The D Day
Begitu Jelang dan Stella sampai di masjid tempat kedua nya mengadakan akad nikah, Jelang dan Stella langsung di bawa ke ruang make up. Ibu marah banget sama Stella karena bisa-bisa keduanya terlambat, penghulu yang akan menikahkan keduanya juga sibuk dan masih ada jadwal menikahkan mempelai lain.
Bahkan keduanya tidak pulang ke rumah, semalam keduanya menghabiskan malam di rumah sakit, bahu Stella cidera dan butuh penanganan yang tepat. Sialnya keduanya tertidur saat Stella sudah selesai melakukan pemeriksaan dan tinggal menunggu hasil.
“Budhe, gimana ini? Penghulunya udah mepet banget. Kalo nunggu Mbak Stella di make up, penghulunya bilang mau menikahkan dulu di tempat lain nanti ke sini lagi,” ucap Bianca sepupu Stella.
“Duh, Buk. Aku gak usah make up deh, yang penting nikah dulu aja,” kata Stella, dia gak masalah menikah dengan baju yang ia pakai kemarin kerja. Yang penting penghulunya tidak terlambat, Stella gak mau menyusahkan orang lain.
“Yang bener aja kamu!!” pekik Ibu. “Bi, suruh tunggu sebentar aja dulu, Bi.”
“Duh, Budhe..”
Karena merasa tidak enak sudah membuat penghulunya menunggu, Stella akhirnya berdiri. Ia akhirnya keluar lebih dulu dan mengabaikan panggilan Ibu yang menyuruhnya untuk kembali duduk, bersamaan dengan Stella yang keluar dari ruang make up pengantin wanita, Jelang juga keluar dari ruangan pengantin pria. Laki-laki itu juga sama, masih mengenakan leather jacket berwarna hitam yang kemarin ia pakai.
“Lo gapapa gue begini aja, Lang?” tanya Stella.
Jelang hanya mengangguk, “gue aja masih pake baju kemarin,” ucapnya.
Keduanya sempat terkekeh pelan sebelum menuju ke ruang akad bersama, di sana sudah ada keluarga besar keduanya, dan beberapa rekan kerja mereka berdua. Semuanya tampak heran dengan Jelang dan Stella yang hanya mengenakan pakaian casual.
Namun, biarpun begitu akad nikah berjalan dengan lancar dan khidmat, selesai akad pun mereka sempat mengadakan foto bersama. Hari itu entah kenapa, meski mengenakan baju sehari-hari yang biasa Stella pakai kerja. Tapi di mata Jelang, Stella tampak lebih cantik dari biasanya.
“Jadi semalam Stella di serang sama orang gak di kenal? Sampai bahu nya cidera? Ya ampun, Nak. Pantes aja perasaan Ibu tuh udah enggak enak pas kamu pamitan kerja,” ucap Ibu setelah Jelang dan Stella menjelaskan kemana mereka berdua semalam.
“Kamu memang gak jemput Stella, Lang?” tanya Bapaknya Jelang.
“Jelang juga lagi dalam perjalanan, Pak. Begitu dapat laporan, Jelang langsung ke BFN kasus nya juga udah di pegang sama penyidik lain. Setelah ini Jelang pastiin Stella gak akan kenapa-kenapa,” ucap Jelang percaya diri.
Beruntungnya kedua orang tua mereka mereda setelah mendapatkan penjelasan, acara pernikahan yang sederhana itu pun masih berjalan. Kedua nya sempat makan, setelah itu Stella mengajak Jelang naik ke rooftop gedung sebelah masjid mereka mengadakan akad nikah.
Stella ingin menghindari banyak tamu, ia hanya ingin berduaan dengan Jelang dan membahas banyak hal untuk kehidupan mereka berdua setelah pernikahan ini.
“Malam ini kita langsung pindah aja ya, Lang? Lo capek gak?” tanya Stella memecahkan hening di antara mereka.
“Mana ada kenal kata capek gue, La.”
“Sombong,” Stella menyenggol lengan Jelang, kemudian menenggak sekaleng cola yang ia ambil barusan.
“Barang-barang di kamar gue sama rumah lo udah di pindahin ke rumah kita, gue gak tau bakalan sepenuh apa, gue yakin masih berantakan. Nanti kita beresin dulu.”
“Besok lo udah cuti kan?” tanya Jelang.
“Um,” Stella mengangguk. “Kenapa?”
“Mau belanja bulanan buat di rumah gak? Nanti gue temenin.”
“Lo gak kerja?”
“Gue mau istirahat sehari.”
Stella mengangguk, seulas senyum tipis menghiasi wajahnya itu ia sembunyikan agar Jelang tidak melihatnya. Meski sederhana dan di mata orang lain mungkin mereka terkesan tidak seperti niat menikah, tapi Stella sangat menghargai pernikahan ini. Ia bahagia, ini menjadi hari terbahagia dalam hidupnya.
