan bikin Papa sama Bunda kecewa, Kakak cuma mau mandiri, Pah, Bun.”

Bunda hanya bisa melirik Papa, Bunda juga memiliki pendapat yang sama kaya Papa. Terlebih Bunda sangat mengkhawatirkan Ara, pernah dulu sekali Ara kecapekan saat mengikuti lomba paduan suara di sekolahnya. Alhasil asma yang dari kecil di derita Ara itu kambuh.

Dan yang membuat Bunda khawatir salah satunya adalah hal itu, siapa yang akan merawat putri sematawangnya itu jika sakitnya sudah kambuh? Apalagi Ara akan sangat berubah jadi sangat manja ketika sakit.

“Papa tuh paham, Kak. Anak seusia kamu nih lagi nyari jati diri. Tapi Papa juga paham jadi anak rantau di kota yang jauh itu gak mudah, kalau kamu enggak percaya, coba tanya pacarmu. Gimana dia di Jerman sekarang, gampang gak beradaptasi disana?”

“Kakak tau gak gampang, Pah. Tapi Kakak tuh kepengen eksplore—”

Belum sempat selesai menjelaskan, Papa sudah menggeleng dan mengibaskan tangannya.

“Gak ada gak ada, eksplore-eksplore emangnya kamu Dora The Explorer.”

“Aaaahhhh Papa....” kalau udah begini, kepala Papa sudah mulai pening. Pasalnya rengekan Ara ini melebihi anak kecil minta mainan, Ara bahkan gak perduli saat ini Reno menertawai nya dari meja makan. Kadang Papa ngerasa si bungsu Reno tampak lebih mudah di atur dan enggak neko-neko ketimbang Ara dan Yuda.

“Gak, Kak. Kamu nih mau nyari apa sih di Malang? Kalau buat liburan Papa kasih kalau buat tinggal. Enggak, Mas Yuda loh laki-laki aja gak Papa kasih, apalagi kamu.”

Karena Papa ingin berjalan ke teras untuk memandikan burungnya, jadi Ara langsung sigap berdiri dan memeluk lengan Papa nya itu demi menahannya agar tetap duduk di sofa.

“Aaahhh Pah, please Ara turutin deh maunya Papa, Kakak janji deh Kakak yang cuci mobil, nyikat WC, gak minta belanja-belanja lagi, bantuin Bunda masak sama mandiin Bejo tapi please bolehin Ara milih kampus di luar Jakarta, Pah...”

Urat malu Ara udah putus kayanya, bahkan Reno merekam dia dengan ponselnya sambil di tertawakan saja dia udah gak perduli. Yang penting bagi Ara sekarang gimana caranya Papa bisa luluh.

“Enggak, Papa bilang enggak. Kamu mau bangun jalan dari Jakarta sampe Panarukan atau bikin Candi kurang dari 24 jam buat ngerayu Papa juga gak akan mempan, Kak.”

“Emangnya Papa Roro Jonggrang, aaahhhh Pah please sekali ini aja, gapapa deh Papa kasih uang jajan nya dikit.” kedua mata Ara udah berlinang air mata aja, Papa sama sekali enggak membentak Ara. Tapi nada bicaranya menyebalkan sama kaya Mas Yuda.

“Lepas ah, Papa mau mandiin Bejo.”

“Gamau!!” alih-alih melepas tangan Papa nya Ara justru semakin kencang memeganginya. Seolah-olah ia lengah sedikit saja, Papa bisa menghilang entah kemana.

Papa akhirnya menghela nafasnya berat, kemudian menatap wajah putri satu-satunya itu. Sebenarnya Papa enggak tega, tapi melepas gadis yang selalu kecil di matanya itu juga enggak mudah. Papa akan selalu menganggap anak-anaknya masih kecil, meskipun mereka sudah beranjak dewasa sekarang.

“Papa gak larang kamu buat ambil kampus di luar kota, kalau kamu keterima.”

