Someone Else Behind The Incident
Malam ini Stella enggak sempat ke toko milik Ibu nya lagi, tapi Stella sudah menitipkan Jelang pada Ibu dan Bapak agar merawat lukanya. Stella sedikit lega karna luka Jelang cepat pulih, Stella sudah membuat rencana untuk memecahkan teka-teki dalang di balik penjebakan suaminya ini.
Namun untuk berjaga-jaga Stella akan melakukan sesuatu untuk mempermudah komunikasinya dengan Jelang, karna ini kasus milik Jelang. Maka ada beberapa hal yang mungkin harus Stella tanyakan pada laki-laki itu, namun, Stella takut ponsel miliknya juga di retas oleh seseorang. Maka dari itu dia sudah merencanakan sesuatu.
Stella yang sedang menikmati secangkir teh di meja makan itu sedikit mengerjap ketika pintu rumahnya terbuka dan menampakan Tristan yang baru saja pulang kuliah. Bocah itu baru pulang di jam sepuluh malam, semenjak perkuliahanya di mulai Tristan memang jadi lebih sibuk. Namun ia tidak pernah absen untuk menanyakan soal Jelang padanya.
“Mbak belum tidur?” tanyanya, Tristan memasuki dapur dan menuangkan air putih pada mug coklat miliknya.
“Masih ada yang harus di kerjain.” Stella menepuk kursi di sebelahnya, memberi isyarat pada Tristan untuk duduk di kursi sampingnya. Kursi yang biasa Jelang pakai untuk duduk ketika mereka sedang sarapan.
“Ada apa, Mbak?” Tristan nurut, dia duduk di sebelah Stella sembari memangku mug miliknya.
“Mana HP kamu?”
Awalnya Tristan mengerutkan keningnya bingung, namun pada akhirnya ia memberikan HP itu pada Stella. Tidak lama kemudian, Tristan bertambah bingung ketika Stella mengeluarkan sebuah dus HP dan memberikan itu ke tanganya.
“Ini buat kamu, Mbak pinjam HP kamu dulu buat sementara waktu,” jelas Stella.
“Ke..kenapa, Mbak?”
Stella menarik nafasnya pelan, ia menepuk pundak Tristan yang masih nampak bingung meminta jawaban darinya.
“Ada yang harus Mbak kerjakan.” Stella diam sebentar, perempuan itu berdiri dari kursinya, dengan telapak tangan masih pada bahu lebar milik Tristan, “ini semua demi Mas Jelang, Ta.”
Setelah mengatakan itu, Stella masuk ke dalam kamarnya. Meninggalkan Tristan yang masih mematung duduk di kursi meja makan, walau masih nampak bingung. Tristan yakin kalau Stella benar-benar akan melakukan sesuatu dengan ponselnya untuk Jelang.
Jelang sampai hari ini masih berada di gudang bahan baku toko milik Ibu mertuanya itu, sesekali ia bangun dan sesekali ia kembali berbaring karena bekas jahitan di perutnya, namun saat sedang melamun tiba-tiba saja kepalanya terpintas sebuah ingatan jika malam itu ia sempat meminum minuman soda.
Dan kalau tidak salah, botol yang di gunakan oleh pelaku untuk menjebaknya adalah botol minuman yang sama dengan ia minum malam itu. Kalau benar, pantas saja jika ada banyak sidik jarinya di sana.
Akhirnya Jelang berusaha untuk duduk, ia menelfon Stella dengan telefon toko ke nomernya milik Tristan. Ya, Stella menyuruh Jelang menelfonya ke nomer Tristan. Takut-takut nomer milik Stella di retas oleh orang lain demi mendapatkan informasi tentang keberadaan Jelang.
Tidak membutuhkan waktu lama bagi Jelang untuk Stella mengangkat telfonya, pada sambungan telfon ketiga, Stella mengangkat panggilan itu.
“hallo?“
“La, kamu dimana?”
“aku masih di kantor, ada apa?“
“Aku butuh nomer Davin, tolong sebutin nomer Davin, La.”
Stella tidak langsung menjawab, namun di sebrang sana Jelang bisa mendengar jika ada bunyi grasak grusuk. Stella mungkin menjauh dari keramaian untuk menjawab ucapan Jelang barusan.