“Lang?”
“Hm?”
Stella menghembuskan nafasnya, memperhatikan langit yang siang itu terlihat cerah. Warna nya biru dan awa putih berjalan pelan bagai kapas di atas sana dengan hembusan angin yang menerpa wajah keduanya.
“Kalau hari besok enggak pernah ada, apa yang mau lo lakuin hari ini?” tanya Stella.
Jelang urung menjawab, ia hanya memperhatikan wajah cantik perempuan yang hari ini sudah menjadi istrinya itu.
“Kenapa nanya kaya gitu?” alih-alih menjawab Jelang justru malah balik bertanya.
“Gapapa mau tau aja, lo tau kan, Lang. Kerjaan kita beresiko, kapan aja orang bisa ngancam, nikam, bahkan kita mungkin bisa di bunuh. Kita bisa mati kapan aja di tangan orang lain, Lang.”
“Semua orang bakalan mati, La.”
“Ck,” Stella berdecak. “Ya Udah, jadi apa?”
Keduanya saling melempar tatapan satu sama lain, seperti sedang menelisik dan membaca pikiran masing-masing melalui tatapan. Sampai akhirnya Jelang lebih dulu membuang pandanganya ke arah lain.
“Gue udah lakuin hal itu sekarang,” jawabnya.
“Apa?”
“Menikah,” ucapnya enteng.
“Nikah?”
Jelang mengangguk, “seenggaknya gue udah wujudin maunya orang tua gue, La. Mereka pengen banget liat gue nikah. Kalo hari besok enggak ada, setidaknya mereka udah bahagia karena gue hari ini.”
“Lo sendiri?” kini Jelang balik bertanya. Dia mau tau apa yang ingin Stella lakukan hari ini jika hari besok tidak ada.
“Setidaknya, gue udah punya rumah sendiri. Gue udah tinggal di rumah yang kita beli,” jawab Stella sembari menoleh ke arah Jelang.
Stella kemudian berbalik dan kembali menatap langit dan menikmati semilir angin siang itu. Setelah acara pernikahan keduanya selesai, Jelang dan Stella sempat berpamitan dengan kedua orang tua mereka, mereka akan segera menempati rumah baru mereka.
Di perjalanan, Stella sesekali bergumam menceritakan makanan-makanan ringan yang akan ia beli besok, membuat daftar belanja untuk mengisi rumah mereka. Dan Jelang yang saat itu sedang menyetir hanya bisa mengangguk, sambil sesekali menimpali kebutuhannya juga yang harus ia masukan ke dalam daftar belanjaan tersebut.
Begitu sampai di rumah mereka, keduanya langsung menata barang-barang mereka di kamar dan sebagian di ruang tamu. Jauh dari perkiraan Stella, barang-barang milik mereka enggak banyak ternyata, bahkan kamar mereka berdua hanya terisi oleh ranjang, lemari dan meja rias.
Sedangkan kamar kedua hanya terisi kasur kecil milik Jelang, rak sepatu yang belum mereka tata dan lemari kayu yang tadinya itu milik Stella. Sementara di ruang tamu, hanya terisi sofa baru dan meja TV yang belum ada TV nya saja.
“Rumah kita lowong banget, gue pikir barang-barang kita udah banyak,” ucap Stella, ia memberikan segelas air ke Jelang setelah mereka selesai merapihkan barang-barang.
“Nanti kita isi sama barang-barang lagi, pelan-pelan aja, La.”
“Lang?”
“Hm?”
“Kita kayanya harus cetak foto pernikahan kita berdua deh, terus di taruh di ruang tamu.” Stella ngerasa dinding rumah mereka terlalu kosong, ada beberapa piala penghargaan milik Jelang dan miliknya juga, namun piala-piala itu belum Stella susun, masih ada di dalam kardus.
“Maksudnya foto nikah kita yang pake baju casual itu?” tanya Jelang yang di jawab anggukan kecil oleh Stella.
“Lang, itu foto punya sejarah panjang buat kita. Orang-orang yang bertamu harus liat sih.”
Jelang hanya terkekeh sembari menggeleng kepalanya pelan, lelah karena menata barang-barangnya malam ini hilang begitu saja ketika melihat Stella tersenyum. Besok pagi, ia akan membawa foto mereka ke studio foto untuk mencetaknya dalam ukuran besar.
Malamnya keduanya tidur di kamar yang sama, tidak seranjang karena jika mereka tidur seranjang akan sempit. Ranjang yang di pakai kebetulan ranjang dari kamar Stella yang berbentuk 2 in 1, ada dua ranjang yang bisa di tarik dari bawah. Stella tidur di ranjang atas sementara Jelang di bawah.