“BENER PAH?!!” pekik Ara girang.

“Papa belum selesai ngomong Arumi Naura Shalika.”

“Ayay, siap captain!”

“Tapi, ada tapi nya yah. Kalau kamu gak keterima di kampus-kampus pilihan kamu. Kamu harus ikutin kampus mana yang Papa pilih.”

“Tapi tetap di luar kota kan, Pah?”

“Kamu tuh mau kuliah atau mau bebas dari pengawasan Papa dan Bunda sih?” Papa jadi curiga kalau sudah begini, jangan-jangan Ara memilih kampus di luar kota hanya karena ingin hidup bebas dari kedua orang tua nya alih-alih mandiri.

“Ih gak gitu, Pah. Ara tuh mau ngerasain jadi anak kost yang mandiri, masak sendiri, nyuci baju sendiri, terus juga banyak ngenal tempat baru. Emangnya Papa sama Bunda mau Ara manja-manja terus?”

“Ya kamu masak sendiri aja di rumah, nyuci sendiri, anggap saja ngekost.”

“Beda ih, Papa mah.”

“Kalau kamu gak dapat perguruan tinggi negeri dan tetap pada pendirian kamu buat kuliah di luar Jakarta, pilihan kamu cuma satu.”

Bukan hanya Ara yang deg-deg an menunggu ucapan Papa selanjutnya, tapi ada Bunda dan juga Reno yang menunggu Papa melanjutkan ucapannya. Bunda bahkan gak nyangka Papa akhirnya menyetujui keinginan Ara untuk kuliah di luar kota.

“Apa, Pah?” tanya Ara kepalang penasaran.

“Kamu masuk universitas yang sama kaya Mas Arial di Bandung, kalau di Bandung Papa akan setuju. Toh ada Arial yang bisa jagain kamu kan,” jelas Papa.

“Ihhh Papa, masa di Bandung gara-gara ada Mas Iyal? Emang Mas Iyal baby sitter aku?”

“Yasudah kalau gitu kamu masuk di kampus nya Mas Yuda aja, di sana juga ada jurusan psikologi kan.”

Ara cemberut, menurutnya saat ini Papa benar-benar menyebalkan. Apalagi cengirannya, Ara jadi tau sekarang dari mana asal cengiran menyebalkan Mas Yuda berasal.

“Papa nyebelinnn,” rajuknya, karena sudah kepalang kesal akhirnya Ara masuk ke dalam kamarnya. Menyisakan Papa yang santai bersiul sembari memandikan burungnya di teras.

“Si Kakak ngambek loh, Pah.” ucap Bunda.

“Biarin lah, Bun. Kaya Ara gak pernah ngambek aja. Anakmu itu kan emang kerjaanya ngambek.”


Malamnya Ara baru sempat melakukan panggilan video dengan Yuno, matanya masih sembab akibat menangis karena kesal dengan Papa nya. Di sebrang sana, Yuno tengah mengemasi beberapa barangnya yang akan ia bawa ke Heidelberg. Mungkin sisa nya nanti akan ia jual dengan tetangga apartemennya yang lain, karna akan repot sekali membawa semua nya.

kok matanya sembab?” tanya Yuno di sebrang telfon sana.

“Kak Yuno lagi beres-beres mau pindahan?”

Yuno mengangguk, mengarahkan laptop miliknya ke penjuru ruangan di apartemennya. “minggu depan aku pindah, sayang. Makanya nyicil beres-beres sekarang.

Ara tidak menyahut, ia hanya mengangguk sambil sesekali menutupi wajahnya dengan rambut panjangnya. Ia tidak ingin membuat Yuno khawatir karna melihat wajahnya yang sembab.

kamu kenapa? Pertanyaan aku kok gak di jawab?

“Gapapa, habis bangun tidur.”

udah belajar sayang? 10 hari lagi UN kan?

“Capek, aku mau istirahat aja hari ini.”