“ada apa, Lang? Kamu bisa ngomong sama aku dulu, nanti aku sampain sama Davin.“
“La, aku ingat malam waktu aku ketemu Eros di pabrik itu, aku sempat minum. Mak..maksud aku minuman soda, botol minum itu sama kaya yang di jadiin barang bukti pembakaran karena bau bensin. Kalau benar, gak heran kenapa sidik jariku ada di botol itu,” jelas Jelang.
Stella terdiam sebentar, ia benar-benar geram rasanya. Berarti malam itu Jelang sudah di ikuti oleh seseorang, orang di balik ini benar-benar merencanakanya dengan matang.
“Nanti aku bakalan kasih tau Davin dan minta foto barang bukti itu.“
“La, aku pikir aku bisa selesain ini—”
“Lang, please. Aku cuma suruh kamu pulih dulu. Setelah pulih aku gak akan halangin kamu buat bongkar semua kebenaran ini dan nangkap pelakunya.“
Tidak lama kemudian setelah mengatakan itu Stella mematikan panggilan itu secara sepihak, membuat Jelang kembali berbaring. Bekas jahitan di perutnya kembali terasa nyeri.
Kemarin saat Stella mampir ke toko milik Ibu, perempuan itu sempat meninggalkan ponsel lamanya di sana. Ini pertama kalinya Jelang membuka ponsel milik Istrinya itu, dia gak nyangka kalau Stella pakai foto pernikahan mereka yang terbilang cukup sederhana itu.
Ponsel lama yang masih sering Stella gunakan hanya untuk menyimpan foto-foto lama nya. Ponsel itu semacam ponsel cadangan untuk Stella.
Jelang tersenyum, ia jadi teringat ucapan Stella kemarin. Perempuan itu bilang kalau ia menyukainya, perasaan Jelang terbalas. Ia tidak jatuh cinta sendirian pada Istrinya, Jelang juga tidak menyangka jika Stella kemarin berani menyatakan perasaanya lebih dulu kemudian menciumnya.
Sungguh, setiap kali mengingat kejadian itu kupu-kupu di perut Jelang selalu menggila. Rasanya itu menjadi hari paling mendebarkan untuknya, meski tidak dapat di pungkiri jika ia sebenarnya ingin mengungkapkan perasaanya lebih dulu pada Stella.
Dari dulu, Jelang sudah menyukai Stella lebih dari teman. Tapi dia sadar jika Stella hanya menganggapnya sebagai teman biasa, tidak ada perasaan lebih dari teman untuknya. Waktu itu Jelang berusaha untuk lebih lapang dada, ia berpikir jika tidak memiliki hubungan lebih dari teman dengan Stella.
Selamanya Jelang tidak akan kehilangan perempuan itu, awalnya ragu bagi Jelang untuk melihat isi galeri milik Stella. Namun rasa penasaran itu mengalahkan dirinya, foto-foto di galeri HP milik Stella lumayan banyak, ada folder foto dirinya dan beberapa hasil autopsi yang mungkin lupa Stella hapus.
Namun yang membuat Jelang tersenyum lebar adalah, Stella membuat folder foto mereka berdua. Dan sampul foto yang di pakai adalah foto mereka saat kelulusan SMA dulu. Stella yang memakai kebaya dengan rambut panjang yang ia urai, dan Jelang yang saat itu nampak tampan dengan setelan jas milik mendiang Bapaknya dulu.
Ada banyak sekali foto nya dan Stella waktu masih memakai seragam SMA sampai akhirnya mereka masuk kuliah, Stella lebih dulu kuliah dari pada Jelang. Karena Jelang sempat masuk pendidikan kepolisian lebih dulu, namun setelahnya ia baru memasuki dunia perkulihan, Jelang itu lulusan hukum. Makannya gak heran kalau dia bisa mendapat gelar penyidik.
Di tengah rasa sakit yang menderanya, Jelang tersenyum. Hatinya sungguh menghangat hanya dengan melihat foto-foto itu, namun tidak lama kemudian terpintas ide di kepalanya untuk membuat sesuatu di HP milik Stella.
Maka dari itu, ia membuka kamera dan merekam sesuatu di sana untuk Stella lihat nanti.
“Hai, La.” ucapnya sembari tersenyum.
To Be Continue