Kamar mereka juga belum ada korden, mereka hanya menutupi jendela itu dengan selimut panjang milik Jelang. Dan kini keduanya berbaring di ranjang mereka masing-masing.
sembari menatap kosong langit-langit kamar mereka yang sudah gelap karena lampu yang sudah di matikan. Satu-satunya cahaya kecil yang masuk ke kamar itu hanya cahaya dari lampu taman kecil rumah mereka.
Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing tentang apa yang sudah mereka lalui, dan lakuin bersama hari ini.
“La?”
“Um?”
“Lo tau gak alasan kenapa gue mau jadi polisi?” tanya Jelang tanpa menoleh ke arah Stella.
“Kenapa?”
“Bapak gue itu sebenarnya bukan Bapak kandung gue, La. Bapak gue udah lama meninggal, bareng sama Mas Angkasa,” gumam Jelang.
“Lo punya Abang, Lang?” tanya Stella, ia menoleh ke bawah dan melihat Jelang mengangguk, cowok itu masih melihat ke arah langit-langit kamar mereka. Seolah-olah di atas sana ada sebuah cerita yang akan ia ceritakan untuk Stella.
“Dulu waktu gue umur tujuh tahun, Ibu lagi keluar, La. Jagain nenek gue yang sakit, sementara gue, Mas Angkasa sama Bapak di rumah. Waktu itu, gue sama Mas Angkasa tidur. Tapi gak lama kami dengar ada bunyi-bunyi aneh dari luar, Mas Angkasa akhirnya meriksa, begitu dia balik ke kamar. Mukanya panik, dia nangis ketakutan, La. Dia suruh gue ngumpet di lemari kayu dan ngunciin gue di sana,” Jelang masih ingat jelas kejadian yang membuatnya takut dengan lemari kayu kala itu.
“Gue ngintip dari lubang kecil di sana, gak lama. Gue liat dua orang laki-laki masuk ke kamar gue sama Mas Angkasa, Mas Angkasa di tarik, La. Dia di pukuli padahal waktu itu umurnya masih sembilan tahun, sampai akhirnya gue liat orang itu nikam Mas Angkasa berkali-kali sampe dia meninggal,”
“Dua bulan, La. Polisi masih nyari orang yang udah bunuh Bapak sama Mas Angkasa. Sampai akhirnya, gue liat orang itu di deket sekolah gue. Gue gemetar, gue takut. Tapi gak lama gue liat ada polisi yang ngejar orang itu, beliau yang udah menangkap perampok sekaligus orang yang bunuh Bapak sama Mas Angkasa, meskipun dia sendiri jadi korban akhirnya, Laki-laki itu bikin perlawanan sebelum akhirnya di tangkap, La. Sejak itu gue kepengen jadi polisi.”
Stella enggak tahu kalau keinginan Jelang buat jadi polisi memiliki cerita tragis, waktu bercerita, mata laki-laki itu juga berkaca-kaca, Jelang seperti ingin menangis namun ia tahan.
“Lo mau gantiin polisi itu, Lang?” tebak Stella, yang di jawab anggukan oleh Jelang.
“Namanya Pak Juna, beliau polisi yang tangguh, La. Udah nangkap banyak penjahat, dan waktu itu rekan kerjanya banyak banget yang kehilangan beliau. Waktu gue nangis pas beliau minta gue cerita soal kejadian yang gue alami, Pak Juna janji ke gue kalau dia enggak akan biarin pelakunya tidur dengan tenang. Dan dia tepati janji itu, La. Pelaku enggak pernah bisa tidur tenang waktu tau vonis hakim ngasih dia hukuman mati.”
Jujur, hati Stella sakit mendengarnya. Mungkin itu semua juga alasan di balik kenapa Jelang tidur lebih sebentar dan libur lebih sebentar dari orang-orang lain, Jelang lebih sibuk bekerja dan menangkap penjahat di luar sana, meski kadang beberapa kali ia pulang dalam keadaan terluka.
Tangan Stella terulur ke bawah, mengusap surai legam milik Suaminya itu dengan penuh kasih sayang.
“La, kalau suatu hari nanti gue luka parah, apa yang bakalan lo lakuin?”
Stella tampak berpikir sebentar, ia tidak bisa membayangkan melihat Jelang terluka parah, Ia tidak ingin itu terjadi.
“Tangkap penjahat sejauh apapun mereka berlari, Lang. Gue berharap lo gak akan pulang dengan luka, tapi kalau pun lo terluka. Gue bakalan datang buat sembuhin luka-luka itu.”
Jawaban itu membuat Jelang tersenyum, malam yang biasanya ia lalui dengan rasa kesepian dan penuh takut itu berubah menjadi malam yang indah hanya karena pancaran mata Stella yang menatapnya hangat. Di tariknya tangan Istrinya itu, dan ia ciumi punggungnya. Malam itu, mereka habiskan separuhnya untuk saling bercerita sampai akhirnya mereka tertidur.
To Be Continue