Yuno menggeleng, bukan dia enggak tahu kalau Ara mungkin sedang tidak baik-baik saja sekarang. Dua tahun berkencan dengan gadis itu, Yuno sudah hafal sekali wajah Ara ketika sedang marah, bad mood dan juga sedih.

mau aku pijitin gak?” sembari melakban satu persatu kerdus, sesekali Yuno melirik ke arah laptopnya yang menampakan wajah cantik kesayangannya itu.

“Emangnya bisa? Emangnya tangan kamu sampai kamar aku apa?” cicit Ara malu-malu.

aku pesan tiket pulang ke Jakarta aja apa yah sekarang? Biar bisa mijitin kamu, habis itu balik lagi ke Jerman?

Ara yang mendengar itu jadi tersenyum malu-malu, “kak Yuno?”

yes princess?

“Aku lagi kesal sama Papa.” nada bicara Ara persis sekali seperti anak kecil yang tengah mengadu.

kenapa, sayang? Masih soal kampus yah?” tebak Yuno.

Ara mengangguk, ia mengubah posisinya yang tadinya tengkurap di atas ranjang. Menjadi duduk, Ara juga mengikat rambut panjangnya asal.

“Papa setuju aku ambil pilihan kampus di luar Jakarta kalau aku benar-benar keterima, tapi kalau aku enggak dapat PTN dan pilihan aku tetap buat gak kuliah di Jakarta, masa Papa mau daftarin aku di kampus nya Mas Iyal.”

Kampusnya Arial? Narawangsa University bukan sih?” Arial dan Yuno cukup dekat walau tidak sedekat itu, mereka hanya pernah berbicara beberapa kali saja sewaktu Yuno main ke rumah Ara.

“Iya kampus itu.”

Narawangsa juga univeritas bagus loh sayang. Kenapa emangnya hm?

“Masalahnya alasan Papa nyebelin, katanya kalau aku di Narawangsa dan aku kost di Bandung. Aku kan tetap ada yang ngawasin, Mas Iyal bisa jagain aku katanya. Emangnya Papa kira aku bocah ingusan apa yang harus di jagain terus.”

Yuno menahan tawanya, alasan Papa nya Ara bisa Yuno terima. Toh itu bukan alasan yang konyol menurutnya, tapi nada bicara Ara yang terdengar sangat lucu di telinganya yang membuat Yuno harus menahan tawanya mati-matian.

Papa itu khawatir banget sama kamu loh, Sayang. Menurut aku alasanya masih bisa di terima kok, toh Gita juga cerita ke aku. Kalo Papa nya sama-sama khawatir kaya Papa kamu waktu Gita milih buat kost di Bandung.

Mendengar nama Gita di sebut, Ara jadi mengerutkan keningnya. Apalagi Yuno bilang tadi kalau Gita juga akan kost di Bandung.

“Loh, Gita kost di Bandung? Dia kuliah di Bandung, Kak?”

baru rencana, dia bilang gak tau mau ke mana. Kemungkinan juga mau ambil kampus yang sama kaya Kevin walau beda fakultas,” jelas Yuno.

“Kevin? Kevin udah milih kampus?”

kamu tanya sendiri sama Gita gih, siapa tau Gita sama Kevin di Narawangsa juga. Kan kalian bisa cari kosan bareng nanti.

Ara mengulum bibirnya, kalau yang di bilang Kak Yuno benar. Bukankah itu adalah kabar baik? Jadi Ara kan gak pusing nyari teman baru. Tapi tetap kok, Ara akan mengusahakan dirinya tetap masuk di kampus pilihanya yang ada di Malang. Narawangsa dan Bandung hanya opsi kedua saja baginya.

Setelah selesai dengan pesta ulang tahun yang Ara buat untuk Suaminya itu, kini giliran Yuno yang memberikan Ara hadiah untuk merayakan valentines day mereka. Hari ini Yuno genap berusia 30 tahun dan hari itu Yuno mengajak Ara untuk menghabiskan malam valentine ini berdua hanya dengannya.

Saat merayakan ulang tahun Yuno, Hana ikut. Namun setelah itu mereka menitipkan Hana di rumah kedua orang tua Ara, malam itu Yuno membawa Ara ke apartemen milik Yuno yang sudah ia hias dengan bunga kesukaan Ara, Ara menyukai lily dan juga mawar putih.

setelah selesai berendam di bath up, Ara keluar dari kamar mandi masih dengan rambutnya yang ia bungkus dengan handuk dan kimono mandinya. wanita itu berjalan ke meja rias untuk mengenakan skincare routine nya.

di ranjangnya sudah ada Suaminya itu yang tengah membalas ucapan-ucapan selamat ulang tahun dari rekan-rekannya, Yuno sudah mandi lebih dulu. dan saat ini laki-laki itu hanya mengenakan celana pendek saja tanpa atasan.

“pakai baju dulu, Mas.” Istrinya itu menegurnya. membuat Yuno terkesiap dan menaruh ponselnya di meja sebelah ranjang mereka.

“sayang, aku mau juga di pakein toner punya kamu dong. tonerku habis, aku lupa mau beli lagi karena kemarin hectic banget.” keluh Yuno.

Yuno sengaja tidak mengambil jatah liburnya minggu kemarin agar saat ulang tahunnya ia bisa mengambil jatah liburnya itu demi berkencan dengan Istrinya.

“sini, aku lagi pake juga nih.”

“kamu aja ke sini, aku mau sambil tiduran.”

kalau Yuno sudah manja begini, Ara jadi geregetan sendiri. Ia mau gak mau akhirnya menghampiri Suaminya itu, dan duduk di atas ranjang. Kepala Yuno yang tadinya bersandar itu jadi berganti tiduran di atas paha Istrinya itu. Matanya terpejam menikmati tangan lembut Ara yang memakaikannya skincare.

“Rambut kamu masih agak basah Mas, Gak di keringin dulu?” tanya Ara.

“Gak ada hair dryer disini, sayang.”

“Aku bawa kok, mau di keringin?”

Yuno menggeleng. “Gak usah, biarin aja.”

Ara akhirnya kembali pada step demi step skincare routine yang ia pakai setiap malam pada wajah mulus Suaminya itu.

“Pake baju sih, Mas. Dingin tau, kamu gak dingin apa?” pasalnya di kamar yang mereka tempati itu AC nya agak sedikit dingin, belum lagi cuaca di luar sana yang terus di guyur hujan dari pagi hingga malam ini.

“Sayang?” panggil Yuno.

“Hm?”

“Kamu lagi datang bulan gak?”

Ara tersenyum, kalau Yuno sudah bertanya gini. Ara tahu ke mana arah pembicaraan Suaminya itu, kebetulan ini memang belum jadwalnya untuk datang bulan. Jadwal haid Ara itu selalu acak dari ia masih gadis, dan Ara hanya bisa perkiraan 10 hari lagi mendekati jadwalnya datang bulan.

“Enggak, Mas. Kenapa?”

Yuno yang di pangkuan Ara itu membuka kedua matanya, kuping laki-laki itu memerah namun wajahnya penuh harap dengan raut wajah sebuah permohonan.

“Boleh?”

Malu-malu tapi akhirnya Ara mengangguk juga, mereka memang sudah lama tidak bercinta setelah Yuno benar-benar hectic dengan pekerjaannya dan Ara yang kembali praktik.

Begitu mendapat persetujuan dari Istrinya itu, Yuno langsung mengubah posisinya menjadi duduk. Keduanya saling tersenyum, Ara yang melihat telinga Yuno memerah karena malu itu jadi tertawa. Menurutnya itu respon tubuh Yuno yang unik, laki-laki itu enggak bisa menyembunyikan malunya.

“Telingaku merah yah?” Yuno menutup telinganya dengan kedua tangannya itu.

“Tapi lucu, Mas.”

Jika biasanya berbicara pada Yuno mata Ara akan menatap mata Yuno pula, berbeda dengan saat ini. Mata indah itu justru menatap ke arah bibir penuh Yuno, Yuno sendiri merasakan jika Ara memperhatikan bibirnya pun semakin menggoda kekasihnya dengan cara sesekali menjilat dan mengigit bibir bawahnya sendiri.

Dengan penuh gerakan lembut, Yuno membawa pinggang Istrinya itu dan menuntunnya untuk duduk di pangkuannya. Kini Ara berada tepat di pangkuan Yuno, dengan posisi wajahnya berada di atas wajah Yuno dengan kedua tangan yang wanita itu taruh di pundaknya.

Keduanya memejamkan mata, menikmati aroma tubuh dari masing-masing yang menyeruak. Sampai akhirnya bibir ranum Ara menyapa bibir Yuno, mengecupnya dengan gerakan terbata-bata sambil sesekali ia mengusap punggung Suaminya itu.

Kedua tangan Yuno memeluk pinggang ramping Istrinya itu, mendekapnya lebih erat seolah tidak boleh ada jarak di antara mereka sedikit pun. Kecupan demi kecupan Yuno layangkan di bibir Istrinya itu, sesekali Ara mengigit bibir bawah Suaminya itu pelan dengan tangan yang sedikit meremas bahu Yuno.

Tangan Yuno yang semula berada di pinggang Ara, kini perlahan menarik kimono yang Ara pakai hingga kimono itu merosot dan memperlihatkan bahu mulus milik Istrinya itu, Ara memang belum memakai baju, hanya memakai bra saja.

“Nngh..” Ara melenguh, begitu Yuno melepaskan ciuman mereka dan bibirnya kini menyusuri leher jenjangnya sembari ia layangkan 1 tanda kepemilikannya di sana.

Begitu kimono milik Ara tanggal, tangan Yuno dengan tergesa-gesa membuka kaitan bra milik Istrinya itu dan menanggalkannya hingga kini tubuh ramping Istrinya itu tidak terhalang benang sedikit pun.

Masih sembari menciumi leher jenjangnya, Yuno mengubah posisi mereka. Menidurkan Ara dengan perlahan dengan tubuh gagahnya menguasai tubuh mungil Istrinya itu.

Kedua nafas mereka memburu, ada hasrat yang melambung tinggi yang meminta untuk segera di tuntaskan. Kedua iris kecoklatan dan hitam legam itu bertemu, saling memandang sampai akhirnya Yuno melayangkan 1 kecupan di tulang selangka Istrinya itu, kemudian turun dan mengecup payudara Ara yang malam itu benar-benar membuat Yuno pening.

“Mmhh, Mas Yuno..”

Mendengar suara Istrinya itu, membuat rasa ego di dalam diri Yuno menyeruak. Ia sangat menginginkan Ara malam ini, puting merah muda Istrinya itu ia kecup dan kemudian ia sesap. Membuat Ara memejamkan kedua matanya, tubuhnya di buat melayang hanya karena bibir dan lidah Suaminya itu bermain di atas putingnya.

“Ouuhhh.”

Ara membusungkan dadanya, tanganya tak lantas menganggur karena keduanya kini sudah bertengger di kepala Yuno, mengusap rambut basah Suaminya itu dan sesekali meremasnya pelan takala Yuno mengigit putingnya dengan gemas.

“Mas... Nnghh...” gerakan tangan Yuno di atas payudaranya itu membuat Ara seperti di terbangkan, membuat tubuhnya menginginkan lebih dari itu. Belum lagi gesekan jari Yuno di atas putingnya yang sesekali menekannya ke dalam, hingga puting nya itu mengeras.

Nafas Ara terengah-engah, Yuno benar-benar tidak memberinya jeda untuk menghirup oksigen sebanyak-banyaknya karena setelah puas dengan payudaranya, bibir itu beralih kembali membungkam bibirnya.

Membuat kecupan memabukkan yang di ikuti dengan nafsu dan hasrat serta kasih sayang yang hanya ingin Yuno tunjukan pada Ara. Decapan-decapan itu memenuhi setiap sudut ruang kamar mereka.

Saking terbuai nya, Ara sampai tidak sadar jika tangan Yuno sudah turun membelai paha terdalamnya. Mengusapkan jemarinya di sana, yang membuat Ara menggelinjang hebat dan meremas bahu Suaminya itu kuat.

“Aahhh.” kepalanya mendongak, membuat Yuno melepaskan ciuman itu dan beralih kembali pada leher jenjang Istrinya itu.

“Mas... Disitu..” Ara meremas bahu Yuno kuat, kakinya mengapit tangan Yuno agar tetap berada di paha terdalamnya.

Ketika merasakan vagina Istrinya itu berkedut, Yuno semakin menggerakkan jemarinya dengan cepat membuat Ara meremas seprei mereka dengan cepat, tak kala pelepasan wanita itu yang mencapai puncak.

“Mmhhhh...” erang Ara, ia memejamkan matanya. Menikmati pelepasan pertamanya akibat ulah jari Suaminya itu.

Dadanya naik turun berusaha mengatur nafasnya sendiri, melihat semua pakaian Istrinya itu tanggal. Yuno melepaskan celana pendek sedengkul yang ia pakai untuk tidur tadi dan melemparnya sembarangan.

Dari tempatnya Ara bisa melihat milik Yuno yang sudah mengeras dan mengacung itu, ketika Yuno kembali berada di atas tubuhnya. Ara membelai wajah Suaminya itu, mengusap bibir bawahnya penuh kasih sayang dan menekan tengkuk Suaminya itu untuk kembali ia kecup.

Sementara di bawah sana Yuno berusaha mengarahkan miliknya ke dalam vagina Istrinya itu, menekannya masuk perlahan-lahan agar tidak menyakiti Istrinya.

“Nnghhh..” Ara menancapkan kukunya di punggung Yuno, memejamkan matanya menikmati surganya yang Yuno ciptakan untuknya.

Milik Yuno sudah masuk dengan sempurna ke dalam vagina Istrinya itu, perlahan-lahan ia gerakan pinggangnya sembari sesekali ia cecapi bibir ranum Istrinya itu yang sudah sedikit membengkak.

“Mas.. Ouhh...”

“Aahh sayang..” Yuno memejamkan matanya, merasakan miliknya di jepit oleh milik Istrinya itu.

Kedua tangannya ia jadikan tumpuan agar tidak menindihi tubuh Ara sepenuhnya, sesekali Yuno mengigit bibir bawahnya menahan nikmat yang hanya bisa ia dapatkan bersama dengan Ara. Di bawah kuasa tubuh Suaminya, Ara meremas bahu Yuno merasakan nikmatnya pertemuan antar kulit itu di dalam miliknya.

Sembari memperhatikan wajah Istrinya Yuno seperti membagi cinta, mengutarakan kasih sayang serta ego yang ia miliki hanya untuk bersama Ara. Yuno ingat ini adalah tanggal masa subur Istrinya itu, pantas saja malam ini Ara jauh lebih menarik dari hari biasanya.

“Aarghhh.” Yuno mengerang, merasakan milik Ara semakin menjepit dirinya di dalam sana.

“Mas.. Nnghhh...”

“I love you,” bisik Yuno sembari mengigit telinga Istrinya itu.

Ara berusaha mati-matian untuk tidak mengumpat, permainan panasnya dengan Yuno sungguh nikmat hingga membuat kepalanya pening setengah mati.

“Mas... Pelan-pe...lan..”

Yuno semakin menekan dirinya masuk hingga Ara menancapkan kuku-kukunya itu di punggung lebar Suaminya. Ketika merasakan milik Istrinya itu berkedut, Yuno semakin menggerakkan pinggul nya dengan cepat.

“Mas Yuno... Aaaahhh please..” Ara meremas rambut Yuno, dan memejamkan matanya ketika ia merasakan pelepasan pertamanya.

Cairan hangat milik Istrinya itu menyelimuti milik Yuno di dalam sana, namun Yuno belum selesai. Ia masih terus menggerakkan miliknya, kali ini tidak selembut awal. Yuno semakin menekannya masuk hingga tidak ada yang tersisa dan menggerakkan pinggulnya dengan cepat.

“Aahhh tahan sayang..”

“Mmhhhh.” Ara menarik leher Suaminya itu dan melayangkan ciuman pada bibir Suaminya, menggigitnya, melumat dan mencecap rasanya dengan ego nya penuh.

“Aarghhhhh.”

Keduanya saling memejamkan mata, Yuno merasakan pelepasannya dan Ara merasakan benih milik Suaminya itu memenuhinya. Yuno masih berada di atas tubuh ramping Istrinya itu, mengecup pipi nya hingga mengusap lembut surai legam dan panjang itu.

you okay um?” tanyanya memastikan Ara selalu baik-baik saja setelah permainan panas mereka.

“Um,” Ara mengangguk, membawa jemari Yuno untuk menggenggam jemarinya.

Saat pergerumulan panas mereka, keduanya tidak langsung tidur. Ara dan Yuno justru saling mendekap bergerumul di dalam selimut tebal. Yuno memejamkan matanya, menikmati belaian halus tangan kurus Istrinya itu di wajahnya.

“Belum puas liatin mukaku sayang?” tanya Yuno, sebelah matanya terbuka dan Ara terkekeh karena ucapnya.

“Belum, aku gak mau tidur ah kayanya. Mau liatin muka kamu aja.”

“Kan bisa besok lagi.”

“Mas?”

“Hm?”

“Kamu pernah gak sih cemburu sama aku?” pertanyaan dari Istrinya itu membuat sebelah mata Yuno yang terpejam itu terbuka.

“Cemburu gimana?”

“Ya kalau aku deket-deket sama laki-laki lain.”

“Hhmm...” kepalanya menggeleng, kemudian mendekap kepala Ara pada dada bidangnya itu.

“Iiihh kok gitu?” Ara memukul dada Yuno dengan kesal. Masa cuma dia yang suka cemburu kalau Yuno sedang di gilai wanita lain?

“Yah, buat apa? Kamu udah jadi Istri aku. Kamu juga gak akan macam-macam, aku percaya sama kamu sayang.”

“Mas... Ihhh.” Ara merajuk, ia menenggelamkan kepalanya di dada Yuno.

“Aku sering bikin kamu cemburu yah?”

“Pake nanya lagi,” ucapnya kesal.

“Justru tuh kamu kasian harusnya sama mereka.”

“Ngapain kasian?”

“Ya iya lah, soalnya mereka cuma bisa mandangin aku, sedangkan kamu bisa aku cium kaya gini sepuasnya.”

Yuno mencium leher Ara dengan gemas sampai Istrinya itu menggelinjang kegelian akibat ulahnya.

“Ya gapapa, aku juga udah mulai terbiasa tanpa kabar dari kamu, Kak.”

“Ra, kok ngomong gitu?”

“Ya emang bener kan? Coba kapan terakhir kali kita video call kaya gini tanpa aku harus mohon-mohon dulu?”

“Ra, kayanya kita udah bahas soal ini ya, kamu juga bilang kan kalo kamu paham kalo aku mulai sibuk, kamu juga yang bilang kalo hidup aku gak harus selalu tentang kamu, tapi kok sekarang kamu ngomong gini?”

“Aku capek, Kak. Capek selalu jadi yang nunggu kabar dari kamu. Kamu sadar gak sih kamu tuh banyak berubah?”

“Bukannya kamu ya?”